Solo, Kota yang Ramah untuk Pedestrian

Tanggal 5-6 Juni lalu, saya dan beberapa teman Cahandong dolan ke Solo dalam rangka menghadiri acara Bengawan, Solo Sharing Online dan Offline. Seperti biasa, tripping (hah, kok tripping ya, its so laaast decade, isnt it?) kalo bareng Cahandong itu diisi dengan kegiatan ngakak dan berbagai kebodohan yang mencerdaskan. Tetapi bukan itu yang hendak saya ceritakan di sini.

Jadi begini. Walau Solo dan Jogja hanya sejarak 45 menit dengan kereta Prameks, tetapi saya ini jarang main ke Solo. Jadi kunjungan ke Solo awal Juni kemarin cukup menyegarkan memori saya. Kesan saya tentang Solo adalah kota yang ramah terhadap pejalan kaki. Kesan itu sangat terasa begitu turun dari Stasiun Purwosari. Tempat penginapan kami terletak di Jl. Slamet Riyadi, sebuah pilihan yang cukup ‘strategis’ karena terletak dipinggir jalan protokol. Dan yang terutama bagi kami (yang tidak membawa kendaraan tapi berhasrat untuk jalan-jalan) yaitu akses kemana-mana dari Jl. Slamet Riyadi cukup mudah, baik dengan jalan kaki, becak, maupun taksi.

Selesai dengan penginapan, ceritanya kami mo ngirit nih, kami memutuskan utnuk berjalan kaki ke tempat seminar Solo Sharing Online dan Offline berlangsung. Duapuluh menit pertama kami cukup menikmati jalan-jalan kami di trotoar yang memang dikhususkan untuk pedestrian. Trotoar sepanjang Jl. Slamet Riyadi sangat lebar (diksi ‘sangat’ memang subjektif, tetapi bagi saya, itu termasuk lebar jika dibandingkan dengan trotoar di Jogja yang habis untuk lahan parkir) dan –ini yang paling menyenangkan- teduh. Banyak pepohonan besar yang rimbun, cukup memberi keteduhan bagi kami pejalan kaki maupun yang pengen kongkow-kongkow. Jadi meskipun hari itu cukup cerah dan panas, kami cukup terbantu oleh teduhnya pepohonan. Apalagi sepanjang jalan ada penjaja makanan kaki lima dan kadang bangunan kuno nan antik yang menyenangkan untuk dipandang.

Tetapi dasar kami manusia kota yang kamso, setelah lebih dari 20 menit berjalan kami mulai kepayahan. Melewati Taman Sriwedari, kami bertanya-tanya, kok tidak melihat tanda-tanda digelar suatu seminar. Sementara menurut beberapa pedagang kaki lima yang kami tanyai, Grha Solo Raya ya di Taman Sriwedari itu. Kami terus berjalan hingga melewati Museum Radya Pustaka. Lho, kok sudah lewat museum nih, sudah jauh dan belum melihat tanda positif. Untung kami melihat seorang polisi (polisi pariwisata?) yang sedang duduk santai di depan gerbang Taman Sriwedari. Puji Tuhan Haleluya, dari polisi tersebut kami mendapat keterangan yang cukup jelas bahwa tempat yang kami tuju masih jauuuuhhh…

Jadilah kami akhirnya mutung dan menggunakan becak. Ternyata memang jauh (untuk ditempuh dengan jalan kaki) dan kami cuma ngekek-ngekek membayangkan andai kami tetap nekat jalan. Gemporrrr bok

Malamnya kami kembali mengulangi petualangan berjalan kaki menikmati kota Solo. Jadi selesai dari wisata kuliner menikmati timlo solo Marto, kami memutuskan pulang ke penginapan dengan berjalan kaki. Coba tebak berapa lama waktu yang kami tempuh? Kurang lebih 45 menit, saudara! Itu jalan kaki santai lho. Tetapi selama 45 menit itu kami cukup menikmati dan enjoy. Padahal waktunya sekitar menjelang tengah malam. Alasan utama bukan soal ngirit, hehehe, tapi ingin membakar lemak gara-gara wisata kuliner selama seharian di Solo. Keuntungan lain yang didapat, dengan berjalan kaki ternyata kami lebih bisa menikmati Solo dari dekat.

Sepanjang Jl. Slamet Riyadi waktu malam, cukup ramai dengan berbagai aktivitas warganya. Dari yang sekedar nongkorng pacaran (kami sempat memergoki pasangan yang sedang duduk mesra atau bahkan marahan), aktivitas klub (ada beberapa klub motor yang cukup bising), hingga mereka yang menikmati jajanan sepanjang jalan. Memang Jl. Slamet Riyadi, ndak siang ndak malam menyediakan banyak jajanan kaki lima yang menarik untuk diicip. Dulu malah saya menemukan sate kere alias sate tempe gembus di dekat Taman Sriwedari. Para penjaja kaki lima yang saya amati, cukup menjaga kebersihan lokasinya berjualan. Dan selama 45 menit kami membakar kalori, tak terasa kami sudah sampai hotel. Pengalaman yang cukup menyenangkan, dan yang patut diacungi jempol adalah tentang keamanan. Kami merasa cukup aman untuk berjalan-jalan tengah malam itu.

Paginya, sambil bersiap-siap menanti Pakde Blontank menjemput kami, saya kembali terkesan dengan Jl. Slamet Riyadi. Ternyata tiap hari Minggu, jalan tersebut bebas kendaraan bermotor dari pukul 6-9 (eh ato pukul 10 ya, lupa). Jadilah pagi itu banyak sekali warga Solo yang beraktivitas olahraga, jalan-jalan, bersepeda, jajan, dll.

