ide ini sudah agak lama, dari sejak ngeblog. tp krn idenya terlalu serius, saya jd nunda2 terus. padahal topik ini menarik krn sensitifnya dan juga komplesitas masalahnya. hanya aja, dari hasil blogwalking, ternyata masih juarang yg ngulik. agak heran juga sih, krn biasanya topik2 agama laku keras di wordpress. ide mulai terbentuk sejak membaca postingannya om guh, bang aiptop, extremusmilitis, dan terakhir felix. lha gak nyangka aja, dr diskusi ttg natal bersama di rumah mas mbelgedez kok malah jd oot bgt. tp malah memacu saya utk ngetik. awalnya yg hanya pengen memperjelas masalah, yg dimaksud natal bersama itu apa, sekedar salah persepsi atau isu kristenisasi. eeeh dr sharing pengalaman kok malah membahas ttg PBA^^(sori buat yg belum dilink, mata saya udah pedezzzzz)
Postingan ini murni adalah kutipan yang saya copy secara tidak beradab dari buku Tafsir Ulang Perkawainan Lintas Agama : Perspektif Perempuan dan Pluralisme, yang diterbitkan oleh KAPAL Perempuan, Jakarta, tahun penerbitan 2004, editor Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga. Jika ada pertanyaan mengenai isi tulisan ini, saya selaku pemilik blog tidak dapat menjawabnya, saya hanya bisa menjawab pertanyaan yang menyangkut mengenai opini saya pribadi, mengenai apa yang saya rasakan dalam menjalani pacaran beda agama.
Sebenarnya sudah agak lama saya ingin posting mengenai topik yang cukup sensitif ini, baik dari sudut pandang pribadi yang lebih banyak bersifat curhat, dan beberapa tulisan dari para ahli yang pro mengenai PBA. Tujuan saya tidak lebih dari sekedar sharing, karena selama kurang lebih 2 tahun menjalani pacaran beda agama dan mulai berpikir ke arah yang lebih serius (perkawinan), ternyata banyak sekali suka duka yang saya alami dan saya tidak sendirian. Apalagi posisi saya sebagai perempuan, muslim, saya pribadi merasa sebagai pihak yang tidak berdaya. Misal, cap pezinah yang kelak akan disematkan ke jidat saya jika kelak saya menikah, sementara andai saya lelaki, cap tersebut tidak akan dialamatkan.
Betapa, secara personal, pedih yang saya alami, menerima penolakan dan kontra dari keluarga dan sahabat. Bahkan mungkin sekali, salah satu sahabat saya, satu genk sedari SMP, akan memperlakukan saya berbeda karena tidak setuju saya menikah beda agama. Betapa pedih hati saya sebagai perempuan, yang mungkin tidak saja kehilangan keluarga tapi juga sahabat.
Di sisi lain, secara personal juga, banyak sekali yang saya dapatkan dan belajar dengan menjalani pacaran beda agama. Mata saya (fisik dan batin) dibukakan untuk belajar menghormati, menghilangkan segala prasangka, dan hal-hal lain termasuk secara spiritual. Entah, setiap saya berdoa untuk dijauhkan darinya jika memang dia bukan untukku, ternyata ikatan yang terjalin di antara kami justru lebih erat, dan kami sama-sama merasakan, apa yang kami rasakan menjangkau hingga ke sisi spiritual kami.
Dari pengalaman pribadi tersebut, saya menjumpai banyak persinggungan dengan teman-teman senasib. Perempuan, muslim, yang juga mengalami dilema yang sama. Hanya saja, tidak semua seberuntung saya, dengan mendapatkan informasi yang mungkin dapat membuat mereka tidak lagi merasa terpojok.
Apa yang saya kutip berikut, sekali lagi adalah sebuah sharing, khususnya untuk teman-teman seperjuangan, bahwa ada pilihan lain yang kita miliki. Keputusan memang ada di tanganmu, tetapi alangkah mewahnya jika kita mempunyai lebih banyak pilihan.
Terimakasih saya ucapkan untuk Resyta dan Sauson Indriarso, teman seperjuangan, yang berkenan meminjamkan buku ini -sory, belum aku balikin, masih aku simpen hehehe-
Perjuangan agar perkawinan lintas agama tidak dipersoalkan masih membutuhkan waktu panjang, karena agama dan negara saling menjustifikasi untuk menolaknya. Padahal, dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia, bentuk perkawinan ini adalah sebuah keniscayaan. Oleh karenanya, diperlukan keberanian dan keterbukaan untuk menafsirkan kembali secara kritis dan kontekstual dogma dan hukum agama maupun kebijakan negara yang menolak perkawinan lintas agama. Perspektif perempuan dan pluralisme yang ditawarkan buku ini merupakan salah satu alternatifnya.
