Who Am I?

Gambar

Sebagai orang yang lebih aktif di twitter daripada social media lainnya, seringkali mendapatkan inspirasi dengan mengamati percakapan atau monolog di timeline. Salah satunya adalah membaca lontaran yang sering terbaca di timeline, kira-kira semacam ini bunyinya: “Jangan menilai orang dari twit-twitnya” dengan berbagai variasinya.

Menurutku penolakan seperti itu adalah bentuk penyangkalan terhadap isi twitnya sendiri. Kalau kita follow seseorang yang sering banget ngetwit isinya mengeluh, misuh-misuh, kasar, marah-marah, artinya apa? Bisa jadi sih, ketika ketemuan, ternyata orangnya pendiam, santun, ga banyak bicara. Tapi ga lantas twit-twitnya jadi ga berarti. Coba tanya kepada mereka yang sering stalking akun orang, bagaimana mereka bisa mendapatkan profiling singkat dari stalking timeline. Misal, dari mengamati timelinenya, kita jadi tahu si A perokok aktif, demen nongkrong di sevel, minuman kesukaannya bir, insomnia, kerja freelance, penyuka ikan cupang sebagai peliharaan, penganut paham sosialis, kritis karena suka bertanya hal-hal yang jarang dipikirkan orang lain, peduli dengan isu-isu sosial karena demen komen tentang berita-berita terkini, dsb dsb dsb. Apalagi ditambah ia demen absen 4sq, makin lengkap data yang kita peroleh.

Proses penilaian ini, sebenarnya tak jauh beda dengan yang dilakukan para psikolog, terutama penilaian kepribadian (kita menyebutnya assesment sih). Kepribadian alias personality, berasal dari kata persona yang berarti topeng. Yep, kepribadian memang topeng (-topeng) yang ditampilkan sesuai dengan lingkungan sekitar kita. Kita cenderung menampilkan diri secara berbeda di setiap peran/situasi. Dan itu wajar-wajar saja, sehat dalam arti fungsi kita tidak terganggu dan tidak mengganggu orang lain.

Sebagai makhluk individual sekaligus makhluk sosial, ada banyak peran yang kita jalankan sekaligus. Misal, sebagai anak buah di kantor, tapi di rumah sebagai kepala keluarga, di tetangga sebagai ketua RT, di organisasi sebagai bendahara. Kita bersikap di depan keluarga dan saudara mungkin berbeda dengan sikap kita di depan kantor, berbeda juga dengan sikap di antara teman-teman online dengan teman-teman SMU. So, tidak usah merasa berkepribadian ganda jika merasa berbeda sikap diantara teman-teman twitter dan diantara saudara. Untuk mendapat penilaian kepribadian ganda, perlu assesment yang lebih dalam dan data yang jauh lebih banyak, ples indikator perilaku lainnya.

Dalam psikologi dengan topik psikologi kepribadian-nya, berbagai tipe kepribadian yang dilansir para psikolog sebenarnya adalah upaya untuk lebih memahami manusia dan perilakunya. Karena itulah ada banyak sekali tes psikologi, karena psikotes adalah upaya ilmiah untuk memahami kepribadian manusia. Ilmiah, karena dalam penyusunan tes-tes tersebut melewati berbagai tahap pengukuran lho, dan rumit.

Dari sisi awam sendiri, dengan mengetahui ia termasuk tipe kepribadian yang mana, adalah salah satu upaya untuk mengenali dirinya sendiri. Tentu aja ada cara lain dalam proses lebih mengenali diri, selain psikotes. Seperti yang dibahas di paragraf selanjutnya. Ini berhubungan dengan pertanyaan “who am i” yang menjadi judul postingan ini.

Ada yang berpendapat bahwa siapa kita tak bisa didefinisikan berdasar pekerjaan kita, jabatan kita, status pernikahan dan jumlah anak, hobi kita, minuman favorit kita, preferensi seksual, dsb. Ada pula hadis (qudsi) yang menyatakan, “barang siapa yang mengenali dirinya maka ia mengenal Tuhannya”. Socrates sendiri bilang, “know thyself”.

