Softselling vs Hardselling

Ini postingan pertama saya di Tahun Ular Air, yeeeyy. Apdet blog yang sifatnya rada-rada terpaksa, kalau orang Jawa bilang, kahanan. Ya gimana lagi, pulang kantor, udah deket terminal Blok M, eehhh hujan turun dengan derasnya plus angin kencang. Musti neduh dulu. Thus terdamparlah saya di sebuah tempat makan yang lumayan cozy dan surprise-nya, menunya cukup lezat. Spaghetti aglio olio, fish and chips, dan mix juice wortel-belimbing tanpa gula. Surprise karena saya ga pernah berharap akan dapat makanan enak di tempat seperti Blok M Square.

Eh tapi saya apdet bukan untuk membahas kuliner. Jadi ini adalah upaya dokumentasi pikiran saya, yang satu ini udah berkecamuk beberapa hari ini. Terpikir ketika saya sedang melamun di kamar mandi (ha, selalu deh. Ga heran kamar mandi is my bank of idea).

Mungkin ada kaitannya dengan dunia pekerjaan yang saya tekuni sekarang, juga keseharian saya yang nyaris ga lepas dari social media. Bahkan arena pergaulan saya kebanyakan kongkownya dengan teman-teman dari dunia dihital. Salah satu topik yang selalu seru untuk diperbincangkan yaitu pro-kontra twit berbayar. Sebenarnya pro-kontra ini udah lama sih, sejak dua tahunan lalu kali ya.

Yang kontra alasannya karena banyak twit-twit yang jadi semacam hidden-agenda dan mereka merasa ditipu/dimanfaatkan. Semakin kesini, yang saya amati, audience (jieee, tapi sepertinya pilihan katanya kurang tepat) udah makin bisa membedakan mana twit berbayar/campaign dan yang twit random. Biasanya jika ada hashtag-hashtag dan tiba-tiba banyak yang ngetwit (apalagi jika yang ngetwit circle selebtwit), makin curigalah audience. Yang pro alasannya karena ya ini profesi dan halal, nggak seperti koruptor atau calo.Β 

Udah banyak juga sih, saran-saran seperti penggunaan hashtag #ad untuk twit campaign/berbayar. Tapi di Indonesia sendiri, kulihat belum populer ya. Udah ada beberapa yang menggunakan, tapi di timeline-ku masih dikit banget, brand yang mau begitu apalagi. Untuk strategi campaign sendiri, diantara teman-teman dihital juga banyak yang saling mengkoreksi. Singkatnya ketika strategi campaign itu agak-agak kurang etis, biasanya social punishment udah berjalan dengan sendirinya. Eh istilah social punishment untuk konteks ini betul ga ya, hahaha. Abisnya, biasanya banyak yang mencerca di publik gitu.

Terkait buzzer, ini juga topik tersendiri yang cukup seru. 2013 dan masih ada lho, perdebatan tentang hal satu ini. Tapi kulihat, makin kesini orang makin maklum walau sebenarnya dongkol. Pemaklumannya lebih karena gak enak, kebanyakan teman sendiri, dan itu adalah penghidupan orang. Sebelnya mereka karena dinilai twit-twitnya jualan melulu.Β 

Disini saya keknya perlu menggali lebih jauh sih, ‘jualan melulu’ itu sebenarnya apa. Sebelnya kenapa. Karena toh, setiap hari setiap detik kita dikepung iklan, mulai dari iklan tv/radio/cetak hingga reklame. Nyepam sebagai bentuk jualan memang menyebalkan, tapi apakah ngebuzz seperti nyepam? Ada yang bilang, terlalu hardselling itu menyebalkan dan nggilani. Softselling konon lebih bisa diterima. Tapi saya berpikir, kalau softselling tujuannya adalah supaya ga terlalu kentara jualan, lalu gimana dengan strategi campaign yang awalnya dikira bukan bagian dari campaign brand tapi ternyata bagian dari campaign brand. Softselling apa nggak lebih dari suatu bentuk ‘penipuan’ dalam bahasa paling sopan, karena toh ujung-ujungnya jualan. Kenapa tidak dengan hard-selling yang dari awal emang kentara jualan. Itu suatu bentuk kejujuran tersendiri lho, dari awal orang udah mahfum kalau twit hardselling pasti jualan jadi orang lebih bisa mengambil sikap. Kalau softselling rentan menempatkan orang di posisi ngambang.

