Sabtu ini, 28 Maret 2009, sedang diadakan kampanye dalam rangka hari bumi. Digawangi oleh WWF, Indonesia tepatnya Jakarta mendapat kehormatan untuk menjadi kota pertama diadakan kampanye tersebut.
Gaung kampanyenya sendiri sudah mulai terdengar sekitar sepekan sebelumnya, utamanya oleh kita-kita yang aktif bergelut di dunia maya, lewat plurk, facebook, dll. Saya sendiri merasa senang-senang saja dan mendukung kampanye tersebut, walau sebenarnya apa yang dikampanyekan oleh WWF tersebut merupakan hal yang biasa saya lakukan (gaya hidup pro lingkungan).
Pada hari H, mencermati berbagai reaksi yang justru ramai bermunculan pada saat pelaksanaan, membuat saya tergelitik. Okelah, kampanye adalah kampanye, dia tidak mempunyai kekuatan memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang dikampanyekan. Termasuk berbagai reaksi, pro dan kontra. Ada yang antusias, ada yang skeptis, ada yang apatis, dll.
Di luar berbagai reaksi, saya menyayangkan, bahwa ternyata masih ada salah kaprah mengenai tujuan kampanye tersebut. Karena hingga detik-detik menjelang earth-hour, masih saja ada yang menyangka bahwa pada saat tersebut, kota akan gelap gulita. Pemadaman total, termasuk lampu lalu lintas dan berbagai fasilitas umum.
Kampanye earth-hour, menurut saya, sebenarnya hanyalah sebagai trigger, pemantik, suatu usaha yang dipromosikan secara cukup masif, untuk tujuan yang lebih besar lagi. Dalam hal ini, tujuan utamanya adalah untuk mengkampanyekan suatu gaya hidup yang pro lingkungan. Harapannya, dengan gerakan mematikan lampu, dicapai suatu kesadaran untuk penghematan dan lebih jauh lagi; konsumsi seperlunya, sebutuhnya.
Jadi bukan gerakan untuk mematikan penerangan secara total, hingga ke stasiun kereta, lampu lalu lintas, lampu penerang jalan, dll. Mematikan lampu, hanyalah sebagian kecil dari gaya hidup ramah lingkungan, yang bisa kita lakukan. Gaya hidup ramah lingkungan ini, menurut saya adalah, kembali ke hakikatnya yaitu fungsional, memakai dan menggunakan seperlunya dan sebutuhnya.
Jika diterjemahkan, bisa ke perbuatan yang bermacam-macam dan sangat banyak yang bisa dilakukan. Misal, tidak menyalakan mesin mobil sekaligus AC pada saat berhenti / parkir, hanya karena menghindari gerah matahari. Menyalakan AC pada suhu yang tidak terlalu dingin, misal 18 derajat celsius. Menyetir kendaraan dengan baik, tidak acak adut, sekaligus merawat secara berkala kendaraan, sehingga di jalam tidak boros bahan bakar dan emisi gas buang terjaga tetap di bawah ambang.
Mengkonsumsi makanan yang selama prosesnya tidak memakai bahan-bahan kimia berbahaya, menyebabkan punahnya suatu species hanya untuk memenuhi hawa nafsu paling primitif semata, tidak menyebabkan rusaknya suatu rantai makanan dan ekosistem.
Berbelanja sejauh kebutuhan, tidak hanya menuruti keinginan, karena disadari atau tidak, dalam prosesnya, ada banyak sekali faktor yang terlibat, misal kantong plastik, itu menghabiskan berapa banyak minyak bumi, tenaga kerja illegal seperti mempekerjakan anak-anak demi menekan biaya produksi, dll.
Menggunakan air bersih secukupnya, misal tidak membiarkan kran air menyala sementara kita menyikat gigi. Dan masih sangat banyak yang lain.
Sempat terlintas kekhawatiran, kampanye semacam ini, yang sambutannya cukup antusias, ternyata hanya sekedar tren, gerakan hura-hura glamour semata. Setelah selesai tanggal 28 Maret, lenyap pula kesadaran tersebut dan kembali ke habit lawas yang merugikan lingkungan. Seperti halnya issue global warming, yang menjadi sekedar euphoria trend, mulai dari konser musik yang pada aksinya justru jauh dari semangat anti global warming, hingga fesyen yang sok-sokan jadi full serba hijau (green become a must have hot item), padahal dalam prosesnya jauh dari kesadaran lingkungan.
Kesadaran memang bukan sesuatu yang hadir karena dipaksakan. Tetapi, mudah-mudahan kesadaran untuk lebih menghormati Ibu Bumi, semakin banyak. Kesadaran yang bersifat masif, kalau saya boleh berharap. Toh, semua walaupun memang bukan kita yang memetik hasilnya, tapi siapa lagi yang bisa merubah keadaan jika bukan kita sendiri?
π