dont buy dont breed, adopt!

 

 

Saya pecinta bintang, sepertinya semua orang sudah tahu itu.

Aku benci dan menolak-melawan kekerasan pada binatang, sepertinya semua orang juga paham.

Kalau saya ngomong, nyebut-nyebut “anakku”, teman-teman biasanya udah mahfum kalau yang kumaksud adalah kucing-kucingku.

 

Kepindahanku ke Jakarta seringkali mendapat pertanyaan, gimana nasib anak-anakku, kenapa ga dibawa aja. Kujawab, Jogja adalah rumah terbaik bagi mereka, di lingkungan yang mereka sudah kenal baik dan dikelilingi oleh orang-orang baik hati dan menyayangi mereka. Memang, di Jakarta ini, sering banget aku patah hati, nggregel, berlinang air mata, karena sering banget ketemu kucing-anjing liar di jalanan. Memikirkan nasib mereka dan kemungkinan adanya orang-orang jahat tidak berwelas asih, sungguh bikin risau. Apalagi kalau mendengar berita kekerasan pada binatang, seperti pembuangan bayi-anak kucing. Duh, hatiku lemah sekali. Rasanya lemes, gundah, galau to the max, sedih, tak berdaya dan sebagainya. Ingin menolong tapi keterbatasanku, di kos tidak boleh memelihara kucing, dan keterbatasan resource lainnya.

Kalau sudah galau to the max begitu, aku malah biasanya ga sanggup untuk ngomongin. Bukannya lebih suka memendam, ga ada hubungannya dengan suka atau tidak, tapi aku ga sanggup, bahkan membicarakannya sekalipun. Hatiku terlalu kecil, pecah duluan berderai-derai. Padahal sekelilingku ya banyak juga, yang pecinta kucing atau binatang. Kalau mendengar mereka membicarakan kelucuan kucing-kucing dari segala penjuru dunia, aku malah diam saja. Makin kesini malah makin jarang ngomongin tentang lucunya kucing etc. Ya gimana yah, udah kepikiran duluan tentang nasib kucing-kucing dan hewan lain yang terlantar. Udah broken duluan, ga sanggup mungutin, ga sanggup membicarakannya. Ga kuat.

 

Hingga beberapa waktu lalu, kepikiran ide ini. Yah, bahkan menuliskan ide ini menjadi bentuk postingan pun membutuhkan waktu untuk menguatkan diri menyampaikan sesuatu yang aku anggap penting. Lebay ya? ‘Cuma’ isu kek gini doang, kok sebegitunya. Ya gapapa juga sih, kalau ada yang berpikiran demikian. Lhawong yang benar kurasakan memang seperti itu. Ya tidak menyalahkan kalau ada yang beranggapan remeh.

Kembali ke ide. Cuma berangkat dari pemikiran, bahwa banyak sekali di sekitarku yang suka sekali (kalau ‘sayang’ ga tahu sih, karena menurutku, suka ama sayang itu level intensitasnya berbeda) dengan kucing/anjing. Tapi diantara yang suka itu, banyak yang tidak bisa memelihara kucing/anjing dengan berbagai alasan. Nah, ide ini sifatnya hanya ajakan/himbauan sih, karena bisa dilakukan secara individu. Ga butuh gerakan massa. Jadi, buat kita-kita yang suka binatang tapi ga bisa memelihara sendiri, kenapa tidak memperlakukan semua binatang yang kita temui selayaknya itu binatang piaraan kita. Caranya, selalu bawa catfood/petfood kemana-mana, jadi kalau ketemu di jalan, langsung aja kasih.

Asyik lho, menjalin interaksi dengan mereka, kalau kasusku, kucing-kucing liar tersebut. Mereka yang tidak mempunyai kepercayaan terhadap orang asing karena takut, lalu kita pelan-pelan berusaha membangun rasa percaya. Dan sekali rasa percaya itu terbangun, bonding/ikatan pun terjalin. And its magic!

Kedua, kalau melihat ada hewan liar yang sakit/terluka, segera dibawa ke dokter hewan. Sayang sekali, biaya dokter hewan di Jakarta mahal sekali ya dibanding Jogja. 😦

Ketiga, berpartisipasi kalau ada gerakan sterilisasi kucing/anjing liar, dengan berdonasi. Percayalah, men-sterilisasi hewan liar ini, manfaatnya jauh lebih banyak untuk mereka sendiri, dan ada manfaat juga yang bisa dipetik ulah manusia. Kalau di Jakarta, aku taunya Jakarta Animal Aid Network, bisa dicek di facebook mereka atau situs mereka. Sayang, sejauh aku pernah kontak mereka, kok minim respon.

Keempat, bagi yang ingin pelihara kucing/anjing, remember the platinum rules: DON’T BUY DON’T BREED, ADOPT. Salah satu alasan adalah, when adopt, you’re saving a life. Kalau masih ada kucing/anjing terlantar yang bisa kita pungut, kenapa tidak mengadopsi mereka saja? Selain itu, kenyataan bahwa banyak breeder/pebisnis hewan piaraan yang mengedepankan materi thok, bukan karena mereka sayang binatang.

