Tanggal 17 Mei adalah Hari Buku Nasional. Di twitter, timeline ramai oleh tweet para tweeple yang ingin sharing/bercerita kisahnya dengan buku. Hashtag-nya macam-macam, dari #buku, #kisahbuku, sampai #haribukunasional.
Dari sekian tweets, kisah Gus Ulil yang bercerita bagaimana usaha dia untuk mempunyai buku bacaan ditengah sulitnya akses mendapatkan buku (karena alasan ekonomi dan latar belakang geografis) cukup menarik perhatian. Jadi beliau membuat sendiri ‘buku’ dengan membuat kliping dari artikel dikoran bekas. Ini terjadi media tahun 1980an, dan Gus Ulil ini tinggal di desa di Jawa Tengah.
Tahun 2010 ini, akses masyarakat Indonesia untuk mendapatkan buku masih saja sulit, terutama di daerah terpencil maupun mereka dengan keadaan ekonomi terbatas. Memang, toko buku cukup banyak dibanding tahun 1980an, malah banyak pula toko buku diskon yang tersebar di beberapa kota.
Di Jogja sendiri malah ada toko buku, Yusuf Agency, dimana kita bisa mendapatkan buku-buku dengan harga sangaaaaat murah. Buku-buku yang dijual memang bukan buku-buku baru/up to date. Ada buku second tetapi kondisinya masih bagus, tetapi banyak pula buku-buku masih bersegel plastik rapat. Kalau kita cukup sabar mencari dilautan buku yang tidak tertata rapi laiknya toko buku biasa, niscaya kita mendapat buku-buku bagus dengan harga yang luar biasa murah.
Pengalaman saya di kota-kota kecil di beberapa daerah, keberadaan toko buku cukup langka. Seperti misal Cepu, kota kecil paling timur di Jawa tengah. Kurang lebih tiga bulan saya di kota tersebut, dan saya tidak menemukan toko buku seperti di Jogja. Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana akses masyarakat setempat mendapatkan buku-buku diluar buku pelajaran. Mungkinkah mereka harus pergi ke kota lain dulu yang ada toko buku G***** (jaringan toko buku yang paling luas, sepertinya baru toko dengan inisial G, bukan?) untuk bisa mendapatkan buku yang direview di koran nasional? Itu baru kota kecil di Jawa, jangan tanya daerah terpencil seperti di Lamalera atau Flores**.
Pertanyaan muncul. Untuk mereka yang sulit akses untuk mendapatkan buku-buku bermutu, apa yang harus dilakukan? Lebih baik mana, memperbaiki distribusi buku, menurunkan harga buku, atau menggampangkan koneksi internet hingga ke pelosok?
Lho, kok malah internet?
Nah ini dia. Jujur saja, beberapa waktu ini, intensitas saya bergumul bercinta dengan buku semakin turun, tergantikan oleh aktivitas saya didunia maya. Walau begitu, aktivitas membaca saya masih tetap atau mungkin bertambah (walau kalau mau jujur, sepertinya ndak nambah). Karena dengan terhubung ke internet, saya bisa membaca beragam sumber pencerahan dari artikel hasil browsing, blog, hingga wikipedia. Malah saya berani bilang, saya banyak mendapatkan pencerahan selama 3 tahun terakhir ini lewat membaca blog***.
Asyiknya lagi, membaca di internet juga bersifat interaktif. Seperti blog, setelah selesai membaca, saya bisa langsung menuliskan opini atau apa yang saya tidak paham dari postingan tersebut. Jika si pemilik blog membalas, maka bisa terjadi diskusi, yang ujungnya membawa saya ke pemahaman yang berbeda dibanding sekedar membaca saja. Seperti blog milik Wadehel (almarhum) dan Suluk yang banyak membuka mata mengenai sikap keberagamaan dan beragama itu sendiri. Atau lewat blog Sora dan Kopral Geddoe yang banyak memberi pelajaran berlogika dan juga bagaimana berdebat yang baik dan benar.
Karena itu di Hari Buku Nasional ini, lebih penting mana, bukunya atau aktivitas membacanya? Apalagi seperti yang saya sampaikan diawal, membaca buku (cetak) terkadang mahal. Lewat koneksi internet, cukup membayar koneksinya saja dan bisa membaca banyak hal dengan gratis, termasuk majalah/surat kabar. Apalagi begitu banyak situs perpustakaan online. Â Malah dari pengamatan saya, buku sekarang mempunyai fungsi lain terkait dengan gaya hidup. Buku menjadi suatu simbol gengsi tersendiri.
Bergaya dengan fashion branded terkemuka atau gadget, ABG pun bisa melakukannya. Tetapi nongkrong sendiri di kafe atau sekedar ruang tunggu, sambil membaca buku Derrida, atau yang judulnya saja membuat kening berkerut, membuat Anda langsung mendapat stempel ‘pintar’ atau ‘cerdas’. Anda langsung dimasukkan dalam klasifikasi mereka kaum intelektual dan berbudaya. Stempel tersebut memberi citarasa gengsi tersendiri, yang dirasa lebih sopistikated dan eksklusif dibanding mereka yang bergaya dengan fashion atau gadget.