Buku ini menarik, karena dengan memakai perspektif perempuan dan pluralisme ia tidak hanya membongkar situasi perempuan yang tersubordinasi dalam perkawinan lintas agama, tetapi juga peran agama dan negara yang memasung kebebasan perempuan (juga laki-laki) untuk memilih sekaligus menjalani bentuk perkawinannya. Beberapa kisah nyata dalam buku ini menegaskan bahwa perkawinan lintas agama adalah fakta sehari-hari dengan segala kompleksitas konsekuensinya.
Proses penulisan buku ini sendiri merupakan sebuah perjuangan berat karena harus berhadap-hadapan dengan “keyakinan” yang telah mendarah daging. Oleh karena itu, keterbukaan dan kerelaan hati untuk menerima perbedaan merupakan prasyarat utama dalam membacanya. Bagi siapapun buku ini penting sebagai referensi untuk memperkuat perjuangan mencapai keadilan, perdamaian, persaudaraan, dan persamaan hak khususnya antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat plural.
-cover belakang-
MENAFSIR ULANG PERNIKAHAN LINTAS AGAMA
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia
Pemerhati hak wanita dan dosen UIN Jakarta
MEMBANGUN AGAMA YANG MEMIHAK KEMANUSIAAN
Membangun pandangan agama yang kontroversial dalam merespon isu pernikahan lintas agama, selintas muncul pertanyaan dalam benak saya: masih perlukah kita beragama ? Sejujurnya, itulah pertanyaan yang seringkali mengusik akhir-akhir ini berkenaan dengan perlakuan diskriminatif dan tidak adil terhadap mereka yang melakukan pernikahan antar agama. Namun, untuk bisa menjawab pertanyaan adi, perlu pertanyaan baru, apakah agama itu ?
Hakikat agama sesungguhnya terlihat pada nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya, dan salah satu elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan. Dalam Islam, diyakini bahwa yang membedakan manusia hanyalah prestasi dan kualitas takwanya dan bicara soal takwa.
Tujuan hakiki dari semua agama adalah membina manusia agar menjadi baik dalam semua aspek: fisik, mental, moral, spiritual, dan sosialnya. Intisari dari semua ajaran agama berkisar pada penjelasan tentang masalah baik dan buruk, yaitu menjelaskan mana perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan baik yang membawa kepada kebahagiaan, dan mana perbuatan buruk yang membawa kepada bencana dan kesengsaraan. Agama memberikan seperangkat tuntunan kepada manusia agar mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk demi kebahagiaan dan ketenteraman manusia itu sendiri. Tuhan, sang pencipta, sama sekali tidak merasa untung jika manusia mengikuti aturan yang diwahyukanNya, sebaliknya juga tidak merasa rugi jika manusia mengabaikan tuntunanNya.
Salah satu tuntunan agama yang mendasar adalah keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, gender, ras, suku bangsa, dan bahkan agama. Karena itu, setiap agama selalu mempunyai dua aspek ajaran: ajaran ketuhanan dan ajaran kemanusiaan. Islam misalnya, memiliki ajaran yang menekankan pada dua aspek sekaligus; aspek vertikal dan aspek horisontal. Aspek vertikal merupakan ajaran Islam yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara aspek horisontal berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sayangnya, aspek horisontal ini tidak terimplimentasikan dengan baik dalam kehidupan penganutnya, khususnya dalam interaksi dengan sesamanya.
Dimensi kemanusiaan dalam Islam mendapat perhatian yang lebih konkret pada aspek tasawuf seperti terlihat dalam penjelasan mengenai konsep cinta. Ajaran tasawuf menegaskan bahwa semua makhluk itu ada karena cinta Illahi dan selanjutnya manusia diwajibkan mengimplementasikan ruh cinta ilahi itu dalam realitas kehidupan di muka bumi. Konsep cinta yang diajarkan dalam tasawufbukan hanya mencakup cinta kepada Tuhan, sang Khalik, dalam wujud pengabdian yang tulus dan ikhlas, melainkan juga mencakup cinta kepada sesama manusia dalam bentuk kesediaan menjalin komunikasi yang baik dan tulus tanpa harus terusik oleh aneka ragam perbedaan: gender, bahasa, etnis, ras, warna kulit, budaya, dan bahkan agama. Bukan hanya kepada sesama manusia kita dituntut berbuat baik, melainkan juga kepada makhluk lainnya. Islam bukan hanya mengajarkan perikemanusiaan, tapi juga perkemakhlukan.
