Awalnya dari membaca rubrik konsultasi psikologi di koran cetak Kompas. Seorang gadis muda, dia bermasalah dengan pengasuhan orang tuanya. Ibu yang sangat dominan dan ayah yang acuh. Si Gadis merasa tak berdaya.
Next. Cinta pertama. Usia SD. Dengan teman sejenis. Si Gadis mengklaim bahwa cinta monyet tersebut sudah dilandasi nafsu seksual, bukan sekedar suka-sukaan. Lantas, cinta sesama jenisnya benar-benar mendapat tempat ketika yang bersangkutan kuliah. Tapi tidak berakhir seperti yang diharapkan, yah, sebenarnya sama saja dengan kisah cinta yang lain. Ada sedih dan senang. Putus dan berlanjut.
Next. Si Gadis gelisah. Fantasi seksualnya akhir-akhir ini semakin kerap diwarnai adegan kekerasan. Jika dirinya sedang mengalami tekanan, dia merasa pribadinya berubah menjadi kejam dan manipulatif.
Kisah kedua. Tentang seorang pembunuh bayaran yang dikenal sebagai Killer Clown. Membunuh 33 anak muda, semua lelaki, semua mengalami kekerasan seksual. Sebagian ditanam di halaman rumahnya, sebagian ditanam di jalanan.
Mengalami masa kecil yang tidak menyenangkan. Ayah yang alkoholik dan melakukakn tindak kekerasan terhadap dirinya. Saya membayangkan, Gacy kecil pun menderita dan seperti anak-anak kecil di seluruh penjuru dunia, dia tidak berdaya.
Ketiga. Kisah fiksi. Film thriller yang dibintangi Jennifer Lopez. Duh, saya lupa judulnya. Berkisah tentang pembunuh berantai. Korbannya adalah gadis-gadis muda, yang disiksa terlebih dahulu sebelum dibunuh, dan mayatnya dijadikan eksperimen laiknya boneka. Mengalami penyimpangan perilaku masochis, suka menyakiti dan menyiksa diri sendiri dengan cara-cara yang tidak terbayangkan.
Masa kecilnya digambarkan suram. Lagi-lagi ayah yang kejam. Suka memukuli dan mencambuk, bahkan menyetrika anaknya yang waktu itu masih kecil. Bahkan memaksanya untuk menonton adegan seksual yang tidak pantas. Menciptakan memori kengerian dan traumatis yang luar biasa.
Kisah-kisah tersebut membuat saya merenung. Ketika seseorang menjadi korban akibat perlakuan orang lain, apakah yang mereka rasakan ? Pada kasus pertama, korban merasa benci sekaligus tidak berdaya. Tapi menariknya, mengapa orientasi seksualnya menjadi homo ? Dan saya melihat ada identifikasi dia terhadap ibunya.
Sama dengan dua kisah lainnya. Mereka menjadi korban kekerasan orang tuanya. Tapi mengapa mereka ketika tumbuh menjadi sama kejamnya bahkan lebih kejam daripada orang tuanya ?
Saya merenung lagi. Betapa kebencian yang begitu dalam terhadap sesuatu, malah semakin mendekatkan diri kita kepada sesuatu yang kita benci tersebut. Kita berubah menjadi monster mirip dengan yang kita benci tersebut.
Dalam teori psikologi, ada dua hal yang biasa dilakukan jika seseorang mendapat masalah. Lari atau hadapi.
Lari dari masalah, bentuknya bisa macam-macam. Tapi intinya adalah, ia berusaha men-denial atau menyangkal. Dia tidak jujur dengan dirinya. Dia berbohong dan merepress semua hal-hal yang ingin dilupakan/dibenci ke alam bawah sadarnya.
Semakin berat yang dia tanggung sendiri, maka kekuatan jiwanya juga makin tertekan. Jika jiwanya termasuk rentan, maka akan ada yang pecah dalam jiwanya.
Seperti kisah Karen, yang mengalami siksaan seksual yang sangat hebat di masa kecilnya, justru oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya.
masa – masa kecil adalah masa pembentukan nilai-nilai dan definisi diri.
mereka generasi penerus, jadi sudah sewajarnya :
– bila lembaga keluarga tak mampu berfungsi dengan baik dalam hal ini, ada baiknya masyarakat segera turun tangan membantu menyelamatkan anak-anak tadi.
– undang-undang perlindungan anak dipertegas penegakannya
meong : no more words,absolutely agree!!
(sekadar komentar dari orang awam yg prihatin)
Kamu mendapat siksaan apa, Meth…. 😉