dont buy dont breed, adopt!

 

 

Saya pecinta bintang, sepertinya semua orang sudah tahu itu.

Aku benci dan menolak-melawan kekerasan pada binatang, sepertinya semua orang juga paham.

Kalau saya ngomong, nyebut-nyebut “anakku”, teman-teman biasanya udah mahfum kalau yang kumaksud adalah kucing-kucingku.

 

Kepindahanku ke Jakarta seringkali mendapat pertanyaan, gimana nasib anak-anakku, kenapa ga dibawa aja. Kujawab, Jogja adalah rumah terbaik bagi mereka, di lingkungan yang mereka sudah kenal baik dan dikelilingi oleh orang-orang baik hati dan menyayangi mereka. Memang, di Jakarta ini, sering banget aku patah hati, nggregel, berlinang air mata, karena sering banget ketemu kucing-anjing liar di jalanan. Memikirkan nasib mereka dan kemungkinan adanya orang-orang jahat tidak berwelas asih, sungguh bikin risau. Apalagi kalau mendengar berita kekerasan pada binatang, seperti pembuangan bayi-anak kucing. Duh, hatiku lemah sekali. Rasanya lemes, gundah, galau to the max, sedih, tak berdaya dan sebagainya. Ingin menolong tapi keterbatasanku, di kos tidak boleh memelihara kucing, dan keterbatasan resource lainnya.

Kalau sudah galau to the max begitu, aku malah biasanya ga sanggup untuk ngomongin. Bukannya lebih suka memendam, ga ada hubungannya dengan suka atau tidak, tapi aku ga sanggup, bahkan membicarakannya sekalipun. Hatiku terlalu kecil, pecah duluan berderai-derai. Padahal sekelilingku ya banyak juga, yang pecinta kucing atau binatang. Kalau mendengar mereka membicarakan kelucuan kucing-kucing dari segala penjuru dunia, aku malah diam saja. Makin kesini malah makin jarang ngomongin tentang lucunya kucing etc. Ya gimana yah, udah kepikiran duluan tentang nasib kucing-kucing dan hewan lain yang terlantar. Udah broken duluan, ga sanggup mungutin, ga sanggup membicarakannya. Ga kuat.

 

Hingga beberapa waktu lalu, kepikiran ide ini. Yah, bahkan menuliskan ide ini menjadi bentuk postingan pun membutuhkan waktu untuk menguatkan diri menyampaikan sesuatu yang aku anggap penting. Lebay ya? ‘Cuma’ isu kek gini doang, kok sebegitunya. Ya gapapa juga sih, kalau ada yang berpikiran demikian. Lhawong yang benar kurasakan memang seperti itu. Ya tidak menyalahkan kalau ada yang beranggapan remeh.

Kembali ke ide. Cuma berangkat dari pemikiran, bahwa banyak sekali di sekitarku yang suka sekali (kalau ‘sayang’ ga tahu sih, karena menurutku, suka ama sayang itu level intensitasnya berbeda) dengan kucing/anjing. Tapi diantara yang suka itu, banyak yang tidak bisa memelihara kucing/anjing dengan berbagai alasan. Nah, ide ini sifatnya hanya ajakan/himbauan sih, karena bisa dilakukan secara individu. Ga butuh gerakan massa. Jadi, buat kita-kita yang suka binatang tapi ga bisa memelihara sendiri, kenapa tidak memperlakukan semua binatang yang kita temui selayaknya itu binatang piaraan kita. Caranya, selalu bawa catfood/petfood kemana-mana, jadi kalau ketemu di jalan, langsung aja kasih.

Asyik lho, menjalin interaksi dengan mereka, kalau kasusku, kucing-kucing liar tersebut. Mereka yang tidak mempunyai kepercayaan terhadap orang asing karena takut, lalu kita pelan-pelan berusaha membangun rasa percaya. Dan sekali rasa percaya itu terbangun, bonding/ikatan pun terjalin. And its magic!

Kedua, kalau melihat ada hewan liar yang sakit/terluka, segera dibawa ke dokter hewan. Sayang sekali, biaya dokter hewan di Jakarta mahal sekali ya dibanding Jogja. 😦

Ketiga, berpartisipasi kalau ada gerakan sterilisasi kucing/anjing liar, dengan berdonasi. Percayalah, men-sterilisasi hewan liar ini, manfaatnya jauh lebih banyak untuk mereka sendiri, dan ada manfaat juga yang bisa dipetik ulah manusia. Kalau di Jakarta, aku taunya Jakarta Animal Aid Network, bisa dicek di facebook mereka atau situs mereka. Sayang, sejauh aku pernah kontak mereka, kok minim respon.

Keempat, bagi yang ingin pelihara kucing/anjing, remember the platinum rules: DON’T BUY DON’T BREED, ADOPT. Salah satu alasan adalah, when adopt, you’re saving a life. Kalau masih ada kucing/anjing terlantar yang bisa kita pungut, kenapa tidak mengadopsi mereka saja? Selain itu, kenyataan bahwa banyak breeder/pebisnis hewan piaraan yang mengedepankan materi thok, bukan karena mereka sayang binatang.

So, mari kita semakin berwelas asih, terhadap semua mahkluk Tuhan. 🙂

 

NB. Why adopt than buy?

Hunian Sederhana dan Mimpi untuk Karangasem

image

image

image

image

image

Saya tertegun sewaktu berdiri di bibir jurang desa ini. Sulit membayangkan kondisinya sewaktu desa ini masih utuh. Banjir lahar dingin menerjang Desa Karangasem beberapa kali, mengamblaskan separo desa, menyisakan tebing jurang. Mental orang Jawa, walau separo desa hilang, sawah kebun rumah amblas, masih merasa beruntung, “untung gak ada korban jiwa, untung ternak bisa diselamatkan.”

Saya berdiri di bibir jurang. Jarak antara tempat saya berdiri hingga ke bawah dimana Kali Putih mengalir, setinggi 14 meter. Serius saya sulit membayangkan tempat ini dulunya bagaimana. Konon katanya aliran Kali Putih sudah berubah. Kalau diwaktu mendatang lahar dingin menerjang lagi, beberapa kelokan tebing akan runtuh. Beberapa rumah sudah mepet dengan bibir tebing. Tinggal tunggu waktu saja sampai rumah tersebut ikut longsor.
Masih tertegun, saya tersentak ketika diberitahu bahwa banjir lahar dingin yang menerjang Karangasem ini terjadi Oktober 2010. Ohmy, sekarang Juni 2011. Itu kejadian sudah sekian bulan lalu…

Tujuhbelas rumah amblas. Sekarang sudah dibangun, delapan hunian sederhana. Tanpa bantuan pemerintah sama sekali. Tinggal sembilan hunian lagi. Kalau kata mas Karman, ini kampung sosmed, karena rumah yang berdiri atas bantuan warga social media. Rumah sederhana berdinding sebagian anyaman bambu, sebagian batako/batu bata. Kusen, pintu, batu bata/batako, sebisanya memanfaatkan apa yang tersisa dari rumah yang amblas. Rata-rata per-unit menghabiskan 4 juta rupiah. Sebagian dibangun di atas kebun sendiri, sebagian disewakan tanah.

Sore itu angin lembut menyisir kulit. Menjelang magrib di akhir obrolan, Mas Karman sempat mengungkapkan mimpinya.
“Selesai pembangunan hunian sederhana ini, PR saya selanjutnya adalah pendidikan. Ternyata banyak anak warga Karangasem yang bersekolah hanya sampai SMP. Ketiadaan biaya yang membuatnya demikian.”

Saya ndlongop. Karangasem ke Jogja itu hanya beberapa kilometer. Dengan mobil hanya setengah jam. Tak jauh dari situ, ada SMK.
Masih ada gitu, desa yang mayoritas anaknya cuma mengenyam pendidikan sampai SMP?

Sayang saya terburu-buru pamit karena diburu janji dengan dokter. Ternyata saya sempat dibungkuskan tape singkong mentega oleh Pak Samijo. Pak Samijo ini pembuat tape singkong yang disetor untuk bahan baku pembuatan permen tape.

Di jalan pulang, saya teringat kembali pembicaraan dengan Mas Karman dan Mas Penyu. Betul, Desa Karangasem ini banyak potensinya. Dari desa wisata alam hingga kuliner seperti tape. Tak jauh dari Jembatan Krasak, tak jauh dari Borobudur, dekat ke Kalibawang Kulonprogo.
Tapi warganya masih membutuhkan sedikit bantuan dari kita untuk bergerak lebih mandiri dan berdaya.

Berbagi sedikit dari apa yang kita miliki, untuk kemandirian dan pemberdayaan orang lain. 🙂

CATATAN:
Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang Desa Karangasem, bisa tanyakan langsung kepada Mas Karman lewat twitter di @karmanproject.