So, mari kita semakin berwelas asih, terhadap semua mahkluk Tuhan. 🙂

 

NB. Why adopt than buy?

The Plus Project

“Orang miskin dilarang ke rumah sakit” oleh Acheng Watanabe, dari blog kocak dan menggelitik “BlogSindiran”.

Beberapa bulan yang lalu, lupa bulan apa, tapi yang jelas sebelum aku muvon ke Jakarta bulan Juli 2011. Kalau tidak salah sekitar bulan Maret-April, aku didiagnosa terkena tumor jinak payudara. Alhamdulillah, bulan Mei aku menjalani operasi “ringan” dan sukses. Ringan, karena hanya berlangsung setengah jam, dan dalam dalam dua hari udah boleh pulang. Yang bikin nggliyeng itu efek obat biusnya. Dioperasi pagi pukul 6.30, siuman di kamar sekitar pukul 7, langsung mual-mabuk hingga siang/sore.   😆

Sudah lewat lebih dari 6 bulan pasca operasi, alhamdulillah baik-baik saja. Semoga sehat terus selamanya yah, doakan saya, amiin. Kuncinya adalah deteksi dini. Seriously, i mean it with my words. Sebagai orang yang pernah mengalami sendiri, jadi tahu bener gimana rasanya.

Sebenarnya, gejala tumor ini udah kerasa 2 tahun lalu. Waktu itu krasa ada benjolan di payudara, sewaktu ‘iseng’ melakukan SADARI (periksa payudara sendiri). Jujur, waktu itu mulai merasa galau, ketika benjolan itu nggak hilang-hilang. Apalagi, makin lama benjolan itu makin terasa, dan sepertinya makin besar. Waduh, galaunya, masyaallah. Galau, puspas, cemas, resah, gelisah, takut, semua campur baur jadi satu. Yang aku lakukan pada masa-masa itu, sama seperti yang dilakukan kebanyakan orang lain, dipendam sendiri alih-alih periksa ke dokter. Alasannya, takut.

Hingga kemudian, mendengar kabar, teman masa SMU sedang di Jogja menjalani operasi tumor payudara. Pas njenguk bareng-bareng, eh lhoh kok ternyata ga cuma aku dan temen ini yang kena tumor, tapi ada satu lagi temen yang juga didiagnosa tumor. Kami semua bertiga, gejalanya beda-beda. Setelah mendengar sharing dua temanku ini, keberanianku mulai terkumpul untuk pergi ke dokter memeriksakan diri. Dan memang butuh beberapa kali konsultasi dan juga pemeriksaan laboratorium untuk bisa sampai ke kesimpulan diagnosa tumor jinak.

Well, sharing pengalaman tadi adalah sekelumit contoh nyata, bahwa deteksi dini dan pencegahan adalah kunci penting untuk menjaga kesehatan. Siapa yang tidak setuju bahwa kesehatan/menjadi sehat itu lebih enak-lebih baik daripada sakit? Kalau sakit, jangankan untuk beraktivitas, bahkan makan makanan yang kita suka pun jadi ga nikmat lagi, karena nafsu makan kita hilang. Atau malah jadi pantangan/larangan. Belum lagi materi yang dikeluarkan untuk kesembuhan, juga beban psikologis ketika kita merasa bosan atau tidak berdaya dengan penyakit yang bersarang di tubuh kita.

Yang aku herankan, semua orang setuju bahwa sehat itu lebih baik daripada sakit. Tetapi, tidak semua melakukan upaya untuk menjaga kesehatannya. Kesehatan itu memang anugerah, tapi bukan berarti lantas boleh ‘dihambur-hamburkan’. Harus dijaga juga dong lah. Lebih lucu lagi ketika ada orang yang mencemooh orang lain yang sedang menjaga kesehatannya, entah memang menjaga pola makan atau gimana lah, tapi malah di-demotivasi. Dibilang, tidak menikmati hidup lah, jangan serius-serius lah seperti orang tua, dan banyak lagi label. Malah bangga gitu, pamer, kalau sedang melakukan hal-hal yang dapat merusak kesehatannya. Lha maunya tu apa e? Sungguh saya gagal paham.

Oke, selain upaya individu, ada faktor eksternal lainnya yang berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Maksudnya begini, kita yang di kota-kota besar saja, ketika sakit/bermasalah dengan kesehatan, malas untuk berkonsultasi dengan dokter, bagaimana dengan saudara kita yang di pedesaan? Apalagi ada data yang menyebutkan bahwa 70% masyarakat Indonesia tinggal di pedesaan. Kita yang di kota dan termasuk well-informed saja masih banyak miss dengan informasi kesehatan, apalagi yang masih di pedesaan dan akses terhadap informasi masih terbatas. Kalau kita yang well educated saja masih banyak yang percaya dengan mitos kesehatan dan pseudo-pop-science, bagaimana dengan masyarakat di pinggiran yang akses terhadap fasilitas kesehatan seperti rumah sakit saja susah.