Saya mengacungkan jempol untuk walikota Solo, Jokowi, dan pihak-pihak terkait. Mereka cukup berhasil memberikan kesan pertama bagi wisatawan yang datang ke Solo, dengan kesan yang cukup baik. Untuk catatan, sebagai ujung tombak pariwisata, tukang becak, sopir taksi, dll semestinya juga mendapat pembinaan bagaimana seharusnya melayani pelanggan/wisatawan. Selama perjalanan kemarin cukup baik sih, tidak mendapat pengalaman yang kurang menyenangkan. Bravo, Solo!

PS.

Kesan lain yang saya tangkap tentang Solo, sepertinya Solo sedang mempersiapkan diri sebagai kota MICE (meetings, incentives, conferences, and events). Dimana-mana saya mendapati spanduk/umbul-umbul event yang sedang dan akan digelar di kota tersebut. Mengenai Solo sebagai tujuan wisata kuliner, saya sepenuhnya mengamini. Banyak banget tempat makan yang musti dicoba, apalagi mereka yang mengaku lekkerbek. Kekayaan kulinernya luar biasa, bahkan saya dengan mudah menjumpai warung masakan babi dengan beragam variasi, seperti sate buntel babi hingga bakso babi.

Kalau foto-foto sungai, itu adalah sungai Bengawan Solo yang legendaris itu. Saya beruntung berkesempatan mencicipi acara spesial Solo Sharing Online dan Offline, susur sungai Bengawan dengan perahu karet. Seru banget, tapi disisi lain, aduuuhhh kotornya itu sungai… Bahkan pada waktu landing (eh apa ya sebutan ketika perahu mendekati daratan untuk merapat) saya jinjo gilo setengah modyar (tapi ga kelihatan dong diekspresi wajah saya) karena saya melihat di tepi daratan ada sisa-sisa pup… Kyaaaaaa…!!!

20 pemikiran pada “Solo, Kota yang Ramah untuk Pedestrian

  1. Ping balik: Tweets that mention Solo, Kota yang Ramah untuk Pedestrian « r e s t l e s s a n g e l -- Topsy.com

  2. Jl. Slamet Riyadi memang kayak Orchard Road, tapi yaaaa… cuma di jalan itu aja

    **restlessangel**
    iya sih, cuma sepanjang jalan itu aja. etapi malioboro aja ga seperti itu jeee >.<

  3. Hihihi, setidaknya sungainya masih layak disebut sungai, bukan selokan raksasa seperti di Jakarta 😛

    **restlessangel**
    selokan raksasa? lebih tepatnya, WC raksasa dan tempat pembuangan sampah raksasa.

  4. Salut dengan walikotanya, Pak Joko Widodo. 🙂

    **restlessangel**
    saya juga 😀 cara dia memindah pedagang tanpa harus pake satpol PP itu lho. trs kapan juga baca diberita, tukang becak yg khawatir tergusur akibat pembangunan halte trans solo, sambil mendirikan paguyuban mrk juga protes. eh malah diterima ama jajaran pejabat disono dan dipersilakan mendeklarasikan di ruang walikota.

  5. Sayang saya kemarin gak bisa ikut ke solo karena pas ujian.
    Tapi dulu saya pernah tinggal disolo selama 3 bulan, pernah ikut acara blogger solo juga
    Sala kuta budaya 🙂

    **restlessangel**
    wooo pasti kenal yg megang kutho sala, pakde blontank ;;)

  6. Kalau gak salah, sebutan ketika perahu mendekati daratan untuk merapat adalah “sandar”, soalnya saya sering mendengar orang dipelabuhan mengatakan “Kapalnya sudah sandar” yang artinya kapal sudah parkir di pelabuhan. *Maaf kalau salah*

    **restlessangel**
    wuah, maturnuwun infonya. pasti benernya deh 😀

  7. Kalo jalan2 di sepanjang Jl. Slamet Riyadi memang enak, suasananya sangat nyaman dan teduh karena banyak pohon2 besar disepanjang pinggir jalan memang di sana dijadikan sebagai area city walk.
    Coba jalan-jalan di tempat lain di Solo, rasanya tidak nyaman terutama karena suhu udara di Solo cukup panas dan jarang ada pohon pohon besar.
    Soal Solo mempersiapkan diri sebagai kota MICE, hal tersebut memang benar. Sejak kepemimpinan Bp. Joko Widodo, Solo banyak mengadakan event-event dan konferensi baik tingkat lokal maupun internasional.

    **restlessangel**
    ooo pantesan… tapi tapi walaupun disayangkan ga semua ruas jalan begitu, tapi itu masih mending lho. maksutnya sbg ruas jalan pertama dimana turis dateng. bikin impresi positif, gitu. kl jogja? duuuhhh jangan berharap sama malioboro (doh)

    • Iya benar, di solo trotoar yang ada masih sedikit, tapi berkelas. hahaha seandainya di sebelah utara slamet riyadi, di manahan, di tmpat lain juga ada. itu akan bs menambah kunjungan wisata.

  8. SATE BUNTELLLLLLL !!!! kok lupa ya saya nyobain menu yg satu itu hihi~ *tukang makan mode on*

    **restlessangel**
    jiaaahhhh ruggiii banggettt, dut. uenaakkk maknyoss pisan.

  9. lah lu cuma ke jalan slamet riyadi doank.. coba ke jalan2 lain nyiksa pedestrian kaga ada trotoar.. malah di banyakin tempat buat taneman.. menuh2in jalan masa pedestrian di suruh jalan di jalan raya.. taneman nya brengsek emang!

Tinggalkan Balasan ke Nazieb Batalkan balasan