Marcelino X.Magno

*Postingan kali ini bersifat semi biografi, lantaran naskah ini ga lolos di dewan redaksi WajahJogja* :mrgreen:

Akhir Desember 2008.

Malam itu, di sudut kafe di sekitaran Selokan Mataram, kami berbincang. Sudah beberapa hari saya berjumpa, tapi baru kali itu bisa ngobrol dengan beliau. Marcel, demikian beliau biasa disapa, sehari-hari menduduki jabatan yang cukup penting dalam pemerintahan Timor Leste sebagai Chefe do Gabinete do Presidente atau Chief of Staff Parlemen Nasional Republik Demokrasi Timor Leste. Ya, beliau ini adalah warga Timor Leste. Kedatangannya ke Jogja kali ini di luar tugas resminya, yaitu liburan sekaligus memenuhi kerinduan akan kampung halamannya.

Marcel4

Lho, kampung halaman di Jogja ?

Jangan salah, Marcelino, beliau adalah warga asli Timor Leste. Mengapa beliau menganggap Jogja sebagai kampung halamannya, akan terungkap dalam obrolan berikut.

Marcel memulai obrolan santai malam itu, dengan menceritakan bagaimana dia bisa sampai di Jogja. Menjadi ‘warga’ di Jogja dari tahun 1985 hingga 1998, bahkan sempat bekerja sebagai wartawan dan kepala biro Jawa Tengah dan DIY untuk majalah Forum, tak heran ia hafal dengan berbagai sudut kota Jogja. Pekerjaan dan idealismenya, mengantarnya untuk menjelajahi dan mencumbui mesra kota Jogja.

Tokoh yang berjasa membukakan cakrawalanya, hingga ia bersekolah di UGM adalah guru-guru SMUnya di Timor. Guru-guru yang berjasa tersebut berasal dari De Britto dan SMU di Bantul (Marcel lupa nama sekolah di Bantul) yang diperbantukan di Timor, dan mereka selalu bercerita tentang Jogja. Marcel yang merupakan angkatan pertama di SMU di Timor tersebut, terpesona mendengar cerita guru-gurunya.

Tekadnya untuk kuliah di Universita Gadjah Mada sangat kuat, walau ia sendiri sebenarnya tidak begitu tahu tentang Indonesia, khususnya Jogja. Tahun 1985, ‘terdamparlah’ Marcel di Jogja, setelah sukses lolos ujian SIPENMARU dan diterima di Fakultas Komunikasi Universitas Gadjah Mada.

Enam bulan pertama adalah masa-masa adaptasi yang cukup berat bagi Marcel. Terasing, belum bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, membuatnya cukup frustasi. Hingga kemudian, Celi (panggilan Rizal Mallarangeng), kolega kampusnya, menasehatinya untuk tidak tinggal di asrama Timor-Timur (pada waktu itu) jika ingin bisa berinteraksi dan bergaul dengan kalangan yang lebih luas. Maka, petualangannya dimulai di perkampungan di sudut Gayam (sekarang Jl. Bung Tardjo).

Banyak yang Marcel pelajari selama berinteraksi dengan warga kampung, salah satunya adalah mengenai kepedulian dengan sekitar. Pada masa itu ia banyak bergaul dengan tukang becak, dan ia terkejut mendapati bahwa banyak di antara tukang becak tersebut yang anak-anaknya kuliah di UGM.

Hal lain yang sangat berkesan, adalah kebiasaan masyarakat yang suka membaca alias kesadaran akan ilmu, dari mahasiswa hingga ke tukang becak. Biasanya, pagi hari sebelum memulai aktivitas bekerja atau menggenjot becak atau kuliah, mereka selalu menyempatkan diri untuk membaca koran tempel, utamanya yang di depan kantor Kedaulatan Rakyat di Jl. Mangkubumi (koran tempel tersebut masih ada hingga sekarang).

“ Saya tak menemui hal semacam itu di tempat saya (Timor),” ujarnya dengan wajah serius.

Marcel

Kebiasaan tersebut mengantarnya tertarik di dunia tulis. Ia mencoba-coba untuk menulis artikel dan mengirimkannya untuk harian Kedaulatan Rakyat. Tak dinyana, tulisannya yang menanggapi esai Prof. Mubyarto mengenai penelitian beliau di Timor-Timur, diangkat di koran tersebut. Bahkan tulisan tersebut ditempel di sudut kantor PSPK (Pusat Studi Pedesaan dan Kependudukan) UGM berdampingan dengan artikel mengenai Prof. Mubyarto. Itulah awal Marcelino bersinggungan dengan arena diskusi dan kritik sosial, karena sejak saat itu, ia sering diundang untuk ngobrol dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh pendidikan dari UGM seperti Prof. Mubyarto, Lukman Soetrisno. Diskusi-diskusi tersebut sering menekankan Marcelino untuk lebih mencintai rakyat, lebih dekat dengan rakyat, dll.

