Selalu ada berkah dibalik setiap peristiwa. Klasik tapi benar adanya, dan saya sudah berkali-kali membuktikan kebenarannya. Seperti kemarin. Jadi latar belakangnya, saya nggak jadi terima job karena persoalan teknis, tapi siapa sangka dibalik itu saya justru bisa masuk goa, merasakan caving amatiran. Jikalau sendirian, pasti malah tidak terlaksana karena berbagai alasan.
Yak, sodara-sodara. Kemaren itu, saya mengunjungi obyek wisata Bantul, Goa Cerme. Serombongan turis Korea-lah yang membawa saya. Malunya, malah mereka tahu lebih dulu dari browsing internet. Sebenarnya, obyek wisata ini sudah lama adanya. Saya pun selama ini Cuma lewat-lewat saja, belum pernah masuk hingga ke dalam obyeknya. Kemaren-kemaren tujuannya malah nongkrong di atas perbukitan kapur, sebelum menuju Parangtritis lewat jalur alternatif (menembus perbukitan kapur), menyaksikan keindahan bumi Bantul yang menghampar. Atau sekedar jalan-jalan sore menikmati hembusan angin sambil memandangi karpet alami yang terdiri dari sawah menghijau, kerbau membajak sawah, dan terakhir kali jalan-jalan disitu, saya kehilangan sandal, gara-gara terperosok di lendut alias tanah sawah. Lumayan, gratis spa lumpur sawah :p
Goa cerme ini bisa dituju lewat jalan Imogiri. Ada banyak petunjuk jalan yang mengarah ke Goa Cerme. Bahkan, traveler amatiran penderita disorientasi arah macam saya ini, bisa menemukan dengan mudah hanya berbekal petunjuk yang dipasang oleh dinas terkait. Kebetulan waktu itu, berbarengan dengan kunjungan MenSos ke Bantul, jadi lagi-lagi keberuntungan menyertai saya, karena jalan jadi lancar, dijaga oleh polisi dan tentara.
Sebelum ke Goa Cerme, saya sarankan anda-anda sekalian untuk mampir makan siang di warung ramesan Mbak/Bu Pur, yang berada tepat di pojokan pertigaan sebelum ke tanjakan arah Goa Cerme. Warung ini menyediakan menu-menu ndeso dan otentik, yang dijamin tidak anda temukan di kota-kota besar. Menu andalannya brongkos yang bercita rasa pedas. Kemudian ada juga oseng-oseng kulit melinjo, oseng-oseng pare, dll. Sayangnya, untuk lauk, kemaren ketika saya mampir makan, kok tidak selengkap terakhir saya datang (sekitar tahun 2004-2005). Dulu itu ada lele asap dan wader goreng. Kemaren kok tidak ada.
Berdua kami makan lengkap dengan minum, Cuma habis 12.500 perak. Wow, murah meriah dan mengenyangkan. Puas setelah mengisi amunisi, kami segera menuju Goa Cerme. Sebelumnya kami diberitahu oleh penduduk setempat, untuk kendaraan mini yang mungkin tidak kuat menanjak, bisa lewat jalur lain. Patokannya, pertigaan yang ada beringin, belok kiri. Tapi jika Anda termasuk kategori advance dalam menyetir kendaraan dan tidak ada masalah dengan tanjakan yang lumayan ekstrim, tidak apa-apa mengambil jalur lurus.
Untuk jalan, tidak usah khawatir. Sepanjang jalan, aspal mulus menemani kami. Dan sepanjang perjalanan, benar saja, pemandangan indah mempesona mata saya. Apalagi ketika mulai melewati tanjakan-tanjakan, sehingga bisa memandang pemandangan dari atas. Temans, mata saya benar-benar dimanjakan dengan perbukitan menghijau (karena sehabis musim hujan kali ye, jadi hijau. Coba kalau sudah musim kemarau, mungkin agak gersang, karena perbukitan yang kami lewati adalah perbukitan kapur). Apalagi dalam perjalanan kembali, pemandangan lebih indah, karena tidak hanya sekedar perbukitan, tapi juga sawah-sawah.
Kami memarkir mobil di pelataran rumah penduduk yang memang disiapkan untuk tempat parkir. Sayangnya, untuk jalur yang kami lewati, kami harus menaiki tangga yang agak jauh dan cukup melelahkan sebelum ke Goa Cerme. Jika melewati jalur yang satunya, mobil bisa parkir tepat di jalan setapak menuju Goa Cerme, dan dari situ Anda cukup berjalan kurang lebih 100 meter, tidak terlalu menanjak, tidak bikin ngos-ngosan.