Punya Pacar Lantas Lupa Teman?

image bank

Hadirin sidang pembaca yang saya hormati. Siapa di antara hadirin yang pernah merasakan dilema antara memilih kekasih dan teman-teman? Ayo ngacung!! 😀

Saya, errr….jujur ndak pernah sih, hihihi. Tapi saya punya cerita tersendiri tentang ini. Jadi waktu itu masih jaman-jamannya kuliah. Yah, namanya juga masih remaja~dewasa awal. Masih seneng-senengnya ubyang-ubyung sama teman-teman. Palagi kalo membentuk gank-gank-an ato clique. Udah deh, berombongan kemana aja ya dengan gerombolan ituuu terus. Kelompok gaul. Beredar di mana-mana. Rame. Meriah. Seru.

Hingga suatu ketika, teman kami ada yang pacaran. Cowok. Dan mendadak teman kami ini ‘menghilang’ dari kelompok. Oia, sebagai gambaran, saya waktu itu punya gank, terdiri dari 7 cewek dan 5 cowok. Seru kan? Nah, menghilangnya teman kami ini jelas menyisakan rasa kehilangan. Apa-apa yang serba bareng kok mendadak ada yang kurang. Dan lucunya, waktu itu yang protes malah teman-teman cewek. Apalagi kalau si teman cowok ini cuma nongol pas ada acara makan-makan gratisan, wuah kami bisa yang ngamuk-ngamuk dan nyindir abis-abisan. Dan teman-teman cowok kami sibuk membela teman mereka hingga kami berkata, “makan tuh setia kawan”.

Ketika teman kami ini tidak lagi berhubungan dengan pacarnya alias putus, ajaib. Dia kembali rajin nongol dan ubyang-ubyung bersama kami. Kami cuma bisa mengelus dada kami masing-masing. Anehnya hal ini kebanyakan malah menimpa teman-teman kami yang cowok. Pokoknya waktu itu, kalau teman cowok kami ada yang pacaran, bisa dipastikan dia menghilang dari kelompok hingga hubungan dengan si pacar putus. Sementara, kami-kami yang cewek, meski punya pacar, tapi entah kok masih bisa jalan bareng.

Tapi itu pada satu populasi. Lain lagi dengan populasi gank saya yang lain. Cewek semua. Kebetulan waktu itu kami masih jomblo semua, masih kinyis-kinyis belum pernah pacaran. Salah satu dari kami ketiban pulung ditembak cowok dan akhirnya pacaran untuk pertama kali. Yang terjadi kemudian, anak ini pelan-pelan menjauh dari kami. Kalau diajakin jalan bareng atau kumpul-kumpul, kebanyakan ditolak dengan alasan sudah ada acara bareng pacar. Paling menyebalkan adalah (ini baru kami sadari beberapa lama kemudian), teman kami ini menghubungi kami kalau pas lagi butuh.

Jadi waktu itu kejadiannya begini. Pacar teman kami ini pindahan kost dan dia mengkontak kami apakah kami bisa bantu bawain barang-barangnya ke kost baru. Sementara itu pacarnya sedang di luar kota dan memasrahkan urusan tersebut pada teman kami. Waktu itu kami iyakan. Jadilah kami mengangkuti barang-barangnya si pacarnya temen dan dengan mobil saya mondar-mandir ke kos-an lama dan baru. Kasus lain yaitu ketika si teman mengiyakan ajakan kami karena ybs sedang jablay ditinggal pacar kemana.

Soal yang sama pernah juga menimpa saya dan sobat saya, tidak mesti gank-gank-an. Kami berdua adalah teman dekat waktu SMU. Sobat saya ini menjelang Ujian Akhir Nasional, jadian dengan teman sekelas. Duh, mesraaa banget, kek film ACI 😀 . Saya yang biasanya kalo nunggu bis berdua dengan sobat saya, terpaksa sendiri, karena sobat udah dibonceng pacar. Alhamdulillah sih, hubungan mereka berlanjut sampai kuliah. Dan kami kadang masih jalan bareng. Ya benernya nyaris-nyaris mirip seperti kisah saya di atas, tapi saya tidak begitu mempersoalkan. Hingga kemudian saya ‘tersadar’. Jadi waktu itu sobat saya minta tolong saya untuk menemani dia pergi. Saya mengiyakan. Tapi di detik-detik terakhir, sobat tadi membatalkan karena ternyata pacarnya mengajaknya pergi. Kecewa saya.

Berangkat dari peristiwa tersebut, saya jadi bertanya-tanya. Kenapa kecenderungan sebagian orang yang punya pacar lantas jadi seperti melupakan teman-temannya? Mengapa kedua hal tersebut (pacar dan teman) tidak diblend saja sehingga enak-enak saja, tidak ada keharusan memilih pacar atau teman. Kok sepertinya, bagi sebagian orang tersebut, dua hal tersebut menjadi suatu pilihan, menjadi suatu dilema. Selain itu ada persamaan antara kasus-kasus tersebut. Persamaannya adalah, mereka-mereka ini entah kenapa kok jarang bawa pacarnya untuk ikutan jalan bareng dengan teman-temannya. Well, ini yang terjadi di sekitar saya sih, nggak tau kalau yang lain.

Padahal bagi saya, antara teman dan pacar ya harusnya adalah dua hal yang berbeda dan saling mengisi, ada keseimbangan disitu. Contohnya, bagi saya, siapapun dia yang janjian terlebih dahulu dengan saya, itulah yang saya utamakan. Jadi misal pacar mengajak untuk nonton bareng, tetapi saya udah terlanjur janjian dengan teman-teman, ya saya meminta pengertiannya bahwa saya udah kadung janji sama teman-teman. Dan ya memang itu yang saya terapkan.

Dan yang ‘paling buruk’ dari skenario dilema antara pacar dan teman tersebut adalah, jika mempunyai pacar yang ‘diktaktor’. Yang membuat kita merasa harus memilih, antara si Dia atau teman-teman. Seperti di pilem-pilem itu loh. Eh, tapi ini beneran ada. Teman saya mengalaminya. Jadi sampai sekarang, dia menyembunyikan pertemanan dengan teman-teman cowoknya karena si pacar ini ndak suka dia bergaul dengan lelaki. Aseli pencemburu. Padahal aslinya si teman ini, dia supel dan mudah bergaul. Banyak temannya termasuk cowok-cowok. Sekarang mereka udah menikah. Dan catatan tentang teman-teman cowoknya itu masih tersimpan rapat. Untung teman-teman cowoknya bisa ngerti sehingga bisa ikut bagian dalam sandiwara itu. 😛

Marcelino X.Magno

*Postingan kali ini bersifat semi biografi, lantaran naskah ini ga lolos di dewan redaksi WajahJogja* :mrgreen:

Akhir Desember 2008.

Malam itu, di sudut kafe di sekitaran Selokan Mataram, kami berbincang. Sudah beberapa hari saya berjumpa, tapi baru kali itu bisa ngobrol dengan beliau. Marcel, demikian beliau biasa disapa, sehari-hari menduduki jabatan yang cukup penting dalam pemerintahan Timor Leste sebagai Chefe do Gabinete do Presidente atau Chief of Staff Parlemen Nasional Republik Demokrasi Timor Leste. Ya, beliau ini adalah warga Timor Leste. Kedatangannya ke Jogja kali ini di luar tugas resminya, yaitu liburan sekaligus memenuhi kerinduan akan kampung halamannya.

Marcel4

Lho, kampung halaman di Jogja ?

Jangan salah, Marcelino, beliau adalah warga asli Timor Leste. Mengapa beliau menganggap Jogja sebagai kampung halamannya, akan terungkap dalam obrolan berikut.

Marcel memulai obrolan santai malam itu, dengan menceritakan bagaimana dia bisa sampai di Jogja. Menjadi ‘warga’ di Jogja dari tahun 1985 hingga 1998, bahkan sempat bekerja sebagai wartawan dan kepala biro Jawa Tengah dan DIY untuk majalah Forum, tak heran ia hafal dengan berbagai sudut kota Jogja. Pekerjaan dan idealismenya, mengantarnya untuk menjelajahi dan mencumbui mesra kota Jogja.

Tokoh yang berjasa membukakan cakrawalanya, hingga ia bersekolah di UGM adalah guru-guru SMUnya di Timor. Guru-guru yang berjasa tersebut berasal dari De Britto dan SMU di Bantul (Marcel lupa nama sekolah di Bantul) yang diperbantukan di Timor, dan mereka selalu bercerita tentang Jogja. Marcel yang merupakan angkatan pertama di SMU di Timor tersebut, terpesona mendengar cerita guru-gurunya.