Sangat disayangkan misi Islam yang amat suci dan luhur itu tidak terimplementasikan dengan baik dalam kehidupan beragama penganutnya. Dalam beragama, manusia cenderung lebih banyak membangun hubungan baik dengan Tuhan, atau dengan ungkapan lain, lebih banyak “memuaskan” Tuhan, daripada membangun hubungan damai dan harmonis dengan sesama manusia. Akibatnya, sejumlah konflik, tindakan eksploitasi, kekerasan dan diskriinasi, termasuk diskriminasi gender yang membawa kesengsaraan, terutama bagi manusia yang berjenis kelamin perempuan, justru dilakukan atas nama syariat Islam. Padahal Imam Al-Ghazali secara tegas menyatakan bahwa tujuan hakiki syariat Islam adalah memlihara lima hak dasar manusia, yaitu hak hidup; hak kebebasan beragama; hak beropini dan berekspresi; hak reproduksi dan hak properti. Kelima hak dasar inilah yang kemudian dikenal dalam fiqh dengan istilah al-Kulliyat al-Khamsah.
Akhirnya, kembali kepada pertanyaan di permulaan tulisan ini, saya lalu begitu yakin bahwa dari perspektif manapun kita melihat, agama masih sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Hanya saja, tantangan kita yang paling berat adalah bagaimana mensosialisasikan ajaran agama yang apresiatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
PERNIKAHAN LINTAS AGAMA DALAM ISLAM DAN POSISI PEREMPUAN
Salah satu keutamaan manusia dibandingkan makhluk lainnya di bumi ini adalah pengangkatan dirinya sebagai Khilafah fi al-Ardh yang diserahi tugas untuk mengelola kehidupan di planet bumi ini. Dalam rangka menyukseskan tugas tersebut manusia dibolehkan bahkan dianjurkan menikah, antara lain agar keberlangsungan generasi manusia tetap terjamin sampai hari kiamat nanti. Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa reproduksi bukanlah satu-satunya tujuan pernikahan Islam.
Pernikahan dalam Islam merupakan suatu akad atau transaksi (An Nisa 4:21 dan Al Baqarah 2:231). Hal itu terlihat dari adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan). Sebagai suatu akad atau transaksi seyogyanya melibatkan dua pihak yang setara sehingga mencapai suatu kata sepakat atau konsensus. Tidak salah jika didefinisikan bahwa pernikahan adalah sebuah akad atau kontrak yang mengikat dua pihak yang setara, yaitu laki-laki dan perempuan yang masing-masing telah memenuhi persyaratan berdasarkan hukum yang berlaku atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak untuk membentuk keluarga.
Menarik dicatat bahwa Al Quran membahas pernikahan secara agak rinci dan mendetail, tak kurang 103 ayat yang membahas persoalan ini, baik dengan menggunakan kosa kata nikah yang berarti “berhimpun” maupun kata zauwj yang bermakna “berpasangan”. Kata nikah dalam berbagai bentuk disebutkan sebanyak 23 kali, sementara kata zauwj ditemukan terulang sebanyak 81 kali. Dengan demikian, untuk menyelami makna hakiki pernikahan hendaknya dilakukan dengan membedah keseluruhan ayat-ayat tadi dan selanjutnya menarik benang merah yang menghubungkan satu ayat dengan ayat lainnya. Benang merah itulah yang merupakan pesan moral Al Quran mengenai pernikahan. Dari kajian terhadap ayat-ayat yang membahas soal pernikahan tersebut dapat disimpulkan sejumlah prinsip dasar yang seharusnya menjadi landasan bagi suatu pernikahan (Siti Musdah Mulia, Poligami dalam Pandangan islam, LKAJ dan Solidaritas Perempuan, Jakarta, 2000, h.9).
Pertama, prinsip monogami (An Nisa 4:3 dan 129). Kedua, prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang) (Ar Rum 30:21). Ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi (Al Baqarah 2:187). Keempat, prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang sopan dan santun). Dan kelima, prinsip kebebasan dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tiak melanggar ketentuan syariah.