Gambar

You think you know yourself? Kalau ada yang menjawab ya, menurut saya, ia sombong dan pongah. Mengenal diri sendiri adalah proses yang terus berjalan seumur hidupnya. Manusia adalah makhluk yang dinamis dengan berbagai pengalamannya. Bagaimana seseorang dapat mengenali dirinya? Well, cara ‘singkat’ memang dengan mengisi berbagai tes kepribadian/psikotes. Tetapi harus diingat, bahwa hasil yang keluar dari tes tersebut hanya salah satu data dan hanya mengungkap kecenderungan/bukan harga mati.

Di psikologi sendiri, ketika melakukan assesment, psikotes hanya salah satu alat untuk mendapatkan data. Ada lagi wawancara dan observasi. Apalagi penilaian kepribadian di psikologi umumnya untuk keperluan seleksi pekerjaan, konsultasi karir dan sekolah, promosi jabatan, konseling pernikahan, dsb. Tentu saja untuk menghemat waktu dan biaya, maka dipilih berbagai metode yang paling cepat.

Lalu bagaimana kalau ada orang yang menilai dirinya berbeda dengan yang dirasakan? Jadi alasan gitu untuk marah-marah kepada yang bersangkutan dan menutup kuping terhadap kata-katanya? Yang seperti itu mungkin perlu menyimak Jo-Harry Window.

Gambar

See, dalam diagram tersebut, ada dua unsur yang penting untuk tahu tentang diri kita. Yaitu diri kita sendiri dan orang lain. Yep, kita tidak bisa menafikan unsur orang lain untuk lebih mengenali diri kita. Karena itu ada 4 area yang berkaitan. Ada bagian dari diri kita, yang kita sendiri tahu dan orang lain juga tahu. Ada bagian dari diri kita, yang cuma kita yang tahu dan orang lain tidak tahu. Ada bagian dari diri kita yang bisa jadi kita tidak tahu tetapi orang lain mempunyai penilaian berbeda/tahu. Nah disinilah kedewasaan kita diuji, bagaimana reaksi kita terhadap penilaian orang terhadap kita. Menerima sebagai masukan atau ngamuk-ngamuk dan memutuskan untuk tutup telinga.

Jika kamu pikir kamu benar-benar sudah mengenali dirimu sendiri, maka cobalah kau bertanya pendapat orang lain tentang kamu.

Jadi masih mau marah-marah jika ada orang yang mempunyai pendapat tentang kamu berdasarkan celotehanmu di twitter?

21 pemikiran pada “Who Am I?

  1. Engga pernah ngomel kok kalo ada yang melakukan penilaian atas twitku. Samtaim memang kan aku bisa marah-kesel-seneng-sedih sekarang lebih curhat ke twitter. Yang aku tangkep sih sisi unik di dalem twitter itu sendiri.
    *pagi” bacaannya berat*
    =)))

  2. Engga pernah ngomel kok kalo ada yang melakukan penilaian atas twitku. Samtaim memang kan aku bisa marah-kesel-seneng-sedih sekarang lebih curhat ke twitter. Yang aku tangkep sih sisi unik di dalem twitter itu sendiri.
    *pagi” bacaannya berat*
    =)))

  3. ada yg bilang, you cant control what people say, but you can control how you react to it. ga tau persisnya gimana kalimatnya sih, tapi ya seperti itulah kira2. nyambung ora karo isi postinganmu? ora ketoke yo? hihi…

    nice post, med.

