Need to Slow Down

 

Ini postingan refleksi, bukan curhat. Lebih ke kesimpulan yang didapat dari hasil perenungan, paling banyak didapat sewaktu nongkrong di WC menunaikan kewajiban alam. Perenungan mengendapkan pengalaman atas berbagai situasi yang dialami beberapa waktu terakhir ini.

Kalau di milis, saya pernah mengatakan ingin berbagi mengenai manajemen stress terkait adaptasi ketika tinggal di tempat baru (Jakarta), tak lama kemudian saya diberi kesempatan naik level untuk belajar manajemen stress level yang lebih advance. Pemahaman saya terhadap manajemen stress, diuji lagi. Terus terang agak keteteran dan sempat mengalami gejala depresi. Tapi dari situasi tersebut, saya mendapatkan pengalaman dan pembelajaran baru.

We need to slow down, apalagi di kota seperti Jakarta ini. Kota yang menuntut semua serba cepat, kita dituntut untuk multitasking, hyperspeed kalau bisa, dihajar deadline sana-sini, memuaskan berbagai pihak. Begitu bangun, otak sudah langsung diajak untuk kondisi alert/beta. Kondisi stress.

Untunglah, yah saya masih beruntung. Saya masih diberi kemampuan untuk mengamati, baik situasi sekitar maupun mengamati diri sendiri. Dari sini saya menyadari, we need to slow down. To really feel and having conversation/dialog dengan hati kita sendiri. To find peace of mind. Adalah pada saat-saat hening, baru bisa mendengar diri sendiri.

Hidup adalah proses belajar yang terus berlangsung. Bersyukurlah yang diberi kesempatan untuk mencobai berbagai pengalaman, itu artinya kita punya kesempatan untuk belajar. Naik level?

Tiba-tiba terbersit pertanyaan. Gentarkah kamu jika diberi kesempatan untuk naik level, yang berarti bisa saja kamu dicobai pengalaman yang lebih sulit daripada yang sudah-sudah.

 

 

8 pemikiran pada “Need to Slow Down

  1. Kehidupan memang proses belajar. Sampai akhir hayat.
    Klise? Mungkin. Yang pasti manusia terus belajar dan bisa berubah. Maka bisa saja pasangan yang sudah punya cucu bercerai. Kenapa? Setidaknya salah satu berubah banyak dan pasangannya tidak lagi dapat menenggang. Atau, tak ada “perubahan besar” tapi masing-masing merasa sudah ilfil 🙂

  2. aku yg lahir dan besar di Jakarta mikir nya agak beda kali ya… butuh slow down ya pasti.. semua orang butuh itu.. tapi sekali2 nya ke luar jakarta.. yg ada ngerasa bosen sangat.. waktu kayak ndak abis2.. piye ya… 😐

  3. Saya tertarik utk membahas ttg “We need to slow down” krn sangat relevan dalam kehidupan sehari hari, baik untuk kapasitas fisik, pikiran maupun mental.

    sejak jaman kuno, telah ada ajaran kebijakan yg mengatakan bahwa kita, manusia, mencapai potensinya dan kesadarannya yg tertinggi justru pada saat telah “berhenti” dan “hening” dari semua pekerjaan yg dilakukan.

    seperti sebuah analogi bahwa otot tubuh manusia itu tumbuh dan berkembang justru pada saat sedang istirahat, bukan pada saat dilatih atau bergerak.

    seperti pula sebuah analogi bahwa seorang ahli bela diri mencapai kemampuan tertingginya justru pada saat dia ber-meditasi dan hening dari semua latihannya.

    seperti pula sebuah analogi bahwa seorang seniman, pujangga, penyair, penari, pemahat dan pematung justru mendapatkan pencerahan ttg karya besar yg akan dia hasilkan pada saat dia telah tidak lagi memikirkan karya yg akan dia buat.

    dalam ilmu kebijakan kuno, “Hening” adalah sebuah kekuatan karena dari hening lah kita mendapatkan kembali kehakikian & kesegaran seperti semula ketika kita melakukan sesuatu dg passion kita.

    setelah kita selalu bergerak dengan cepat, kita perlu berdiam diri “hening” untuk menyatu dengan getaran semesta yang telah menghubungkan kita dengan apa yang telah kita lakukan sebelumnya. kita menyebutnya “Koneksi Internal”, yang melebihi batas akal “beta” atau otak yang selalu aktif dg persepsi luar, agar kita bisa melihat kedalam dalam kondisi hening “Alpha” dg persepsi internal kita 🙂

  4. Aku setuju sama suhu yo.. Aku kadang klo pusing koding ya jalan jalan, diem, gak mikirin kerjaan ku dulu. Biasanya malah lebih sering dapet inspirasi, minimal otak fresh deh

  5. Saya lebih berpikir hidup ini adalah pilihan.
    Di sini banyak teman memilih untuk tetap bekerja sebagai seorang profesional yang telah 15 tahun lebih ia geluti bidangnya. Disuruh naik, ia menolak. Alasannya? Uang bukan yang terutama, selama ia bisa mendapat apa yang ia mau dan negara menjamin ‘sisanya’ ya tak mengapa.

    Ada juga yang tak sabar ingin secepatnya naik level, dan ya diperbolehkan meski dengan resiko seperti yang kau bilang di paragraf terakhir. Tak jarang dari mereka berakhir dengan stress… pait2nya stroke, meski ada juga yang sadar diri trus minta diturunkan lagi jabatannya.

    Kuncinya? Pekerjaan adalah sebagai pilihan.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s