September

 

September selalu mempunyai kesan khusus untukku. Tidak saja karena bulan itu aku ulang tahun, tapi lebih karena memory yang melekat menyebabkan muncul kesan tersendiri. September yang buatku berarti Virgo, dengan lambangnya yang begitu feminin, mempunyai kesan karena dua peristiwa yang mengerikan. Pertama, peristiwa gestapu. Maklum, sebagian besar masa kecilnya dihabiskan di jaman orba, jadi untuk bertahun-tahun didoktrin tiap tanggal 30 September dengan pemutaran gestapu.

Sejarah memang memihak kepada yang berkuasa. Ketika sekarang kekuasaan berganti dan sejarah pelahan berganti sisi, kesan yang ditinggalkan dari suara musik film gestapu tersebut susah untuk dihilangkan. Kini aku tahu bahwa gestapu sesungguhnya adalah periode pembantaian terhadap sesama anak bangsa. Lebih mirip perang saudara. Setelah mengetahui sebagian faktanya malah semakin menambah kesan kelam September—bulanku, yang harusnya ceria.

Kedua, 7 september adalah tanggal di mana Munir meninggal. Penyebab kematiannya adalah karena racun arsenik. Yang membuat pedih adalah karena ada kemungkinan Munir dibunuh untuk membungkam dan menghentikan perjuangannya. Pas tanggal 7, pas September, pas ulang tahunku. Jadi seperti diingatkan terus.

Tentang kematian Munir ini, kebetulan waktu itu masih lumayan mengikuti berita. Masih inget reaksi Bapak Ibu tiap nonton berita tentang Munir, mereka pun mengagumi Munir. Kalau ga salah ingat, mereka kagum, karena Munir ini warga keturunan (Arab) tapi idealis dan mau berjuang untuk orang lain.

Kebetulan, September 2012 ini di twitter sedang ada gerakan 2 juta avatar Munir untuk mengenang Munir. Sejak saat itu banyak twit-twit yang bercerita tentang Munir. Salah satunya dari mba Dhyta @puplerebel, yang menceritakan sosok Munir dari sisi personal, interaksinya yang terbatas dengan Munir. Aku terkesan sekali dengan sisi kesederhanaan dan pengorbanan Munir untuk orang lain.

Jadi berpikir, nilai-nilai kesederhanaan terutama dari orang-orang besar selalu membuat kita kagum dan tersentuh. Apalagi jika orang tersebut sebenarnya bisa mendapatkan materi lebih dari yang dipunyai, tapi ia rela untuk tidak mendapatkannya, karena selalu dipakai untuk kepentingan orang lain. Di era yang makin materialistis, ketika tolok ukur sukses diukur dari kepemilikan benda dan popularitas, maka menghidupi nilai-nilai kesederhanaan rasanya makin jauh.

Semalam di perjalanan menuju Jakarta, tiba-tiba melamun tentang Gadjah Mada dengan sumpah amukti palapanya. Yang aku tahu dari sumpah tersebut adalah, Gadjah Mada tidak akan bersenang-senang sebelum cita-citanya (Majapahit Raya) terwujud. Kok sepertinya tidak menemukan orang-orang pemerintahan atau politikus yang seperti itu ya. Menjalani laku prihatin demi Indonesia yang lebih baik. Rela ga makan wagyu dan naik jaguar, selama masih ada warga yang makan nasi aking dan ga bisa mengubur jenasah karena ga punya duit.

Tapiii…sebagai anak bangsa yang lebih suka hidup nyaman, ya mengerti sih sulitnya menjalani hidup sederhana. Bukan sulit karena tidak mampu, lhawong hidup sederhana itu malah spend less. Tapi ga mau. Maunya yang senang-senang, gampang penginan-nya terpenuhi. Hidup sederhana itu harus menekan keinginan pribadi, dan untuk itu musti engga iri. Karena iri berpangkal dari keinginan yang tak tercapai tapi orang lain dapat mencapainya. Percayalah, iri itu tidak enak.

Oke, ini sudah melantur kemana-mana. Soal Munir yang kematiannya kebetulan di 7 September. Akhir-akhir ini berpikir banyak tentang pengorbanan. Sudahkah saya melakukan pengorbanan?

Tentang gestapu, tentang sejarah. Menyitir tagline dari novel Cloud Atlas: Death, life, birth. Past, present, future. Love, hope, courage. Everything’s connected. From death until rebirth.

Happy birthday, me, in my present life.

Who Am I?

Gambar

Sebagai orang yang lebih aktif di twitter daripada social media lainnya, seringkali mendapatkan inspirasi dengan mengamati percakapan atau monolog di timeline. Salah satunya adalah membaca lontaran yang sering terbaca di timeline, kira-kira semacam ini bunyinya: “Jangan menilai orang dari twit-twitnya” dengan berbagai variasinya.

Menurutku penolakan seperti itu adalah bentuk penyangkalan terhadap isi twitnya sendiri. Kalau kita follow seseorang yang sering banget ngetwit isinya mengeluh, misuh-misuh, kasar, marah-marah, artinya apa? Bisa jadi sih, ketika ketemuan, ternyata orangnya pendiam, santun, ga banyak bicara. Tapi ga lantas twit-twitnya jadi ga berarti. Coba tanya kepada mereka yang sering stalking akun orang, bagaimana mereka bisa mendapatkan profiling singkat dari stalking timeline. Misal, dari mengamati timelinenya, kita jadi tahu si A perokok aktif, demen nongkrong di sevel, minuman kesukaannya bir, insomnia, kerja freelance, penyuka ikan cupang sebagai peliharaan, penganut paham sosialis, kritis karena suka bertanya hal-hal yang jarang dipikirkan orang lain, peduli dengan isu-isu sosial karena demen komen tentang berita-berita terkini, dsb dsb dsb. Apalagi ditambah ia demen absen 4sq, makin lengkap data yang kita peroleh.

