Komunikasi di era 2.0: Lebih Sulit atau Lebih Mudah? (1)

Postingan ini terilhami setelah mengamati kelakuan para pengguna socmed, khususnya twitter dan plurk, tapi tak menutup medium lain. Dari sini timbul pertanyaan besar:

MENJALIN KOMUNIKASI DI ERA 2.0 DAN SOCMED APAKAH LEBIH RUMIT DAN EMOSIONAL DARIPADA KOMUNIKASI DI REAL LIFE?

Alasannya:

  • Banyak ‘keributan’ di socmed, seperti soal follow-unfollow, flooding timeline,  atau RT abuser, menjadi topik yang sering sekali dibicarakan. Banyak sekali pengguna socmed yang mengeluh, yang merasa ‘sangat’ terganggu sehingga mereka komplain, curcol, nyindir, nggremeng, etc ditimeline mereka sendiri.
  • Keributan tersebut memang tidak sampai yang berdampak sosial yang massive, bisa jadi memang agak lebay/dilebih-lebihkan. Tapi ya gitu, dari pengamatan, selalu saja ada orang-orang yang terganggu.

Sebelum saya teruskan lebih lanjut, saya mendefinisikan dulu apa yang dimaksud dengan era 2.0. Saya merujuk pada Wikipedia, disini yang dimaksud dengan era 2.0 adalah web 2.0. Definisi web 2.0:

Web 2.0 adalah aplikasi web yang memfasilitasi interaksi yang lebih interaktif (dua arah) dari penyedia/pengisi konten dengan penikmatnya. Aplikasi tersebut selain memungkinan terjadinya dialog, juga information sharing dari dua belah pihak. Bisa dikatakan dengan aplikasi tersebut  dapat memunculkan dari diskusi hingga kolaborasi.

Dari pengamatan saya (yang termasuk juga pengguna socmed) muncul beberapa hipotesis/asumsi:

Berkomunikasi di era socmed dan 2.0 seperti sekarang ini membutuhkan skill komunikasi yang lebih daripada komunikasi biasa.

Mengapa? Karena berkomunikasi lewat tulisan, selain harus bisa menuangkan pikiran lewat bahasa tulisan yang bisa dipahami orang, juga harus bisa memahami nonverbal/yang tersirat dari sebuah tulisan. Non verbal itu bisa mencakup nuansa emosi, mengenali karakter seseorang dari tulisan-tulisannya, dll.

Kalau komunikasi ‘standar’, non verbal tersebut bisa kita lihat dengan mudah, seperti gesture, ekspresi wajah, dll. Ingat, bahwa non verbal dalam komunikasi malah justru mengungkap/berbicara jauh lebih banyak daripada yang verbal. Selain itu, berinteraksi dunia maya bisa jadi lebih rumit  karena kita bisa bersembunyi dibalik topeng/alter ego yang sengaja kita ciptakan.

Jadi lazim kita temui orang yang berbeda antara di dunia maya dan di dunia nyata. Apalagi jika menyangkut netiket (yang belum luas diketahui orang seperti halnya etika pergaulan di dunia nyata) dan pengendalian diri.

Dari kultur sendiri, masyarakat kita menurut para pakar lebih terbiasa dengan budaya lisan daripada tulisan. Walau banyak juga yang mengaku, lebih mudah mengungkapkan pikiran lewat tulisan daripada lewat verbal, tetapi hal tersebut tidak menjamin dia mempunyai skill komunikasi (tulisan) yang cukup baik.

Alasan lain yang mendasari asumsi diatas:

Dalam masyarakat online, suatu kabar/buzz lebih cepat menyebar daripada lewat medium komunikasi telepon genggam/sms, literally dari mulut ke mulut, apalagi pos merpati (halah).

Contoh, adanya trending topic di twitter dan viral marketing yang makin sering digunakan akhir-akhir ini.

Dari pengamatan, entah kenapa lebih banyak yang percaya adanya kabar yang belum jelas kebenarannya kalau disampaikan lewat media text (media televisi dan radio juga sih, tapi kita kan sedang membahas komunikasi tertulis) daripada yang sekedar bisik-bisik. Apa karena faktor komunikasi tertulis dapat terdokumentasi dengan baik, sehingga mudah dilacak/meninggalkan jejak daripada lisan yang cenderung lebih mudah dilupakan/sukar dilacak.


BERSAMBUNG KE BAGIAN SELANJUTNYA, KARAKTERISTIK KHAS TIAP SOCMED :goodluck:

19 pemikiran pada “Komunikasi di era 2.0: Lebih Sulit atau Lebih Mudah? (1)

  1. Horeeeeee, sudah diposting!

    Saya sudah agak lama jadi pengguna jejaring sosial dan socmed, tetapi sampai saat ini masih belajar untuk mendapatkan model yg paling sesuai untuk membantu kehidupan saya sehari – hari.

    Contoh coba – coba saya adalah ketika kemarin komplain ke xl melalui telepon dicuekin, kemudian me reply @xl123 dicuekin. Maka saya pun mulai menggandeng orang2 yg saya kenal di socmed.

    Nah disitu pengaruh socmed mulai terasa dan @xl123 mulai kasih respon :d

    Salam mba

  2. Saya pikir menikmati media 2.0 itu sama halnya seperti menikmati buku. Ya, kita tak bisa mempercayai 100% apa yang tertulis disana. Oleh karena itu hendaknya kita kaji ulang dan pikir baik-baik maksud dari apa yang tertulis. Sejauh ini saya lihat media 2.0 di Indonesia lebih berpotensi sebagai gerakan people power saja.