Kebiasaannya yang bersinggungan dengan aktivis mahasiswa di arena diskusi dan kelompok berpikir  membuat dirinya yang sempat menjadi Ketua Mahasiswa Timtim, membuat perubahan di perkumpulan mahasiswa tersebut. Kebiasaan hedon mahasiswa Timtim seperti suka berpesta, nongkrong ngalor ngidul tidak jelas, diisi dengan kegiatan khas aktivis mahasiswa. Marcelino menggelar berbagai diskusi, training kepempinan, kepekaan sosial, dll bekerja sama dengan berbagai mahasiswa lintas jurusan. Bahkan katanya, alumninya hingga sekarang masih aktif berkiprah di masyarakat. Komentarnya mengenai aktivitas mahasiwa (khususnya UGM) yang marak pada masa tersebut, “Waktu itu, rasanya belum menjadi mahasiswa kalau belum masuk kelompok diskusi atau kelompok berpikir, “ ujarnya mengenang masa lalu.

*Hmmm….beda bener dengan gaya mahasiswa sekarang ya? Ah, (dulu) saya juga termasuk mahasiswa hedon kok. :mrgreen:

Awal terjunnya Marcel ke dunia jurnalistik yang membuatnya mesra menggumuli berbagai sudut kota Jogja, yaitu sewaktu beliau selesai kuliah. Marcel yang bercita-cita menjadi bupati di daerahnya, mendapat telegram dari Rizal Malarangeng. Rizal yang telah menghubungi Gunawan Moehammad meminta Marcel kembali ke Jawa untuk magang di Tempo. Mentornya waktu itu adalah Rustam Mandayung, yang mengantarnya berinteraksi dengan berbagai komunitas yang lebih luas di Jogja, dari budayawan hingga anak jalanan.

Pada masa-masa tersebut, pergaulannya terutama dengan kalangan seniman seperti Jadug Ferianto, Butet Kertaradjasa, Djoko Pekik, Umar Kayam (yang disebut Marcel, sebagai pengikat antar seniman di Jogja), dll sangat erat. Tersambung oleh persamaan di antara mereka yaitu menentang hegemoni Orde Baru, Marcel merasa banyak belajar dari komunitas seniman tersebut, terutama dari kebebasan para seniman dalam menumpahkan ekspresi sebagai bentuk perlawanan terhadap Orde Baru.

Menurutnya, pergaulan dengan komunitas seniman pada masa tersebut, sangat kompak dan loyal. Memberi nuansa kerinduan tersendiri bagi Marcel setelah tidak lagi menginjakkan kaki di Jogja. Ngobrol dan diskusi ngalor ngidul dengan Jadug, dll di angkringan, katanya sangat khas Jogja.

Ia juga belajar dari komunitas lain di Jogja, yaitu komunitas anak jalanan Girli. Waktu itu awal persinggungannya adalah berkat Romo Sandyawan, yang banyak berinteraksi dengan komunitas tersebut. Lagi, Marcel belajar nilai-nilai seperti bekerja keras, tidak mudah patah semangat, solider dari komunitas anjal tersebut. Interaksi yang rupanya abadi, karena ketika ia sedang berada di Gereja St. Antonius Kotabaru, tak diduga ia masih diingat oleh salah satu bekas anak Girli yang menjadi tukang parkir di gereja tersebut. Salam sapa ramah dan hangat mengalir, tak ubahnya seperti bertahun-tahun silam.

Hal yang sama ia alami, ketika ia sedang bernostalgia di warung SGPC. Ternyata pelayan-pelayan di situ masih mengenalinya. Katanya, dulu semasa masih kuliah, banyak mahasiswa-mahasiswa UGM yang kere dengan uang saku terbatas, termasuk dirinya. Sehingga ada saja cara untuk makan banyak tapi bayarnya irit, entah dengan membuang tusuk sate ke bawah meja sehingga tidak bisa dihitung, atau tidak berkata jujur ia mengambil gorengan berapa. Pelayan-pelayan dan pemilik warung SGPC tahu dengan kelakuan mahasiswa-mahasiswa itu, tapi mereka diamkan. Ketika mahasiswa-mahasiswa kere tersebut kini telah sukses, biasanya mereka kembali ke warung terebut dan sengaja membayar lebih dari yang mereka makan, untuk ‘menebus dosa’.