Tekadnya untuk kuliah di Universita Gadjah Mada sangat kuat, walau ia sendiri sebenarnya tidak begitu tahu tentang Indonesia, khususnya Jogja. Tahun 1985, ‘terdamparlah’ Marcel di Jogja, setelah sukses lolos ujian SIPENMARU dan diterima di Fakultas Komunikasi Universitas Gadjah Mada.

Enam bulan pertama adalah masa-masa adaptasi yang cukup berat bagi Marcel. Terasing, belum bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, membuatnya cukup frustasi. Hingga kemudian, Celi (panggilan Rizal Mallarangeng), kolega kampusnya, menasehatinya untuk tidak tinggal di asrama Timor-Timur (pada waktu itu) jika ingin bisa berinteraksi dan bergaul dengan kalangan yang lebih luas. Maka, petualangannya dimulai di perkampungan di sudut Gayam (sekarang Jl. Bung Tardjo).

Banyak yang Marcel pelajari selama berinteraksi dengan warga kampung, salah satunya adalah mengenai kepedulian dengan sekitar. Pada masa itu ia banyak bergaul dengan tukang becak, dan ia terkejut mendapati bahwa banyak di antara tukang becak tersebut yang anak-anaknya kuliah di UGM.

Hal lain yang sangat berkesan, adalah kebiasaan masyarakat yang suka membaca alias kesadaran akan ilmu, dari mahasiswa hingga ke tukang becak. Biasanya, pagi hari sebelum memulai aktivitas bekerja atau menggenjot becak atau kuliah, mereka selalu menyempatkan diri untuk membaca koran tempel, utamanya yang di depan kantor Kedaulatan Rakyat di Jl. Mangkubumi (koran tempel tersebut masih ada hingga sekarang).

“ Saya tak menemui hal semacam itu di tempat saya (Timor),” ujarnya dengan wajah serius.

Marcel

Kebiasaan tersebut mengantarnya tertarik di dunia tulis. Ia mencoba-coba untuk menulis artikel dan mengirimkannya untuk harian Kedaulatan Rakyat. Tak dinyana, tulisannya yang menanggapi esai Prof. Mubyarto mengenai penelitian beliau di Timor-Timur, diangkat di koran tersebut. Bahkan tulisan tersebut ditempel di sudut kantor PSPK (Pusat Studi Pedesaan dan Kependudukan) UGM berdampingan dengan artikel mengenai Prof. Mubyarto. Itulah awal Marcelino bersinggungan dengan arena diskusi dan kritik sosial, karena sejak saat itu, ia sering diundang untuk ngobrol dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh pendidikan dari UGM seperti Prof. Mubyarto, Lukman Soetrisno. Diskusi-diskusi tersebut sering menekankan Marcelino untuk lebih mencintai rakyat, lebih dekat dengan rakyat, dll.

Kebiasaannya yang bersinggungan dengan aktivis mahasiswa di arena diskusi dan kelompok berpikir  membuat dirinya yang sempat menjadi Ketua Mahasiswa Timtim, membuat perubahan di perkumpulan mahasiswa tersebut. Kebiasaan hedon mahasiswa Timtim seperti suka berpesta, nongkrong ngalor ngidul tidak jelas, diisi dengan kegiatan khas aktivis mahasiswa. Marcelino menggelar berbagai diskusi, training kepempinan, kepekaan sosial, dll bekerja sama dengan berbagai mahasiswa lintas jurusan. Bahkan katanya, alumninya hingga sekarang masih aktif berkiprah di masyarakat. Komentarnya mengenai aktivitas mahasiwa (khususnya UGM) yang marak pada masa tersebut, “Waktu itu, rasanya belum menjadi mahasiswa kalau belum masuk kelompok diskusi atau kelompok berpikir, “ ujarnya mengenang masa lalu.

*Hmmm….beda bener dengan gaya mahasiswa sekarang ya? Ah, (dulu) saya juga termasuk mahasiswa hedon kok. :mrgreen:

Awal terjunnya Marcel ke dunia jurnalistik yang membuatnya mesra menggumuli berbagai sudut kota Jogja, yaitu sewaktu beliau selesai kuliah. Marcel yang bercita-cita menjadi bupati di daerahnya, mendapat telegram dari Rizal Malarangeng. Rizal yang telah menghubungi Gunawan Moehammad meminta Marcel kembali ke Jawa untuk magang di Tempo. Mentornya waktu itu adalah Rustam Mandayung, yang mengantarnya berinteraksi dengan berbagai komunitas yang lebih luas di Jogja, dari budayawan hingga anak jalanan.

Pada masa-masa tersebut, pergaulannya terutama dengan kalangan seniman seperti Jadug Ferianto, Butet Kertaradjasa, Djoko Pekik, Umar Kayam (yang disebut Marcel, sebagai pengikat antar seniman di Jogja), dll sangat erat. Tersambung oleh persamaan di antara mereka yaitu menentang hegemoni Orde Baru, Marcel merasa banyak belajar dari komunitas seniman tersebut, terutama dari kebebasan para seniman dalam menumpahkan ekspresi sebagai bentuk perlawanan terhadap Orde Baru.

Menurutnya, pergaulan dengan komunitas seniman pada masa tersebut, sangat kompak dan loyal. Memberi nuansa kerinduan tersendiri bagi Marcel setelah tidak lagi menginjakkan kaki di Jogja. Ngobrol dan diskusi ngalor ngidul dengan Jadug, dll di angkringan, katanya sangat khas Jogja.

Ia juga belajar dari komunitas lain di Jogja, yaitu komunitas anak jalanan Girli. Waktu itu awal persinggungannya adalah berkat Romo Sandyawan, yang banyak berinteraksi dengan komunitas tersebut. Lagi, Marcel belajar nilai-nilai seperti bekerja keras, tidak mudah patah semangat, solider dari komunitas anjal tersebut. Interaksi yang rupanya abadi, karena ketika ia sedang berada di Gereja St. Antonius Kotabaru, tak diduga ia masih diingat oleh salah satu bekas anak Girli yang menjadi tukang parkir di gereja tersebut. Salam sapa ramah dan hangat mengalir, tak ubahnya seperti bertahun-tahun silam.

Hal yang sama ia alami, ketika ia sedang bernostalgia di warung SGPC. Ternyata pelayan-pelayan di situ masih mengenalinya. Katanya, dulu semasa masih kuliah, banyak mahasiswa-mahasiswa UGM yang kere dengan uang saku terbatas, termasuk dirinya. Sehingga ada saja cara untuk makan banyak tapi bayarnya irit, entah dengan membuang tusuk sate ke bawah meja sehingga tidak bisa dihitung, atau tidak berkata jujur ia mengambil gorengan berapa. Pelayan-pelayan dan pemilik warung SGPC tahu dengan kelakuan mahasiswa-mahasiswa itu, tapi mereka diamkan. Ketika mahasiswa-mahasiswa kere tersebut kini telah sukses, biasanya mereka kembali ke warung terebut dan sengaja membayar lebih dari yang mereka makan, untuk ‘menebus dosa’.

Marcel terlihat sangat menikmati ketika ia mengenang hal tersebut. Ada sedikit ekspresi haru di wajahnya.

Rasa haru yang sama yang dirasakan ketika ia bercerita bahwa ia pernah ‘diselamatkan’ oleh mbok-mbok pemilik warung makan. Waktu itu, karena uangnya tinggal sedikit, sekitar 150 perak, dan belum mendapat kiriman wesel, maka ia makan di warung yang biasanya menjadi langganan tukang becak. Rupanya hal tersebut diamati oleh pemilik warung dan ia ditanya, mengapa ia makan disitu padahal biasanya tidak. Marcel menjawab jujur apa adanya bahwa uang sakunya sudah menipis. Ibu tersebut ‘marah-marah’ dan menunjuk dua karung beras di sudut dapurnya, dan menyuruh Marcel mengambilnya.

Sebagai jurnalis, Marcel rupanya pernah akrab dengan dunia bawah tanah perlawanan terhadap dominasi tiran. Waktu itu situasi politik sedang memanas. Ketika Tempo dibreidel, wartawan-wartawan yang tidak puas dengan respon PWI membentuk Aliansi Jurnalistik Indonesia dengan Marcel sebagai salah satu pemrakarsa.

Menurutnya, dalam berorganisasi, ada dua hal yang bisa dilakukan, yaitu secara terbuka dan tertutup atau bawah tanah. Terbuka, yaitu yang bersangkutan terus terang mengakui duduk di dalam organisasi. Alasan Marcel sendiri untuk memilih bawah tanah, sebenarnya sangat sederhana. Pada waku itu, ia masih mengkredit motor Astrea Grand yang merupakan kendaraan operasionalnya sehari-hari. Jika memilih untuk bersikap terbuka, resiko sudah pasti ada, salah satunya dipecat dari tempat ia bekerja. Karena pertimbangan bahwa motornya masih kredit, maka ia memilih gerakan bawah tanah tersebut. Sama sekali bukan alasan yang heroik, dan ketika ia dikonfirm tentang hal tersebut, ia malah tertawa terpingkal-pingkal mengiyakan.