  3. Komunikasi lewat tulisan lebih sulit menurut saya.
    Karena kalo ada ke(salah)an sedikit, akan muncul banyak pertanyaan dan kritik.
    Untuk menjelaskannya harus benar2 tepat. Agar gak muncul kritikan dan pertanyaan baru.

    Kalo secara lisan, hanya butuh waktu dikit, “oh iya, maaf salah.”.
    Kek gitulah. Bingung juga nulisnya hihihii

    Merdeka!!!

  4. biasanya, org yg dikit2 terganggu itu karena dasarnya rese aja. dlm dunia nyata, lagi nyetir tenang2, tiba2 ada bis ngawur atau ada motor main nyelonong. di socmed, ga semua orang ngerti aturan mainnya.

    we live in that kind of world. jadi, kl hal2 kyk gitu masih jadi masalah, gue jadi pengen nanya: udah hidup berapa lama sih lo? *sok tua* 😆

    sejauh ini, gue ga memilah-milah etika online dan offline. dan gue masih seneng2 aja dan blm kepentok masalah komunikasi hehe 😀

  5. *maaf sebelumnya*
    cuma sedikit koment.
    emang tanpa disadari socmed kini seakan menjadi kebutuhan pokok,
    setiap orang berlomba untuk exis di dunia socmed..
    terkadang dengan mengorbankan kejujurn, berlindung dibalik topeng yang sengaja dirancang, ini yang membuat sedikit kehiupan saya terusik,kpan sih dunia jujur….

    so buat saya, socmed itu seperlunya saja, *kata orang sih, jangan alay-lebai*
    mengenai etiket, bahsa verbal
    saya termasuk sulitpercaya dengan berita yang menyebar di dunia maya, kecuali setelah saya sendiri menemukan bukti dengn ukran kebenaran saya snediri,

    sedang bagaimana emosi lawan, kita akan bisa memahami ungkapan bahasa orang lain setelah cukup banyak asam garam yang tertelah *membaca dan berinteraksi*
    maaf bila terasa menggurui…

    linux for human being

  6. Bagus postingannya?? kita flash back dr fungsi socmed itu dulu, kan itu diciptakan untuk mempermudah komunikasi dari satu orang ke orang lainnya, yg terpisah jarak. namun, dengan beriringan waktu, malah fungsi itu bisa berkembang. Orang yg di dunia nyata, tak bisa meluapkan emosinya, namun dia mencari alternatifnya, yaitu di dunia maya.
    ok, keep blogging.

  7. socmed itu lebih ke “menambah pengetahuan dan relasi” buat saya.. tidak bertatap muka, tidak mendengar suara, bukan berarti kita nggak punya etika untuk bergaul di dunia socmed kan? tapi ada batasan-batasan yang setidaknya saya coba berikan untuk diri sendiri, bahwa kehidupan pribadi jangan sampai diumbar di socmed.. seperlunya saja *giggle* 😀

  8. kebanyakan orang kan lebih memilih segala sesuatu yg praktis, di era informasi ini hampir semua aktivitas dpt diakomodir olehnya, komunikasi jarak jauh, transaksi online, cari informasi, dst.. kemudahan=kenyamanan=kenikmatan.. asyik deh pokoknya. Autis?? ga tau deh.. 🙂
    tulisannya bagus mba,, bbrp kata asing buat saya.. jadi ketahuan harus banyak belajar lagi 😀

  9. Ping balik: Tweets that mention Komunikasi di era 2.0: Lebih Sulit atau Lebih Mudah? (1) « r e s t l e s s a n g e l -- Topsy.com

  10. aku sih pengen balance aja dunia nyata dan dunia maya. Enjoy aja deh, ngga di dunia maya atau didunia nyata sopan-santun tata krama dan norma-norma sosial dan agama teteup diperhatikan kalo ingin bersosialisasinya tetep asyik loh!kecuali emang tukang nyolot…he…he…

  11. kaya2nya sih, masalah komunikasi in- and out- socmed sama aja terjadinya kok.. entah penyebab atau frekuensinya.. cuma mungkin yang di socmed ini lebih booming karena orang2 akan ‘lebih save’ ketika mereka ‘ribut2’ di tempat di mana identitasnya bisa anonim..

    tapi basically sih, sama2 berisikonya sih kalo masing2 pihak kurang bijak dalam berkomunikasi 😉

  12. netiket di social media pelan-pelan mulai dipahami dan dipenuhi. Saya sih berusaha dalam rel itu meski tetep harus apdet terus karena perkembanan soc-med yang melaju juga perlu diiringi dengan penambahan netiket, khususnya bagi saya qe3

    Di blogging, masih terus perilaku ko-pas. Yang saya temui bukan lagi antar blog tapi ko-pas dari media online untuk blog yang memilih niche/konsep blog penyedia informasi ringan semacam tips. masalahnya ko-pas tanpa menulis sumber demi sebuah image mampu menulis original yang sejatinya semu 🙂 IMHO sih 🙂

  13. yg jelas hrs lebih pintar … kl merasa terganggu tinggal bikin list, malah gak usah follow … byk pilihan di socmed kl cerdas hihihi~ *menuju tulisan II*

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s