Menarik juga dicatat bahwa Al Quran memberikan perincian yang agak mendetail tentang perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini (An Nisa 4:19; At Taubah 9:24; al Haj 22:13). Dalam pembicaraan tentang pernikahan, ada kecenderungan Al Quran memperlakukan laki-laki sebagai pihak yang aktif, khususnya dalam memilih jodoh dan meminang, sementara perempuan diposisikan sebagai pihak yang pasif atau pihak yang menunggu untuk dikawini. Karena itu, hampir semua perintah dalam pembicaraan tentang pernikahan ditujukan kepada kaum laki-laki.
Implikasinya, dalam kehidupan sosial adalah bahwa pihak laki-laki selalu menjadi pihak pengambil inisiatif, pihak yang meminang atau melamar, sementara pihak perempuan hanya menunggu dipinang atau dilamar. Kondisi ini tentu saja merupakan konteks masyaraka ketika Al Quran diturunkan, yakni masyarakat Arab yang sangat kental dengan budaya patriarkinya. Sangat wajar jika di masa itu, kaum perempuan tidak dianggap sebagai subyek yang mandiri dan memiliki kebebaan untuk berpendapat dan berkespresi sebagaimana hanya laki-laki.
Akan tetapi seirig dengan perjalanan waktu banyak hal yang berubah dalam masyarakat kia sebagai akibat dari kemajuan di bidang teknologi dan informatika. Dewasa ini kaum perempuan sudah semakin mandiri dan semakin berani mengungkapkan pendapat dan keinginannya sehingga sudah selayaknya membaca kembali aturan-aturan yang tidak mengakomodasikan kepentingan dan aspirasi mereka.
Pernikahan lintas agama yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah pernikahan antara seseorang yang beragama Islam (Muslim) dan orang yang bukan Islam (non Muslim). Al Quran membagi kelompok non Muslim dalam perbincangan ini ke dalam dua kategori, yakni musyrik dan Ahl Al Kitab (Al Bayyinah 98:1). Menariknya, tidak ada kesepakatan ulama mengenai kelompok mana yang saja yang dapat dikategorikan musyrik dan Ahl Al Kitab. Pada umumnya pengertian musyrik dilekatkan pada kelompok yang menyekutukan Tuhan atau mengakui ada Tuhan lain selain Allah SWT, seperti para penyembah berhala, penyembah api dan sebagainya (lihat dalam Al Ankabut 29:61; Luqman 31:25, al Zumar 39:38; al Zukhruf 43:9 dan 87. Di dalam ayat-ayat tersebut Al Quran menyatakan bahwa musyrik adalah mereka yang meyakini Allah sebagai Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, tetapi juga menyembah berhala). Sementara Ahl Al Kitab adalah kelompok penganut agama yang memiliki kitab suci seperti Yahudi dan Kristen.
Isu pernikahan lintas agama telah lama menjadi isu kontroversi dalam sejarah Islam. Pada prinsipnya pandangan para ulama mengenai hal ini terpola kepada tiga pendapat. Pertama, melarang secara mutlak. Sebagian ulama melarang secara mutlak pernikahan antara Muslim dan non Muslim, baik yang dikategorikan musyrik maupun Ahl Al Kitab dan larangan itu berlaku baik bagi perempuan Muslim maupun laki-laki Muslim.
Kedua, membolehkan secara bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan pernikahan laki-laki Muslim dan perempuan non Muslim dengan syarat perempuan non Muslim itu dari kelompok Ahl Al Kitab, tapi tidak sebaliknya.
Ketiga, membolehkan pernikahan antara Muslim dan non Muslim, dan kebolehan itu berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya mari kita perhatikan argumen masing-masing dari ketiga pedapat tersebut. Pendapat pertama berangkat dari pemahaman terhadap Al Baqarah 2:21
“dan janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik daripada perempuan muysrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik dengan perempuan-perempuan mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. ”
Penganut pendapat ini tiak membedakan antara musyrik dan Ahl Al Kitab karena kedua kelompok tersebut dalam realitasnya sama saja, seperti pendapat sahabat Nabi SAW, Abdullah ibn Umar, “Saya tidak megetahui kemuyrikan yang lebih besar daripada kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa tuhannya adalah Isa atau salah satu hamba Tuhan” (Al Bukhari, Al Jami al Shahih, Dar Ibn Katsir al Yamamah, Beirut, 1987, juz V, h.2024).
