Seks, Musik, dan Chakra

Siapa yang suka musik ?

Siapa yang suka seks ?

He, emangnye, kedua hal tersebut berkaitan ?

Sebelumnya, saya ingatkan bahwa tulisan berikut bukan tulisan ilmiah. Ini common sense saja, dan harapannya sih, kedepan ada yang berminat untk mengadakan penelitian / studi lebih lanjut. :mrgreen:

Musik sebagai pendongkrak mood, siapa yang setuju ?

Saya sendiri merasakan betul, music is my life, tiada hari tanpa musik. Beragam jenis musik saya dengarkan, saya hayati (ciieeehhh) tergantung mood saya waktu itu.Tetapi situasi sebaliknya pun juga bisa terjadi. Ketika itu, mood saya sedang flat, plain, datar. Tiba-tiba saya ingin bernostalgia mendengarkan koleksi lawas. Kulashaker, pun menjadi pilihan saya untuk menemani saya.

Beat yang menghentak, irama rock n roll yang sangat kuat, berpadu harmonis dengan warna musik India. Ketukan tabla, kendang, sangat terasa. Menggairahkan. Merangsang pinggul untuk bergoyang. Menghentak jantung berdetak lebih cepat. Mengajak untuk merasa seksi, merayakan kehidupan, menerima segala sensualitas dan seksualitas.

Tiba-tiba pikiran tentang chakra melintas, dan jadi ingin tahu, apakah ini ada hubungannya dengan chakra kah ? Beruntung, pada saat-saat genting tersebut, saya mendapat buku bagus ; A Gaia Busy Person’s Guide : Chakras, Finding Balance and Serenity in Everyday Life.

Chakra, jika ada yang belum akrab, adalah suatu konsep mengenai energi. See, setiap materi di dunia ini sebenarnya adalah energi. Tubuh kita, wadag kita ini pun, sejatinya adalah energi.Chakra adalah bias energi yang memancar keluar dari tubuh kita. Ada pula yang menyebutnya Aura. Ada tujuh chakra dalam tubuh kita, walau ada juga yang menyebutkan sembilan.

Ternyata, menurut Brenda Rosen, pengarang buku tersebut, chakra cukup sensitif terhadap bunyi-bunyian tertentu. Sebenarnya tidak Cuma bunyi-bunyian, tapi juga warna, makanan, dsb. Pengaruh tersebut bisa memperkuat dan memperlemah.

Nah, dari pengalaman saya ketika mendengar Kulashaker tersebut, saya mempunyai hipotesis. Hipotesisnya begini, jika energi seksualmu sedang rendah, maka mendengar beberapa musik bisa memperkuat energi seksual. Tidak sembarang musik, tentu saja, tapi musik yang mengandung bebunyian yang dapat memperkuat chakra yang berpengaruh untuk seksualitas.

Chakra yang bertugas untuk urusan seksualitas, disebut sacral chakra. Letaknya di atas organ seksual, di bawah perut/abdomen. Warna chakranya merah dan berelemen air.

Nah, asumsi saya yang membutuhkan penelitian lebih lanjut adalah, bahwa musik/alat musik tertentu berpengaruh kuat terhadap chakra ini. Terutama musik-musik yang mengandung unsur bas, kendang, tabla dan sejenisnya. Misal, ketika mendengar musik RnB atau soul atau jazz yang diusung oleh Incognito, Sade, James Brown, etc, membawa kita bergairah dan merasa seksi/sensual. Dengarkan dan perhatikan pula musik dangdut, biasanya mampu menyihir pendengarnya yang menghayati untuk meliukkan pinggulnya dan menggoyangnya.

Saya mempunyai kecurigaan terhadap gitar listrik dan perkusi. Kecurigaan saya, kedua jenis alat musik ini mampu merangsang adrenalin. Tapi pengaruhnya terhadap chakra, saya belum tau. Yang jelas, mendengarkan Audioslaves dan membayangkan jari-jemari Tom Morello menggerayangi body gitarnya, uuuggghhhhhh…..it really turns me on !!!

Jadi, andai gairah anda sedang menurun, lesu lemah tak berdaya, coba dengarkan berbagai alunan musik India atau Rock n Roll. Saya merekomendasikan Kulashaker. Selama mendengar, just be free ! Lepas saja, bebaskan dirimu. Biarkan tubuh menari, pinggul meliuk, rangkul jiwamu. Lepaskan segala sensualitas dan seksualitas itu, flow and follow.

*halah, gaya gw dah seperti konsultan seks ajah !!!*

:mrgreen:

:mrgreen:

dongeng yang mengerikan

Beberapa bulan yang lalu, saat ada pameran buku di Jogjakarta, saya sempatkan memborong beberapa buku. Salah satunya adalah Kumpulan Dongeng Perrault terbitan Gramedia. Niatnya sih sebagai kado untuk si kembar, ponakan tercinta.

