Siang tadi, jam makan, saya sempatkan mampir di warung somai yang ukup terkenal di jogja, somai di belakang telkom. Hmm…nyam-yam, pas lagi ngidam, eh beneran enak. Cita rasa terutama kuah sambel kacangnya, seperti cita rasa somai jalanan yang selalu saya rindukan -hmmm…..kalo inget jadi ngiler lagi nih, mana tiba-tiba krasa laper-Kebetulan, lokasi warug tersebu dekat dengan lokasi pendidian alias sekolah. Ada tiga sekolah favorit yang berdekatan dengan warung tersebut, dan murid-murid cukup menjangkaunya dengan jalan kaki saja. Ketiga sekolah tersebut adalah SMPN 5, SD Serayu, dan SMUN 3 Padmanaba. Lamat-lamat ketika saya makan, sempat mendengar bel masuk, yag sangat saya kenali sewaktu SMP. Heheh, sempet senyum-senyum sendiri, ternyata belnya tidak berubah.
Jam makan saya bertepatan dengan jam istirahat anak-anak SMP dan SMU, jadi saya bisa sekalian mengamati perilaku mereka. Terpikir oleh saya, wah uang jajan anak-anak sekarang nih, banyak bener ya. Saya sekali makan tadi habis sekitar lima ribuan tanpa minum. Berarti anak-anak ini, sekali jajan habis sekitar 6500-an. Dikali 30, jadi sebulan kira-kira menghabiskan 195ribu buat jajan di sekolah doang. Wahhh…..saya berdecak dan langsung membayangkan dengan kondisi saya dulu.
Saya jadi ingat dengan bocah yang saya kenal waktu praktek di Cepu tahun 2006 kemarin. Saya ngekos di rumah pegawai Perhutani yang juga mengasuh tiga ponakannya, usia SD dan SMP. Kami jadi akrab dan sering ngorol-ngobrol soal sekolahnya. Dari tiga anak itu, dua anak sudah SMP. Usia SMP asumsinya sudah lebih mengenal duit daripada anak SD. Dua anak ini setiap hari mendapat uang jajan dari Pamannya. Sehari sekitar 2ribu-3ribu, saya lupa. Pagi sebelum berangkat, mereka sudah sarapan. Pulang sampai rumah sekitar pukul satu siang, di rumah makan siang. Ternyata di sela-sela waktu istirahat, mereka menyempatkan diri untuk jajan. Kalau ditanya, jajan apa, mereka selalu menghabiskan jatah uang jajan mereka untuk beli snack-snack dan minum, entah itu es atau sekedar aq*** jika jajan sack-nya kebanyakan. Saya tanya, kok ga bawa minum sendiri aja ??? kok selalu dihabiskan uang jajannya, ga ditabung saja ?? mereka Cuma cengar-cengir.
Omong-omong jajan, ternyata juga bukan monopoli anak-anak sekolah usia SD ke atas. Anak balita yang belum sekolah pun juga. Seperti anak tetannga saya. Ibunya adalah penjaga rumah -rumah koi-. Bapaknya saya kurang ngerti, secara gw ga begitu gaul di kampung. Setiap pagi, ketika mBok tukang sayur datang dengan begitu banyak belanjaan di atas sadel motornya, rombongan ibu-ibu di kampung biasanya langsung berhamburan merubungi, tak terkecuali tetangga saya itu. Dia punya anak, masih umur sekitar lima tahun lah. Ternyata, setiap ibunya belanja, anak ini selalu menjerit-jerit minta dibelikan sesuatu. Yah, semacam jajanan lah. Donat, jajan pasar, snack-snack kemasan, yah semacam itulah. Kalau tidak diturutin, bakalan jerat-jerit nangis kesetanan, pokoknya harus diturutin. Karena harga jajanan mBok tukang sayur cukup murah meriah -walau dari segi kemanan bahan baku, higienitas, gizi tidak bisa dipertanggungjawabkan. Lha gimana enggak, snack full MSG, jajanan pasar pake gula sintetis dan pewarna yang ngejreng a la lampu disko- si Ibu tetangga saya ini hampir tiap hari selalu membelikan buat putrinya.
Dari ketiga contoh tersebut, saya jadi suka mikir, wah kalau anak dari kecil dibiasakan jajan, apa ga ngaruh ketika besar nanti. Saya bayangkan, karena udah terbiasa membelanjakan uang, maka ketika besar, juga tidak tahan untuk menyimpan uang lama-lama. Ketika jalan-jalan di mall, cenderung tidak tahan untuk membeli dan belanja, walau itu kecil-kecil. Tapi sebenarnya ga penting dan bukan prioritas.
Seperti kasus Cindy, anak tetangga saya itu, wah ga bisa bayangin ketika sudah besar nanti. Ada kemungkinan dia akan tumbuh menjadi gadis yang boros, karena sejak kecil terbiasa untuk mendapatkan apa yang diinginkan tanpa belajar untuk menghargai uang dan mengerem keinginan.