Dari pemandu yang menjaga, kami mendapat keterangan, sebelum masuk Anda harus membeli tiket sebesar seribu rupiah per orang. Dan untuk masuk ke dalam goanya, Anda harus ditemani pemandu. Jasa pemandu sebesar 2000 rupiah per orang. Jadi misal Anda rame-rame dengan teman sebanyak 8 orang, masing-masing bayar 2000 untuk pemandu, begitchu….
Sesampai di bibir goa, saya lagi-lagi dibuat terpana oleh keindahan lukisan Tuhan. Kampret, slompret, bin semprullll, saya lupa bawa kamera !!! Pake hape ??? Duh, ga puas banget dan karena saya cenderung perfeksionis, saya tak sampai hati membingkai keindahan tersebut dalam layar hape.
Lekukan sungai entah apa namanya, saya lupa, seperti cacing besar raksasa yang keperakan berkilauan tertimpa sinar matahari, perbukitan yang seperti candi, karena berundak-undak oleh sawah kehijauan, bukit-bukit perawan yang berlapis-lapis, dari yang terjauh berwarna kebirauan tipis lalu dilapisi lagi oleh perbukitan di depannya yang berwarna biru-kehijauan, dan terakhir perbukitan dengan rumah-rumah mungil yang tampak seperti noktah, berwarna hijau tua. Semua dengan latar belakang langit membiru….
Oase bagi mata yang lelah mempelototi layar komputer dan jiwa yang penat di tengah-tengah paket rimba beton dan polusinya.
Ketika kami datang, berbarengan dengan beberapa warga sekitar yang membawa perbekalan. Kami sempat GR, tapi rupanya ada warga yang kenduren karena punya gawe mantu. Warga tersebut, Bapak-Bapak, membawa tikar dan ubo rampe berupa nasi, urap, ingkung ayam, dan buah, yang dibungkus daun jati. Ubo rampe tersebut didoai bersama-sama, tepat di mulut goa, dan kemudian disantap bersama-sama. Pemandangan menyenangkan, menyaksikan kebersamaan pedesaan yang mulai luntur di kota-kota besar.
Sebelum masuk ke dalam gua, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk kenyamaman bersama. Disarankan untuk membawa senter sendiri, karena di dalam goa cukup gelap. Bisa juga menyewa senter, sebesar 5000 rupiah, tetapi nyalanya tidak terlalu terang dan berat dibawa karena pakai aki segala. Oia, bagi pengunjung disarankan untuk memakai celana pendek dari bahan yang cepat kering dan membawa ganti pakaian serta sandal gunung.
Jalur dalam goa sendiri jika dituruti hingga mentok, sepanjang 1,2km, dan menyusuri sungai dalam tanah. Ketinggian antara selutut hingga pangkal paha. Air sungainya sendiri keruh, karena stalaktit dan stalakmit terselimuti oleh tanah lempung. Beda dengan Goa Seplewan, yang terletak di perbatasan Kulon Progo-Purworejo. Sungai di goa tersebut, airnya jernih….
OOT, Goa Seplewan juga wajib dikunjungi oleh Anda-anda penggemar wisata yang berbau petualangan. Soal keindahan alam, jangan ditanya. Anda bahkan bisa berdiri di atas bukit, dan memandang lepas ke perbukitan Laut Selatan pantai Parangtritis hingga ke kota Purworejo. Kereeeennnnn !!!! Jalur juga cukup menantang, sedikit off road (kalau belum diperbaiki aspalnya), dan ngadem di hutan sengon (???) tapi tenang, kereeeennnn banget !!! Bahkan terdapat peninggalan purbakala, sebuah candi primitif (??) berbentuk lingga dan yoni. Di tempat ini juga pernah ditemukan arca emas serupa dewi, entah dewi siapa saya lupa.
Kembali ke goa. Ada yang lucu dengan goa ini. Jadi begini, saya heran, sewaktu nyampe ke bibir goa. Selain pemandangan yang terkesan purba banget, dinding cadas, pohon-pohon kukuh tinggi menjulang, sulur-sulur perdu, ada patung seorang laki-laki bersorban naik kuda. Saya heran, patung siapakah gerangan. Ternyata itu patung Pangeran Diponegoro. Loh, kok Pangeran Diponegoro sampe sini, bukannya markas beliau di Goa Selarong ?? Apakah Goa Cerme termasuk salah satu petilasannya ?? Jawab sang pemandu, beliau buka cabang di Goa Cerme ini.