Pada waktu itu perannya adalah kontributor majalah bawah tanah Suara Independen. Ia merupakan wartawan pertama yang memiliki alamat email, padahal masa itu internet belum umum. Di rumah seorang pastor yang identitasnya dirahasiakan, naskah yang telah diedit oleh rekan di Jakarta, diolah dan kemudian disebar.

Tahun 1998 keadaan semakin genting. Pada saat kongres AJI di Realino yang diadakan secara tertutup, seorang rekan membisikkan bahwa Marcel sudah disebut-sebut namanya oleh Danrem Jogja. Dengan kata lain, yang bersangkutan telah menjadi TO. Sejak saat itu, Marcel sadar bahwa keselamatan dirinya terancam dan dia harus bersembunyi dari kejaran intel.

Pada saat yang sama, Ariel Hariyanto menawarkan beasiswa S2 ke NUS sekaligus jalan keluar untuk keselamatan dirinya. Marcel menerima tawaran tersebut walau bahasa Inggrisnya sangat pas-pasan. Dewi Fortuna rupanya sedang berpihak ke Marcel, karena pada saat seleksi, yang mewawancarai Marcel adalah lulusan Cornell yang fasih berbahasa Indonesia. Marcel hanya diminta untuk bercerita mengenai kondisi Timor dan rekomen yang keluar adalah, “Orang ini  calon pemimpin Timor Leste !”, kata Marcel menirukan ucapan profesor tersebut sambil tertawa-tawa.

Tak dinyana, sekarang Marcel berkarir di jajaran parlemen menduduki jabatan yang cukup penting di pemerintahan Timor Leste.

Ketika ditanya apa kesan-kesannya setelah lama tidak menginjak Jogja, ia mengatakan bahwa ia belum sempat bernostalgia di angkringan lagi, tapi ia sempat diberitahu Jadug bahwa angkringan di Jogja sekarang berhotspot dan pengunjungnya pun bermobil. Jalanan yang lebih ramai serta perubahan suhu di tempat tertentu seperti Kaliurang (dahulu jauh lebih dingin dibanding sekarang). Yang masih belum berubah adalah persaudaraannya.

Marcel tak berani untuk memberi pesan-pesan untuk Jogja, karena ia merasa justru dialah yang banyak belajar dari Jogja hingga membentuk dirinya menjadi sekarang ini. Marcel, walau dirinya adalah pejabat yang cukup penting di Timor Leste, tapi saya mendapati kesan yang sangat berbeda dari bayangan saya akan pejabat. Ramah, hangat, rendah hati, sederhana, aura tersebut benar-benar terpancar dari dirinya.

Marcel3

Akhir perrbincangan, Marcel sempat bercerita tentang salah satu tokoh yang sangat berkesan bagi dirinya, Pak Wito dari Kedungombo. Mengapa berkesan, karena dari diri Pak Wito tersebut Marcel banyak belajar hal-hal yang membekas hingga sekarang.

“Penderitaan saya tidak seberapa dibanding orang-orang tersebut, “ katanya dengan sorot mata tajam dan bersungguh-sungguh, mengakhiri bincang-bincang malam yang menyenangkan. Esok paginya, ia sekeluarga harus kembali ke Timor.

*Terimakasih untuk keluarga Mas Marcel dan Mbak Dedet 🙂

Jakarta yang Hip dan Jogja yang Kamsho

Beberapa waktu yang lalu, masih dalam suasana libur lebaran, kesempatan tersebut saya manfaatkan untuk reuni kecil-kecilan dengan sobat-sobat semasa SMU di mall terbesar di Jogja.

Sore itu di food court sudah penuh oleh manusia-manusia yang ribut dengan makanannnya masing-masing. Meja kami mungkin bisa dibilang paling unik komposisinya dilihat dari cara kami berpakaian. Penampilan kami berempat sungguh beragam. Ada yang berjilbab lebar lagi besar, ada yang berjilbab biasa dan warna-warni (bukan jilbab Britney Spears lho), satu berpenampilan casual, satu lagi (maunya) seksi (tapi nanggung, hehe).

Pembicaraan ngalor ngidul tapi terutama mengenai kehidupan pribadi masing-masing karena saya sendiri sudah sangat lama tidak berbincang secara ‘intim’ dengan teman-teman tersebut. Saat-saat tersebut saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk meng-up date gosip alias kabar masing-masing.

Pembicaraan sempat diisi intermezzo mengenai peta kuliner Jogja dibandingkan Jakarta. Salah seorang teman yang lebih dari tiga tahun bermukim di Jakarta menilai, bahwa tempat kuliner paling ‘hip’ dan ‘mewah’ di Jogja, masih belum apa-apanya kalau dibandingkan di Jakarta. Malah di Jakarta, tempat ter-hip di Jogja bisa jadi dipandang sebelah mata alias ga ada gengsinya, ga ada apa-apanya.

Saya mengamini. Saya bukannya sudah pernah mencicipi tempat yang teman ceritakan tersebut. Hanya saja kebetulan saya suka baca-baca buku dan atau majalah mengenai arsitektur, interior, etc (cita-cita arsitek ga kesampaian). Sehingga saya sedikit tahu kalau ada tempat makan di Jakarta yang konsep gedungnya sendiri bikin mata terbelalak saking keren, hip, modern, ‘gila’, mewah, dan kata-kata sejenis lainnya. Itu baru gedungnya, belum jenis makanannya dan harganya, kalau saya membayangkan, cukup dari foto-fotonya saja.

Saya berseloroh, bahwa di Jakarta, apa ada aja. Itu kelebihan Jakarta.

Dan menurut saya, berbisnis di Jakarta, lebih mudah. ‘Membuang’ duit hingga milyaran untuk modal mendirikan suatu bisnis baru lebih mudah BEPnya daripada di Jogja. Rasanya apa saja bisa dijual di Jakarta. Bahkan pernah baca dan lihat di TV, jajanan ndeso masa kecil yang dikemas ulang hingga cantik dan menarik (dan harganya tentu saja sudah naik beberapa kali lipat dari harga aselinya) pun laku dijual di Jakarta.

Contoh lain lagi. Saya pernah iseng main sendirian ke JDC (Jakarta Design Center) dan ndilalah ketemu teman yang waktu itu bekerja di sana. Produk perusahaannya salah satunya adalah kitchen set, yang di show roomnya tercatat bernilai puluhan hingga ratusan juta untuk satu desain. Saya ngiler dengan desainnya yang minimalis, resik, gw banget dah, tapi nggak kuat dengan harganya. Saya sempat tanya, kenapa ga buka cabang di Jogja saja. Teman waktu itu Cuma tersenyum. Pikiran kamsho saya langsung bekerja, wow, di Jakarta, kitchen set puluhan sampai ratusan juta aja, laku ya.

Kembali ke obrolan dengan teman saya tadi. Saya menangkap sedikit sirat kebanggaan akan keJakartaannya. Awalnya saya sempat keki tapi kemudian saya memaklumi. Mungkin perasaan yang sama, jika saya main ke daerah seperti Cepu, Salatiga, Caruban, atau bahkan Magelang dan membandingkan dengan Jogja. Ada nada sedikit meremehkan ‘ketertinggalan’ daerah-daerah tersebut. Paling gampang, kalau menginjakkan kaki di daerah baru, yang dilihat mall-nya seperti apa. Mall beneran ato plaza alias pasar.

Dulu sempet keki, setelah bioskop Empire terbakar sekitar tahun 90an, praktis Jogja tidak punya bioskop twenty one lagi. Keadaan itu makin diperparah oleh krismon yang mengakibatkan bioskop Jogja satu per satu tumbang dan yang bertahan kebanyakan bioskop yang memutar film ecek-ecek. Eh, soal krismon sebagai penyebab, itu perkiraan saya ding, hehehehehe. Akibatnya, kalau ada saudara dari Jakarta atau bahkan dari Solo yang Cuma 2 jam dari Jogja main, keadaan nir-bioskop twenty one sering menjadi bahan olokan dan menilai betapa Jogja ketinggalan.

Minggu petang tanggal 5 Oktober, teman saya yang bekerja di salah satu penerbit, harus kembali ke Jakarta. Senin dia harus masuk kerja. Entah, apa yang dirasakan. Kerinduan akan Jakarta, mungkinkah ?? Kembali bergelut dengan kemacetan yang makin menggila, dari kostnya ke tempa kerjanya yang sejauh timur dan barat. Tapiiiii…..fasilitas gila-gilaan ada di Jakarta. Asaaaaall, punya duit aja bro….