Marcel terlihat sangat menikmati ketika ia mengenang hal tersebut. Ada sedikit ekspresi haru di wajahnya.

Rasa haru yang sama yang dirasakan ketika ia bercerita bahwa ia pernah ‘diselamatkan’ oleh mbok-mbok pemilik warung makan. Waktu itu, karena uangnya tinggal sedikit, sekitar 150 perak, dan belum mendapat kiriman wesel, maka ia makan di warung yang biasanya menjadi langganan tukang becak. Rupanya hal tersebut diamati oleh pemilik warung dan ia ditanya, mengapa ia makan disitu padahal biasanya tidak. Marcel menjawab jujur apa adanya bahwa uang sakunya sudah menipis. Ibu tersebut ‘marah-marah’ dan menunjuk dua karung beras di sudut dapurnya, dan menyuruh Marcel mengambilnya.

Sebagai jurnalis, Marcel rupanya pernah akrab dengan dunia bawah tanah perlawanan terhadap dominasi tiran. Waktu itu situasi politik sedang memanas. Ketika Tempo dibreidel, wartawan-wartawan yang tidak puas dengan respon PWI membentuk Aliansi Jurnalistik Indonesia dengan Marcel sebagai salah satu pemrakarsa.

Menurutnya, dalam berorganisasi, ada dua hal yang bisa dilakukan, yaitu secara terbuka dan tertutup atau bawah tanah. Terbuka, yaitu yang bersangkutan terus terang mengakui duduk di dalam organisasi. Alasan Marcel sendiri untuk memilih bawah tanah, sebenarnya sangat sederhana. Pada waku itu, ia masih mengkredit motor Astrea Grand yang merupakan kendaraan operasionalnya sehari-hari. Jika memilih untuk bersikap terbuka, resiko sudah pasti ada, salah satunya dipecat dari tempat ia bekerja. Karena pertimbangan bahwa motornya masih kredit, maka ia memilih gerakan bawah tanah tersebut. Sama sekali bukan alasan yang heroik, dan ketika ia dikonfirm tentang hal tersebut, ia malah tertawa terpingkal-pingkal mengiyakan.

Pada waktu itu perannya adalah kontributor majalah bawah tanah Suara Independen. Ia merupakan wartawan pertama yang memiliki alamat email, padahal masa itu internet belum umum. Di rumah seorang pastor yang identitasnya dirahasiakan, naskah yang telah diedit oleh rekan di Jakarta, diolah dan kemudian disebar.

Tahun 1998 keadaan semakin genting. Pada saat kongres AJI di Realino yang diadakan secara tertutup, seorang rekan membisikkan bahwa Marcel sudah disebut-sebut namanya oleh Danrem Jogja. Dengan kata lain, yang bersangkutan telah menjadi TO. Sejak saat itu, Marcel sadar bahwa keselamatan dirinya terancam dan dia harus bersembunyi dari kejaran intel.

Pada saat yang sama, Ariel Hariyanto menawarkan beasiswa S2 ke NUS sekaligus jalan keluar untuk keselamatan dirinya. Marcel menerima tawaran tersebut walau bahasa Inggrisnya sangat pas-pasan. Dewi Fortuna rupanya sedang berpihak ke Marcel, karena pada saat seleksi, yang mewawancarai Marcel adalah lulusan Cornell yang fasih berbahasa Indonesia. Marcel hanya diminta untuk bercerita mengenai kondisi Timor dan rekomen yang keluar adalah, “Orang ini  calon pemimpin Timor Leste !”, kata Marcel menirukan ucapan profesor tersebut sambil tertawa-tawa.

Tak dinyana, sekarang Marcel berkarir di jajaran parlemen menduduki jabatan yang cukup penting di pemerintahan Timor Leste.

Ketika ditanya apa kesan-kesannya setelah lama tidak menginjak Jogja, ia mengatakan bahwa ia belum sempat bernostalgia di angkringan lagi, tapi ia sempat diberitahu Jadug bahwa angkringan di Jogja sekarang berhotspot dan pengunjungnya pun bermobil. Jalanan yang lebih ramai serta perubahan suhu di tempat tertentu seperti Kaliurang (dahulu jauh lebih dingin dibanding sekarang). Yang masih belum berubah adalah persaudaraannya.

Marcel tak berani untuk memberi pesan-pesan untuk Jogja, karena ia merasa justru dialah yang banyak belajar dari Jogja hingga membentuk dirinya menjadi sekarang ini. Marcel, walau dirinya adalah pejabat yang cukup penting di Timor Leste, tapi saya mendapati kesan yang sangat berbeda dari bayangan saya akan pejabat. Ramah, hangat, rendah hati, sederhana, aura tersebut benar-benar terpancar dari dirinya.