Proses penilaian ini, sebenarnya tak jauh beda dengan yang dilakukan para psikolog, terutama penilaian kepribadian (kita menyebutnya assesment sih). Kepribadian alias personality, berasal dari kata persona yang berarti topeng. Yep, kepribadian memang topeng (-topeng) yang ditampilkan sesuai dengan lingkungan sekitar kita. Kita cenderung menampilkan diri secara berbeda di setiap peran/situasi. Dan itu wajar-wajar saja, sehat dalam arti fungsi kita tidak terganggu dan tidak mengganggu orang lain.

Sebagai makhluk individual sekaligus makhluk sosial, ada banyak peran yang kita jalankan sekaligus. Misal, sebagai anak buah di kantor, tapi di rumah sebagai kepala keluarga, di tetangga sebagai ketua RT, di organisasi sebagai bendahara. Kita bersikap di depan keluarga dan saudara mungkin berbeda dengan sikap kita di depan kantor, berbeda juga dengan sikap di antara teman-teman online dengan teman-teman SMU. So, tidak usah merasa berkepribadian ganda jika merasa berbeda sikap diantara teman-teman twitter dan diantara saudara. Untuk mendapat penilaian kepribadian ganda, perlu assesment yang lebih dalam dan data yang jauh lebih banyak, ples indikator perilaku lainnya.

Dalam psikologi dengan topik psikologi kepribadian-nya, berbagai tipe kepribadian yang dilansir para psikolog sebenarnya adalah upaya untuk lebih memahami manusia dan perilakunya. Karena itulah ada banyak sekali tes psikologi, karena psikotes adalah upaya ilmiah untuk memahami kepribadian manusia. Ilmiah, karena dalam penyusunan tes-tes tersebut melewati berbagai tahap pengukuran lho, dan rumit.

Dari sisi awam sendiri, dengan mengetahui ia termasuk tipe kepribadian yang mana, adalah salah satu upaya untuk mengenali dirinya sendiri. Tentu aja ada cara lain dalam proses lebih mengenali diri, selain psikotes. Seperti yang dibahas di paragraf selanjutnya. Ini berhubungan dengan pertanyaan “who am i” yang menjadi judul postingan ini.

Ada yang berpendapat bahwa siapa kita tak bisa didefinisikan berdasar pekerjaan kita, jabatan kita, status pernikahan dan jumlah anak, hobi kita, minuman favorit kita, preferensi seksual, dsb. Ada pula hadis (qudsi) yang menyatakan, “barang siapa yang mengenali dirinya maka ia mengenal Tuhannya”. Socrates sendiri bilang, “know thyself”.

Gambar

You think you know yourself? Kalau ada yang menjawab ya, menurut saya, ia sombong dan pongah. Mengenal diri sendiri adalah proses yang terus berjalan seumur hidupnya. Manusia adalah makhluk yang dinamis dengan berbagai pengalamannya. Bagaimana seseorang dapat mengenali dirinya? Well, cara ‘singkat’ memang dengan mengisi berbagai tes kepribadian/psikotes. Tetapi harus diingat, bahwa hasil yang keluar dari tes tersebut hanya salah satu data dan hanya mengungkap kecenderungan/bukan harga mati.

Di psikologi sendiri, ketika melakukan assesment, psikotes hanya salah satu alat untuk mendapatkan data. Ada lagi wawancara dan observasi. Apalagi penilaian kepribadian di psikologi umumnya untuk keperluan seleksi pekerjaan, konsultasi karir dan sekolah, promosi jabatan, konseling pernikahan, dsb. Tentu saja untuk menghemat waktu dan biaya, maka dipilih berbagai metode yang paling cepat.

Lalu bagaimana kalau ada orang yang menilai dirinya berbeda dengan yang dirasakan? Jadi alasan gitu untuk marah-marah kepada yang bersangkutan dan menutup kuping terhadap kata-katanya? Yang seperti itu mungkin perlu menyimak Jo-Harry Window.

Gambar

See, dalam diagram tersebut, ada dua unsur yang penting untuk tahu tentang diri kita. Yaitu diri kita sendiri dan orang lain. Yep, kita tidak bisa menafikan unsur orang lain untuk lebih mengenali diri kita. Karena itu ada 4 area yang berkaitan. Ada bagian dari diri kita, yang kita sendiri tahu dan orang lain juga tahu. Ada bagian dari diri kita, yang cuma kita yang tahu dan orang lain tidak tahu. Ada bagian dari diri kita yang bisa jadi kita tidak tahu tetapi orang lain mempunyai penilaian berbeda/tahu. Nah disinilah kedewasaan kita diuji, bagaimana reaksi kita terhadap penilaian orang terhadap kita. Menerima sebagai masukan atau ngamuk-ngamuk dan memutuskan untuk tutup telinga.

Jika kamu pikir kamu benar-benar sudah mengenali dirimu sendiri, maka cobalah kau bertanya pendapat orang lain tentang kamu.

Jadi masih mau marah-marah jika ada orang yang mempunyai pendapat tentang kamu berdasarkan celotehanmu di twitter?