Jakarta oh Jakarta.

Saya jadi merenung. Mengapa ya, indikator kemajuan suatu daerah diukur oleh berbagai fasilitas terutama fasilitas hiburan yang dimilikinya. Misal mall. Dan kenyataannya, berbanding lurus antara fasilitas yang dimiliki oleh suatu kota dengan ‘kemajuan ekonomi’ dan hal tersebut seperti gula-gula yang menarik semut-semut daerah berdatangan.

Sementara, kita seringkali alpa memicarakan kota yang manusiawi, kota yang ramah terhadap keluarga, kota yang ramah terhadap ibu dan anak.

Saya sendiri tidak betah di Jakarta. Saya tidak suka dengan kemacetan, rasa tidak aman dan nyaman ketika berada di tempat umum, polusi, dll. Walau begitu saya tidak bisa memungkiri bahwa di jakarta, semua informasi berkembang begitu cepat. Dan, ketika harus memilih, antara kota yang manusiawi atau kebutuhan materi.

Surga ada di hati kita masing-masing kok, demikian kesimpulan saya. Entah itu di Jakarta, di Jogja, di Tabanan, di Sorong, dll. Surga juga bisa saja mengikuti kemana duit berhembus, karir melesat, amusement area berada.

Saya ucapkan selamat bagi yang mudik kembali atau memutuskan akan mudik ke Jakarta, kota segalanya ada. Semoga kau temukan surgamu, Saudaraku…..

EN BE.

saya sekaligus mohon maaf sebesar-besarnya jika dalam sebulan ini saya juarang bales / respon komen dari pembaca, dikarenakan kesibukan. dan sampai akhir oktober, sepertinya saya juga belum bisa intens bercinta dengan pembaca sekalian. maafkan juga, jika belum sempat balas silaturahmi balik dan membawakan oleh-oleh.

terimakasih, maturnuwun, kamshia….

Catatan pinggir lebaran : jika silaturahmi digantikan dengan sms, dan sms selamat lebaran pun copy paste dari orang lain, jadi timbul pertanyaan, apa makna lebaran di era sekarang ??

*** Istilah catatan pinggir terinspirasi dari Goenawan Muhammad, tapi tentu saja gayanya tidak sekaliber dia, melainkan betul-betul catatan pinggiran.

Judul di atas merupakan sebagian dari isi sms yang saya kirimkan sewaktu lebaran kemarin ke beberapa orang. Dan orang-orang yang beruntung mendapat sms tersebut justru sahabat-sahabat lama saya.

Ini memang catatan pinggiran dan sangat personal mengenai sahabat dan persahabatan.

Saya tidak mempunyai begitu banyak sahabat. Sahabat dalam arti, dimana saya bisa merasa nyaman menumpahkan segala macam uneg-uneg curhat, tangis, duka dan tentu saja tawa beserta suka. Saya termasuk tipe yang tidak terlalu terbuka, agak sulit bagi saya untuk membuka diri dan bercerita tentang hal-hal paling pribadi seperti keluarga, kesedihan, mimpi-mimpi, kisah cinta dan hal-hal lain yang bagi saya termasuk privat. Teman sih banyak, tapi hanya beberapa saja yang saya merasa nyaman untuk bercerita apalagi untuk curhat.

Dari sekian teman sedari TK hingga sekarang, ada masa-masa saya mempunyai teman yang sangat dekat dan membentuk gank. Kemana-mana selalu bersama, di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Kepribadian yang cenderung introvert plus pendiam dan tertutup semakin mendukung kelekatan antar anggota gank, sehingga bisa dibilang semasa sekolah, saya adalah pribadi yang kuper.

SD kelas tiga, adalah masa pertama saya mengenal istilah sahabat sejati. Waktu itu saya sangat dekat dan cocok dengan teman sebangku, Ully. Kami sharing segala hal dan kebetulan kami berdua bukan pribadi yang populer sehingga kami makin lengket, kemana-mana bareeeeng terus. Dari masalah sekolah, keluarga, hingga cinta pertama, kami saling berbagi (dan kami naksir cowo yang sama, hahahaha). Hingga kelas empat ketika dia harus pindah ke Surabaya, kami harus berpisah. Sedih, tentu saja.

Dan persahabatan kami lanjutkan lewat surat-menyurat yang rajin kami kirimkan……hingga akhir SD menjelang SMP (belum kenal internet, ha ketahuan dari generasi mana, hehe), kami semakin jarang berkirim surat. SMU masih, kadang-kadang. Pada masa kuliah terhenti total dan kemudian digantikan oleh era HP sehingga dimudahkan dengan sms. Hingga sekarang.

Secara kuantitas, memang sangat menurun. Kualitas pun, kurasakan juga menurun. Hanya pada saat-saat istimewa, kami saling berkirim kabar. Seperti ketika Ully menikah, saya diundang secara khusus. Dan saya sangat terharu, karena dari sekian teman-temannya, rupanya hanya saya yang datang dari luar kota dan diinapkan di rumahnya. Bahkan saya adalah satu-satunya teman di luar masa kuliah. Teman-temannya yang datang kebanyakan rekan kerja, sedikit teman kuliah. Waktu itu saya benar-benar dianggap sebagai bagian dari keluarganya. Saya diam-diam melelehkan air mata menyaksikan ijab kabulnya, apalagi saya tahu kisah cinta mereka yang tidak mudah dan penuh pertentangan dari kedua keluarga.

Tapi setelah itu, saya kembali kurang ajar. Jarang berkirim kabar dan hanya pada saat tertentu seperti lebaran. Telpon pun tidak, hanya sebatas sms.

Sesungguhnya dalam hati, saya masih menyimpan kerinduan terhadap Ully, untuk bercengkerama laiknya sahabat. Tapi ketika bertemu, seringkali lidah kami tidak selemas masa SD dulu yang begitu cerewet membahas dari kelakuan adek sampai cowo yang kami taksir bersama.

Selain Ully, tentu saja di kelas-kelas berikut saya juga mempunyai teman dekat. Tapi ketika lulus SD dan bertemu lagi entah masa SMP, SMU ato sekarang, pola kami sudah jauh berbeda. Dulu dengan Wikan, kita bisa seru ngecipris ngomongin tentang boyband dan artis-artis cowo favorit kita. Dengan Aulia kita bisa seru nggosip tentang cowo-cowo keren di sekolah dan gosip tentang temen-temen cewe (wah, itu SD lhoooo….astaga, ternyata… T_T ). Tapi setelah kita berpisah, saya menjadi sahabat yang kurang ajar dengan tidak berkirim kabar lagi. Jika bertemu lagi masa sesudahnya (apalagi masa sekarang), hubungan kami sudah berbeda, reaksi kimia yang terjadi di antara kami dulu tidak lagi semeledak-ledak masa pra-ABG itu. Ngobrol menjadi kurang sambung dan kurang greget.

SMP, saya mempunyai gank berisi 4 cewe centil (kalo interaksi antar anggota) dan juga masih bertahan hingga sekarang. Masa persahabatan kami sangat indah, paling indah dari masa-masa ABG. Crazy Girls, begitu nama gank kami. Tawa, canda, duka, segalanya, adalah milik bersama, demikian aturan yang berlaku di kelompok kecil kami. Bahkan setelah kami lulus SMP dan melanjutkan ke SMU yang berbeda-beda (tidak ada yang satu SMU) kami masih kompak luar biasa hingga masa kuliah. Pergi piknik bareng, safari tarawih dan buka bersama, sahur bareng hingga nginep bergantian, benar-benar masa yang sangat indah.

Jika kami bertemu, energi kami sunggguh luar biasa. Tawa tidak habis-habisnya, bahkan hingga pulang sampai ke rumah, masih menyisakan tawa. Apalagi kami jomblo hingga masa kuliah, jadi makin lengket lah kami. Memang ada satu teman yang begitu punya pacar, polanya agak berubah. Kami merasa agak diabaikan, tapi kami tidak begitu heran. Sedari awal, dia sudah menunjukkan kecenderungan demikian. Misal, lebih menomorsatukan belajar (hehe), dan berbagai tugas-tugas lain yang di mata kami tak sepenting persahabatan kami.

Apalagi ketika dia menikah. Semakin jauh baik dari lokasi maupun jauh di hati. Kabar seringkali di layangkan jika dia sedang ada perlu (misal kesepian karena tugas jaga sebagai bagian dari praktek kedokteran atau sekarang ketika menjalani sebagai dokter residen dan harus jaga di puskesmas di pedesaan).

Dan saya lebaran ini sungguh sedih. Sms lebaran saya tak dibalas olehnya. Terakhir kami bersms, bulan lalu, beberapa minggu setelah ulang tahun saya, meminta maaf karena terlambat dan meminta saya datang menjenguk atau main ke tempat prakteknya di Gunung Kidul sebagai bagian dari kuliah spesialisnya.