Wakakaakkkk, ada-ada saja Mas Pemandu ini.
Tapi, memang penempatan patung Pangeran Diponegoro ini rada ngawur. Setelah ditelisik, ternyata patung tersebut sebagai hiasan saja. Goa Cerme ini malah dulunya konon sebagai tempat pertemuan Walisongo, yak semua wali itu, bertemu di tempat ini dan membicarakan pelbagai permasalahan, duniawi dan spiritual.
Entah ada hubungannya atau tidak, goa ini juga menjadi tempat untuk bersemadi atau bertapa. Kemaren, saya melihat sisa-sisa bakaran entah menyan dan bunga tabur. Selain itu masih tercium lamat-lamat, wangi dupa.
Pemandangan di dalam goa tak kalah menakjubkan. Saya serasa di alam realis Salvador Dali, karena bentuk dinding goa serupa benar dengan ciri khas pelukis tersebut. Bahkan sesaat imajinasi saya melayang, berada di dunia science fiction, dunianya Alien dan Predator, karena bentuk stalaktit dan stalakmit seperti bentuk monster-monster khas film-film sci-fi, tidak beraturan, aneh, tapi luar biasa. Sayang, saya hanya menyusuri sekitar 500 meter kurang, karena rombongan turis tersebut tidak berani untuk berjalan lebih jauh. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk jenis wisata petualangan, sehingga kami pun mendampingi mereka juga sampai situ saja.
gambar diambil dari sini
Keseluruhan, obyek wisata ini mulai dikelola secara profesional, terlihat dari berbagai faslitas yang sedang dibangun untuk memudahkan wisatawan. Lingkungan juga cukup bersih, tidak tampah sampah yang dibuang sembaragan. Entah dengan toilet umumnya, karena tidak sempat saya inspeksi. Kekurangannya, parkir kendaraan yang mahal, masak mobil dicharge 5000 rupiah. Selain itu, masih minim informasi. Pemuda setempat yan kebagian jatah untuk mengelola (mungkin diajak kerjasama oleh dinas pariwisata Bantul), juga hanya memberi kami dua lembar leaflet mengenai Goa Cerme. Atau mungkin keberadaan leaflet diganti oleh semacam papan informasi yang tidak saja berisi keterangan tentang Goa Cerme tetapi juga obyek wisata lain yang dekat-dekat situ.
Bahkan dari ngobrol ngalor ngidul, bisa saja ke depannya dikembangkan berbagai game-game outdoor yang menantang adrenalin, seperti flying fox, bungee jumping, panjat tebing (khusus kelas pemula), dll.
Two thumbs up, rekomendasi penuh bagi penggemar wisata alam yang berbau petualangan, apalagi bagi yang masih kelas amatiran. Jogja ga melulu isinya Malioboro (uuuh basiiiii !!!), Kraton, dan Taman Sari. Dan saya membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi mereka yang ingin saya temani ke Goa Cerme, saya masih berhasrat caving dan hunting foto ala kadarnya
O0o……..
Berdua toh?
*kabur sebelum ditimpuk sandal*
Potone pelit!
@PeTeeR
Woi, jangan pake-pake aku untuk nimpuk Memet 😛
Wah, jadi tertarik mo meditasi di goa itu. Mana tahu dapat wahyu. Eh, itu goanya kapan sepi mbak?
kurang skrinsut,.. ambil dari blog ku aja
hahaha…
mantab.. 🙂
misi CA mengangkat wisata Jogja sukses terlaksana.. 🙂
*kangen Jogja dan kalian*
mana fotonya…mana???? duh makasih banget yah Med..akhirnya selasa siapa yang temani tuh orang kroya? eh korea?
Wah, ndak terasa … sudah berapa tahun ya saya ndak ke gua cerme?
satu … dua … tiga …. emmm, 15 tahun ada barangkali …
Eh Med, kamu nggak sempat nanya etimologi nama Gua Cerme? Mungkin disana banyak buah Cerme pa ya?
Terakhir ke gua cerme, 1989. Jalan kaki dari gua selarong, bermalam di gua cerme, dan berakhir di parangtritil mbantus ….
yang aku ingat, di sana ada teman beli rokok, dikira bentoel international, ternyata mereknya botol profetional, ngaco!
