Mumpung Jomblo, Pergilah Lihat Dunia Seluasnya, Selebarnya

Sungguh. Seriusan. Beneran.

Alasannya, saya mengamati; mereka-mereka yang bertemu lebih banyak orang, sering berjumpa dan berinteraksi dengan orang baru, bergaul dengan berbagai kalangan, sering berada di tempat-tempat baru, biasanya wawasannya lebih luas dan pemikirannya lebih terbuka. Memang hasil amatan saya tidak 100% bersifat absolut, selalu ada pengecualian.

Selain itu, dunia ini terlalu sayang jika tidak dieksplorasi. Menyenangkan sungguh, bisa bepergian ke berbagai tempat, berpetualang, tidak melulu di mall. Bertemu (apalagi jika sampai berinteraksi) dengan kebudayaan dan kebiasaan yang sungguh berbeda dengan kita. Menemukan kebesaran Tuhan dimana-mana. Mengalami sendiri tentu sejuta kali berbeda daripada hanya menyaksikan lewat televisi atau membaca saja.

Tetapi selalu ada beberapa situasi khusus yang membuat kita tidak bisa leluasa menuntaskan hasrat petualangan kita. Berpasangan adalah salah satunya. Berkaitan dengan ini, beberapa bulan lalu sewaktu berada di luar kota nan jauh dimato, saya menemukan pencerahan.

Jadi ceritanya, saya dan teman saya, mewakili Cahandong, diundang ke Padang oleh Oxfam. Teman saya si Alle mengajak untuk extend, mumpung di Padang sekalian ke Bukittinggi. Saya antusias dengan ide tersebut, untuk itu saya ijin dulu kepada Kangmas. Ternyata sesuatu dan lain hal membuat saya berubah pikiran dan membatalkan rencana extend ke Bukittinggi.

Pada saat mengambil keputusan tersebut, saya termangu, seperti inikah situasinya jika saya telah menikah dan berkeluarga nanti? Tidak lagi sebebas masa lajang, karena tentu saja ada prioritas-prioritas lain yang musti didahulukan. Saya yang sangat memuja kebebasan, mendadak tersadar. Dan seiring kesadaran itu datang, rasa ikhlas itu muncul.

Prioritas seseorang dapat berubah-ubah, sesuai dengan situasinya. Kondisi masyarakat (yang cenderung patriarkhal) dan konstruk sosial turut berpengaruh. Mau tidak mau musti menyadari bahwa ketika perempuan  sudah berpasangan, apalagi menikah, maka prioritasnya berubah tak lagi dirinya menjadi nomer satu. Situasi seperti ini kadang (atau sering?) membuat perasaan tidak puas itu muncul. Akibatnya bisa fatal, status bisa menjadi kambing hitam atas ketidakbahagiaan.

Saran saya, buang jauh-jauh rasa penyesalan itu. Kuncinya ada pada kesadaran. Seperti ketika saya yang dengan sadar 100% memilih untuk membatalkan ke Bukittinggi demi orang lain. Saya sadar, that i choosed him over myself. Dats my happiness. The happiness of being together.

Being single is fun. Thats so true. Karena itu, saya menghimbau teman-teman yang masih single, untuk buru-buru melihat dunia, seluas-luasnya, selebar-lebarnya. Mumpung. Serius nih.

Soal bahagia, bahagia itu keputusan kok. Pilihan. Sekarang, detik ini juga, saya bisa memutuskan untuk bahagia. Soal kebebasan, hmmm… Seperti yang saya utarakan diatas, prioritasnya mungkin sudah waktunya direvisi. Kebersamaan, mungkin menjadi urutan awal dari daftar prioritas. Dan kuncinya, sekali lagi adalah kesadaran.

Notes.

Soal kesadaran ini, seperti dalam tulisan saya yang ini, dalam memilih dan membuat keputusan ada baiknya karena memang sesuai dengan kata hati. Bukan karena kata orang-orang. Termasuk postingan ini sekalipun.

Oia, endingnya, saya ternyata jadi berangkat ke Bukittinggi. Jadi tips lain kalo memang doyan berpetualang, sebisa mungkin cari pasangan yang memahami kegemaran akan jalan-jalan. Apalagi kalau doyan jalan-jalan bareng. Kesasar berdua? Malah jadi anugerah!! LOL

Universitas Kehidupan

Hidup adalah untuk belajar. Setiap kejadian/peristiwa yang dialami merupakan proses belajar. Maka itu sering disebut-sebut universitas kehidupan karena hidup itu sendiri adalah proses belajar seumur hidup yang berlangsung terus menerus. Jika bicara dalam tingkatan “soul”, setiap pengalaman hidup adalah data untuk memperkaya jiwa/roh. Saya percaya, bahwa dalam proses belajar tidak ada salah-benar. Setiap pengalaman berharga, yang salah sekalipun. Tidak ada yang perlu disesali.

Saya melihat, setiap orang belajar lewat caranya dan jalannya sendiri. Saya tidak mengatakan bahwa hasil belajar saya lebih bagus daripada yang lainnya, karena tujuan setiap orang berbeda-beda. Tujuan yang penting dalam hidup saya adalah pemahaman. Saya ingin memahami – penting bagi saya untuk menjadi paham dan mengerti. Jika saya bisa memahami, maka mudah bagi saya untuk mengerti. Karena itu saya sedari dulu selalu tertarik untuk mendalami, utamanya tentang manusia, dalam rangka mendapat pemahaman.