Kalau banyak orang bilang, bahwa kesehatan itu mahal, yang benar adalah sakit itu mahal. Contoh ya, biaya untuk operasiku kemarin saja 10 juta lebih. Komponen kamar cuma sebagian kecil dari keseluruhan biaya. Paling besar adalah biaya obat dan tindakan operasi. Bayangkan jika masyarakat dari golongan kurang mampu mengalami sakit serius dan membutuhkan tindakan segera. Jangankan biaya, bahkan untuk ke rumah sakit saja harus menempuh puluhan kilometer. Walaupun kita sudah pernah mendengar program kesehatan dari pemerintah untuk membantu masyarakat menengah ke bawah, tapi realisasinya gimana? Kok masih sering mendengar orang miskin yang sulit untuk menjangkau akses kesehatan dan harus dibantu sumbangan dari dermawan.

Menurut sumber disini, sejumlah kelompok masyarakat yang minim akses terhadap layanan kesehatan, di antaranya:

a. Mereka yang tinggal di pedesaan

b. Mereka yang tinggal di remote area contoh: pulau kecil, pegunungan, hutan, dll.

c. Kalangan lanjut usia

d. Kalangan ekonomi menengah ke bawah

Berangkat dari keprihatinan tersebut, sekaligus karena udah pernah ngrasain sendiri, jadi kepikiran ga sih, apa yang bisa dilakukan untuk mengubah hal tersebut? Atau mungkin ada yang punya ide-ide terkait hal-hal di atas?  Kebetulan beberapa hari lalu sempat iseng nanya-nanya –melempar topik diskusi– ke twitter. Ternyata banyak juga yang punya ide-ide dan opini terkait tentang isu ini. Pas banget ama programnya Phillips dengan The “+” Project, yang bertujuan untuk mewujudkan hidup yang lebih sehat dan kota layak huni. Ada hadiah menarik untuk ide-ide terbaik yang terpilih. Kalau pembaca atau siapapun yang benar-benar concern dengan topik ini, tuliskan apa yang menjadi keprihatinanmu dan bagaimana solusinya. Ga perlu seorang ahli kesehatan atau sosiolog atau bagaimana, yang penting wujudkan kepedulian Anda dalam bentuk tulisan.

Kalau mau ikut, gampang banget caranya:

a. Daftarkan diri di website http://philips.co.id/plus

b. Pilih tantangan dan submit ringkasan ide tidak lebih dari 1000 kata. Jika ada, materi pendukung berupa foto atau video bisa ditambahkan.

c. Mekanisme kompetisi selengkapnya bisa dibaca di: http://www2.yourhealthandwellbeing.asia/indonesia/health-and-wellbeing-in-
indonesia/how-it-works

Oke, ditunggu hasil ide dan tulisannya yaaa….aku juga pengin ikutan ahhhhh ^_^

Tidak Semua Yang Menikah itu Pemberani

image

Valentine 2011 ini mendapati dua kabar gembira. Pasutri yang dua-duanya teman, mengabari bahwa sang istri hamil anak pertama. Kedua, seorang teman mengabari bahwa akhir April, akan menikah dengan pria yang telah mendampinginya untuk beberapa waktu ini. Diantara banjir ucapan selamat, ‘quote’ dari mas @imanbrotoseno ini membuat saya berpikir dan melahirkan postingan ini.

Tepatnya yang dikatakan mas Iman adalah sebagai berikut:

Hanya orang orang luar biasa yg berani mengambil komitmen ke perkawinan

Menurut saya itu benar. Terutama bagi mereka yang menyadari betul makna perkawinan. Well, tidak semua orang yang memutuskan untuk menikah adalah orang yang luar biasa dan pemberani. Apalagi mereka yang memutuskan menikah karena alasan-alasan yang bagi saya kurang kuat. Seperti, untuk mengejar status, karena tekanan orang lain/lingkungannya, karena ‘harus’ (bagi saya, menikah itu bukan keharusan, tapi pilihan), dll.

Menikah adalah keputusan yang berimplikasi besar dalam hidup seseorang. Ketika seseorang menikah, dia tidak lagi sendiri, tapi bersama. Konsekwensinya, salah satunya adalah ego yang mungkin saling bertabrakan. Selain itu, kita mungkin akan berubah dalam menjalani proses pernikahan, seperti juga pasangan yang mungkin juga berubah. Jadi dalam kehidupan pernikahan, kita dituntut untuk selalu belajar dan mengenali pasangan. Mengerti. Memahami.