Yang dimaksudkan dengan “seseorang yang mengaku tuhannya adalah Isa atau salah satu dari hamba Tuhan” adalah orang Kristen dan Yahudi. Dengan demikian menurut kelompok ini, orang Kristen dan Yahudi termasuk golongan musyrik, bukan Ahl Al Kitab karena dalam prakteknya mereka telah menyembah kepada selain Tuhan. Orang Kristen mempertuhankan Isa, sedang orang Yahudi mempertuhankan Uzair.
Argumen lain yang diajukan kelompok ini adalah bahwa walaupun dalam Al Quran ditemukan ayat yang membolehkan pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl Al Kitab, yakni Al Maidah 5:5, namum izin tersebut telah digugurkan oleh Al Baqarah 2:221. Argumen lain lagi adalah berdasarkan pemahamanterhadap ayat al Mumtahanah 60:10
” hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah pada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabilakamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Berdasarkan alasan tersebut, ulama bersepakat melarang pernikahan lintas agama, dan kesepakatan tersebut dipandang sebagai ijmak.Ijmak dalam pandangan kelompok ini dapt dipakai sebagai salah satu sumber hukum Islam. Larangan pernikahan beda agama secara mutlak inilah yang menjadi pandangan mainstream umat Islam di Indonesia yang mayoritas brmazhab Syafii. Pandangan itu kemudian dilegalkan negara melalui UU Pernikahan no.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan dengan Inpres no.1 tahun 1991. Akibatnya negara sama sekali tidak mengakomodasikan adanya pernikahan lintas agama di Indonesia.
Selanjutnya MUI melalu fatwanya tertanggal 1 juni 1980 juga mengharamkan semua bentuk pernikahan lintas agama, termasuk pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan non Muslim, walaupun dari kalangan Ahl Al Kitab. Alasannya karena kerusakan (mafsadah) yang ditimbulkan dari pernikahan lintas agama itu lebih besar daripada kebaikannya (maslahat) yang didatangkannya, terutama bagi kaum Muslimin.
Meskipun tidak diakomodasikan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, jumlah pasangan yang menikah lintas agama tetap saja bertambah dan secara mudah ditemukan dalam realitas sosiologis di masyarakat. Sejumlah kiat mereka lakukan, di antaranya mereka menikah di luar negeri lalu kembali ke Indonesia untuk mencatatkan pernikahan mereka, dan anehnya para petugas negara segera melakukan pencatatan dengan tidak mempersoalkan bentuk pernikahan mereka. Kiat lainnya, salah satu dari pasangan tersebut pura-pura konversi agama sehingga tidak terlihat beda agama agar dapat dicatatkan pada institusi yang berwenang, KUA atau KCS. Setelah itu mereka kembali lagi ke agamanya semula. Konversi dilakukan hanya untuk memenuhi persyaratan adiistrasi belaka.
Kiat lainnya lagi, pasangan tersebut menikah sesuai ajaran agama masing-masing dan tidak perlu dicatatkan. Namun akibatnya, kalau terjadi problem dalam pernikahan mereka, biasanya pihak istri dan anak-anaklah yang menjadi korban karena tanpa akta nikah, mereka sulit menuntut hak-hak sipilnya, seperti nafkah, tunjangan, dan warisan.
Bersambung dulu…..belum kelar nie….udah pegel jemari……
Haa… Panjang….. 🙂
*ngelap keringat…*
Akhir tahun entri-nya serius banget. 😀 &… so far lengkap sekali. (IMO)
Sy tak minat komen dari sisi dalil, kalo dari sisi perasaan, yah, itulah cinta…
Sy pernah menjalani, tapi gagal, dan masih terbuka kemungkinan ngalami lg…
Km yg sedang menjalani, selamat menikmati (suka duka & hikmah-nya)… 😉
yah….itulah cinta…deritanya tiada tara…. *melankolis a la pat kay…*
seri ini masih puanjang….mgkn lbh dr tetralogi. plus saya mo posting khusus yg bersifat sgt personal, ttg pacaran beda agama dan pandangan pribadi ttg pernikahan beda agama.
oke, jensen, selamat menikmati indahnya cinta…
happy hunting, hehehehe
menuju ke part 2dulu deh
Yang mau kawin (membangun keluarga dan berbahagia) itu siapa? Kamu dan pacarmu bukan?
