Pasif-Agresif dan Kedewasaan Emosi

Postingan ini terilhami –lebih tepatnya reminder untuk diri sendiri– gara-gara insiden di warung lele malam ini.

Entah mengapa malam ini saya mudah kepancing emosinya. Berawal dari mau makan tapi ga ada sendok garpu tersedia. Saya panggil pelayan minta sendok garpu. Perlu dua kali panggilan untuk mendapatkan yang saya mau, pertama seperti gak digubris. Yang kedua, cara menaruh sendok garpu yang saya inginkan pun jauh dari sopan. Disorongkan begitu aja, dan ga ada garpunya. Pas saya nanya, garpunya mana, sambil ngeloyor dijawab, “garpunya gak ada.”
Padahal kalau dia mau usaha dikit aja, pasti ada.

Kedua, minta minum juga harus extra effort untuk mendapatkan perhatian pelayan. Kualitas pelayanan di warung ini bener-bener payah, out of excellence. Biasanya saya sabar sih, tapi malam ini entah kenapa saya terpancing emosi dan hampir saja saya ngamuk, hahaha.

Saya mangkel. Kesal. Kalau sudah begini, saya kepikiran melakukan sesuatu untuk melampiaskan mangkel saya. Saya kepikiran hal-hal ‘jahat’ untuk sekadar pembalasan, karena warung ini udah melakukan hal yang bikin saya kesal.

Tapi untunglah kesadaran saya masih jalan. Alih-alih demikian, selain membuat tabungan emosi saya berkurang, juga ga menyelesaikan masalah. Kenapa ga langsung komplain baik-baik perihal kekecewaan saya.

Pikiran saya melantur lebih jauh lagi. Reaksi ‘balas dendam’ tadi adalah manifestasi sikap pasif-agresif. Dalam situasi lain, sikap pasif-agresif muncul dalam bentuk diam aja tapi di belakang ternyata nyinyir.

Sekarang pertanyaannya begini, menurut pembaca, mana yang lebih baik jika sedang mengalami kekecewaan terhadap seseorang:
– menyampaikan kekecewaan ke orang yang bersangkutan, tentu aja secara baik-baik.
– diam aja tapi di belakang ngomong macem-macem.

Mana dari kedua sikap diatas yang lebih menyelesaikan masalah? Mana yang berpotensi menimbulkan masalah baru?

Jadi berpikir, dalam konteks twitter, no mention yang bukan becanda dan semacam nyindir karena kesal, sama ga dengan sikap pasif-agresif?

Yah saya sih jujur aja. Kadang ngomong di belalang karena memang ga punya cukup keberanian untuk menyampaikan langsung. ๐Ÿ˜‰

13 pemikiran pada “Pasif-Agresif dan Kedewasaan Emosi

  1. Kalau aku yang pertama itu, Meth. Baik-baik atau malah dianggap brutal itu tak jadi soal. Yang jelas, kalau sudah ngomong, aku punya sikap bahwa besok sudah tak ada masalah lagi. Umpama kesal dengan kawan, kalau perlu dimaki ya maki. Perkara besok dia minta korek api ya diberi. Hehe.

      • Lha sering memang begitu. Hehehe. Jadi kalau marah ya marah. Selesai itu ya sudah. Terlalu sering jadi spekulan perasaan bukan elok. Spekulan sembako enak mereka, nimbun stok untuk besok cari untung. Spekulan perasaan, nimbun stok yang ada malah besok kena serangan jantung. Jadi gelisah sendiri. Uring-uringan sendiri. Atau cari kambing hitam pada yang lain. Yang kasihan malah yang nggak bersalah. Bayangkan deh kalau suami begitu. Kesal dengan teman, tapi demi hubungan pertemanan, malah pulang melampiaskan ke anak-bini. Salah mereka apa coba? Apa? Apa? Tolong jelaskan pada saya!!
        *keplak*

        Justru paling enak itu ya sama teman atau bukan orang dekat. Setidaknya mereka akan tahu bahwa kau memiliki hal-hal tertentu yang tidak kau sukai untuk diperbuat/diucapkan padamu.

        Dan pula kemarahan tidak selalu buruk. Asal cepat cairkan suasana. Sebatang rokok atau secangkir kopi/teh untuk berbagi sama-sama sesudah cekcok itu kukira pilihan bagus daripada secangkir obat penurun tensi darah. Hehehe.

  2. aku pilih yang no 1 mbak. ngomong di depan. di media sosial pun aku langsung mention atau tag nama orang yang bersangkutan. buatku no mention itu sama dengan menabur perasaan salah ke orang lain, bisa2 salah sasaran juga. dengan sikap seperti itu aku juga mebebaskan diriku untuk dkoreksi secara terbuka oleh orang lain, penyampaian secara langsung atau tidak dlm kondisi siap atau tidak. karna kalau disampaikan secara langsung, bisa meminimalisir kesalahpahaman & ada tujuan untuk mencapai solusi.

  3. kalo merugikan aku ya biasanya aku ngomong langsung. kalo lagi selo ya ngomongnya baik-baik, kalo lagi cupet ya ngomongnya pagob. kalo nyinyir di timeline biasanya untuk kasus yang kalopun ngomong pun tetep gak ada solusinya ๐Ÿ˜€

    ini mbakmed gampang ngamuk rasanya karena faktor yang lain juga kayaknya kaaaan? ๐Ÿ˜€

  4. akan saya ajak becanda dan sentuh sisi kemanusiaannya, saya lebih baik bersabar. urusan perut memang sering membuat org ngga rasional. lagian…mesake mbak… pelayan hanya karyawan. kalo kita protes dgn nada tinggi trus yg punya pun akhirnya marah ke pelayan. iya kalo cuma potong gaji, kalo dipecat…???

  5. Kalau dibesarkan dalam lingkungan yang tidak bisa blak-blakan
    ‘jarak antara dua titik itu bukan garis lurus, melainkan garis lengkung’
    tidak akan ngomong langsung dan tidak membicarakan di belakang
    piye kuwi? ๐Ÿ˜€

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s