Sampai rumah, kebiasaan saya tiap kali membeli buku adalah speed-reading sebelum membacanya lagi lebih cermat. Begitu juga dengan buku Kumpulan Dongeng tersebut. Pas speed reading itu, saya menemukan hal yang janggal.

Oia, bagi yang asing dengan dongeng-dongeng Perrault, mungkin kisah-kisah seperti Thumbelina atau Si Kecil Bujari atau Kucing Bersepatu Boot, pernah mendengar.

Apa ? Belum ? Hahhhhhhhhh….kemana aja lu, dunia…

Bagaimana dengan dongeng Putri Tidur dan Cinderella ?

Kalau yang terakhir masih belum familiar juga, keterlaluan !!! :mrgreen:

Ya, kita lebih akrab dengan dongeng-dongeng tersebut daripada penarangnya. Saya sendiri sedari kecil lumayan akrab dengan dongeng-dongeng tersebut. Hampir semuanya bukan karena didongengi tetapi karena bacaan. Saya masih ingat betul, buku dongeng pertama saya saat masih TK atau SD kelas satu ya, Putri Tidur. Tipis hanya beberapa halaman, full color, dengan ilustrasi khas Disney.

Kemudian mulai berkenalan dengan Cinderella, Thumbelina, Gadis Korek Api, Gadis Bertopi Merah, Putri Salju, Jack dan Kacang Ajaib, dll beserta dengan cerita rakyat dan kisah-kisah keagamaan, seperti Rowo Pening, Kisah Tangkuban Perahu, Lutung Kasarung, Kisah 9 Wali, Kisah Sahabat Nabi, dll.

Kembali ke buku yang saya beli. Jadi, saya menemukan sesuatu yang janggal, padahal baru di kisah pertama, Putri yang Tidur Seratus Tahun (Putri Tidur). Kejanggalan pertama, oke, tentang terjemahan yang tidak cermat, sehingga bingung mengartikan dia atau -nya itu siapa.

Kejanggalan yang kedua mengenai jalan cerita yang menurut saya : SADIS DAN TIDAK MASUK AKAL.

Kisah Putri Tidur yang saya tahu dahulu, berakhir ketika Sang Pangeran mengecup Sang Putri dan Sang Putri terbangun. Lalu mereka menikah dan hidup bahagia. Ternyata kisah aslinya tidak berakhir sampai di situ.

Diceritakan, setelah Pangeran dan Putri menikah, ternyata orang tua Sang Pangeran bermasalah. Ibu Sang Pangeran adalah raksasa yang suka makan daging anak kecil, sedangkan ayahnya mengawini raksasa tersebut karena kekayaannya.

Suatu ketika, Ibu Mertua tersebut ingin makan daging cucu-cucunya. Walaupun berhasil dikibuli oleh tukang masak, tapi pada akhirnya tetap ketahuan oleh Ibu Mertua kanibal tersebut. Karena marah, maka menantu beserta cucu-cucunya beserta juru masak tersebut, dihukum dengan dicemplungkan ke ember yang penuh binatang berbisa. Untung, suaminya tiba-tiba muncul, dan mertua kanibal tersebut melemparkan diri ke ember tersebut dan mati.

. . . . . . . . . . . . .

Coba perhatikan. Katanya dongeng untuk anak tapi isinya kok kekerasan. Belum lagi, kalau menggambarkan perasaan jatuh cinta. Selalu berkisar ke masalah fisik. Pangeran yang jatuh cinta seketika karena Putri yang cantik jelita, kulit mulus kemerahan, dan berusia sekitr 15 tahun !!! Pedofil macam apa ini ???

Kisah-kisah berikut semakin membuat bulu kuduk saya meremang, gelisah, menggelinjang. Misal pada kisah si kecil Bujari. Ini teryata berbeda dengan kisah Thumbelina, si Putri Jempol (yang sukses membuat saya selalu berimajinasi bagaimana rasanya tinggal di daun teratai, tidur berselimutkan kelopak mawar dan minum dari tetes embun).

Si Kecil Bujari ini mengisahkan tentang si bungsu dari sekian bersaudara, dan yang mengalami kelainan. Tubuhnya hanya sebesar ibu jari. Sudah begitu, keluarganya dililit oleh kemiskinan, hingga suatu saat, orang tua mereka mempunyai rencana jahat untuk membuang anak-anaknya ke hutan.

Singkat cerita, ketika mereka berhasil dibuang ke hutan oleh orang tuanya, justru si Bujari lah yang menjadi pemimpin bagi kakak-kakaknya berkat kecerdikannya. Petualangan mereka menyelamatkan diri membawa mereka ke rumah seorang raksasa yang gemar makan daging manusia. Untungnya, mereka dilindungi oleh istri raksasa yang baik dan tidak ingin suaminya memakan anak-anak malang tersebut.

