Punya Pacar Lantas Lupa Teman?

image bank

Hadirin sidang pembaca yang saya hormati. Siapa di antara hadirin yang pernah merasakan dilema antara memilih kekasih dan teman-teman? Ayo ngacung!! 😀

Saya, errr….jujur ndak pernah sih, hihihi. Tapi saya punya cerita tersendiri tentang ini. Jadi waktu itu masih jaman-jamannya kuliah. Yah, namanya juga masih remaja~dewasa awal. Masih seneng-senengnya ubyang-ubyung sama teman-teman. Palagi kalo membentuk gank-gank-an ato clique. Udah deh, berombongan kemana aja ya dengan gerombolan ituuu terus. Kelompok gaul. Beredar di mana-mana. Rame. Meriah. Seru.

Hingga suatu ketika, teman kami ada yang pacaran. Cowok. Dan mendadak teman kami ini ‘menghilang’ dari kelompok. Oia, sebagai gambaran, saya waktu itu punya gank, terdiri dari 7 cewek dan 5 cowok. Seru kan? Nah, menghilangnya teman kami ini jelas menyisakan rasa kehilangan. Apa-apa yang serba bareng kok mendadak ada yang kurang. Dan lucunya, waktu itu yang protes malah teman-teman cewek. Apalagi kalau si teman cowok ini cuma nongol pas ada acara makan-makan gratisan, wuah kami bisa yang ngamuk-ngamuk dan nyindir abis-abisan. Dan teman-teman cowok kami sibuk membela teman mereka hingga kami berkata, “makan tuh setia kawan”.

Ketika teman kami ini tidak lagi berhubungan dengan pacarnya alias putus, ajaib. Dia kembali rajin nongol dan ubyang-ubyung bersama kami. Kami cuma bisa mengelus dada kami masing-masing. Anehnya hal ini kebanyakan malah menimpa teman-teman kami yang cowok. Pokoknya waktu itu, kalau teman cowok kami ada yang pacaran, bisa dipastikan dia menghilang dari kelompok hingga hubungan dengan si pacar putus. Sementara, kami-kami yang cewek, meski punya pacar, tapi entah kok masih bisa jalan bareng.

Tapi itu pada satu populasi. Lain lagi dengan populasi gank saya yang lain. Cewek semua. Kebetulan waktu itu kami masih jomblo semua, masih kinyis-kinyis belum pernah pacaran. Salah satu dari kami ketiban pulung ditembak cowok dan akhirnya pacaran untuk pertama kali. Yang terjadi kemudian, anak ini pelan-pelan menjauh dari kami. Kalau diajakin jalan bareng atau kumpul-kumpul, kebanyakan ditolak dengan alasan sudah ada acara bareng pacar. Paling menyebalkan adalah (ini baru kami sadari beberapa lama kemudian), teman kami ini menghubungi kami kalau pas lagi butuh.

Jadi waktu itu kejadiannya begini. Pacar teman kami ini pindahan kost dan dia mengkontak kami apakah kami bisa bantu bawain barang-barangnya ke kost baru. Sementara itu pacarnya sedang di luar kota dan memasrahkan urusan tersebut pada teman kami. Waktu itu kami iyakan. Jadilah kami mengangkuti barang-barangnya si pacarnya temen dan dengan mobil saya mondar-mandir ke kos-an lama dan baru. Kasus lain yaitu ketika si teman mengiyakan ajakan kami karena ybs sedang jablay ditinggal pacar kemana.

Soal yang sama pernah juga menimpa saya dan sobat saya, tidak mesti gank-gank-an. Kami berdua adalah teman dekat waktu SMU. Sobat saya ini menjelang Ujian Akhir Nasional, jadian dengan teman sekelas. Duh, mesraaa banget, kek film ACI 😀 . Saya yang biasanya kalo nunggu bis berdua dengan sobat saya, terpaksa sendiri, karena sobat udah dibonceng pacar. Alhamdulillah sih, hubungan mereka berlanjut sampai kuliah. Dan kami kadang masih jalan bareng. Ya benernya nyaris-nyaris mirip seperti kisah saya di atas, tapi saya tidak begitu mempersoalkan. Hingga kemudian saya ‘tersadar’. Jadi waktu itu sobat saya minta tolong saya untuk menemani dia pergi. Saya mengiyakan. Tapi di detik-detik terakhir, sobat tadi membatalkan karena ternyata pacarnya mengajaknya pergi. Kecewa saya.

Berangkat dari peristiwa tersebut, saya jadi bertanya-tanya. Kenapa kecenderungan sebagian orang yang punya pacar lantas jadi seperti melupakan teman-temannya? Mengapa kedua hal tersebut (pacar dan teman) tidak diblend saja sehingga enak-enak saja, tidak ada keharusan memilih pacar atau teman. Kok sepertinya, bagi sebagian orang tersebut, dua hal tersebut menjadi suatu pilihan, menjadi suatu dilema. Selain itu ada persamaan antara kasus-kasus tersebut. Persamaannya adalah, mereka-mereka ini entah kenapa kok jarang bawa pacarnya untuk ikutan jalan bareng dengan teman-temannya. Well, ini yang terjadi di sekitar saya sih, nggak tau kalau yang lain.