Oke, mungkin saya egois, karena tidak melakukan apa-apa kecuali hanya mengsms pada saat tertentu juga, tidak melakukan manuver terlebih dulu. Tapi jujur, saya sedih, ketika lebaran ini ternyata tak ada sms satupun darinya. Saya kehilangan….

Selain itu, walaupun hingga beberapa tahun yang lalu kami masih sangat kompak, tapi setelah kelulusan kuliah kami dan sibuk dengan kegiatan masing-masing, saya merasakan ada perbedaan dalam persahabatan kami. Kami berubah. Ya, secara individu kami berubah, baik dalam pandangan, cara berpikir, prinsip.

Saya cenderung liberal dengan pola pikir yang agak liar, sementara dua orang cenderung lempeng alias lurus-lurus saja, dan satu lagi agak puritan. Ketika kami bertemu dan berbicara mengenai suatu hal, saya merasakan perbedaan tersebut, dan makin lama makin membesar (jurangnya). Entah dengan yang lain, merasakan juga / tidak.

Saya sempat berpikir, akankah perbedaan tersebut akan merubah persahabatan kami ?? Katakanlah, jika salah satu dari kami sedang sedih dan ingin curhat. Apakah cara pandang dan berpikir kami tidak akan mempengaruhi cara kami memberi dukungan kepadanya ?? Misal masalah ini yang cukup sensitif.

Saya sadar, kami semakin bertambah usia dan kehidupan kami semakin kompleks. Tidak lagi hanya berputar pada masalah pedekate terhadap cowok, dinamika pacaran ala ABG yang hanya berkisar susah senang, dan kuliah.

Dan lebaran ini pula, kesedihan saya juga bertambah. Sahabat saya di Crazy Girls yang bermukim di lain kota, juga tidak membalas sms lebaran. Terakhir dia sms sewaktu puasa, meminta saya andai ada cara untuk meloloskan adek iparnya dalam suatu tes rekruitment.

Oke, sekali lagi, mungkin saya juga egois. Karena, semenjak dia hijrah, saya juga ga rajin-rajin amat bertukar kabar dengannya. Hanya, ternyata saya kehilangan betul ketika dua sahabat ini tidak membalas sms lebaran saya. Sedih sekali rasanya.

Masa kuliah. Masa ‘pembebasan’. Genk Parkiran. Mengisi 5 tahun masa kuliah di Psikologi. Gank gila luar biasa, berisik, ribut, dan terlalu banyak anggota. Delapan cewek dan lima cowok. Dari tigabelas tersebut, paling hanya beberapa yang saya merasa lebih dekat dan saya merasa nyaman untuk curhat.

Hingga sekarang, persahabatan itu masih terjalin. Perubahan, tentu saja ada. Tapi entah, tidak begitu asing dan membingungkan dibanding dengan perubahan yang dialami di Crazy Girls.

Perbedaan pola pikir, prinsip, cara pandang, tapi hal tersebut tidak terlalu menganggu ketika kami berkumpul bersama dan memperbincangkan sesuatu. Perbedaan tersebut malah kami jadikan bahan olokan.

Dan anehnya, walau beberapa dari kami sudah menikah, perubahan status tersebut tidak mengganggu. Bahkan saya merasakan lebih dekat dibandingkan dengan masa kami kuliah. Kami memperbincangkan segala macam hingga ke masalah seks tanpa rasa sungkan adanya perbedaan pandangan.

Moment-moment tertentu begitu istimewa. Seperti ketika seorang sahabat mengalami masalah yang cukup pelik dan di ujung endingnya, saya mendapat kehormatan untuk menemani pernikahannya di Bali. Saya bahagia dengan endingnya, a happy ending.

Hal yang bagi saya agak aneh. Parkiran adalah sahabat hura-hura dan kami adalah kelompok ‘hedon’ semasa kuliah, sehingga pertalian hati di antara kami tidak begitu kuat dibanding CG. Tetapi sekarang saya malah merasa lebih bebas untuk mencurhatkan apa saja yang saya rasakan tanpa khawatir untuk dinilai. Akhir-akhir ini, saya merasa lebih mendapatkan dukungan / support dari sahabat-sahabat ini (tanpa bermaksud membeda-bedakan, sama sekali).

Dari sekian banyak sahabat itu, bisa dibilang hanya satu yang sangat dekat hingga saya tidak canggung untuk menanggapnya sebagai soulmate saya. Kami berteman sedari SMP hingga sekarang. Kalau usia pernikahan, maka pernikahan kami sudah menghasilkan anak seusia SMU. Suatu masa persahabatan yang tidak sebentar. Dalam masa-masa itu, tak terhitung suka duka yang kami bagi bersama, tawa canda dan tangis. Kami juga saling mengingatkan jika ada yang terjerembab, terpeleset, terjatuh. Kami berbicara dengan bahasa yang empatif, tidak menghakimi, dan saling memahami.

Sungguh masa-masa yang indah.

Ada rasa kehilangan yang cukup dalam ketika dia menikah. Walau dia berjanji untuk tidak berubah dan terus mendukung saya, tetapi dalam kunjungan terakhir di rumahnya, saya meRASAkan perubahan itu. Saya kesulitan untuk mengurai dalam kata-kata tapi saya RASAkan itu.

Dan puncaknya lebaran ini. Entah mengapa saya sedih membaca sms lebaran yang dikirimkannya sehari lebih cepat. Sms itu persis sama dengan sms yang dikirimkan oleh seorang kolega, beberapa jam sebelumnya. Saya menduga, sms forward-an. Rasa kehilangan itu begitu terasa. Saya merasakan dia sekarang jauh….walau sama-sama masih di Jogja, tapi jauh di hati….

Okelah, mungkin saya egois dan manja, merasa sebagai sahabat, mengharapkan sms yang istimewa dan spesial, yang berbeda dengan yang dikirimkan oleh teman biasa bahkan oleh kolega. Tapi rasa sedih dan kehilangan itu tidak bisa saya tahan. Saya langsung merasakan perubahan dari dirinya dan teringat janjinya yang dia kirim beberapa hari menjelang pernikahannya dan sempat membuat saya menangis terharu.

Saya jadi berpikir mengenai sahabat sejati. Bagi saya sendiri, sahabat sejati adalah sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka, dia tidak menghakimi, saling mengingatkan, dan rasa sayangnya itu murni karena peduli tiada mengharap pamrih.

Lebaran ini saya sedih karena tiga sahabat yang saya merasa sangat dekat tidak memberi respon seperti yang saya harapkan. Saya sempat merasa tidak lagi mempunyai sahabat sejati. Tapi kemudian, saya berpikir ulang. Sudahkah saya menjadi sahabat sejati bagi yang lain ??

Ramadhan ini saya belajar mengenai cinta sejati, cinta yang tulus, cinta yang hanya mengerti tentang memberi. Karena sifatnya yang hanya mengerti untuk memberi tersebut, maka dia mampu menerima dan memaafkan. Tidak sekedar maaf secara formal dan masih menyisakan konflik di kemudian hari. Energi yang terpancar dari cinta tersebut mampu menaungi, memayungi, dan meneduhkan kembali jiwa yang terkoyak dan sempat terbelah.

Semoga, saya mampu membalas cinta sejati tersebut dengan memantulkan energinya ke sekitar saya. Menjadi sahabat sejati. Merayakan cinta dari Sang Maha Cinta dengan mensyukurinya. Dan bentuk syukur yang nyata adalah mewujudkannya dalam perbuatan.

*** persembahan untuk seluruh sahabat-sahabatku, karena sahabat bagi saya adalah harta yang harus ku jaga. Maafkan jika selama ini aku kendor dalam menjaga tali silaturahmi dan persaudaraan. Aku sangat mencintai dan menyayangi kalian. Dalam suka dan duka. Dalam duka, terutama.

*** uraian dari Sang Mursyid mengenai Cinta Sejati. ( HIGHLY RECOMMENDED TO CLICK AND READ !!!! ) Saya terpesona dengan kedalaman hikmahnya, dan bercita-cita mewujudkan Cinta Sejati sebagai kata kerja, bukan sekedar kata sifat.

cintaku…..

nanya dong, apa yang pembaca lihat dari gambar berikut ???

pizza ?? keju mozarella ?? pepperoni ?? sosis ?? paprika ??? pan pizza ??

BUKAN….eh ya betul ding tapi tidak 100% betul.

Bagi saya, yang nampak disitu adalah cinta.

Ya, itu bagi saya lebih dari sekedar senampan pizza, tapi ada cinta di sana.

*flashback…………*

Senin, 28 Juli 2008

*setelah minggunya mengalami hari yang berat*

19.03 sms masuk.