Kebahagiaan bukan tujuan dalam pernikahan. Jika ada yang beralasan menikah karena ingin bahagia, itu nonsense. Karena dalam pernikahan merupakan proses belajar yang tiada henti. Ketika dia merasa tidak bahagia, lalu apa? Berhenti? Lalu mengejar kebahagiaan yang lain lagi?

Itulah mengapa, saya setuju bahwa mereka yang memutuskan untuk menikah dengan penuh Kesadaran (sengaja dengan huruf kapital, karena tidak sekadar ‘sadar’ secara kognitif, tapi proses spiritual) maka saya menyebut mereka sebagai orang-orang pemberani. Saya salut. Kagum.

NOTED.
Mereka yang lelah untuk meneruskan proses pembelajaran, bukanlah individu gagal. Itu ‘hanya’ sebuah pilihan. Dan saya sangat yakin, pilihan itupun juga sebuah proses belajar. Hei, seperti tagline blog saya, hidup itu untuk belajar dan bercinta, bukan?

Bangga Warga Jogja

image

Ketika tulisan ini dibuat siang tadi pada jam ishoma, ribuan warga Jogja sedang memadati Malioboro. Mereka bukan sedang berwisata atau habis sholat Idul Fitri/Idul Adha, mereka sedang mengadakan aksi massa terkait dengan penetapan status istimewa Yogyakarta.

Dari sisi politik maupun historis, saya tidak menguasai mengapa warga Jogja begitu “menuntut” label istimewa untuk daerahnya.Berkaitan dengan tuntutan bahwa warga menuntut gubernur harus Sri Sultan, jika itu dikaitkan dengan penyebab Jogja istimewa, saya tidak terlalu setuju. Saya sebagai warga Jogja asli, bahkan jika nantinya pemerintahan pusat mencabut label istimewa, saya tetap merasa Jogja sebagai daerah istimewa.

Keistimewaan Jogja bagi saya tak semata terkait dengan sejarahnya atau malah dengan landmarknya. Tugu Jogja bisa saja ambruk seperti tahun 1800an yang sempat hancur digoyang gempa. Kraton jogja (bangunannya) bisa saja berubah muka dan fungsi sebagaimana bangunan-bangunan bersejarah di Jogja yang pelahan mulai berubah menjadi tempat komersial. Penetapan kepala daerah gubernur harus Sultan, saya memilih no comment karena alasan tertentu, yang saya lebih nyaman untuk diobrolkan sambil ngopi sore daripada saya tulis.

Keistimewaan Jogja menurut saya terletak pada karakternya, karakter orang Jogja secara umum. Hingga postingan ini saya tulis, ribuan massa masih memadati kawasan Malioboro. Toko-toko, menurut laporan @dabgenthong dan @KILDDJ mereka tutup dengan sukarela. Malah mereka juga menyediakan air minum cuma-cuma. Saya berharap, keistimewaan Jogja saat ini sedang ditunjukkan dan diwujudkan oleh warga Jogja sendiri. Damai, plural, tanpa kekerasan, guyub.
Setelah (dan masih) berlangsung bencana erupsi Merapi dan banjir lahar dingin, warga Jogja menunjukkan karakternya, sigap membantu dan menolong orang lain. Sekarang aksi massa berlangsung damai, itu sungguh keistimewaan Jogja dibanding daerah-daerah lainnya.

Karakter, serupa dengan value, nilai yang dipegang warga setempat. Mewariskan dan menghidupi nilai-nilai seperti kedamaian, guyub, sigap menolong, plural, dll adalah lebih long lasting daripada membangun landmark. Lebih terasa nyata karena benar-benar dirasakan, dihidupi, bahkan hingga orang Jogja tersebut hijrah kemana saja. Menunjukkan identitas dan keistimewaan Jogja.

Bravo Jogja. Jogja istimewa dengan karakternya.

Hore, Saya Diet dan Sukses!

Judulnya seperti menawarkan produk MLM ya? 😕

😆

Berat badan selalu menjadi topik sensitif dikalangan perempuan, apalagi buat mereka yg merasa gemuk. Saya sendiri sebenarnya ga bermasalah dengan berat badan, tapi bermasalah dengan lemak berlebih didaerah 3P, perut, paha, pinggang, hehehe.

Gara-garanya membaca artikel dimajalah Prevention edisi bulan Juli. Disebutkan disitu, dalam dua minggu lemak diperut dan daerah bandel lainnya akan susut dalam 2 minggu dengan mengikuti diet south beach. Setelah membaca lebih lanjut, diklaim bahwa diet tersebut juga dapat menurunkan berat badan 4-6kg dalam 2 minggu. Penasaran dan skeptik, saya mulai gugling tentang apa itu south beach diet.

Setelah membaca beberapa situs tentang apa itu south beach diet, secara impulsif saya memutuskan menjalani diet tersebut. Motivasi awal untuk membuktikan, apa bener dalam 2 minggu bisa turun sampai 6 kg. Yang kedua, boleh deh menurunkan berat badan sedikit, kembali ke masa-masa 10 tahun lalu, melangsingkan perut buncit dan paha gebug maling, hahaha.