Padahal bagi saya, antara teman dan pacar ya harusnya adalah dua hal yang berbeda dan saling mengisi, ada keseimbangan disitu. Contohnya, bagi saya, siapapun dia yang janjian terlebih dahulu dengan saya, itulah yang saya utamakan. Jadi misal pacar mengajak untuk nonton bareng, tetapi saya udah terlanjur janjian dengan teman-teman, ya saya meminta pengertiannya bahwa saya udah kadung janji sama teman-teman. Dan ya memang itu yang saya terapkan.

Dan yang ‘paling buruk’ dari skenario dilema antara pacar dan teman tersebut adalah, jika mempunyai pacar yang ‘diktaktor’. Yang membuat kita merasa harus memilih, antara si Dia atau teman-teman. Seperti di pilem-pilem itu loh. Eh, tapi ini beneran ada. Teman saya mengalaminya. Jadi sampai sekarang, dia menyembunyikan pertemanan dengan teman-teman cowoknya karena si pacar ini ndak suka dia bergaul dengan lelaki. Aseli pencemburu. Padahal aslinya si teman ini, dia supel dan mudah bergaul. Banyak temannya termasuk cowok-cowok. Sekarang mereka udah menikah. Dan catatan tentang teman-teman cowoknya itu masih tersimpan rapat. Untung teman-teman cowoknya bisa ngerti sehingga bisa ikut bagian dalam sandiwara itu. 😛

D-9 : Tragedi Kemanusiaan

District9Poster265_000

Sore ini sambil ngabuburit, saya nonton District 9. Selain karena suka dengan film-film dengan tokoh alien (sci-fi),  saya juga tertarik mendengar penuturan beberapa teman yang sudah menonton duluan.

Ternyata District 9 bukan film sci-fi, tetapi lebih ke film action biasa. Dengan cerita yang luar biasa. Film ini dibuat berdasarkan short movie Alive in Joburg. Alive in Joburg ini sendiri dibuat karena terinspirasi atas kondisi penerapan politik apartheid di Afrika Selatan. Mengetahui latar belakang film District 9 ini sedikit banyak mempengaruhi kacamata yang saya pakai dalam menonton. Frame saya pun terbentuk, bahwa ini bukan sekedar film eksyen biasa tapi ada pesan tertentu yang hendak disampaikan. Dan memang benar.

Apa yang saya lihat sepanjang film adalah, mewakili karakter gelap manusia yang terbungkus oleh energi fear, energi takut. Termasuk takut oleh sesuatu yang berbeda, yang asing. Energi takut itu berujud pada sikap prasangka, penolakan, kebencian, dan permusuhan. Dan yang terburuk adalah kekerasan, kekejaman, kematian

District 9 adalah film tentang tragedi kemanusiaan. Adalah suatu tragedi kemanusiaan kita apabila manusia dalam kehendak bebasnya memilih untuk berlaku lebih rendah dari hewan. Membunuh demi kesenangan, membunuh karena kebencian yang dibalut prasangka. Dan itulah yang saya lihat. Telanjang tanpa ada yang ditutupi.

Hanya karena Prawn-prawn tersebut berbeda, maka menjadi pembenaran untuk melakukan eksperimen biologis. Berbagai macam kekejaman yang sangat absurd dilakukan untuk membuktikan hipotesis tertentu. Dengan darah dingin membicarakan keuntungan yang akan diperoleh di depan si Obyek, sementara si Obyek adalah saudara mereka juga.

Wikus van der Merwe, tokoh utama dalam film ini diceritakan berkarakter sangat manusiawi, dengan segala egoisme dan kebodohannya. Dan kemanusiaannya itu semakin lengkap ketika diperlihatkan kehendak bebas Wikus untuk memilih, apakah akan semakin menjauh dari kemanusiaannya atau sebaliknya.

Saya tersentuh oleh film ini. Jika benar film ini terinspirasi oleh kondisi dimana politik apartheid diperlakukan, maka alangkah menyedihkan. Membayangkan nasib mereka-mereka yang dianggap berbeda dan diperlakukan penuh prasangka. Hmmm….

Nicowijaya Narcism

Mereka yang mengenal Nico (panggilan akrabnya) dan pernah pergi bareng-bareng dengannya, pasti setuju bahwa teman Nico ini bejibun di mana-mana. Kami, teman-temannya di Cah Andong, sering terheran-heran dengan begitu banyaknya teman-teman baru yang diajak untuk kopdar bersama. Ada komunitas multiply, ada komunitas flickr, entah apalagi. Banyak teman, demikian kesan saya terhadap pemuda yang aslinya berdomisili di Lampung ini.