Marcel3

Akhir perrbincangan, Marcel sempat bercerita tentang salah satu tokoh yang sangat berkesan bagi dirinya, Pak Wito dari Kedungombo. Mengapa berkesan, karena dari diri Pak Wito tersebut Marcel banyak belajar hal-hal yang membekas hingga sekarang.

“Penderitaan saya tidak seberapa dibanding orang-orang tersebut, “ katanya dengan sorot mata tajam dan bersungguh-sungguh, mengakhiri bincang-bincang malam yang menyenangkan. Esok paginya, ia sekeluarga harus kembali ke Timor.

*Terimakasih untuk keluarga Mas Marcel dan Mbak Dedet 🙂

Amnesia, Gempa, Bencana

Petang tadi, sembari mengecek kamar saya yang sedang di-dudah alias dibongkar dindingnya, mendadak timbul perasaan aneh ketika memperhatikan konstruksi dinding yang setengah jadi. Perasaan, entah, ngeri atau apa, undefined. Perasaan itu timbul berbarengan dengan imajinasi yang mucul seketika dipicu oleh pemandangan tumpuka batu bata dan semen cor. Imajinasi bahwa semua material ini bisa runtuh dan kalau runtuh bagaimana.

Imajinasi itu membawa ke memori tiga tahun silam. Kebetulan sekali, kok ya pas banget, pas ‘perayaan’ ulang tahun yang ketiga. Dua puluh tujuh Mei 2006, gempa meluluhlantakkan sebagian wilayah Jogja. Masih ingat betul saya, situasinya. Ketika gempa berlangsung, saya yang masih tertidur langsung terjaga karena goyangan keras.  Saya masih bego dengan masih terduduk di tepi tempat tidur, mencermati goyangan yang makin lama makin keras. Ini bukan lindu, pikir saya. Begitu mendengar suara gemuruh, saya langsung membuka pintu kamar dan lari tunggang langgang keluar rumah

Ternyata semua penghuni rumah sudah kabur keluar rumah juga. Ketika lari keluar kamar itu, bongkahan batu bata sebesar dua kali kepala saya terlempar dari dapur yang berjarak sekitar 15 meter dari kamar, ke depan pintu kamar. Pada saat yang sangat tepat,  tepat sesaat sebelum saya menginjakkan kaki saya di titik di mana bongkahan tersebut berhenti.

Sekarang yang saya bayangkan, andai bongkahan batu tersebut terlempar dan mengenai saya, errrr….. Cuma bisa bersyukur saja, hanya apa ya bentuk nyata dari rasa syukur tersebut? 😛

Selain itu juga keajaiban, bahwa keponakan saya yang kembar dan pembantu saya diselamatkan secara ajaib. Karena hanya sekitar beberapa menit sebelum dapur hancur, mereka sedang di situ untuk sarapan.  Dapur yang benar-benar hancur lebur, duh Gusti…andai mereka telat sedetik aja, gimana… Ajaib sekali pertolonganMu… *peluk-peluk Tuhan* :mrgreen:

Gempa itu membawa kesadaran baru dalam diri saya. Kesadaran bahwa, dalam sekejap, apapun dari diri kita, yang kita anggap milik kita, bisa sekejap hilang. Kekayaan, anggota tubuh, bahkan nyawa. Lantas, kesadaran ini membawa saya kemana?

Ada semacam ketakutan, bahwa apa yang saya miliki dan saya anggap paling berharga, sewaktu-waktu pun bisa hilang. Entah itu kecerdasan yang tak seberapa ini, keadaan fisik yang yah, biar ga se-perfect model-model itu tapi bangga lah, apapun itu. Sewaktu-waktu bisa hilang. Jika hilang, akankah saya masih bisa membanggakan diri saya, masihkah saya diterima oleh sekitar saya. Ya, ternyata saya masih menyimpan ketakutan.

Sayangnya, amnesia masih akrab dengan diri saya. Tiga tahun berselang dari gempa. Perasaan-perasaan yang timbul sewaktu masih beberapa jam, beberapa hari, beberapa minggu setelah gempa, sekarang seperti terlupakan. Tidak 100% sih, yang tertinggal umumnya lebih ke perasaan deg-degan ketika ada goyangan yang cukup keras (mengira goncangan gempa, teringat  goyangan gempa), perasaan khawatir cemas ketika parkir di basement mall, khawatir kalau gempa dan masih berada di basement, etc etc hal-hal semacam itu.

