A Tale of Two Cities dan Hidup itu Belajar & Bercinta

Pagi ini aku dirusuhi memori masa kecil, gara-gara dengerin lagu manis KennyLoggins Β “Love Is”.

Entah gimana, aku jadi keinget film yang kutonton pas SD. Filmnya diputer di TVRI (belum masanya tv swasta keknya, lupa lupa inget), film lama yang aku sendiri ga paham judulnya apa. Cuma tahu terjemahannya “Cinta Dua Kota” atau apa gitu.

Sebagai anak kecil, film itu berkesan banget. Sampe-sampe aku menuliskan panjang lebar berlembar-lembar di diary. Iya, aku nangis sampai bercucuran air mata pas nonton film itu.
Yang bikin aku terkesan dan kutuliskan di diary adalah, ketulusan cinta dan pengorbanan tokoh di film itu. Begitu dalamnya cinta si tokoh sampai rela mengorbankan nyawa di ujung guillotine demi perempuan yang dicintainya.

Waaah ketika ingat memori ini dan teringat apa aja yang aku tulis di diary (diarynya masih ada lho), aku terkesima sendiri. Kok sepertinya aku dari kecil kek udah ‘ditakdirkan’ untuk bersinggungan dengan cinta dan jatuh cinta dengan cinta itu sendiri (halah, cintaception dong, haha).

Membayangkan di usiaku yang baru kelas 5 SD, jatuh cinta dengan sosok pria dengan pengorbanan luar biasa itu. Sampai kemimpi-mimpi. Kok aneh ya.

Entah kenapa, hingga SMP, SMU, hingga sekarang, aku kok selalu dan mudah tersentuh oleh jenis cinta yang seperti itu. Call me naive, i don’t know. Tapi tergila-gila dengan kisah Miss Modern, Rose of Versailles, Jendela Orpheus, membaca sampai nangis bombay itu apa? πŸ˜†

Mungkin semua itu membentuk persepsi dan definisiku akan cinta. Aku percaya sih, cinta seharusnya bisa membuat orang menjadi lebih baik.

Oh ya, kembali ke pagi tadi, memoriku membawaku menyusuri youtube. Penasaran mencari film apa sih yang bikin anak kelas 5 SD menangis mengharu biru dan membekas sampai sekarang.
Ketemu! Judulnya A Tale of Two Cities (1980).

Well, it’s all connected. Maybe. I don’t know. Past, present, future. Tapi kalau membaca lagi tagline blog ini, terus mengingat memori tersebut, hmmm kok seperti ada ketersambungan. Entahlah. Jalani saja. Mengalir. Hidup ini (sepertinya) memang untuk belajar dan bercinta.

Pasif-Agresif dan Kedewasaan Emosi

Postingan ini terilhami –lebih tepatnya reminder untuk diri sendiri– gara-gara insiden di warung lele malam ini.

Entah mengapa malam ini saya mudah kepancing emosinya. Berawal dari mau makan tapi ga ada sendok garpu tersedia. Saya panggil pelayan minta sendok garpu. Perlu dua kali panggilan untuk mendapatkan yang saya mau, pertama seperti gak digubris. Yang kedua, cara menaruh sendok garpu yang saya inginkan pun jauh dari sopan. Disorongkan begitu aja, dan ga ada garpunya. Pas saya nanya, garpunya mana, sambil ngeloyor dijawab, “garpunya gak ada.”
Padahal kalau dia mau usaha dikit aja, pasti ada.

Kedua, minta minum juga harus extra effort untuk mendapatkan perhatian pelayan. Kualitas pelayanan di warung ini bener-bener payah, out of excellence. Biasanya saya sabar sih, tapi malam ini entah kenapa saya terpancing emosi dan hampir saja saya ngamuk, hahaha.

Saya mangkel. Kesal. Kalau sudah begini, saya kepikiran melakukan sesuatu untuk melampiaskan mangkel saya. Saya kepikiran hal-hal ‘jahat’ untuk sekadar pembalasan, karena warung ini udah melakukan hal yang bikin saya kesal.

Tapi untunglah kesadaran saya masih jalan. Alih-alih demikian, selain membuat tabungan emosi saya berkurang, juga ga menyelesaikan masalah. Kenapa ga langsung komplain baik-baik perihal kekecewaan saya.

Pikiran saya melantur lebih jauh lagi. Reaksi ‘balas dendam’ tadi adalah manifestasi sikap pasif-agresif. Dalam situasi lain, sikap pasif-agresif muncul dalam bentuk diam aja tapi di belakang ternyata nyinyir.

Sekarang pertanyaannya begini, menurut pembaca, mana yang lebih baik jika sedang mengalami kekecewaan terhadap seseorang:
– menyampaikan kekecewaan ke orang yang bersangkutan, tentu aja secara baik-baik.
– diam aja tapi di belakang ngomong macem-macem.

Mana dari kedua sikap diatas yang lebih menyelesaikan masalah? Mana yang berpotensi menimbulkan masalah baru?

Jadi berpikir, dalam konteks twitter, no mention yang bukan becanda dan semacam nyindir karena kesal, sama ga dengan sikap pasif-agresif?

Yah saya sih jujur aja. Kadang ngomong di belalang karena memang ga punya cukup keberanian untuk menyampaikan langsung. πŸ˜‰