Eh pikiran random tadi konteksnya jualan di twitter lho ya, bukan iklan komersial di TV/media. Kalau iklan-iklan TV yang hardselling mah emang norak, macem sozzis-sozzis-an itu. Well, ini sekadar pikiran dan wondering seorang restlessangel. Masih angel kan, belum devil? Hehehehe…

Sepertinya hujan sudah berhenti. Semoga. Yang jelas, restoran ini sudah mau tutup. :mrgreen:

Β 

13 pemikiran pada “Softselling vs Hardselling

  1. Aku mau komen ah. Tapi ngga ngomentari soft/hardsell-nya.

    Nganu, jangan melihat dari noraknya, Mbak Med. Iklan semacam Tori Cheese Cracker yang njelehi itu justru sukses. Laris manis di pasaran. Banyak yang bilang norak memang, saya pun. Tapi kalau dipikir-pikir, lha wong kita bukan target marketnya.

    Jadi aku pernah ngetest. Di supermarket, aku mengamati rak Tori. Aku ambil sampel 5 konsumen pertama yang aku amati. Ternyata yang datang semuanya anak-anak, usia SD lah kira-kira. Karang yo lagi selo :))

    • pendapat sampeyan betul. kalau tujuan iklan terutama tv utk menaikkan sales, tentu isinya harus bisa diartikan dg mudah oleh sasaran segmennya. di sini tori sukses menanamkan pesan tersebut (apalagi tiap tayang bs 2 kali berturut2, makin terhipnotis ke bawah sadar deh hahahaah). tapi coba bayangkan kl iklan mercedes ato LV pake pendekatan ala iklan tori :)))

      • Pengulangan penayangan iklan secara berturut-turut ini bisa juga disebut subliminal message. Bisa sangat efektif menancap di benak konsumen, bahkan bisa juga terkesan membodohi. Untuk produk premium seperti Mercedez Benz atau LV tentu saja mereka ngga akan pake konsep iklan kayak Tori. Target market jelas beda dan pesan yang mau disampaikan pun.

        Membedakan produk premium dan massal sebenernya gampang. Produk premium seperti Mercy ngga pernah spesifik ngomong soal spesifikasi mesin atau teknologi. Mereka lebih mengedepankan sisi emosional produknya. Memenuhi kebutuhan aktualisasi diri konsumennya.

  2. Hmmm… meski ngga kamu tanya dan nggak kamu singgung, tapi aku selalu menekankan bahwa aku ngga pernah memusuhi buzzer dalam artian personal.

    Profesinya pun sebenarnya tak kumusuhi, sekadar untuk mencoba ikut memberi kritik yang semoga membangun dan pada saatnya nanti muncul definisi buzzer dan buzzing yang lebi brilian dan elegan tanpa harus meninggalkan pisuhan dari follower πŸ™‚

    Sayang, atmosfir yang kuinginkan tak terjadi. Aku malah dicap buzzer hater ini-itu.. ngga masalah sih karena seperti yang biasa dijadikan senjata bagi para buzzer sendiri, “Kalau nggak suka silakan unfollow” πŸ™‚

    Masalah buzzer sebenarnya pada hal-hal yang di tulisan ini kamu ‘lindungi’ dengan phrase, “di sini belum populer sih”.. bayangkan kalau kamu atau kawan2mu ngga perlu nunggu sampe populer untuk pake #ad, mungkin lebih baik.

    Kupikir ketika kamu mengharapkan social punishment juga gak fair. Social punishment kubaca sebagai “Buzzer yang ngga baik akan tertelan hilang karena eliminasi sosial” bener nggak? Kalau benar, apakah berarti semua buzzer yang tak tertelan hilang itu benar semata karena ia tak terkena social punishment? :))

    Segitu dulu, aku tak tertarik membahas yang hardselling dan softselling karena sampai di paragraf situ, aku udah nggak setuju πŸ™‚

    wassalam!