Berikut cuplikannya :

Raksasa tersebut mempunyai tujuh anak-anak perempuan yang masih kecil. Wajah mereka kemerahan, karena mereka juga sudah mulai menyukai daging mentah. Hidung mereka bengkok, mulut mereka lebar, dengan gigi-gigi panjang, runcing, dan renggang. Meski belum menjadi sekejam ayahnya, anak-anak itu gemar sekali mengisap darah manusia.

Cuplikan berikutnya :

Sambil berkata demikian, dia (raksasa – red.) lalu memotong leher ketujuh anaknya sendiri. Merasa puas dengan pekerjaannya, dia kembali mendengkur di samping istrinya. Dst…

Saya seperti membaca kisah horror atau kisah kriminal, alih-alih dongeng untuk anak-anak. Padahal ini dongeng klasik yang sudah puluhan (ratusan ?) tahun. Saya membayangkan, jika dongeng ini difilmkan, pasti klasifikasinya untuk dewasa, karena banyaknya adegan kekerasan dan darah.

Selain adegan kekerasan, saya juga menemukan banyak sekali nilai-nilai yang mengajarkan budaya instant alias tidak menghargai proses. Misal pada kisah Kucing Bersepatu Lars. Disini, si Yatim pemilik kucing berhasil kaya raya dan menjadi menantu raja karena tipu muslihat Si Kucing.

Juga penekanan pada hal-hal yang bersifat materiil. Misal, kecantikan yang selalu membuat jatuh cinta. Eneg sekali membacanya, seorang Pangeran jatuh cinta tak berdaya hanya gara-gara melihat kecantikan seseorang.

Pada akhirnya buku ini tidak jadi saya berikan ke ponakan tercinta. Saya ga pengin mereka jadi ketakutan (beuh….paling ga setuju dengan metode pengasuhan anak dengan menakut-nakuti), jadi berprasangka terhadap orang yang kebetulan dikaruniai fisik tidak sempurna (di dongeng, tokoh antagonis selalu berujud fisik tak sempurna), hanya bermimpi dan pasif menunggu pangeran datang alih-alih menolong dirinya sendiri (Cinderella’s syndrome), hanya sibuk mengurusi kecantikan daripada belajar, dll. Mungkin baru akan saya berikan jika ponakan sudah dewasa…

Hidup itu Belajar dan Bercinta

Hidup itu belajar dan bercinta. Saya yakin betul dengan kata-kata ini. Tugas kita di dunia ini adalah belajar, bercinta, dan jika ‘sudah’ (kata-kata sudah sebenarnya kurang tepat, karena mengesankan suatu akhir, padahal sama sekali tidak, tak kan pernah berakhir), maka tugas kita lainnya adalah membantu sekeliling kita untuk mereka belajar juga.

Kali ini saya belajar dari makhluk yang katanya merupakan kesayangan Baginda Nabi. Hari Jumat kemarin, secara mendadak, kucing pasangan saya meninggal. Sebelumnya tidak ada gejala yang berarti, hanya muntah-muntah, tapi Siti (nama kucingnya) masih terlihat cukup baik walau agak lemas.

Sebelumnya, sekitar seminggu-sepuluh hari yang lalu, Siti mengalami operasi sterilisasi. Hari Rabu, sempat dibawa ke klinik karena luka bekas operasinya terbuka. Nah, setelah dari rumah sakit itu yang tiba-tiba Siti muntah-muntah dan hanya dalam sehari, Siti berpulang.

Sedih dan kehilangan. Itu perasaan kami berdua. Bukan soal biaya yang telah dikeluarkan, tapi lebih kepada rasa kehilangan seorang teman.

Singkat, masa hidupnya menemani pasangan saya di hari-harinya. Muncul tiba-tiba dari sawah belakang rumah, kelaparan, dipiara hingga akhirnya menjadi teman baik. Singkat, hanya dua bulan. Tapi ternyata rasa kehilangan itu cukup dalam.

Siti, walau dia hanya seekor kucing, keberadaannya di dunia pun ternyata untuk memberi pelajaran bagi saya.

Masa hidup yang singkat, tetapi tidak sia-sia. Siti memberi kebahagiaan terhadap sekelilingnya. Dia mengajarkan tentang ‘memberi’ bagi sekeliling. Siti bisa saja ketemu dengan orang yang tidak peduli dengan dirinya, bisa saja ia bertemu dengan orang yang berniat jahat. Tapi itu tidak menyurutkan Siti untuk terus memberi.

May your soul sleep and meet your maker….

Thank you Siti…