MENJADI KONSUMEN CERDAS ADALAH KEWAJIBAN DI TENGAH SERBUAN PRODUSEN LICIK NAN CURANG

*tulisan ini ngendon beberapa tahun di hardisk kompie. teringat dan berniat untuk mempublikasikan karena kasus prita, dan menurut saya, ini saat yang tepat bagi kebangkitan kesadaran konsumen -halah-* :mrgreen:

complaint1

Selama beberapa waktu terakhir ini, ‘dunia kuliner’ Indonesia dikejutkan oleh berita yang sebenarnya ga baru-baru amat sih, tapi menghebohkan dan berdampak luas. Diawali oleh pemberitaan di salah satu televisi swasta (SCTV) mengenai adanya zat pengawet yang berbahaya bagi kesehatan yang ditemukan pada makanan-makanan di sekitar kita. Pada waktu itu reaksi masyarakat masih ‘biasa’. Tapi ketika BPOM mengumumkan ditemukannya formalin, boraks, dan beberapa zat tambahan yang sebenarnya berbahaya pada berbagai jenis makanan seperti mie, tahu, dan ikan asin lebih dari 50% di pasar-pasar tradisional di berbagai kota, barulah konsumen menjadi ‘heboh’, apalagi didukung oleh pemberitaan media yang memblow-up kasus tersebut.

Tidak cukup dengan adanya zat kimia berbahaya, konsumen makin digegerkan oleh adanya pemberitaan di salah satu televisi swasta (TransTV) mengenai campuran daging tikus untuk bakso. Dan akibatnya (respon konsumen) ternyata cukup luar biasa. Konsumen ketakutan untuk mengkonsumsi beberapa jenis makanan yang dicurigai mengandung zat-zat tersebut. Mereka ‘memboikot’ berhenti membeli jenis-jenis jajanan seperti bakso dan mie ayam. Setelahnya kini giliran para pedagang bakso dan mie ayam yang ‘menjerit’ karena omzet mereka yang menurun drastis. Malah ada yang sampai bangkrut dan menutup usahanya karena terus merugi. Akhirnya para pedagang yang merasa dirugikan oleh pemberitaan tersebut beramai-ramai berdemonstrasi menuntut klarifikasi berita.

Sementara di Yogyakarta, pemerintah dan para pedagang itu sendiri turun tangan supaya konsumen tidak perlu takut untuk makan bakso dan mie ayam. Tak kurang, sampai bupati Bantul ikut makan bakso di depan khalayak umum untuk menepis kekhawatiran konsumen. Malah ketika pedagang berinisiatif menggelar acara makan bakso / mie ayam gratis, ribuan porsi langsung tandas diserbu konsumen.

Kalau mencermati foto peserta yang ikut mencicipi pembagian bakso / mie ayam gratis tersebut, tidak tampak kekhawatiran di wajah mereka. Pun juga ketika diwawancarai. Kita tidak tahu, ludesnya ribuan porsi bakso / mie ayam tersebut sudah bisa dijadikan indikasi apakah kekhawatiran konsumen sudah mulai mereda dan kesadaran produsen untuk tidak mencampurkan zat-zat yang tidak layak konsumsi tersebut sudah muncul atau jangan-jangan konsumen itu menyerbu karena ada embel-embel gratis?

Sebenarnya penambahan zat-zat kimia berbahaya ke dalam makanan bukan berita baru lagi. Sudah sejak tahun 1995 (?) telah ditemukan kasus tersebut dan pada waktu itu tidak ada tindakan kongkrit dari pemerintah. Konsumen juga hanya terkejut sesaat, setelahnya ‘adem’ lagi. Mengenai kasus daging tikus sebagai campuran, juga bukan isu baru. Sudah lama penulis mendengar isu daging tikus pada mie ayam atau bakso. Malah sewaktu kuliah, penulis mendengar ‘testimoni’ adanya perburuan tikus di pasar untuk bahan baku mie ayam di Yogyakarta.