Saya sendiri tertarik mengangkat profil di kontes E-Narcism gara-gara karya dia yang menyebar luas di facebook. Jadi waktu itu, sedang heboh-hebohnya gerakan Indonesia United, dengan mengganti avatar di facebook dengan avatar bendera merah putih. Nico, sesuai pengakuannya, bercerita bahwa proses kreatif avatar merah putih dengan logo Indonesia United berlangsung cukup cepat. Penggemar disain minimalis ini lantas meng-upload ke facebook dan men-tag beberapa teman. Yang terjadi selanjutnya di luar dugaan. Tak hanya teman-teman Nico yang memakai avatar hasil karyanya, tapi juga orang-orang lain yang tak Nico kenal.

indonesiaunite-hi-s

Secara personal, saya mengenal Nico sebagai pemuda yang low profile. Tetapi sepak terjangnya di dunia maya membuktikan sebaliknya; cukup narsis :mrgreen: .
Blog sendiri dia ada dua (sekarduside.com dan nicowijaya.posterous.com), yang cukup rajin di update. Selain itu, di situs mikroblogging Plurk, ada sekitar lebih dari 350 teman yang dia miliki. Belum yang di deviant art.
Sebagai blogger, dia juga tergabung di Komunitas CahAndong. Beberapa kali diwawancara oleh media seperti Harian Jogja, sehingga namanya sempat muncul mewakili Cah Andong di beberapa surat kabar, termasuk dengan fotonya nampang di surat kabar tersebut (waktu itu pas Pesta Blogger 2008 mampir di Jogja).

Pemuda yang berprofesi sebagai freelancer di bidang web designer, flash animation, dan graphic desainer ini mengaku, bahwa eksis di dunia maya cukup membantu mendongkrak personal brandingnya. Dulu yang hanya dikenal di kalangan teman-teman kuliahnya, semenjak aktif di dunia maya, jaringannya mulai bertambah di luar kampus. Memang tidak secara langsung, karena Nico dari awal berprinsip untuk tidak money oriented, maka dia lebih tertarik untuk menambah teman daripada cari proyekan. Tapi yang terjadi adalah, dampak tak langsung dari pertemanan itu, dia sering ditawari berbagai proyek.

*Ternyata selain dua blog di atas, ada blog lainnya yaitu nico.wijaya.web.id yang berisi curhatan personalnya  dan akun lain di posterous yang menyimpan semua hasil karyanya.

Ikuti Kontes E-Narcism, Gaul dan Eksisnya si Teman di Internet, dan menangkan 6 buah iPod persembahan dari Bhinneka.com dan 24 t-shirt E-Narcism dari Grin Clothing.

Gunawan Rudy : Gold, Girls, and Glory*)

Saya mengenal anak ini sedari tahun 2007, waktu awal-awal saya nge-blog dan memang tahu pertama tentang dia ya lewat blog. Dari blog, lanjut ke situs pertemanan friendster, lanjut ke komunitas blogger. Setiap kali saya bertemu dengan anak ini secara offline, si Gun (panggilan sayang terhadapnya) ini nyaris ndak pernah lepas dari laptopnya dan online. Padahal yang namanya ketemuan rame-rame, bareng-bareng, ngakak-ngakak dan ngobrol-ngobrol, ya enakan bercengkerama dengan orang-orang di depan mata kita tho. Tapi berbeda dengan Gun, dia lebih memilih untuk setia dengan aktivitas online-nya. Eh ya benernya ndak setiap saat dia begitu sih, makanya tadi saya bilang nyaris.

Karena aktivitas online anak ini luar biasa (di mata saya) dan ternyata dia gak cuma sekedar narsis, tapi juga berkarya, maka saya tertarik untuk mengangkat profilnya di kontes e-narcism yang diselenggarakan oleh Media Ide. Saya ingin menunjukkan, ini loh, narsis yang levelnya udah setingkat lebih maju daripada saya (hihi), karena dia ndak cuma mejeng doang tapi juga berkarya. Ada wujud nyata yang manfaatnya dirasakan oleh orang lain.

Coba deh, klik betang.com.

Itu adalah salah satu hasil karya beliau. Hebat kan? Keren kan? Dan jangan kaget kalau portal tersebut bukan proyekan beliau bersama pemda setempat (yang berarti duit), karena justru proyek ini adalah proyek sosialnya Gun (dibantu oleh seorang teman dia). Menurut pengakuan dia, justru selama mengerjakan portal tersebut, dia yang keluar uang.

Dan karena Gun ini juga eksis di situs mikroblogging macam plurk dan twitter, saya jadi tahu susah payahnya beliau ketika mengerjakan proyek ini. Misal, tengah-tengah malam, ndak tidur, sibuk ngetes uji coba portal ini dan minta tolong teman-teman di plurk untuk jadi tester. Wah, penuh darah dan air mata deh (lebay mode on).

Sudah lama sebenarnya Gun eksis di ranah maya, tepatnya sejak tahun 2004. Bermula dari menjadi moderator forum video game dan anime, lanjut ke mendesain untuk forum. Yang awalnya untuk have fun diseriusi sehingga menjadi tambahan penghasilan bagi lajang yang masih kuliah di kota gudeg ini. Tekad ini menjadi pemacu Gun untuk belajar otodidak dengan sungguh-sungguh. Beberapa proyekan juga berhasil dia dapatkan gara-gara keaktifannya di ranah maya. Biasanya bermula dari perkenalan secara terbuka di forum dan milis, beberapa kali memamerkan hasil karyanya (tuh kan, narsis dianya, tapi narsis yang bermanfaat :mrgreen:  ) dan juga aktif terlibat dalam diskusi dan memberikan solusi. Dari situlah, beberapa ada yang tertarik dan konsultasi japri dan berlanjut kemana-mana (eits jangan berpikiran ngeres lho). :mrgreen:

Selain dari forum diskusi dan milis, beliau ini juga cukup aktif diblog. Gun ini punya banyak sekali blog. Yang saya tahu ada rozenesia.wordpress.com (awal saya tahu tentang dia), lalu lanjut ke gunawanrudy.com, gun.web.id, lie.siang.in, itu yang ketahuan. Gosipnya, sebelum blognya yang rozenesia itu, dia punya beberapa blog lagi tapi dihapus. Entahlah, namanya juga gosip. Tapi dari berapa banyaknya blog yang dia miliki, cukup menjelaskan seberapa narsis dan eksisnya dia di ranah daring. Walau begitu, lajang kelahiran 1990 ini merendah dengan mengatakan bahwa dirinya bukan seleblog, terbukti dari rendahnya trafik blog.

Biarpun Gun mengklaim demikian, tapi saya ndak 100% percaya. Secara dia selain aktif di blognya juga aktif di portal macam politikana.com. Dulu sewaktu Politikana masih soft launching, anak ini langsung melejit menjadi warga terpuji, saking aktifnya di portal tersebut. Hingga sekarang, keeksisannya di portal tersebut tersebut berdampak, katakanlah, dia cukup ‘disegani’ karena kadung terkenal sebagai warga Politikana yang kritis dan komentar-komentarnya di diskusi yang cukup bernas.

Selain itu, bukti bahwa dia cukup popular bisa dilihat di postingan mas Karmin berikut.

Jadi kalau kita rangkum *halah* apa saja yang didapat oleh Gun dari kenarsisan dia di ranah daring, yang jelas adalah teman dan proyekan. Tapi idiom dari mata turun ke hati, dari ranah daring berlanjut ke hubungan cinta, berlaku juga untuk Gun. Yup, dari dunia maya inilah Gun mendapatkan sosok kekasih hati yang juga cukup eksis di dunia maya. Tapi saya belum sempat bertanya, apa enaknya punya pacar yang sama-sama aktif di dunia maya. Apalagi sama-sama ikutan situs mikroblogging dan juga situs jaringan sosial seperti Facebook. Pikiran usil saya, segala kegiatan kita bisa terpantau dari situs-situs tersebut (apalagi mengingat citra Gun di antara teman-temannya *nyengir jahat*).

Gunawan Rudy. Coba saja gugling nama dia. Niscaya, apa yang terpampang lebih dari cukup untuk membuktikan apa yang saya tuliskan ini. :mrgreen:

Dan bukti paling ‘top’ adalah adanya halaman berikut ini, narsis senarsis-narsisnya… *muke ijo* *jadi ndak usah dipajang fotonya ya* :mrgreen:

*) Dikutip dari halaman profil Gunawan di sini.

Ikuti Kontes E-Narcism, Gaul dan Eksisnya si Teman di Internet, dan menangkan 6 buah iPod persembahan dari Bhinneka.com dan 24 t-shirt E-Narcism dari Grin Clothing.


17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2009 : Di Mana Kepedulian Kita?

Hari ini 17 Agustus. Perayaan kemerdekaan Indonesia tercinta. Berbagai macam cara memperingatinya. Dari yang bersifat pesta rakyat macam panjat pinang hingga kelas sosialita di venue mewah. Tetapi bagi saya sendiri, jujur saja, 17 Agustus tidak banyak berarti apa-apa. Sama saja seperti hari libur lainnya. Malah agak di bawah lebaran yang ada perasaan tertentu berkecamuk. Ini, biasa dan cenderung datar-datar saja.

Saya ingat ketika di Perth. Mendekati 17 Agustus ada perasaan tertentu. Mengharapkan sesuatu yang berbeda dibanding ketika di tanah air. Sesuatu yang sifatnya mungkin bisa dikatakan pencerahan, seperti laiknya pengalaman spiritual. Nyatanya? Sama saja.

Semasa sekolah, 17 Agustus malah menjadi hari yang cukup menyebalkan bagi saya. Apa pasal? Karena hari yang seharusnya adalah hari libur, hari dimana saya bisa bangun siang, tetapi saya tetap harus bangun pagi dan mengenakan seragam lalu berdiri di terik matahari untuk upacara bendera. Saya sungguh tidak menyukai upacara. Setiap Senin saya melakukannya, dari SD hingga SMU. Rasanya saya tidak mendapatkan apa-apa.

Kalau mengingat masa-masa itu, ada saja yang dilakukan oleh saya dan teman-teman supaya bisa membolos upacara. Jika tidak menemukan alasan, kami mengikuti upacara dengan terpaksa. Apalagi di ujung upacara biasanya ada adegan penghukuman. Barang siapa yang tidak mengenakan kelengkapan upacara seperti dasi, topi, sepatu hitam, dsb, maka siap-siap ia akan dipermalukan di depan sekolah, di depan gebetan, o h m y g o d. Semakin saya tidak menemukan nikmatnya upacara bendera. Dan apakah upacara meningkatkan rasa nasionalisme dan cinta bangsa? Entahlah, bagi saya kok rasanya tidak ada hubungan yang signifikan antara keduanya.