Tidak ada benar salah karena semua akan memperkaya. Proses belajar antara satu orang juga tidak lebih baik dengan orang lainnya. Tetapi itu dalam tingkatan roh/jiwa. Jujur saja, saya masih “terjebak” dalam bungkus bahasa (?) manusia, yang mendikotomikan salah benar, baik buruk, etc etc. Dan perasaan kecewa ketika melihat orang yang saya peduli, tidak menunjukkan progress/kemajuan dalam proses belajarnya. Apalagi jika orang tersebut adalah orang yang saya kenal, katakanlah saya peduli.

Bentuk kepedulian itu, saya ada harapan bahwa individu tersebut (misal) tidak terjebak melarutkan diri pada masalahnya, alih-alih mencari jalan keluar. Berbagai saran sudah terlontar, tetapi yang bersangkutan masih tetap merasa nyaman berada dalam keadaannya sekarang. Saya tentu saja tidak bisa memaksanya, dan bisa jadi itu adalah proses belajarnya dia.

Tetapi rasa geregetan itu tetap muncul jika dalam perjalanannya melihat teman tersebut ada tanda-tanda salah jalan, salah mengambil kesimpulan dalam proses belajarnya. Catat, ini dalam konteks bahasa manusia, karena sekali lagi sebenarnya tidak ada salah benar dalam proses belajar.

Kalau sudah begini, jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab dalam proses belajar seseorang? Misal saya tahu, tapi saya tidak ada kuasa untuk memaksakan hasil pengalaman saya kepadanya. Yah…saya tahu sih, yang paling bertanggung jawab atas proses belajar ya kita sendiri. Tetapi rasa kecewa, geregetan, gemes, dll itu tak kuasa saya cegah, tetap saja muncul.

Dan tantangannya justru ada pada saya sendiri. Tetapkah saya akan mencintainya, menerimanya dengan terbuka, walau ia telah mengecewakan saya? Meski ia dalam prosesnya tidak menunjukkan hasil seperti yang saya harapkan (apalagi kalau dia ada potensi), masihkah saya mencintainya, tidak meninggalkannya?

Ternyata oh ternyata….

Mengapa Perempuan Bisa Terdikte Oleh Iklan Pemutih ?

http://raytawaluyan.files.wordpress.com/2008/04/wanita-berotot.jpg

Postingan ini tak mencoba menggali tentang mitos kecantikan, pengaruh iklan, perilaku konsumen, dsb. Jadi, semalam saya menemukan artikel ini. Saya langsung seperti mendapat ilham. Saya kopas ya, bagian yang memberikan saya pencerahan:

Membuat keputusan bagi dirinya sendiri merupakan sebuah issue yang cukup besar di kalangan para wanita. Kebanyakan wanita takut mengambil keputusan untuk kehidupannya. Mereka begitu memperhatikan pendapat-pendapat dari berbagai pihak sampai-sampai mereka lupa untuk mendengarkan suara hatinya sendiri. Sehingga, tak jarang para wanita berakhir di sebuah kondisi kehidupan yang bukan menjadi pilihan mereka.

 

Klise memang, “mendengarkan suara hati”.

Issue-nya adalah, perempuan harus lebih berdaya untuk membuat keputusan sendiri berdasar apa kata hati mereka, alih-alih menuruti apa yang menurut orang lain itu baik untuk dia. Tak mudah, dalam prosesnya. Karena sangat mungkin, suara hati justru bertentangan dengan norma. Misal, menikah karena desakan orang tua. Masyarakat mungkin akan menuding si A durhaka karena memilih untuk tidak menuruti keinginan orang tuanya.

Perempuan harus lebih sering mendengarkan suara hatinya sendiri. Tidak terdikte oleh media, perempuan cantik itu yang seperti apa. Perempuan sempurna itu tampil seperti yang dicitrakan di iklan dan berbagai majalah gaya hidup, oh tidak, itu kata mereka dan itu citra, imaji. Perempuan katanya baru komplet kalau sudah menjadi istri dan menjadi ibu. Lantas bagaimana dengan mereka yang memilih tidak menikah, yang cerai, yang tidak dikaruniai putra-putri?

Judul di atas hanyalah sebagian kecil, contoh, ketika suara pihak lain lebih didengar. Keputusan yang diambil pun bukan atas nama jiwa sendiri yang berdaulat penuh, tapi kekhawatiran kalau dirinya tidak menarik karena berkulit gelap. Ketika penerimaan lelaki menjadi lebih penting daripada kedaulatan jiwanya yang lebih agung daripada sekedar kulit. Tapi sekali lagi, ini hanya contoh.

Suara hati kita lama tak terdengar, kalah oleh riuh rendah suara-suara ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, dll. Seorang kawan berkata, langkah pertama untuk mendengar suara hati kita adalah mulai dengan penerimaan diri, mencintai diri apa adanya. Tidak usah melabeli diri dengan label-label negatif, dengan menerima sisi kelam diri kita. Juga tidak usah khawatir dicap narsis atau sombong jika kita mengakui hal-hal positif pada diri kita.

Selamat mendengar bisikan suara hati…

 

Catatan.

Tulisan yang sangat bagus tentang sosok Kartini, oleh kang Zen. Tulisan yang membuat saya merenung tentang impian yang kandas, ketika mencoba mengacuhkan suara hati. Ah, ya, cuma pendapat saya tentang tulisan tersebut.