Jadilah selama 2 minggu saya pantang untuk menyantap daftar makanan yg termasuk larangan dalam south beach diet fase I. Saya ‘terpaksa’ memasak sendiri makanan saya, termasuk mengurangi keinginan/kebiasaan nongkrong di kafe. Itupun saya pun masih melakukan dosa-dosa yang dilarang Yang Mulia dr. Agatston, pencipta diet jenis ini. Dosa-dosa kecil itu misal, makan gorengan tahu-tempe (tapi gorengan masakan rumah kok, dan saya tahu bahwa minyaknya bagus, ga kilong-kilong yang berminyak banget) (halah pembenaran) 😆 , beberapa suap karbohidrat larangan spt nasi putih, roti tawar gandum, secuil puthu, sekerat roti, crackers. Juga buah pisang dan apel sebagai P3K ketika tidak ada avocado dan sayuran+daging/telur untuk dimakan (padahal buah masih dilarang).

Larangan lain selain lemak, karbohidrat terutama karbohidrat jahat, adalah gula, itu harom semua. Jadi mendadak saya punya kebiasaan baru kalo ke kafe, pesen teh tanpa gula sama sekali. Padahal dari balita, sumpah, saya ga doyan teh.

Yang saya santap selama dua minggu itu, sayuran berbagai jenis, daging tanpa lemak (dada ayam tanpa kulit & lemak, daging tanpa lemak, ikan) dan sumber protein nabati seperti tahu tempe. Sayuran itu selain dimasak ala tumis, gado-gado, pecel, atau sayur bening (walau kata dr. Tan penganut raw food sejati, sayur yang dimasak itu sia-sia, sampah, cuma dapet serat ga ada enzim). Atau kalo lagi males, sayuran mentah aja a la lalapan.

Untuk sumber protein hewani maupun nabati, bisa dimasak panggang oven, kukus, sop, atau campuran tumis. Dan satu lagi, telur. Ya, saya malah bebas makan telur.  Puji Tuhan, telur ini sungguh bermanfaat sekali bagi yang sedang diet, lapar, ga ada yang bisa dimakan (yang diperbolehkan) karena cara masaknya sungguh gampang. Tinggal bikin scramble egg dengan minyak zaitun/rice bran oil atau direbus. Untuk lebih jelasnya panduan tahapan south beach diet seperti apa bisa klik, disini.

Selain itu, karena kesibukan dan *agak malas ngegym* maka untuk olahraga saya usahakan untuk lebih aktif bergerak dimana saja. Entah jalan kaki, bersih-bersih rumah, nyikat kamar mandi. Pokoknya bergerak terus, sesuai fitrah kita.  Memang kurang sempurna sih, karena disarankan untuk melakukan workout seperti yang sudah diprogramkan dimajalah.

Setelah dua minggu, tepatnya Sabtu 17 Juli 2010, saya menimbang berat badan. Wow, saya cukup terkesima dengan hasilnya. Jika sebelumnya, berat badan saya ditimbang sekitar 52-54 kg (tergantung timbangannya hihi) pada saat ditimbang itu berat badan saya 47,5 kg! Wow, kembali ke masa SMU!

Selesai dari acara penimbangan itu, saya merenung mengenai apa yang saya lakukan selama dua minggu ini. Ada beberapa hal yang menjadi refleksi saya:

  1. Salah kaprah dalam diet: tujuan utama adalah ingin kurus/berat badan turun. Salah! Yang benar adalah untuk menjadi sehat dengan merubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Berat badan turun/menjadi langsing adalah bonus.
  2. Yang paling berat dalam diet adalah mengendalikan keinginan. Lapar selalu bisa dihandle. Tetapi yang namanya pengen, mungkin saja muncul pada saat kondisi kenyang. Apalagi yang kita diinginkan (gula, makanan berlemak, etc) belum tentu dibutuhkan tubuh. Jadi diet adalah tentang mengendalikan keinginan, bukan mengurangi porsi/puasa(*).
  3. Tentang mengendalikan keinginan. Walau ada idiom; what your resist, persist, tetapi dalam pengendalian keinginan ini tidak berarti me-resist keinginan kita. Resist dalam arti menolak, menahan, menahan, melawan. Itu mirip-mirip dengan denial, menyangkal. Pengendalian keinginan lebih seperti menyadari bahwa keinginan itu ada, tetapi tidak dituruti.

Ngaku aja memang ada keinginan untuk menyantap yang manis-manis, berlemak, etc, ngiler to de max terhadap cake, pie, pancake, donat, etc tapi tidak dituruti. Kalau dituruti tapi tahu porsinya yg cukup, misal cukup segigit saja. Pertanyaannya  when enough is enough?