Sebelum menuduh saya tidak nasionalis, saya akan menguraikan pembelaan diri. :mrgreen:

Saya mempunyai pertanyaan. Apa sih, sebenarnya makna 17 Agustus? Apakah 17 Agustus berarti upacara, lomba-lomba di kampung-kampung, pengibaran bendera, dll ? Jika kita tidak mengikuti semua kegiatan yang identik dengan perayaan 17an, apakah artinya? Dikaitkan dengan nasionalisme kah? Kalau begitu, apakah nasionalisme itu? **

Nasionalisme bagi saya adalah kata yang sangat abstrak. Sangat subyektif. Definisi operasionalnya bisa berbeda-beda bagi setiap orang.

Seringkali nasionalisme kita harus dibantu dengan hal-hal yang bersifat eksternal. Ketika budaya yang diakui milik Indonesia tiba-tiba diakui bangsa lain, langsung berkobar nasionalisme alias rasa memiliki. Ketika suatu daerah menyatakan ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia, sontak yang lain berkoar-koar tidak rela jika ada yang ingin memisahkan diri. Ketika situasi sedang adem ayem, maka ya bisa dikatakan tidak ada yang peduli.

Nasionalisme diidentikkan dengan mencintai produk dalam negeri. Tapi ketika wajah perfilman Indonesia didominasi oleh film-film plagiat dan tema monoton dengan skenario payah, akankah kita memaksa diri tetap menontonnya? Ketika kita memilih untuk menonton tayangan tv produksi luar negeri dibanding sinetron Indonesia yang mutunya ‘yah begitulah’, lunturkah nasionalisme kita?

Kalau sudah begini, saya cuma bisa keingetan quote dari John F Kennedy yang paling terkenal :

ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country.

Kuncinya kalau menurut saya satu : PEDULI.

Ketidakpedulian itulah yang dapat menghancurkan nasionalisme.

Ketika kita tidak peduli dengan budaya sendiri. Ketika kita tidak peduli dengan kelestarian lingkungan dan kelestarian hutan Indonesia. Ketika kita tidak peduli dengan sungai-sungai yang membelah kota dan pedesaan. Ketika kita tidak peduli dengan kekayaan flora fauna Indonesia. Ketika kita tidak peduli terhadap nasib saudara kita yang di Porong Sidoarjo. Ketika kita tidak peduli dengan saudara kita di pedalaman yang tidak tersentuh pelayanan kesehatan. Ketika kita tidak peduli dengan antrian warga yang mengantri uang zakat 30ribu rupiah hingga kegencet. ketika kita tidak peduli ada anak tetangga yang dianiaya oleh orang tua kandungnya sendiri.

Dan lain-lain.

Say No To Ignorance!! (halah, bahkan saya pun ‘terpaksa’ memakai bahasa Inggris untuk menghimbau ini)

Salut untuk para saudaraku yang demikian peduli, berbuat sesuatu untuk bangsa ini, untuk saudara-saudara sendiri. Seperti mereka para petugas penjaga hutan dengan gaji minim, para dokter PTT, para guru di pedalaman, mereka yang berjuang menyadarkan para tetangganya untuk mengelola sampah sendiri, dan lain-lain.

Termasuk apa yang telah dilakukan oleh teman-teman Kopdar Jakarta, dibawah koordinasi GoenRock. Kepedulian GoenRock dan teman-teman diwujudkan dalam video berikut. Jangan nilai besar-kecilnya, tapi apresiasilah bentuk kepedulian tersebut. Mereka peduli. Kita? Dan apakah bentuk kepedulian kita, bentuk yang nyata?

Jadi apa makna 17 Agustus? Cukupkah dengan upacara, pengibaran bendera, berbagai lomba-lomba yang lucu-lucu?

Dan tolong, bantu saya memahami mengapa perasaan saya datar-datar saja setiap 17 Agustus.

** Hal yang sama setiap kali mengamati perayaan Hari Kartini. Mengapa Hari Kartini jadi identik dengan memakai baju daerah, parade dengan baju daerah, dan lomba-lomba seperti memasak dsb.

Dirgahayu Indonesiaku!!

Ketemu Si Trouble Maker

troublemaker

Sebagai asonger alias freelancer, saya seringkali membantu pihak-pihak yang mengadakan training dengan menjadi trainer atau fasilitator di situ. Setiap training yang saya ikuti selalu membawa kesan dan pelajaran yang berbeda-beda bagi saya, dan tentu saja menambah jam terbang saya sebagai trainer.

Seorang trainer dituntut memiliki kecakapan untuk berkomunikasi secara interpersonal dan menguasai dinamika kelompok. Berbeda dengan pembicara publik seperti Mario Teguh, maka trainer sejatinya adalah seorang fasilitator, terutama untuk training-training soft-skill/psikologi. Saya sendiri untuk training lebih menyukai metode experiental learning, karena disitu peserta diajak untuk mengalami terlebih dahulu dan dari pengalaman tersebut diharapkan mendapatkan insight.