Mengapa harus nanya-nanya sama teman/sahabat/ortu/tetangga?
Menurutku kau harus bisa memisahkan antara cinta dan agama. Yang bisa mewujudkan kebahagiaan itu hanya kalian berdua, bukan tetangga/teman/ortu.
Ouit…salam kenal ya
Kalok aku segh ndak mempertanyakeun lagee….
Jadi maap sayah ndak isa komen banyak apalagee ber opini….
Saran sy jangan lah memilih pasangan yg berlainan agama .
Contoh sy sangat menyesal 100 ribu x ,
Hidup sy sangat sensara karna penuh dosa kepada alloh telah melanggar hukum nya .insya alloh sy masih dikasih pintu tobat kembali ke pada nya .
lucky nya sy tidak perna keluar dari agama islam .
Dan sy akan tinggal kan suami kafir ini .
Sy akan kembali ke indonesia , harta tidak membuat hati sy tenang karna dosa mengawinin pria kafir .
Thanks
Nn
@ funkshit :
monggo….
@ juliach :
ah, salam kenal juga^^ sebelumnya, udah sering liat mbak ini…
saya se7 bhw yg bisa mewujudkan bahagia hanya kita sendiri. tp buat ku, perlu juga nanya2, untuk belajar dr pengalaman mrk. kl misal ada yg ga enak, jgn sampe kita mengulanginya.
poin mengenai pemisahan cinta dan agama, ummm…..kayaknya saya perlu mencerna dulu deh.
thx udah mampir^^
@ mbelgedez :
ga po-po, Mas. sing penting wis mbaca dr point of view yg berbeda. kl dr saya, maturnuwun udah mampir….
@ nan :
hmmm…….ke produser sinetron hidayah gih, sapa tau bisa dijadiin sinetron *sarkasm mode on*
weleh mbak, saya komen di bag 3 baru ke sini. sama kita rupanya. saya nonmuslim cowok saya muslim. kami fine2 aja, tapi tekanan keluarga nih yg bikin berat.
-bc komen mbak juliach- emang benar sih mbak, kita yg mau nikah kok orang lain yg repot, tp itulah budaya kita yg kekeluargaan ituh. semua2 keluarga masih ikut campur.
hikzz, byk suka dukanya, tapi cinta tetap ada dan tumbuh koq. pernah di suatu minggu kami jalan bareng trus berpisah didepan gereja, karena saya mau misa dan dia mau sholat Idul Adha, teman2 saya sampe heran, tp tetep mengakui kalo hubungan saya ama dia yg udah 5 thun lebih, tetap rukun2 aja dibanding yg seiman dan romantis terus g ada matinya. (kok curhat yah saya).
ouggg… panjang banget postingnya
@ ocha :
*peluk2 ocha*
@ ario dipoyono :
wah panjang juga ya ???
Lebih baik menikah beda agama drpd salah satu mengingkari kata hatinya dlm memilih jalan untuk berelasi dg Tuhan. SANTAI AJA,karena TUHAN YG BERHAK MENILAI APAKAH KITA INI PENGHUNI SURGA ATAU BUKAN,samasekali bukan apa kata orang lain tentang mana yg kafir atau bukan. TUHAN PASTI BERPANDANGAN DAN BERBELAS ASIH LEBIH DARI MANUSIA,bukan?
aku pribadi mendingan menghindari buat PBA ..meskipun cintanya mentok puoll..karena aku cowok muslim…ntar kalo punya anak, dan anaknya gak seiman sama aku…wow aku takut mempertanggung jawabkannya.
Maaf Mba Medina, mau nanya itu bukunya dijual dimana ya? terima kasih 😀
wah, blog ini bener2 bantu sayaaa, yampun saya dan pacar saya beda agama, uda pacaran hampir 3 tahun. Kita uda sama2 saling sayang bgt, pernah dulu hampir putus gara2 perbedaan ini… Tapi 2 jam kemudian langsung balik, soalnya ga kuat. Uda sama mentok. Huhuhuhu doakan saya ya mbaaa, semoga hubungan kami lancar… Dan tidak perlu ada yg harus pindah…
Anyway, nanya dong… Kalo nikah di luar negeri tuh butuh administrasi apa aja ya..? Pasti ribet yaaaa… Makasih kalo temen2 bisa kasi info 🙂