@momon
cerme itu kan anak wedhus?
wah baguslaaah….sori ya med kemarin aq melempar ini ke kamu, lha yg suka jalan2 tau jogja itu ya kamu jeh, dan waktu itu kamu bilang bisa ya udh….hehehe pas big bossku dateng jd ga bisa ikut2 :p
alam memang selalu indah, bila manusia memegang tanggung jawab alam
Berikut adalah sungai disebelah desa ku
http://jarwadi.wordpress.com/2008/05/21/susur-sungai/
Mantabbb
Alam memang selalu indah, bila manusia memegang tanggung jawab alam
Berikut adalah sungai disebelah desa ku
http://jarwadi.wordpress.com/2008/05/21/susur-sungai/
yaaa …ampyuunnn ….
tulisannya banyak gituh, panjaaang dan leeebaar … tapi potonya kok segede ituuh sihh ???
*ngumpet …
potone pelit
dadi kangen
brongkos setan
oseng-oseng mercon
tenang wae
tinggal 20 hari lagi, aku mo pulang
😆
@ PeTeeR :
iya….berdua ma tomat…^^
kl yg di seplewan, berdua sama…sama…ehm!!! *tiba2 pengen batux*
@ sandalian :
kan udah kubilang, aku lupa ndak bawa kamera… T_T
browsing di internet, ndak ada pics seperti yg saya lihat…..
@ danalingga :
kayaknya pas hari2 bukan libur lumayan sepi kok. yg jelas kayaknya banyak yg semedi di sana, kl liat dr bekas dan cerita2nya.
@ alle :
eh, udah pernah ke cerme ya ??
digugel kok ndak ada namamu ?? hehehe…
@ zam :
CA mo tiwok di perkebunan teh Tembi-Wonosobo….sambil icip2 mie ongklok wonosobo !!!! yuhuuuuu !!!!
*sebar gosip
@ unai :
aduh mba….lupa bawa kamera… T_T
*huks, jangan tanya2 lagi…sakit hati ini bila mengingatnya….*
selasa itu, mbak ari ga kontak temenku. sepertinya dia memutuskan utk sendiri^^
sama2, mbak ^^
@ yahya kurniawan :
15 tahun !!! (o.O)
koyo opo, biyen….??
gmn kl ke seplewan, pak ?? KEREEENNNN loh^^
@ herman saksono :
kl menurut situs, cerme berasal dr kata ceramah-nya walisongo yg memulai dakwah di tanah jawa.
tp dr leaflet yg dibagikan, kok cerme = cermin.
@ nayantaka :
aaah…..keren sekali petualangannya…..^^
jaman dulu pasti lbh menantang ya, bener2 utk petualangan. kl kemaren itu, wisatawan awam macam saya pun merasa dimudahkan^^
jd kapan mengulang masa yg udah 19 tahun berlalu??? ^^
cerme ?? cempe kaliiiii ^^
@ ekowanz :
gapapa, aku seneng kok. buktinya, malah bisa jalan2 blusukan. udah lama ga blusukan je….
@ jarwadi :
keren sekali itu !!!!!!!!! (o.O)
dimana itu ????
aku mauuuuuu !!!!
@ [H]Yudee :
itu kan tugasmu sbg potograper…memindahkan keindahan yg tertangkap oleh mata kepala dan mata batin ke lensa. kl aku, mencoba memindahkan keindahan alam yg kulihat lewat tulisan^^
berhasil ga ya…. :rolling:
*bermimpi mjd novelis, bukan cergamis*
@ warmie :
kopdar ke nol kilometer !!! ditunggu !!!
udah pernah lewat, sayangnya ga pernah mampir..kapan yah?
setubuh met, kurang foto 😀
@ stey :
agendakan kl trip ke jogja !!! kudu !!! ^^
@ didut :
waduhhh….di ungkit2 lg….sakit hatiku terbuka kembali…. T_T
itu potone kok rada nyeremin ya? kayak kainnya mak kunti.. 😐
Sama Gua Garba enakan mana, Meth….
wah…ya ndak tauuuu
situ dong, yg paling ngerti…^^
wekekeke… setuju, med!
aku orang bantul tapi blm pernah ke goa cerme,,hahah payah!! tapi bsug pngen ksana sma tmn2 🙂