Sebagai trainer yang fasilitator, kita memang tidak menggiring peserta dan menasihatinya macam-macam. Kita lebih menyukai jika peserta sendiri yang mendapatkan pemahaman. Yang demikian biasanya lebih mudah untuk terinternalisasi daripada jika kita yang mengajarkan atau men-deliver pemahaman kita ke mereka.

Tak ingin berpanjang-panjang cerita tentang serba-serbi trainer, saya hanya ingin membagikan apa yang saya alami ketika berkesempatan sebagai trainer. Sebuah pelajaran yang ternyata hal tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya menyangkut hubungan interpersonal (harapannya).

Sebagai trainer, apalagi jam terbang saya yang masih sedikit, saya masih mengalami yang namanya demam panggung dan berbagai tantangan lainnya. Harus berbicara di depan orang banyak (padahal saya pemalu), men-deliver materi training semaksimal mungkin sehingga peserta dapat menangkap seperti yang kita harapkan, dan lain-lain. Salah satunya adalah ketika dalam training tersebut ada peserta sulit. Cilakanya, saya hampir selalu bertemu dengan peserta sulit ketika menjadi trainer.

Peserta sulit kalau dalam definisi saya adalah, peserta yang cenderung mencari masalah dalam training. Perilakunya sendiri macam-macam, mulai dari yang menunjukkan penolakan (tidak antusias, cuek), caper, show-off sehingga mengganggu teman-teman yang lain, pokoknya trouble maker lah. Peserta yang begini ini sebenarnya cuma minoritas. Paling hanya satu-dua. Tetapi entah kenapa, energi negatif mereka bisa mempengaruhi seluruh jalannya pelatihan. Yang paling parah jika teman-temannya ikut terpengaruh. Aduh, pusing dan mules-mules gak karuan kalau ketemu yang beginian.

Ketika saya curhat kepada senior saya, senior saya itu memberikan solusi yang saya anggap cukup brillian. Solusinya adalah, saya seharusnya membiarkan saja peserta sulit tersebut alias dicuekin saja. Jangan memberi energi kepadanya. Dengan membalas perilakunya, sama saja kita memperhatikan dia dan sama saja dengan memberi energi kepadanya. Lebih baik, curahkan energi yang kita miliki kepada peserta lain yang memang benar-benar memperhatikan dan antusias terhadap kita. Biasanya ada dua respon, si peserta sulit ini kalau tidak terisolasi alias sendirian, atau bisa jadi ia malah ganti tertarik dan antusias dengan materi training.

Kaitannya dengan apa yang saya utarakan di atas, dalam kehidupan sehari-hari kita pasti pernah bertemu-berinteraksi dengan si trouble maker ini. Hari kita yang sepertinya sempurna, begitu berjumpa dengan si trouble maker, sukses merubah mood kita langsung turun drastis. Yup, si trouble maker ini begitu pandai merubah mood kita yang lagi bahagia menjadi negatif. Walhasil karena mood kita yang negatif, seharian kita jadi uring-uringan dan sebal sekali. Semua itu gara-gara satu orang si trouble maker tadi, sodara-sodara.

Nah, belajar dari apa kata senior, coba deh, kalau kita berjumpa lagi dengan si trouble maker ini, kita cuekin saja. Jangan sekali-kali kita memberinya energi. Kalau kita meresponnya marah-marah dan sebagainya, sama saja kita memberikan energi kepada si trouble maker tersebut. Lebih baik energi yang kita miliki, kita berikan kepada hal-hal lain yang menyenangkan.

Selain itu mulut yang turun ke bawah (gara-gara mood yang kacau) sebenarnya bikin capek wajah daripada mulut yang tertarik ke atas. Tidak percaya? Coba saja, mulut dikondisikan melengkung ke bawah selama beberapa menit, lalu ganti dengan mengkondisikan mulut melengkung ke atas. Mana yang terasa lebih fresh untuk wajah? Selain itu, studi menunjukkan, bahwa keadaan fisik berpengaruh terhadap keadaan emosi seseorang. Dengan berpostur tubuh tegak dan mulut tersenyum, dipercaya dapat berpengaruh memperbaiki mood dan emosi.

So, have a bright day, cheer up, and be happy. 🙂

Percayakah Anda Bahwa Hidup Sederhana itu Sulit?

gugel

Ide postingan ini muncul gara-gara mengamati tayangan mengenai kepergian Mbah Surip. Walau sudah sejak lama ia berkecimpung di dunia seni, tetapi namanya melambung dikenal hingga pelosok negeri belum lama ini. Setelah kepergiannya yang mendadak di puncak popularitasnya, orang-orang merasa kehilangan atas sosok unik ini. Umumnya mereka mengagumi kebersahajaan, kesederhanaan, dan kepolosan Mbah Surip. Apalagi setelah tahu perjalanan hidupnya.

 

Bagi saya ada hal yang lucu dan ironis mengenai sisi bersahaja Mbah Surip yang dikagumi oleh begitu banyak orang itu. Apalagi mereka-mereka yang ngomong kagum dengan sederhananya Mbah Surip itu adalah para public figure. Ternyata, di tengah gempuran materialisme, sebenarnya masih banyak yang mengakui bahwa hidup sederhana itu baik. Di tengah era yang memuja citra diri, banyak yang menyadari bahwa kepolosan alias tampil apa adanya itu bagus. Lha kalau sudah tahu bagus dan baik, kenapa tidak menerapkan?