” we brought you a pan of pizza. u better hurry up to get home before yr brothers eat it, hehehe. and enjoy it urself as a present from us. we hope u”ll get well soon and be happy 😉 “

Sontak mataku berkaca-kaca.

Terimakasih untuk persahabatan yang indah. Aku sayang kalian. 10 tahun persahabatan kita, dinamikanya, dan u’re still best friend for me.

Doakan aku dan orang-orang yang aku sayangi.

Sekali lagi, itu bukan sekedar pizza atau kaset. Ada cinta di balik itu.

I love you too…………

rezeki yang barokah dan mengejar mimpi

Temans, pernah dong, denger dari saudara-saudara kita yang muslim, berdoa ; “semoga mendapat rizki yang barokah, blablabla” ??

Dulu ketika saya mendengarnya dan kemudian mengucapkan dalam doa-doa saya, ga ngeh dengan maksudnya. Belum lama saya paham apa yang dimaksud dengan rejeki barokah dan bedanya dengan rejeki yang ndak barokah.

Begini ceritanya. Sebenarnya ada dua cerita, tapi saya ceritakan satu saja. Kisah ini sungguh-sungguh terjadi dan nyata adanya. Jadi begini, teman saya, mempunyai katakanlah seorang pembantu yang membantu mengurusi sehari-hari dalam rumah tangganya. Pembantu ini karena tinggal dekat dengan rumah teman saya, setiap sore dia pulang. Istilahnya dalam bahasa jawa, pocokan. Karena statusnya yang part-time itu, tentu saja gajinya ga sebesar yang didapat jika full time, apalagi sebesar gaji sang sultan.

Dengan gaji yang minim, jauh dibawah lima juta per minggu, dalam logika kelas menengah seperti panjenengan-panjenengan ini tentu sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi ternyata, dari gaji yang hanya sekian ratus ribu itu, si Mbak bisa membangun rumah (walau sederhana). Rumahnya yang dulu hanya kelas gubug pinggir kali Ciliwung, sekarang sudah bertembok, berlantai semen, dan bahkan ada sofanya (walau seken). Teman saya saja sampai takjub dan tak habis pikir. Apalagi membandingkan dengan dirinya, yang sudah bekerja tetap, tapi rasanya kok masih adaaaa aja yang kurang.

Di akhir pembicaraan, ia menutup dengan kesimpulan ; “Bukankah itu yang namanya barokah ?? Walau minim, tapi dia merasa cukup, tentram, dan tercukupi kebutuhannya ??”

Saya hanya bisa merenung.

Kembali ke lima juta per minggu, saya teringat dengan seorang teman yang kepergiannya ke negeri barat Jancukarta, diiringi sedu sedan para jelatanya. Teman tersebut pun tak kalah berat melangkahkan kaki, walau dengan iming-iming gemerlap metropolitan dan pundi-pundi uang yang akan mensejahterakan masa depannya. Sempat terungkap, betapa ia sudah kadung cinta dengan Kasultanan beserta jelatanya.

Saya bisa memahami perasaan berat meninggalkan itu. Berat rasanya menginggalkan zona nyaman yang sudah kita bangun dengan susah payah, berat rasanya meninggalkan sahabat-sahabat dan jelata, menuju tempat asing yang konon lebih kejam daripada Ibu tiri. Apalagi jika jiwa kita merasa tak sesuai dengan tempat tersebut.

Saya tak perlu banyak cakap. Saya hanya bisa mendoakan, semoga kau mendapatkan rejeki yang barokah, apalgi dengan lima juta per minggu itu. Jangan lupakan mimpi-mimpi yang telah kau bangun dengan susah payah, hanya karena kalah pendarannya oleh silaunya gemerlap metropolitan. Dan terakhir, semoga dinas pajak tidak memburumu, demi mendengar lima juta yang gencar disebut-sebut sejagat blogsphere……

Kejar mimpimu dan semoga mendapat rejeki yang barokah, amiin….

Doa dari teman-teman lain :

1. cahandong.org

2. pak Yahya

3. salah satu kekasihnya yang lain : Pepeng

dhemit-dhemit ratu boko……. (update)

Hari Sabtu itu, sesuai dengan yang telah dijadwalkan oleh Kasultanan Ndoyokarto Hadiningrat, berlangsung hajatan besar Pisowanan Ageng bla3 yang disingkat menjadi Pasak Boemi. Hajatan ini konon untuk menyambung tali silaturahmi antara founding fathers and mothers of CahAndong sekaligus sebagai ajang kopdar raya.

Di tengah-tengah kesibukan yang bertubi-tubi (maklum, pekerja serabutan, jadi musti siap untuk nguli di hari libur sekalipun) alhamdulillah beban laporan berhasil diselesaikan dengan sukses pada hari jumat sore. Dan malamnya setelah menyerahkan laporan, diiringi hujan gerimis mengundang, daku menyempatkan diri untuk ber juminten ria.

Di sisi lain, dari ajang juminten terungkap ‘berkah’ long weekend bagi pelaku pariwisata tapi ‘pulung’ bagi beberapa wisatawan. Jogja yang diserbu wisatawan selama musim liburan panjang kemaren, sungguh tidak menguntungkan bagi beberapa teman bloger. Padatnya tingkat hunian hotel, losmen, dsb membuat beberapa teman kebingungan mencari tempat bermalam yang nyaman. Sayang sekali, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Nggak mungkin to, saya mengusir tamu yang udah booking beberapa waktu sebelumnya, hehehe. Insya Allah, jika rumah ‘kami’ sudah ‘resmi’, maka saya akan lebih leluasa menjamu teman-teman bloger yang berminat beristirahat di Jogja dan kehabisan penginapan, hehehe. Doakan saja, frens ^^

Keesokan harinya, dengan agak terlambat, saya segera menuju tempat ngumpul yaitu di boulevard UGM. Kayaknya sengaja di pilih, karena tempat ini konon merupakan landmark Jogja, alternatif selain Tugu, hehehe. Alasan lain, saya curiga, untuk mempromosikan Jogja dan UGM khususnya sebagai tujuan untuk melanjutkan pendidikan, s e c a r a beberapa bloger yang akan datang adalah anak-anak pra-mahasiswa (uh, hai, Debe, Blogie, Zazi^^).

Ternyata di boulevard masih sepi…..hanya beberapa orang yang sudah siap sedia. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh saya, untuk sarapan khas Klaten. Apalagi mas Alex juga sepertinya sudah kelaparan. Seperti gayung bersambut, maka kami beriring-iringan berjalan kaki saja, menuju depan Panti Rapih untuk makan nasi sambel tumpang. Ohoooo, ternyata benar. Mas Alex, Gun, dan Zazi belum familier dengan jenis makanan ini. Jadilah mereka pesan nasi sambel tumpang, sementara saya bubur jawa.

Nasi sambel tumpang sebenarnya adalah nasi dengan lauk urap (ada gori/nangka muda, ada kenikir, dengan bumbu parutan kelapa) dan disiram dengan sambel tumpang. Sambel tumpang adalah daging (khasnya adalah daging koyor, kalo beruntung bisa tuh minta koyornya), tahu dan telur yang dimasak santan. Cita rasanya gurih pedas. Penampakan seperti brongkos, tapi entah, pake keluwak ato tidak, karena rasanya lain dengan brongkos.

Ooookey, kembali ke topik semula. Setelah ditraktir oleh mas Alex, di boulevard sudah ketambahan tamu barudak dari Bandung. Oleeee, selamat datang Kang Herry, Blogie, dan Debe. Ada neng geulisnya (Teh Mina) juga, tapi masih nyangkut di hotel. Dan kami pun terkagum-kagum mendengar kisah perjuangan kawan-kawan kami ini dari Bandung. Kang Herry emang te o pe be ge te, bujug dah semangatnya. Inspiratif, terutama dari segi kebiasaannya yang travelling sampe pelosok itu.

Singkat cerita, kami menjemput beberapa orang lagi, dan langsung ke Boko. Selama perjalanan, saya pribadi yang belum pernah ke Boko, langsung disergap kekaguman dan terbuai oleh keindahan pemandangan sawah yang menghampar. Apalagi ketika sampai di tempat. Walaupun baru di pendopo tempat peristirahatan (???), mata saya langsung terpesona oleh keindahan lukisan agung Tuhan. Busyet (ups, kok misuh) Merapi tampak kokoh berdiri dan leluasa memamerkan keperkasaannya, dari ujung kaki ke ujung kaki yang lain. Tampak juga bukit Turgo dan Prambanan. Duh Gusti….betapa agung lukisanmu…..