** Dyem, rupanya aku ada sedikit trauma, padahal aku kira aku bebas trauma. 😦

Amnesia itu adalah, perasaan bersyukur sekaligus merasa kecil. Perasaan yang timbul ketika menyaksikan orang-orang yang sebelumnya tidak saling mengenal, datang berduyun-duyun untuk membantu yang lain. Perasaan yang timbul menyaksikan reruntuhan bangunan dan mendengar kisah-kisah mereka yang kehilangan sekaligus mereka yang terselamatkan. Dulu perasaan itu kuat sekali, sekarang kok…yah…begitulah…

Tiga tahun yang lalu. Apa yang saya dapat yang itu membuat saya menjadi lebih baik. Apakah saya sudah menjadi lebih baik?

😦

PS.

Ingatan itu membanjir lagi gara-gara notes Romo Zen di sini.

Pagi itu, wajah-wajah panik tetangga. Aku sendiri juga masih tidak ada kejelasan sama sekali tentang penyebab gempa. Rumor menyebutkan Gunung Merapi meletus. Listrik mati. Hingga sepekan kemudian, listrik masih saja mati. Mencari makan begitu sulit. Cemas dengan keberadaan pacar dan ibu sang pacar. Mengirim sms begitu sulit, semakin menambah cemas.

Gosip-gosip yang bersliweran menambah panik. Adek sudah bersiap-siap mengungsi dengan memasukkan berbagai ransum dan pakaian ke mobil. Untung Bapak masih tenang, malah marah-marah kepada mereka yang panik. Menyuruh semua tenang. Menelpon ke Godegan dan memastikan, sama sekali tak ada issue tsunami.

Sorenya, mengitari kota Jogja mencari kejelasan. Ternganga dengan jumlah korban tewas. Mencari makan begitu sulit. Bahkan satu kardus indomie dihargai seratusanribu. Untung di daerah Baciro, masih ada warung sate buka. Sepertinya pemiliknya tidak begitu menyadari gentingnya situasi. Harga yang ditawarkan pun masih wajar. Dan malam itu pulang membawa dua bungkus sate untuk rumah.

Saya lupa kapan hujan deras turun malamnya. Apakah malam itu juga atau keesokannya. Situasi begitu mencekam. Semua tidur di halaman rumah. Keesokannya, saya bersama Asep dan VJ, pergi ke Pundong menengok sahabat kami, Pras. Alhamdulillah, dia baik-baik saja beserta keluarganya. Tetapi melihat keadaan Ibunya, tampak terpukul dan syok. Lebih banyak bengong, nangis, dan sambat. Pras yang bercerita tanpa emosi yang berarti, ketika ia ‘memunguti’ jenazah-jenazah tetangga-tetangganya. Pada akhirnya, mereka hanyalah angka, menjadi biasa, dan emosi menjadi datar.

Lusa dan beberapa minggu kemudian adalah luar biasa. Menyaksikan orang-orang tak saling kenal saling bahu-membahu, saling menolong. Menyaksikan karakter dasar manusia. Mendengar berbagai kisah keajaiban. Kepada teman-teman dari Bali yang luar biasa. Dua bulan kemudian, perpisahan menjadi begitu menyesakkan, karena kami sudah seperti saudara.

Kini, 2009. Amnesia menyebabkan kenangan itu tak lagi sekuat dulu. Menyaksikan Jogja menggeliat seperti tak pernah ada bencana hebat yang menelan ribuan nyawa dan memaksa untuk hidup susah, prihatin, dan sederhana. Pusat perbelanjaan penuh sesak oleh pengunjung. Padahal hingga beberapa pekan setelah gempa, Ambarukmo Plaza, mall terbesar di Jogja begitu sepi. Kisruh pembagian dana bantuan gempa pun tak lagi terdengar. Drama lain dari cerita gempa : ketamakan manusia. 😛

Menyaksikan geliat pembangunan. Menyaksikan dinding bata yang tampak rapuh. Entah apakah mereka sudah membangun sesuai kaidah yang berlaku, seperti yang dulu sempat disosialisasikan begitu gencar. Toh, jika susunan bata itu sudah diaci semen dan dicat, di mata menjelma menjadi bangunan yang kukuh.

Jangan-jangan, seperti yang saya katakan di bawah, kita manusia membutuhkan bencana. Untuk menyembuhkan amnesia. Karena lupa itu begitu manusiawi…


pictures tells thousand words….

gotongroyong_resize

rame2banttu

survei

daribaliutksodarakudijawa_resize

lintasagama_resize

dapurumum

peduli

penuhharapan

relawan bali

ini temen-temen dari Bali 🙂

Setahun yang lalu mendapat berita duka, salah seorang teman meninggal karen kecelakaan di Denpasar…