    • wahahaha pilihan kata ‘lindungi’ itu tendensius :))
      aku sendiri lebih menyukai jika ada hashtag #ad sayangnya ketika terlibat sendiri di dalamnya, suara klien/brand lebih berkuasa & butuh waktu lama untuk mengedukasi tentang ini.

      soal social punishment, itu bukan harapanku, cuma catatan dari apa yg aku amati aja. seperti misal kasus pengiriman peti mati dan penculikan sbg strategi campaign, ga berapa lama langsung ‘dikoreksi’ oleh massa kan? wisdom of crowd, kata orang pinter. jadi bukan soal buzzernya, buzzer itu cuma ujung tombak dari keseluruhan sistem aja, dia seperti partikel, ga berdiri sendiri utk jalannya suatu campaign. di belakang buzzer ada banyak banget pihak yang berperan.

      eh ga setujunya gimana dong, mas, aku pengen tahuuuuuu

      • “aku sendiri lebih menyukai jika ada hashtag #ad sayangnya ketika terlibat sendiri di dalamnya, suara klien/brand lebih berkuasa & butuh waktu lama untuk mengedukasi tentang ini. ” << ya jangan mau dikuasai klien πŸ™‚

        "cuma catatan dari apa yg aku amati aja. seperti misal kasus pengiriman peti mati dan penculikan sbg strategi campaign, ga berapa lama langsung β€˜dikoreksi’ oleh massa kan? " aku malah menghargai mereka yang 'too obvious' pake cara-cara seperti itu ketimbang cara-cara halus yang tak keliatan… untuk yang seperti itu ya jelas social punishment ga kena dan gak dapat karena halus πŸ™‚ Tapi kan ga bisa dibilang karena halusnya maka mereka itu ga dapet social punishment kan? :))

        "wisdom of crowd, kata orang pinter. jadi bukan soal buzzernya, buzzer itu cuma ujung tombak dari keseluruhan sistem aja, dia seperti partikel, ga berdiri sendiri utk jalannya suatu campaign. di belakang buzzer ada banyak banget pihak yang berperan." << ini semacam kamu lagi antri, trus dorong-dorongan trus jatuh semua, trus orang di depanmu nyalahin kamu trus kamu bilang "Aku juga cuma didorong dari belakang!" kalau berani, keluar dari antrian itu :))

        "eh ga setujunya gimana dong, mas, aku pengen tahuuuuuu" << gak setujunya karena sejak dari awal tulisanmu sudah menuliskan sesuatu yang sudah tak kusetujui :)))

  3. nek menurut saya ini ada hubungannya dengan ketidaktahuan pemegang merek akan seberapa efektif twit berbayar mempengaruhi penjualan…. karena sifat komunikasinya sendiri hanya searah, dan hampir tidak mungkin mengarah pada peningkatan hardselling secara langsung…
    tapi ya ini mung pemikiran saya yang ndak tau apa-apa tentang marketing dkk.

  4. ini asyiek di commentnya.. menyimak..

    klo aku justru mikirnya soal content tweet-nya, media social itu komunitas.. jd materi iklan yg disampaikan hrs punya sifat didiskusikan.. (beda dgn iklan di tv yg sifatnya awareness)
    soal itu iklan atau bukan, bkn masalah jujur atau gak, follower sudah ngerti.. klo itu iklan.

    bukan masalah soal buzzernya,
    contentnya.. (mungkin ini softselling ya, aku gak ngerti..)
    klo contentya sifatnya awareness itu jelas mengganggu..

    SosMed itu komunitas, dia butuh bahan untuk diskusi.., atau dibahas, atau bahan untuk berkomunikasi lainnya (termasuk bercanda)

    tapi, saya tetap tidak tahu bagaimana sebenarnya.. itu cmn yg saya rasa..
    saya suka ini blog, yg comment keren2 ngomongnya… πŸ™‚

    salam kenal, mbak..?
    saat ini tak panggil restless angel aja… πŸ˜‰

  5. tapi sebetulnya buat penggunaan hashtag ini (#ad) saja belum ada norma ya mengikat sih jd ya wajar kl para buzzer lbh suka tdk menggunakannya, apalagi brand hihi

    Dan buzzer sebetulnya kepanjangan tangan dari agency, mnrtku sih agency yg mempunyai kewajiban lbh besar untuk meng-educate kliennya.

    kl ngeliat komen kang donny buzzer juga hrsnya sadar yah, tp ya kui selama blm ada norma yg mengikat sih ya orang mau bilang apa sih tetep aja hahahahaha~

    aku pernah minta boleh gak pake hashtag ad, tp kl agencynya bilang sebaiknya tidak ya sudah, aku msh susah nolak uang mudah =))))))

    tp ada kok buzzer yg menolak kl tdk pake #ad , aku sendiri pernah ngalamin pas kontak buzzer, which is good but not many ^^

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s