  4. memang menarik jg mengamati garis waktu seseorang, kadang ada hal yg bikin kita kaget atau tak menduga ternyata dia bisa seperti itu beda dengan yg biasa kita kenal sehari-hari.
    btw baru tau kalo adhe cemudh itu istri sahnya kwon jiyong *lirik komennya chemud* 🙂

  5. Yang bener itu Johari Window atau Jo-Harry?

    Dalam tweet kita, suka nggak lepas kan dari pencitraan. Pencitraan yang (biasanya) berbeda dengan kepribadian. Terkadang yang orang lain ketahui adalah pencitraan yang kita buat, bukan yang karakter diri kita sebenarnya.
    Entahlah, apakah konsep pencitraan seperti ini termasuk bagian dari konsep Johari Window ya, mengingat konsep ini kan sudah lama ada jauh sebelum social media ada. Jauh sebelum orang bisa dengan gampang membuat pencitraan diri yang tidak sesuai dengan aslinya.

    Nice post, meth..

    • tentang pencitraan, menurutku dalam diagram Jo-Harry Window (karena ada dua orang dibalik teori ini, Joseph dan Harry) ada di kuadaran facade. Saya tahu, tapi orang lain ga tahu. Saya tahu bahwa yang saya tampilkan ke masyarakat adl bukan yang sesungguhnya, tapi orang lain tidak tahu bahwa saya tidak seperti itu, ada hal-hal lain yang saya sembunyikan.

  6. Pengenalan diri itu sebuah proses tiada henti. Itu baru diri sendiri, belum pasangan. Maka saya bisa memahami kalau orang sudah lama pacaran bahkan menikah akhirnya putus. Eh kok ngelantur.

    Semalem saya ngobrol sama teman. Saya bilang saya bukan penggemar Rolling Stones tapi kagum karena orang-orangnya, terutama Mick dan Keith, bisa bersahabat sejak muda sampai tua dan saling memahami. Itu yang sulit di band lain dan kehidupan pada umumnya: kita berubah, dan terus berubah, dan orang lain pun begitu.

    Secara umum sih (dalam asumsi saya lho), perubahan orang juga gak keluar jauh dari rel kepribadiannya 🙂

    Kalo soal pernyataan diri di media sosial, yeah itu kan penampung sisi lain setiap orang. Celakanya hal itu juga dibaca oleh orang “yang bukan segmen” kita. Saya merayu Jeng Meth, eh istri saya membaca dan hanya tersenyum maklum – tapi bisa saja Oom lain entah siapa gerah. Eh, hanya misal lho. :))

    • kenapa ada keyword “oom” :)))) *cubit2 paman*
      tentang pasangan, iya banget man. di tulisan pertama (yg kemudian ilang ga sengaja) aku sempet nyebut bahwa dalam relasi pernikahan, masing2 bisa yang terkejut-kejut dengan perkembangan masing-masing. ada perubahan.
      kalau terkait dengan kepribadian, sepertinya iya sih man, ga akan keluar dari rel. seseorang yang cenderung (ini kata favorit psikolog) introvert ga akan berubah jd ekstrovert dan hilang introvertnya. mungkin dalam perkembangannya, ia menjadi lebih terbuka, tapi akan selalu ada situasi yang ia lebih nyaman dengan sisi introvertnya.

      tapi aku pernah diberitahu teman tentang pengenalan diri ini. analoginya gini, semakin terang suatu ruangan, maka akan semakin jelas keliatan kotoran2nya. beda dengan ruangan yang masih redup/remang2/atau malah gelap, kotorannya ga kliatan.
      jadi? piye kui man?

  7. Saya jadi ngerasa, rupanya kepribadian ganda itu cuma perasaan aja…
    tulisannya bagus mbak, 😀
    jadi ngeh rupanya kan setiap orang bakal memiliki penyesuaian karakter dimanapun dia berada, *angguk2*

    • malah sehat tuh. karena artinya dia paham dengan situasinya, dan dia mampu untuk menyesuaikan diri sesuai dengan kondisi situasi. koreksin dikit ya, bukan penyesuaian karakter, tapi penyesuaian sikap. kalo karakter sih tetap.

      • aha.. iya mbak maksud saya penyesuaian sikap… 😀
        sikapnya berbeda2 sesuai situasi.. hehe… ah sedep lah follow blogmu.. #SyawalJuga datang mbak? sayang saya nggak datang..

Tinggalkan Balasan ke Pitra Batalkan balasan