Selain itu, buku juga mempunyai fungsi memberi rasa aman. Hal ini lazim terjadi dikalangan mahasiswa. Menumpuk banyak text book, entah asli atau fotokopian, tetapi berapa sih yang sampai habis dibaca? Tidak masalah, karena yang didapat adalah rasa aman terlebih dahulu (speaking of my personal experience).
Kembali ke pertanyaan, jadi lebih penting mana, aktivitas membacanya atau bukunya? Dan apa yang paling mudah (dalam arti, biayanya paling efisien) supaya masyarakat di pedesaan atau daerah terpencil akses membacanya makin mudah, distribusi buku, harga buku, atau koneksi internet?
NOTES.
** Blogger Nita Tanzil mencanangkan (wah, bahasanya) program perpustakaan untuk anak-anak di dearah terpencil di Flores. Bekerja sama dengan Coca-cola, kita juga bisa membantu program tersebut dengan submit foto di halaman ini. Gampang kan?
*** Mengenai blog, teman pernah bertanya-tanya di plurk (walau saya menangkapanya sebagai keprihatinan). Sepertinya blogosphere sekarang tidak se-hot era 2007, dimana diskusi bisa berlangsung cukup panas dan ramai bersahut-sahutan. Dulu seringkali mendapati komen diblog lebih panjang dari postingannya, karena si peng-komen begitu ‘bernafsu’ ingin menguraikan apa yang ada dalam kepalanya. Sekarang ini, diskusi di blog menurun jauh. Diskusi sepertinya berpindah ke twitter. Padahal, diskusi di twitter sangat dibatasi oleh 140 karakter.
Ping balik: Tweets that mention Hari Buku Nasional: Kisah Dibalik Buku « r e s t l e s s a n g e l -- Topsy.com
Aktivitas membacanya. Saya jarang baca buku tuh. Aksesnya lebih gampang ke media cetak mcm majalah & tabloid, serta internet. Buku masih mahal. Tapi lumayanlah tanpa buku, gak merasa bego juga kalo ngobrol sama Geddoe atau Memeth. 😛
Dengan asumsi bahwa yang paling perlu buku bermutu adalah pelajar & mahasiswa, saya pilih distribusi buku jadi prioritas. Ntah itu dijual baru, bekas, atau gratisan di perpustakaan (ini mesti diperhatikan, sumber buku terbaik bagi orang tak punya). Soal harga (kalo dijual) bisa diatur, yang penting barangnya ada dulu. Sementara internet, walopun menyediakan banyak sekali sumber bacaan bermutu, tapi butuh “seni” tersendiri untuk bisa tiba di tempat yang tepat.
BTW, saya rasa penyebaran internet malah lebih cepat daripada penyebaran buku kok. Jadi tak perlu kuatirlah soal ini. 😉
Menurut saya aktivitas membaca mbak. Karena seiring dengan meningkatnya aktivitas membaca, maka kualitas bukunya akan meningkat. Yah, namanya juga persaingan antar penerbit 😀
Distribusi dan harga buku itu hingga saat ini masih erat kaitannya. Apalagi kalau bukan karena ongkos distribusi yang mahal.
Saya kemaren liat video flash mengenai BACALAH. Buku adalah pintu dunia, membaca adalah kuncinya….
di kamar saya ada 8 buku tebal dengan judul yang ‘sadis’ tp tak beli cm buat gagah2an 😀
buku adalah gudang ilmu
saya kalau masuk toko buku suka lupa waktu 😀
kalo ditanya soal penting mana buku atau aktifitas membacanya ya jelas jawaban saya lebih penting aktifitas membacanya, karena untuk itulah maka buku diterbitkan???
aku suka buku. lebih suka yg diskonan atau malah yg bekas. di rumah, masih banyak buku yg blum sempet dibaca, tapi pembelian jalan terus, hihi
jadi malu meth, saya kerja di penerbitan tapi gak tahu halo hari buku itu tanggal 17 mei :p weleh! tapi bagi saya hari buku itu setiap hari meth…. lah wong tiap hari saya bernapas dengan buku, dalam artian saya membuat buku, menyeting buku, bikin cover buku, baca buku dan banyak buku sampe saya pengin bisa libur satu hari tanpa buku! 😀
Menurut saya lebih penting aktivitas membacanya. 😀
Sekali ngebaca buku, bisa bikin lupa waktu. 🙂
menurut saya, buku!!..alesannya, banyak efek samping internet yang negatip je..saya ndak perlu njlentrehkan apa aja itu efek negatipnya, saya punyak pengalaman mbikin koneksi internet di desa terpencil di kaki gunung merbabu..Ternyata traffiknya banyak yang lari ke situs2 XXX daripada yang lari ke situs2 yang berbau edukatip…padahal sudah ada kampanye dan anjuran buat ber internet sehat, ha tapi ya piye??belon banyak orang yang bener2 fokus untuk menggunakan internet sebagai media suplemen buku….Dan buku itu sendiri di negara ini jugak ndak terlalu populer mbak,,liyat saja di tiyap2 rumah di Indonesia ini, di ruang tamu ada ndak kita jumpai rak buku?..mungkin hanya beberapa,lha kalok tipi, pasti ada. Salam Kenal
ehem.
pengalaman pribadi juga nih, semenjak kenal internet dan googlebook jadi jarang buka buku secara fisik. cuma gara-gara goodreads saja jadinya rajin baca buku lagi.
ngomong2 alamat yusuf agency tu dimana ya, pengen mampir 🙂