Karena pengalaman terakhir saya, ketika diet fase I berakhir, pas saya melihat ada kue bolen Kartika Sari. Saya mengijinkan diri saya untuk menyantap satu. Tetapi habis satu biji, masih ingin lagi. Saya turuti lagi, jadilah makan dua. Eh ternyata saya jadi lapar mata, jadi pingin bolen lagi, pengen roti-roti manis dll. Aduuuh kenapa rasa ‘lapar’ saya malah makin menjadi kalau keinginan saya turuti ya? 😛

Ternyata pengalaman dua minggu kemaren tidak sebatas pengalaman fisik saja, tapi juga menyentuh ke aspek rohani *halah*. Tapi beneran loh. Maksudnya, karena poin nomer dua diatas jadi mikir, sepertinya kita memang perlu diet disegala bidang. Misal diet belanja. Nah ini, kelaparan akan shopping ini nyaris ndak ada kata kenyang. Selalu ingin lagi, lagi, lagi, lagi…

Juga diet bicara. Seringkali kita bicara terlalu banyak bicara, saking banyaknya sampai hal-hal yg ga perlu dibicarakan, bicara juga. Saking banyaknya berbicara sampai organ telinga jadi jarang dilatih intensif untuk mendengar.

Hehe, itu contoh saja sih. Refleksi atas diri sendiri.

Pada intinya, diet (yang benar) itu baik. Tidak usahlah orang yang sedang diet dipandang sebelah mata. Pengen sehat kok dilecehkan. Apalagi memandang super heran melihat piring makan berisi daun kenikir, kemangi, dan bayam mentah. Biasa aja tho, orang pengen sehat saja gitu lowh.

PS. Ada keuntungan lain dengan saya menjalankan diet south beach ini. Awalnya saya merasa ini diet mahal, krn untuk fase I, bahkan buah untuk cemilan saja ga boleh. Untuk memenuhi makan 6 kali sehari, menunya antara sayur dan dedagingan, telur, aduh itu mahal nek. Tetapi ternyata dalam prakteknya, saya malah lebih irit. Kenapa? Karena saya otomatis jadi ngerem keinginan untuk kekafe menikmati berbagai dessert, diganti dengan menyantap berbagai cemilan sehat (termasuk salad dengan dressing yg lebih sehat). Dan kalau memang butuh ketemu di kafe, saya cukup pesan teh tanpa gula 😆

Btw, kalau ingin berdiet apapun itu, saya sarankan untuk benar-benar mencari info lebih lanjut. Lebih baik lagi jika sambil berkonsultasi dengan ahli gizi dan atau dokter ahli.

(*) sebentar lagi ramadhan menjelang. Banyak disekitar kita, orang pada saat bulan puasa bukannya makin langsing tapi malah menggembil. Tanya kenapa? Karena tidak bisa mengendalikan keinginan! 😆

Hari Buku Nasional: Kisah Dibalik Buku

Tanggal 17 Mei adalah Hari Buku Nasional. Di twitter, timeline ramai oleh tweet para tweeple yang ingin sharing/bercerita kisahnya dengan buku. Hashtag-nya macam-macam, dari #buku, #kisahbuku, sampai #haribukunasional.

Dari sekian tweets, kisah Gus Ulil yang bercerita bagaimana usaha dia untuk mempunyai buku bacaan ditengah sulitnya akses mendapatkan buku (karena alasan ekonomi dan latar belakang geografis) cukup menarik perhatian. Jadi beliau membuat sendiri ‘buku’ dengan membuat kliping dari artikel dikoran bekas. Ini terjadi media tahun 1980an, dan Gus Ulil ini tinggal di desa di Jawa Tengah.

Tahun 2010 ini, akses masyarakat Indonesia untuk mendapatkan buku masih saja sulit, terutama di daerah terpencil maupun mereka dengan keadaan ekonomi terbatas. Memang, toko buku cukup banyak dibanding tahun 1980an, malah banyak pula toko buku diskon yang tersebar di beberapa kota.

Di Jogja sendiri malah ada toko buku, Yusuf Agency, dimana kita bisa mendapatkan buku-buku dengan harga sangaaaaat murah. Buku-buku yang dijual memang bukan buku-buku baru/up to date. Ada buku second tetapi kondisinya masih bagus, tetapi banyak pula buku-buku masih bersegel plastik rapat. Kalau kita cukup sabar mencari dilautan buku yang tidak tertata rapi laiknya toko buku biasa, niscaya kita mendapat buku-buku bagus dengan harga yang luar biasa murah.

Pengalaman saya di kota-kota kecil di beberapa daerah, keberadaan toko buku cukup langka. Seperti misal Cepu, kota kecil paling timur di Jawa tengah. Kurang lebih tiga bulan saya di kota tersebut, dan saya tidak menemukan toko buku seperti di Jogja. Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana akses masyarakat setempat mendapatkan buku-buku diluar buku pelajaran. Mungkinkah mereka harus pergi ke kota lain dulu yang ada toko buku G***** (jaringan toko buku yang paling luas, sepertinya baru toko dengan inisial G, bukan?) untuk bisa mendapatkan buku yang direview di koran nasional? Itu baru kota kecil di Jawa, jangan tanya daerah terpencil seperti di Lamalera atau Flores**.

