Hunian Sederhana dan Mimpi untuk Karangasem

image

image

image

image

image

Saya tertegun sewaktu berdiri di bibir jurang desa ini. Sulit membayangkan kondisinya sewaktu desa ini masih utuh. Banjir lahar dingin menerjang Desa Karangasem beberapa kali, mengamblaskan separo desa, menyisakan tebing jurang. Mental orang Jawa, walau separo desa hilang, sawah kebun rumah amblas, masih merasa beruntung, “untung gak ada korban jiwa, untung ternak bisa diselamatkan.”

Saya berdiri di bibir jurang. Jarak antara tempat saya berdiri hingga ke bawah dimana Kali Putih mengalir, setinggi 14 meter. Serius saya sulit membayangkan tempat ini dulunya bagaimana. Konon katanya aliran Kali Putih sudah berubah. Kalau diwaktu mendatang lahar dingin menerjang lagi, beberapa kelokan tebing akan runtuh. Beberapa rumah sudah mepet dengan bibir tebing. Tinggal tunggu waktu saja sampai rumah tersebut ikut longsor.
Masih tertegun, saya tersentak ketika diberitahu bahwa banjir lahar dingin yang menerjang Karangasem ini terjadi Oktober 2010. Ohmy, sekarang Juni 2011. Itu kejadian sudah sekian bulan lalu…

Tujuhbelas rumah amblas. Sekarang sudah dibangun, delapan hunian sederhana. Tanpa bantuan pemerintah sama sekali. Tinggal sembilan hunian lagi. Kalau kata mas Karman, ini kampung sosmed, karena rumah yang berdiri atas bantuan warga social media. Rumah sederhana berdinding sebagian anyaman bambu, sebagian batako/batu bata. Kusen, pintu, batu bata/batako, sebisanya memanfaatkan apa yang tersisa dari rumah yang amblas. Rata-rata per-unit menghabiskan 4 juta rupiah. Sebagian dibangun di atas kebun sendiri, sebagian disewakan tanah.

Sore itu angin lembut menyisir kulit. Menjelang magrib di akhir obrolan, Mas Karman sempat mengungkapkan mimpinya.
“Selesai pembangunan hunian sederhana ini, PR saya selanjutnya adalah pendidikan. Ternyata banyak anak warga Karangasem yang bersekolah hanya sampai SMP. Ketiadaan biaya yang membuatnya demikian.”

Saya ndlongop. Karangasem ke Jogja itu hanya beberapa kilometer. Dengan mobil hanya setengah jam. Tak jauh dari situ, ada SMK.
Masih ada gitu, desa yang mayoritas anaknya cuma mengenyam pendidikan sampai SMP?

Sayang saya terburu-buru pamit karena diburu janji dengan dokter. Ternyata saya sempat dibungkuskan tape singkong mentega oleh Pak Samijo. Pak Samijo ini pembuat tape singkong yang disetor untuk bahan baku pembuatan permen tape.

Di jalan pulang, saya teringat kembali pembicaraan dengan Mas Karman dan Mas Penyu. Betul, Desa Karangasem ini banyak potensinya. Dari desa wisata alam hingga kuliner seperti tape. Tak jauh dari Jembatan Krasak, tak jauh dari Borobudur, dekat ke Kalibawang Kulonprogo.
Tapi warganya masih membutuhkan sedikit bantuan dari kita untuk bergerak lebih mandiri dan berdaya.

Berbagi sedikit dari apa yang kita miliki, untuk kemandirian dan pemberdayaan orang lain. 🙂

CATATAN:
Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang Desa Karangasem, bisa tanyakan langsung kepada Mas Karman lewat twitter di @karmanproject.

9 pemikiran pada “Hunian Sederhana dan Mimpi untuk Karangasem

  1. Dalam ‘potret-potret’ seperti itu, kamu masih merasakan kehadiran negara nggak, Dik?
    Aku kok nyari dari tadi ngga ada ya… rakyat dibiarkan berdiri dalam komunitas lokalnya.. negara impoten memandang dari jauh persoalan sebagai sesuatu yang layak diperdagangkan hanya lima tahun sekali..

    Semoga iki salah 🙂

  2. Saya sama sekali kalau mayoritas anak – anak di Karang asem hanya menikmati pendidikan sampai SMP. Dari jauh saya melihatnya sebagai daerah yang subur, lereng Merapi. Saya kira keengganan penduduk di lingkar Merapi untuk meninggalkan rumah pada erupsi Merapi beberapa bulan yang lalu karena mereka dapat dengan mudah mencari penghidupan yang baik.

    Di desa dimana saya tinggal yang kelihatan jauh lebih gersang dan sulit, hanya ada beberapa ngga sampai 20 anak yang berusia dibawah 20 tahun yang tidak lulus SMA

    • mungkin karena presidennya lebih sering prihatin daripada action, Paman. Jadi masalah action ya sangat tergantung pada kemandirian warga negara.
      Ah kalo gitu mending ga punya pemerintah ya?

      Jeng Med, aku bantu sebar ceritanya yaaaa….

  3. wuih miris bgt lihatnya mbak… kesadaran warga malah lebih kuat untuk saling berbagi ketimbang orang-orang di atas yang lebih mementingkan perutnya ketimbng warga yang memerlukan bantuan ya…

  4. ironis…desa yg hanya bbrp kilometer dr “kota pendidikan”,rakyatnya tak cukup biaya utk melanjutkan pendidikan… jangan2 benar ungkapan,bhw di indonesia: “orang miskin dilarang sekolah”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s