baksotikus

Juga kita sering membaca adanya operasi pasar di beberapa pasar tradisional bagi pedagang yang dicurigai menjual ayam ‘tiren’ alias bangkai ayam, daging dari sapi atau ayam sakit, atau malah daging celeng (berita di Suara Pembaruan). Itu baru makanan, belum yang lainnya. Beberapa waktu lalu sempat muncul pemberitaan mengenai beberapa merk kosmetik yang mengandung bahan pemutih yang berbahaya dan zat pewarna yang tidak layak, obat-obatan palsu, bensin / solar campur air, SPBU yang memalsukan indikator, dll. Belum kalau bicara mengenai jajanan di sekolah-sekolah yang sangat tidak ‘ramah’ bagi anak-anak, karena dicampur dengan pewarna industri (karena itu makanan-makan yang disajikan warnanya sangat mencolok), gula buatan yang tidak diketahui keabsahannya, sampai kebersihannya.

teksturdagingsapidanceleng

*gambar berasal dari sini, cukup lengkap dan komprehensif dalam menjelaskan daging sapi, babi, dan celeng.*

Intinya para produsen tersebut bertindak curang dan tidak jujur terhadap konsumen, yang mengakibatkan konsumen merugi. Yang menjadi pertanyaan, mengapa konsumen baru ribut sekarang? Itu juga untuk beberapa jenis makanan tertentu.

Jika rajin mengikuti pemberitaan mengenai boraks, formalin, dan sebagainya, sebenarnya ada moral of the story di balik peristiwa ini, berkaitan dengan daya kritis konsumen dan kesadaran konsumen. Adalah hak konsumen untuk mendapatkan (dalam hal ini makanan) yang layak konsumsi/tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen.

Ketika konsumen mengetahui bahwa yang mereka konsumsi selama ini ternyata mengandung campuran yang berbahaya, maka konsumen berhak untuk ‘marah’. Bagaimana tidak, karena hal tersebut berkaitan sekali dengan kesehatan mereka di masa yang akan datang (dalam bahasa paling awam bisa diganti ‘keselamatan’). Disinilah penulis mengamati titik kritis konsumen dipertanyakan. Ini baru soal makanan, belum ke soal yang lain. Dalam contoh yang berkaitan dengan kasus ini, ketika konsumen datang membeli makanan yang harganya murah meriah, dengan kenyataan bahwa harga bahan baku makanan relatif mahal, dengan tampilan warna yang mencolok, rasa manis yang berefek tidak enak di tenggorokan, faktor kebersihan ketika mengetahui bahwa untuk mencuci semua peralatan makan hanya dengan satu ember untuk berpiring-piring maka seharusnya konsumen mengkritisi hal tersebut. Tapi ternyata konsumen menerima saja hal tersebut. Yang penting bisa makan, yang penting bisa jajan dengan harga terjangkau. Mungkin memang taraf konsumen kebanyakan di Indonesia adalah ‘yang penting kenyang’. Jika sudah agak meningkat sedikit, maka tarafnya naik sedikit menjadi ‘yang penting enak’ (walau enak juga relatif). Konsumen kita (mayoritas) belum sampai ke taraf ‘yang penting sehat / aman’.

Berkaitan dengan daya kritis konsumen, maka penulis memandang perlu consumer education atau pendidikan untuk konsumen sehingga menjadikan smart consumer atau konsumen cerdas dalam mengkonsumsi. Seperti dalam kasus formalin ini, banyak konsumen yang tidak mengetahui formalin itu sebenarnya apa, dampaknya bagaimana. Penulis melihat bahwa saat ini merupakan momentum yang bagus untuk kebangkitan kesadaran dan kekritisan konsumen. Ketika daya kritis konsumen bangkit, maka ia tidak akan menerima begitu saja apa yang ia hendak konsumsi. Ia akan mengkritisi dengan asumsi konsumen berhak mendapatkan yang terbaik, sehingga ia akan mencari informasi yang berkaitan.

Dengan semakin kritisnya konsumen yang mengetahui hak-haknya, maka diharapkan hal tersebut dapat memacu produsen untuk memproduksi yang memang layak konsumsi. Sehingga pada akhirnya, produsen yang menghalalkan segala cara demi  meraup keuntungan akan diboikot oleh konsumen dan ditinggalkan produknya.