Pertanyaan muncul. Untuk mereka yang sulit akses untuk mendapatkan buku-buku bermutu, apa yang harus dilakukan? Lebih baik mana, memperbaiki distribusi buku, menurunkan harga buku, atau menggampangkan koneksi internet hingga ke pelosok?

Lho, kok malah internet?

Nah ini dia. Jujur saja, beberapa waktu ini, intensitas saya bergumul bercinta dengan buku semakin turun, tergantikan oleh aktivitas saya didunia maya. Walau begitu, aktivitas membaca saya masih tetap atau mungkin bertambah (walau kalau mau jujur, sepertinya ndak nambah). Karena dengan terhubung ke internet, saya bisa membaca beragam sumber pencerahan dari artikel hasil browsing, blog, hingga wikipedia. Malah saya berani bilang, saya  banyak mendapatkan pencerahan selama 3 tahun terakhir ini lewat membaca  blog***.

Asyiknya lagi, membaca di internet juga bersifat interaktif. Seperti blog, setelah selesai membaca, saya bisa langsung menuliskan opini atau apa yang saya tidak paham dari postingan tersebut. Jika si pemilik blog membalas, maka bisa terjadi diskusi, yang ujungnya membawa saya ke pemahaman yang berbeda dibanding sekedar membaca saja. Seperti blog milik Wadehel (almarhum) dan Suluk yang banyak membuka mata mengenai  sikap keberagamaan dan beragama itu sendiri. Atau lewat blog Sora dan Kopral Geddoe yang banyak memberi pelajaran berlogika dan juga bagaimana berdebat yang baik dan benar.

Karena itu di Hari Buku Nasional ini, lebih penting mana, bukunya atau aktivitas membacanya? Apalagi seperti yang saya sampaikan diawal, membaca buku (cetak) terkadang mahal. Lewat koneksi internet, cukup membayar koneksinya saja dan bisa membaca banyak hal dengan gratis, termasuk majalah/surat kabar. Apalagi begitu banyak situs perpustakaan online.  Malah dari pengamatan saya, buku sekarang mempunyai fungsi lain terkait dengan gaya hidup. Buku menjadi suatu simbol gengsi tersendiri.

Bergaya dengan fashion branded terkemuka atau gadget, ABG pun bisa melakukannya. Tetapi nongkrong sendiri di kafe atau sekedar ruang tunggu, sambil membaca buku Derrida, atau yang judulnya saja membuat kening berkerut, membuat Anda langsung mendapat stempel ‘pintar’ atau ‘cerdas’.  Anda langsung dimasukkan dalam klasifikasi mereka kaum intelektual dan berbudaya. Stempel tersebut memberi citarasa gengsi tersendiri, yang dirasa lebih sopistikated dan eksklusif dibanding mereka yang bergaya dengan fashion atau gadget.

Selain itu, buku juga mempunyai fungsi memberi rasa aman. Hal ini lazim terjadi dikalangan mahasiswa. Menumpuk banyak text book, entah asli atau fotokopian, tetapi berapa sih yang sampai habis dibaca? Tidak masalah, karena yang didapat adalah rasa aman terlebih dahulu (speaking of my personal experience). :mrgreen:

Kembali ke pertanyaan, jadi lebih penting mana, aktivitas membacanya atau bukunya? Dan apa yang paling mudah (dalam arti, biayanya paling efisien) supaya masyarakat di pedesaan atau daerah terpencil akses membacanya makin mudah, distribusi buku, harga buku, atau koneksi internet?

NOTES.

** Blogger Nita Tanzil mencanangkan (wah, bahasanya) program perpustakaan untuk anak-anak  di dearah terpencil di Flores. Bekerja sama dengan Coca-cola, kita juga bisa membantu program tersebut dengan submit foto di halaman ini. Gampang kan?

*** Mengenai blog, teman pernah bertanya-tanya di plurk (walau saya menangkapanya sebagai keprihatinan). Sepertinya blogosphere sekarang tidak se-hot era 2007, dimana diskusi bisa berlangsung cukup panas dan ramai bersahut-sahutan. Dulu seringkali mendapati  komen diblog lebih panjang dari postingannya, karena si peng-komen begitu ‘bernafsu’ ingin menguraikan apa yang ada dalam kepalanya. Sekarang ini, diskusi di blog menurun jauh. Diskusi sepertinya berpindah ke twitter. Padahal, diskusi di twitter sangat dibatasi oleh 140 karakter.