Atau seperti adik-adik kita di bangku sekolah, yang selalu mendapat uang jajan dan cenderung untuk habis dibelanjakan. Kemungkinan, karena belajar dari lingkungan sekolah, maka ketika berada di lingkungan yang penuh godaan duniawi, misal mall yang memajang berbagai pernak-pernik konsumtif, maka mereka cenderung untuk berprilaku konsumtif. Mudah juga tergoda oleh tayangan iklan di media massa.
Akibatnya, akan terbentuk suatu generasi konsumen yang ‘tidak cerdas’, dimana perilaku membeli bukan karena rasionalitas tapi lebih kepada dorongan impulsif.
Saya juga jadi teringat bebrapa artikel huma feature yang saya baca mengenai rakyat kecil. Di masa yang makin susah ini, ternyata anak-anak mereka pun juga ada jatah jajan. Akibatnya ketika orang tua mengalami beban dengan pendapatan, otomatis uang jajan anak-anaknya berkurang. Seandainya, mereka tidak dibiasakan jajan, uang jatah jajan tersebut kan bisa ditabung.
Miris juga kalau mendengar mereka suka berkata ‘lumayan lah, buat nambah-nambah jajan anak / cucu’, ketika mereka mendapat tambahan rejeki.
Kenapa enggak ditabung saja ???
Kesimpulannya, walaupun belum ada penelitiannya, tapi saya yakin ada hubungannya antara perilaku jajan dengan perilaku konsumtif.
Ada yang tidak setuju ??? ^^
pertamaxxx kah???
ya benarrrrrr !!! 😆
lagiii ahhhh biar hetrikk sisaannnn.. 😆
koment-nya abis ini ajahhh … hehehe
anaknya boz ku juga kaya gitu jeng…
apa aja yang mau pasti diturutin, anak pertama seh… tapi pas udah punya 3 anak baru berubah deh perlakuannya ama anak yg pertama tadi.
cuma yaahhh, tuh anak yg pertama sekarang jadi aneh !!! karena selalu diturutin awalnya kali yah..jadi sekarang tuh boz ku agak susah buat ngasih pengertian ke tuh anak.
kalo gw yg jadi orang tuanya… DESIIIIGGGHHH SISSSAAANNNNN tuhh anakkkk !!! 😆
wheeewwww…..rajin bgt yak, absen 😕
whuahahaa….geregeten ya ??? yg di DESIIIIGHH tu ortunya aja, ga jelas gitu, huahahaha…
kl kamu gmn, Lix ?? 😉
wahhh…kalo ta Dessiiggghhh Ortunya..bisa2 dipecatttt ddoonnkkkk !!!
anaknya boss-ku ttuhhh… 😆
tapi buat aku yah..ada kalanya anak tuh dimanjain, yaaa…sekali-kali bolehlah… walaupun tuh anak lebih berkali-kali mengalami penyiksaan batin dengan hidup bersama orang tua seperti diriku … waaakakakkkkkk…. 😆
Sayah ndak sukak jajan….
Saya pribadi setuju. Belum meneliti sih, cuma mengamati saja perilaku beberapa orang di sekitar rumah sekarang. Sambil tanya sana sini tentang masa kecilnya, ternyata memang kebiasaan waktu kecil sangat berpengaruh terhadap masa remaja/dewasanya.
Tapi sekarang pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan jika anak kita sering minta jajan?
Salam kenal
Priyanto Hidayatullah
Blog Parenting Islami
ajak dialog. kalo masih kecil, dia bisa kita arahkan. kalo udah gede, kalo diarahkan cenderung melawan (pengalaman pribadi dan jg dari bbrp teman).
kl menghadapi yg udah gede2 (abege) begini, bisa dikasi beberapa solusi alternatif lengkap dengan konsekwensinya. bimbing untuk berani memilih dan tanggung resikonya.
contoh, dengan sistem uang bulanan. dia akan belajar untuk mengatur uangnya tersebut. terserah mo dia pake jajan ato dikelola sebaik-baiknya. tapi ortu musti tegas dan konsekwen.
sebelum kasih duitnya, bisa dibicarakan dulu, kebutuhan si anak apa saja sih. jajan sekedarnya, sekolah, dll. jadi ortu juga musti gaul, jgn sampe ditepu sama anaknya (nanti si anak belajar utk mark up angaran).
kl masih kecil, bisa diarahkan dengan tegas kasih tahu akbat jajan. misal, kesehatan.
semoga berkenan. terimakasih sudah mampir^^
Ping balik: perilaku jajan anak-anak, cermin pola asuh orang tuanya « r e s t l e s s a n g e l
bener mbak aq stuju,,,, aq jg ud kepikirn judul itu bwt skripsiqu… hehehe