Penulis memimpikan bahwa gerakan kesadaran konsumen tersebut akan merembet tidak lagi ke hal-hal dasar, tapi sampai pada masalah yang ‘lebih besar’ lagi.  Misal mengenai mainan anak-anak. Konsumen yang cerdas akan memilih mainan untuk anak-anak yang benar-benar aman (bebas dari bahan yang berbahaya dan tidak membahayakan, ingat kasus mercon, pistol-pistolan dengan peluru plastik) dan mengandung unsur pendidikan.

Lebih jauh lagi konsumen yang cerdas akan selalu memilih produk-produk yang dalam produksinya memang bebas dari perusakan lingkungan dan peduli terhadap nasib buruh-buruhnya. Sikap tersebut bahkan terwujud dalam memilih tayangan di televisi. Konsumen akan memilih tayangan yang memang mendidik dan bermanfaat bagi dirinya. Konsumen yang cerdas juga akan bertindak ketika mengkonsumsi sesuatu maka ia akan menyesuaikan dengan kebutuhannya dan kemampuannya. Jadi tidak ada konsumen yang konsumtif, boros, dan sia-sia dalam membelanjakan uangnya atau besar pasak daripada tiang.

Gerakan tersebut pada akhirnya akan seperti reaksi berantai yang menuju pada keseimbangan lingkungan. Jadi reaksi dari konsumen cerdas akan memacu produsen untuk mengikuti tuntutan konsumen, sehingga ketika mereka berproduksi mereka benar-benar memperhatikan dampaknya terhadap konsumen dan lingkungannya, tidak hanya berdasarkan keuntungan jangka pendek semata.

Di luar negeri sudah lama konsumen sadar dan kritis mengenai hak-haknya. Mereka tidak segan-segan menuntut produsen yang dinilai merugikan mereka. Tingkat kesadaran mereka sedemikian tingginya sehingga dalam mengimpor sesuatu mereka mensyaratkan standar yang cukup tinggi berkaitan dengan lingkungan. Bahkan konsumen sepatu Nike di luar negeri sempat memboikot produk-produk Nike karena dinilai gagal melindungi kesejahteraan buruh, terutama di luar negeri**).

Bahkan kalau kita mencermati beberapa produk hasil kelautan, mereka mencantumkan salah satu labelnya ‘dolphin friendly’, berarti ketika penangkapan hasil laut tersebut tidak memakai jaring atau peralatan yang dapat membunuh lumba-lumba. Malah kalau kita mencermati akhir credit-title di film-film Hollywood, maka tercantum bahwa binatang yang dipakai selama pembuatan film dijamin keselamatan dan kesejahteraan.

konsumen

**kalo belanja, coba perhatikan baik-baik kemasannya. misal seperti kemasan pewangi ini. ada lambang tertentu yang berarti tertentu juga. buat saya, ini penting, ga sekedar wangi ato harga ato merk saja**

Contoh sempurna dari kasus ini adalah produk Body Shop, dimana pengguna Body Shop (semestinya) tahu falsafah mengenai lingkungan sehingga mereka lebih memilih produk-produk Body Shop yang terkenal dengan kampanye ‘against animal testing’ tersebut. Kebetulan pendiri Body Shop, Anita Roddick, juga seorang konsumen cerdas yang melihat peluang tersebut sehingga ia mendirikan Body Shop.

Pertanyaannya kini, siapa yang bertanggung jawab dalam mendidik konsumen sehingga mereka menjadi konsumen cerdas yang kritis dan sadar dengan hak-haknya? Sebelum menuding siapa, paling mudah dan paling cepat kalau kesadaran itu mulai kita bangun dari diri kita sendiri. Mengenai kasus formalin dan nasib para pedagang kecil tersebut, memang kita seharusnya prihatin. Tapi jangan sampai keprihatinan tersebut mengaburkan esensi permasalahan, yaitu kesadaran, daya kritis konsumen, dan consumer education.