** yang jelas, penyakit disoreintasi arah di Boko ini tambah parah, karena tidak bisa lagi berpatokan utara = Merapi >_<

Saya benar-benar terpesona dan tak bosan-bosan memandangnya. Rasanya masih enggan meninggalkan pemandangan tersebut, tetapi sang Tour Leader sudah dhawuh untuk segera ke lokasi.
Menyusuri jalan setapak, lagi-lagi mata cukup dimanjakan oleh penataan taman yang cukup asri. Sekali lagi, saya cukup mengapresiasi pengelola Taman Wisata Candi Boko ini. Walau dari segi tiket lumayan mahal (dibanding candi Plaosan dkk yang ngenes) tapi nyata pengelolaannya cukup baik. Tetapi seharusnya masih bisa ditingkatkan lagi, saya percaya itu. Yang ada sekarang cukup bagus tapi masih belum sempurna.

Kembali ke Boko, saya cukup terperangah dengan landscape secara keseluruhan. Apalagi mendengar dari Tour Leader alias Sultan yang menjelaskan bahwa kompleks Boko bukan candi pemujaan seperti candi-candi pada umumnya, tapi merupakan kompleks kraton. Ohoooo….pikiran saya langsung melayang, membayangkan bahwa lokasi tersebut sungguh sempurna untuk sebuah lokasi pemotretan pre-wedding.
Jangan khawatir dengan mitos bahwa pacaran di candi akan berakibat buruk (putus), karena Boko bukan candi tapi kraton^^.

Sayang, saya kehabisan kata-kata untuk melukiskan keindahan candi Boko ini. Saya hanya ingin mengulanginya lagi, dengan kekhusyukan yang dalam, sehingga imajinasi saya bisa benar-benar liar. Uh, rasanya waktu itu pengen ada mesin waktu a la Doraemon, jadi bisa tahu kehidupan waktu itu. Rasanya aneh dan takjub aja, melihat kompleks Boko yang sekarang dan membayangkan kehidupan kerajaan pada waktu itu dengan segala intriknya. Waoooow…..

Acaranya sendiri cukup meriah. Selain sesi foto-foto (tentu saja, kumpulan PSK –pria perempuan sadar kamera- ), kenalan, tour de Boko, plus sesi game yang sejatinya bertujuan untuk mengguyubkan peserta, syukur-syukur bisa menghibur. Ternyata oh ternyata, malah saya yang terhibur bukan buatan.

Game-game yang ada sebenarnya ga baru-baru amat, sudah sering dilakukan di training-training. Sengaja dipilih game energizer / ice breaking dan team building. Namanya saja energizer / ice breaking, tentu saja tujuannya untuk ‘memecahkan’ suasana alias menghangatkan suasana. Sebenarnya, suasana yang terbangun sudah cukup hangat dan mengalir sih, tapi rugi dong, sudah disiapin kok gak dijajal. Walhasil, game cukup sukses menghibur SAYA. Ya, saya, saya yang malah sangat terhibur oleh ulah kawan-kawan.

Weeeees jaan* (*ungkapan jawa yang susah dicari padanan Indonesianya), susah digambarin pake kata-kata, polah lucunya kawan-kawan ini. Tapi tiap inget kejadian itu, saya kok ga bisa menahan senyum di wajah.
Contohnya seperti waktu Mas Pepeng bingung membedakan antara kanan dan kiri. Aseliiiii, waktu itu saya ngakak banget sampe sakit perut apalagi lihat expresi tampangnya Mas Pepeng yang sangat2 bego dan polos, lugu aseli, ga ngerti antara kanan kiri. Huaaaaahahahahaha sayang ga ada foto yang berhasil merekam expresi ketololannya itu.

Terus juga expresi mesum, aseliiii mesum, dari Zamroni sang Sultan. Entah bagaimana, posisinya yang sewaktu game energizer pertama dia di antara para cowok, kok tau-tau bisa berada di tempat yang sangat strategis, diapit oleh dua cewek manis (kl ga salah, Tika dan Fany). Walhasil, Zam Cuma bisa ngiler-ngiler ngeces aseliiiii tak terkatakan deh, ekspresinya, hahahaha. Saya hanya bisa mengingat karakter kakek kura-kura di komik Dragon Ball dan mengimajinasikan kalo Zam sudah muncrat-muncrat darah mimisan hidungnya.

Terus juga waktu game team buliding yang menguji strategi dan kekompakan bersama. Wahwahwah, cowo-cowo itu ternyata sangat jumawa sekali. Tapi begitu tau gimana susahnya, dan dari tiga kali percobaan gatot alias gagal total semua, trus mutung toooo, walaaaaah huuuuuuu penonton kuciwaaaaaaa. Nah, dari game kemaren, apa yang kawan-kawan dapat ?? Bahwa membangun kekompakan itu …… (isi sendiri) karena itu membutuhkan ……………. (isi sendiri) jadi kesimpulannya, bloger-bloger musti kompak tak peduli dari mana dia berada (wuih, gayaneeeeee metuuuuu^^).
Tapi aseliiii saya sukses dibikin ngekek se-ngekek-ngekeknya melihat perjuangan mereka. Apalagi ketika mas Alex masih tampak sangat penasaran, sayangnya rekan-rekannya tidak sependapat dengannya. Anto dengan jujur mengutarakan, mewakili isi hati semua (???) peserta bloger berjenis kelamin wortel pada ajang tersebut. Pernyataannya adalah, tiadanya bloger tomat pada sesi game tersebut berkorelasi lurus dengan semangat juang mereka.

Hahahaha…..asliiiii saya dihibur oleh kekonyolan, ketololan, dan lain-lain kawan-kawan. Pokoknya waktu itu, otot senyum di bibir saya seakan-akan mau dhol alias copot saking seringnya ngekek. Makasiiiii kawan-kawan, mau lagiiiiiii ^^
(obat mujarab kl lagi stress, kumpul aja sama bloger-bloger sablenk ini).

Catatan tambahan : lokasi TWC Boko ini pas banget buat outing. Kapan-kapan outing nyooook^^

** skrinsyut nyusul yaaaa
** maap kl ada perkataan yang ga berkenan, mungkin kesan jujur saya salah penyampaian^^

UPDATE :

Dari hasil penilaian temen-temen gw, cewe, para psikolog (dan manis2) sesudah melihat dan menganalisa foto-foto Candi Boko kemaren, terpilih bahwa Debe dan Blogie adalah bloger-bloger wortel yang berhasil merebut hati temen-temen gw. Komen mereka, “ni anak fotogenik banget deh, imut, bikin gemes” 😆

ini kabar baik………..

http://atapsenja.wordpress.com/2008/03/15/lapar-menjemput-ajal-pedulikah-kita

membaca komen2 di blog mbak Hanna itu, sungguh menggedor nurani dan inspiratif sekali.

terharu dan optimis, bahwa kita masih peduli.

biar sudah sering kita membaca berita menyedihkan seperti ini, sudah jenuh kita mendengar umpatan kekesalan atas keprihatinan ini, tapi temans, sungguh, aku terpesona dengan energi yang ditunjukkan oleh kawan2 blogger ini.

banyak yang tidak saling kenal, banyak yang terpisah jarak, sebagian besar pun anonim, tapi hei, itu bukan halangan !!!

blogger2 telah saling percaya, saling peduli, bersatu padu melawan bencana kemanusiaan yang paling mengerikan : ketidakpedulian.

bagaimana dengan anda ??

* sambil menulis ini mikir2, didepan rumah ada orang, bapak2 sekitar 50an, dia tidur beralas dan bertutup tikar, di epan balai RW.

* teringat, klau pulang malam, melewati jalan gowongan kidul, melihat beberapa gelandangan tidur seadanya di depan rumah kosong, di emperan toko. dan ada satu gelandangan yang sudah sangat sepuh, mungkin usia 70an, sering melihatnya berjalan entah mencari apa. pernah dua-tiga kali, tak samperin, ku beri dia nasi bungkus sekedar untuk makan. dia mengucapkan terimaksih dan entahlah, aku memangkap nada kesepian di suaranya.

* teringat juga, dengan anak-anak loper koran di perempatan Gramedia, sepertinya berjualan selesai sekolah, krn kalo pagi sampe jam 10an, ga pernah ketemu. ada satu anak yang mencuri perhatianku, anak ini cewek, badannya kurus, semakin lama semakin hitam kulitnya dipanggang matahari. dia polos jualan koran yang makin sepi peminat, sementara loper koran yang lain, jualan Kompas ato Koran Tempo seribu rupiah per eksemplar. ya jelas dia kalah saingan no. pernah kuberi sedikit uang jajan, dan dia sepertinya terlalu polos ato gimana untuk ngucapin makasih.

* teringat juga, dengan nasib bayi-bayi kucing yang dibuang ke tempat yang tidak layak, mungkin juga mati kelaparan…….. *nangis bombai*