 

Saya bukannya hendak menghakimi bahwa mereka yang ngomong-ngomong kagum itu tidak sederhana dan tidak tampil apa adanya. Biarlah, itu bukan urusan saya (walau kadang eh sering ding, mulut gatel untuk komentar, hehe). Tetapi saya jadi merenung saja.

 

Hidup sederhana itu sebenarnya mudah lho, seperti halnya tampil apa adanya saya, polos, semudah kita bikin mie instant. Lha, hidup sederhana kan gak mahal dan gak butuh duit. Siapa saja bisa menerapkan. Gak butuh alphard ato humvee, gak butuh rumah mewah, gak butuh gadget-gagdet mahal yang ternyata cuma untuk fesbukan, gak butuh birkin bag ato tote bag dari kulit anak sapi seharga belasan juta, gak butuh sehelai gaun bermerk dari butik di Paris, dll. Hidup sederhana itu butuh apa ya selain tidak butuh duit…

 

Tampil apa adanya, polos, ga jaim, juga gampang (mestinya). Gak perlu nyewa silver bird kalo mampunya Cuma naik kopaja, gak perlu potong ke hair dresser sampai keluar duit ratusan ribu untuk benerin poni, gak perlu maksain diri untuk mengiyakan ajakan gaul ke kafe mahal padahal lagi bokek, gak perlu ngutang sana-sini untuk tampil wah, gak perlu menyiksa diri dengan operasi plastik, dll. Tampil apa adanya tanpa jaim itu (mestinya) tanpa beban. Minimal beban hutang. 😀

 

Tapi entah kenapa, kok di jaman sekarang ini pelaksanaan dua hal tersebut menjadi hal langka. Memang sih, batas antara butuh dan keinginan itu tipis, tapi juga bisa jelas. Tergantung kita sendiri. Jika dengan berbagai gadget bisa melancarkan tuntutan pekerjaan, ya monggo lah. Tapi membekali anak SD dengan Blackberry, hmmm…

 

Jadi teringat ketika beberapa hari yang lalu, saya ngegosip dengan kawan lama. Waktu itu kami nggosipin kelakuan teman -sebut saja X- yang hobi pasang status fesbuk, yang berbau materi. Dari rencana untuk beli apartemen, beli mobil baru sementara dua yang lama katanya gimana gitu, liburan ke Singapore dan Thailand, etc. Saya sebagai teman, ya ada rasa iri juga sih. Apalagi di masyarakat kita, sukses itu masih dinilai dengan berapa banyak benda/materi yang kita konsumsi/beli. Jadi merasa belum sukses, gitu. 😀

 

Tapi, salah seorang teman kami, ketemu dengan ibu si X. Ibu si X ini, ndilalah kok malah curhat sama teman kami, mengenai masalah anaknya. Katanya, semua yang pernah dia tulis di status fesbuk-nya tersebut bohong. Ternyata X masih menanggung cicilan kredit dan lain-lain. Dengan kata lain, si X ini punya gaya hidup besar pasak daripada tiang.

 

Pertanyaannya adalah, mengapa dia sampai begitu? Apa yang hendak ia sampaikan?

 

Errrrr…entah, saya juga ndak bisa jawab. Belum nanya ke orangnya juga. 😛

 

Apakah dengan menampilkan citra (seolah) sukses, ia akan bahagia? Yang sukses pun, dengan menghambur-hamburkan uangnya, apakah merasa bahagia? Katanya, kalau sudah bekerja keras, tak ada salahnya memanjakan diri. Nah, when enough is enough? Katanya juga, money cant buy happiness. Lalu kenapa masih boanyak yang belanja belanji jika sedang stress, sedih, frustasi, etc (a.k.a mencari keseimbangan alias feeling much better). Padahal katanya, kebahagiaan itu tanpa syarat. I’m happy unconditionally. Tapi untuk membuat merasa hepi, ternyata masih butuh baju baru, gadget baru, pacar baru, dll.

Hmmm…kadang saya juga seperti itu sih. Tapi sebisa mungkin menyadari secepat saya bisa (menyetop belanja karena dorongan impulsive).

 

Kembali ke masalah kesederhanaan tadi, mengapa hal yang demikian sederhana menjadi begitu rumit ketika menerapkan ke diri sendiri? Ada perasaan malu ketika tampil membandingkan diri dengan orang lain yang lebih kinclong dan gemerlap. Merasa katrok dan ketinggalan jika sekomunitas memakai barang yang lagi happening, sementara kitanya tidak. Merasa gak nyambung?

 

Padahal, memang kenapa kalau katrok alias ndeso? Memang kenapa kalau emang gak mampu? Tidak diterima dalam kelompok tersebut?

 

Ternyata masalah hidup sederhana dan apa adanya ini tidak sesederhana yang saya perkirakan semula. 😀

 

PS. Turut berbela sungkawa atas kehilangan bangsa ini untuk kepergian dua seniman hebat, Mbah Surip dan WS. Rendra.