Pada akhirnya produsen akan mengetahui bahwa konsumen tidak bisa ‘dibodohi’ atau berbuat curang dalam menjual produk mereka, dan konsumen yang cerdas ‘mampu memaksa’ produsen untuk mengeluarkan barang atau jasa yang mengakomodasi tidak saja kebutuhan konsumsi jangka pendek tapi juga kebutuhan jangka panjang seperti pendidikan, kesehatan, bahkan kelestarian lingkungan.

**) di facebook, ada group yang didirikan oleh Jim Keady yang bertujuan untuk mengkampanyekan kesejahteraan buruh-buruh Nike. Grup tersebut sering meng-up date berita, malah ke Indonesia segala dan melihat sendiri kondisi buruh di Nike serta berdialog langsung dengan mereka. Apdet terbaru, Jim Keady akan ke Indonesia Juli-Agustus ini.

Ibu Prita, Omni Internasional, dan Kesadaran Konsumen

Mencermati perkembangan kasus Ibu Prita vs RS. Omni Internasional, dimana Ibu Prita dijebloskan ke penjara karena dinilai telah mencemarkan nama baik RS. Omni Internasional sungguh membuat saya prihatin.

Kasus tersebut menyentak dan mengundang keprihatinan khalayak. Di ranah dunia maya sendiri, blogger yang peduli dengan Ibu Prita khususnya dan praktek dari UU ITE yang dinilai rawan penyalahinterpretasian yang dapat mencederai kebebasan berpendapat, telah melakukan gerakan. Misal, mendirikan sebuah group di Facebook untuk mendukung Ibu Prita. Ndoroakung juga melayangkan seruan untuk peduli, Tika mengajak untuk beramai-ramai kupipes surat pembaca tersebut sebagai bentuk dukungan, dan beberapa postingan sejenis.

Saya sendiri sangat prihatin dengan kasus tersebut dan juga sangat bersimpati dengan apa yang dialami oleh Ibu Prita. Logika sederhana saya tak habis pikir, mengapa dari sebuah keluhan, yang sebenarnya tak beda dengan surat pembaca lainnya, mengubah kehidupan Ibu Prita menjadi mimpi buruk.

Saya mengkutip apa yang ditanyakan oleh Bung Fertob, berkaitan dengan hal tersebut :

Ndoro, lalu apa bedanya keluhan yang disampaikan oleh Prita diatas dengan surat pembaca yang ada di koran-koran cetak? Kebanyakan juga isinya keluhan dan komplain, bahkan ada juga kata-kata yang sedikit “kasar” seperti “tidak becus”, “tidak profesional”, “ingkar janji”, “diperlakukan seperti binatang”, dan lain sebagainya.

Apa karena medianya beda maka perlakuannya juga beda? :(

Pertanyaan bung Fertob tersebut bagi saya sudah cukup menyuarakan kegelisahan saya, ada yang aneh dan tidak benar dalam kasus ini.

Saya sendiri hanya mampu mengajak, well okay, mungkin ajakan yang bersifat emosional, tapi hell yeah. Saya lebih ingin menunjukkan, di negeri di mana hak-hak konsumen sering dilanggar dan kesadaran konsumen sendiri untuk membela hak-haknya juga masih rendah, people power. Bahwa tekanan yang bersifat masif mungkin perlu untuk memberi kesadaran akan hak-hak konsumen sekaligus membukakan mata kita.

Saya ingin mengajak kepada siapa saja untuk memboikot RS. Omni Internasional dan juga pihak-pihak di dalamnya yang berkontribusi terhadap situasi Ibu Prita, hingga masalah ini selesai. Ceritakan kepada siapa saja yang Anda kenal untuk tidak menjadi pasien di sana dan juga untuk lebih berhati-hati serta kritis jika menjadi pasien.

Semoga, harapan saya, gerakan boikot ini tak sampai terjadi karena sudah keburu timbul kesadaran terutama dari rumah sakit termasuk dokter-dokter dan perawat, untuk lebih menghargai kebutuhan pasien. Dan satu pasien tidak berdiri sendiri, ia terkait dengan orang lain, minimal dengan keluarganya. Semoga….