Patkay, salah seorang kolega Sun Go Kong, terkenal dengan ungkapannya, “Cinta, deritanya tiada akhir.”
Patkay boleh saja berpendapat demikian, tapi cinta mampu menginspirasikan berjuta-juta manusia sepanjang masa. Bahkan, seorang mursyid, Syaikh Muzaffer Ozak mengatakan, esensi ketuhanan adalah cinta. God is love. Kita ada di dunia ini karena cintaNya, demikian para bijak mengatakan. Apa yang kita rasakan ketika kita jatuh cinta, itu hanya secuil proyeksiNya, sarana untuk mengenal CintaNya.
Cinta adalah sebuah penderitaan unik yang menyenangkan, demikian Syaikh Muzaffer Ozak mengungkapkan. Siapa yang belum merasakan nikmat , dahsyat, kuat, dan kemudian hancur berkeping-keping karena cinta ?
Jatuh cinta, berjuta rasanya. Ketika kehilangan cinta itu, jutaan rasa itu pun juga ada. Rasa jatuh cinta begitu seperti candu, tetapi tak sedikit pula yang ketakutan dengan sensasinya, dengan alasan tidak sanggup merasakan jika sensasi candu itu menghilang.
Bagi saya, ungkapan Syaikh Muzaffer di atas, cukup menggambarkan apa yang saya rasakan tentang cinta. Cinta tak selamanya indah seperti yang diangankan. Tapi, bahkan sakitnya pun mendewasakan. Tak terhitung saya jatuh bangun dalam bercinta, tapi puji Tuhan, tidak membuat saya kapok dalam bercinta. Mungkin juga didukung saya berbakat dalam hal amnesia hehehe. Lupakan rasanya tapi tidak hikmahnya
Jujur saja, saya sering bingung dengan mereka-mereka yang trauma dalam percintaan, dan kesulitan untuk membuka hati mereka terhadap cinta. Lhawong, setiap hari kita itu disapa oleh cinta, kok tega banget menutup diri oleh sesuatu yang indah dan menyenangkan.
Saya dulu juga sering ‘berdebat’ ketika sampai topik lebih baik (atau enak?) mana dicintai atau mencintai. Kini saya sampai pada tahapan, bahwa betul ternyata, kebahagiaan itu ada pada pihak yang mencintai. Siapa yang tak mekar hatinya, melihat sang kekasih bahagia ? Itu saja. Dan rasanya, tak perlu lagi memperdebatkan mencintai atau dicintai. Just do it. Cintai saja. Free yourself. Jika masih mempertanyakan berarti masih ragu. Berarti masih ada ketakutan. Ketakutan akan apa? Takut sakit karena kehilangan? Apa yang terjadi ketika kita merasakan sakit tersebut? Tidak enak? Mengapa menghindari rasa tidak enak tersebut? Apa bedanya dengan rasa bahagia, suka, dsb, apakah kita mengharapkan rasa tersebut melanda diri kita setiap saat?
Oh, stop, saya seringkali terlalu hobi mendekonstruksi segala hal, termasuk cinta.
Saya hanya merasa sayang, dengan mereka-mereka yang tak mau merasakan dan menerima wajah lain cinta, wajah yang tak indah, bahkan ‘menyeramkan’ bagi sebagian orang.
Mengapa hanya mau menerima wajahnya yang indah tapi menolak wajahnya yang berbeda ?
Setiap hari cinta menyapa saya. Begitu juga dengan orang-orang di sekeliling saya. Ada yang sedang kasmaran, merindu, dan juga yang sedang merana karena cinta. Saya buka hati saya lebar-lebar untuk cinta. Bahkan ketika cinta datang dengan wajahnya yang menakutkan. Hai, tak usah takut. Ini juga cinta, hadir dengan wajah yang berbeda.