 

 

 

Cin(T)a; Who Are YOU, God, What Are YOU, God

Hari Rabu tanggal 5 Agustus, saya berkesempatan mendapat tiket gratis (catet, gratis ya booo) untuk premiere film cin(T)a di Jogja NETPAC Asian Film Festival. Ini film udah saya incer sejak kapan, sedari saya membaca promosinya yang cukup gencar di internet. Minat saya makin terbetot sewaktu saya iseng ikutan LA-Lights Indie Movie Workshop di Jogja tanggal 11 Juli lalu. Di workshop tersebut, sang sutradara, Sammaria Simanjuntak mempresentasikan cin(T)a plus mempertontonkan trailernya.

 

Jogja mendapat kehormatan untuk memutar premiere cin(T)a di Indonesia setelah sebelumnya ‘hanya’ malang melintang di negeri orang, dari festival satu ke festival lainnya. Walhasil, gedung pemutaran film di Taman Budaya Yogya penuh sesak oleh anak-anak muda yang penasaran dengan filmnya. Tapi hei, saya sempat melihat kehadiran Mudji Sutrisno, budayawan yang cukup saya kagumi itu.

 

Selama kurang lebih satu jam (lebih-lebihnya saya ndak tahu, karena agak molor dari jadwal jam 15.00) seisi ruang bagai terhipnotis (lebaaay, tapi biar) menikmati karya anak bangsa. Kadangkala gemuruh suara tawa ngakak jika ada dialog yang dirasa lucu. Tapi selebihnya, penonton cukup serius menyimak filmnya.

 

Film cin(T)a sendiri, bisa dikategorikan film indie. Dibuat dengan budget, personel, dan peralatan terbatas. Maklum, para personelnya adalah alumni LA-Lights Indie Movie Workshop tahun 2007. Topiknya sendiri bisa dikatakan cukup controversial untuk kalangan masyarakat Indonesia. Tagline Cina and Annisa love God and God loves them both, but Cina and Annisa cannot love each other; because they call God by different names, sudah bisa diduga isi film ini tentang apa.

 

Secara keseluruhan, film ini istimewa bagi saya di tengah minimnya film Indonesia layar lebar yang berkualitas. Topik yang catchy alias megang banget, penggarapan yang cukup oke (untuk indie lho, dibandingkan dengan major label), dialog yang bernas, hanya kalau ada catatan adalah acting pemainnya. Sunny Soon bermain cukup meyakinkan sebagai Cina, mahasiswa pintar dari Tarutung. Dia bisa membawakan karakter Cina yang cerdas, sekaligus kocak dan idealis. Tetapi untuk Saira Jihan yang memerankan Annisa, hmmm…kok kurang sreg ya. Karakter Annisa yang melankolis dan penyendiri rasanya kurang mantap.

Yang paling menarik bagi saya, adalah bagaimana topik kisah cinta beda agama dituangkan lewat dialog-dialog yang cukup dalam. Dialog antara Cina dan Annisa cukup banyak menyentil sikap keberagamaan antara dua agama Abraham, Kristen dan Islam. Bagaimana mereka mengkomunikasikan prasangka-prasangka agama maupun etnik di antara keduanya, bagaimana mereka memandang Tuhan, dan lain-lain. Angkat jempol bagi tim penulis skenarionya.

 

Misal, mereka dengan kritis mempertanyakan peran Tuhan dalam kehidupan, sekedar arsitek -pencipta- atau sutradara -ikut menentukan plot-. Mereka juga mempertanyakan sikap masyarakat yang mendua, antara memuja Tuhan tapi di sisi lain juga seperti menafikan perbedaan. Padahal, yang menciptakan perbedaan ya Tuhan juga. Jika Ia ingin hanya disembah dengan satu cara, dipanggil dengan satu nama, mengapa Ia harus menciptakan begitu banyak perbedaan.

 

Ada satu hal yang menarik, pernyataan Annisa tentang selebritas, pemujaan, atheisme dan hubungannya dengan Tuhan. Di mata Annisa, Tuhan itu sangat memahami seorang seleb, karena itu ia menciptakan atheis. Tuhan sangat menyukai untuk dipuja dan dieluk-elukan, tapi ada kalanya ia capek dengan pemujaan yang berlebihan, persis seperti yang dialami seleb. Ada kalanya ia (Ia) ingin beristirahat. Pernyataan yang tidak biasa diungkapkan secara ‘vulgar’ di ranah publik. Apalagi di tengah mayoritas masyarakat yang masih sangat memuja simbol-simbol agama. Karena itulah, bagi saya, kekuatan film ini ada pada dialognya.

 

Mengenai ending? Jika penonton berharap adanya solusi/happy ending bagi Cina dan Annisa yang berbeda agama, sebaiknya simpan saja harapan itu. Bagi saya, film ini tidak bercerita tentang penyelesaian masalah, ia bertutur secara deskriptif apa yang ada dalam masyarakat.

 

Menariknya, di sela-sela film, diselipkan juga testimony dari mereka-mereka (beneran, bukan fiksi/artis) yang menjalin hubungan beda agama hingga pernikahan.

 

Sebagai tambahan, tulisan lawas di blog saya berikut, mungkin bisa memberikan sedikit informasi bagi mereka yang bertanya-tanya tentang hubungan beda agama.