Lotus, Rindu, Puisi Cinta, Valentine, dan Imlek

Niat  awal adalah iseng, pengen ikutan lomba puisi cintanya Simbok setelah baca puisinya Mbak Rara. Siapa tahu dapet hadiahnya, karena belum sempet beli bukunya (dikeplak Simbok sama Silly, sebagai fans murtad). 😆

Terus niatan awal adalah posting di posterous, dengan memanfaatkan koleksi jepretan saya. Tapi saya urungkan, karena nurani berbisik mengingatkan, “Hei, itu kan stok tahun 2008. Sedang posterousmu mustinya jepretan aptudet yang sesuai dengan semangat project #365shots.”  Jadilah saya mengurungkan niat saya dan posting di blog seksi ini. *dikampleng*

Waktu gugling makna bunga lotus, niatan awal berubah jadi tertarik untuk tidak sekedar bikin puisi. Ternyata Sodara, makna bunga lotus sangat dalam dan erat kaitannya dengan spiritual. Well, saya jatuh cinta dengan bunga lotus sendiri belum lama, sekitaran 2008. Dulu, tahunya bunga lotus sama dengan bunga teratai, tapi ternyata beda. Coba perhatikan gambar lotus dan teratai, atau kalau beruntung mengamatinya secara langsung di alamnya. Selain indah, kalau memandang bunga lotus dapat memberikan vibrasi energy positif yang menenangkan (hal ini dikuatkan oleh para praktisi spiritual, bahwa bunga lotus mengandung energy/aura positif).

Berikut beberapa makna bunga lotus:

1.  Bunga lotus merupakan representasi spiritualitas dalam kehidupan kita. Bunga lotus mewakili/menyimbolkan kejernihan hati dan pikiran. Beberapa percaya bahwa lotus juga symbol dari kekuatan, keberuntungan,  dan  kehidupan.  Bunga lotus juga menyimbolkan kelahiran dan beauty.

2.  Berhubung bunga lotus yang saya foto di atas berwarna merah (magenta kali ya) maka arti berikut saya cocok-cocokkan saja, hihihi. Padahal ini makna bunga teratai, tapi tidak ada salahnya kita mengetahuinya :

Teratai merah melambangkan keadaan asli hati. Simbol cinta, kasih sayang, keaktifannya, nafsu dan emosi lain yang terkait dengan hati. . Teratai merah biasanya digambarkan dengan kelopak terbuka, yang mungkin untuk melambangkan keindahan dan keterbukaan hati yang memberi.

3. Kalau untuk tattoo, bunga lotus sering digunakan pemiliknya, untuk menggambarkan tranformasi spiritual yang mereka jalani. Seperti bunga lotus yang tumbuh dari biji yang tertanam di lumpur yang kotor, maka seperti itulah yang ingin pemilik tato ceritakan. Kehidupan keras yang dijalani, tapi mampu mentransformasikan mereka.

Setelah mengetahui makna dari bunga lotus, saya jadi berubah pikiran mengenai bunga ini. Tidak sekadar indah dan rapuh (bunga ini cuma berkembang sehari, mekar di pagi hari dan sore hari sudah menguncup, kelopaknya berguguran),  tetapi  bunga ini mewakili sebentuk cinta yang lebih dalam, lebih transedental, lebih hakiki. Tidak seperti bunga mawar yang kita bisa menikmati dengan dipotong tangkainya, cara terbaik menikmati bunga lotus ini adalah pada habitatnya. Pagi hari, entah di potnya, sambil menikmati suasana pagi dan meresapi energy yang muncul.

Beruntungnya saya, saya  bisa menikmati keindahan bunga ini di halaman. Dan entah, sepertinya berhubungan, tanggal 14 Februari adalah Valentine sekaligus Imlek. Lotus, bunga yang bisa mewakili sebentuk cinta sekaligus perayaan spiritual. Selamat Valentine dan Imlek. Semoga dunia menjadi lebih baik lagi, begitu pula kita.

Oia, mengenai lomba puisi cinta-nya Simbok, hmmm…let me see. Secara saya bukan puisi mania, bukan pula pandai menggombal.  Tetapi selalu ada rasa rindu yang ingin saya sajikan lewat kata-kata. Simbok, terimalah puisi cintaku yang berjudul “Rinduku”. 😀

mendung mengingatkanku akan rindu

dan rindu ini terlalu dalam menghunjam

rindu yang tak terucap, rindu yang tak tertuntaskan, rindu yang membuatku meranggas

hujan menyemai bibit rindu

rinduku merimbun, lebat dan subur

tapi aku dahaga akan kamu

my dear,

if you feel tired and weary, come to me.

I may not a solution, but i’ll give you my love.

Just touch my lips and close your eyes, you’re safe now.

17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2009 : Di Mana Kepedulian Kita?

Hari ini 17 Agustus. Perayaan kemerdekaan Indonesia tercinta. Berbagai macam cara memperingatinya. Dari yang bersifat pesta rakyat macam panjat pinang hingga kelas sosialita di venue mewah. Tetapi bagi saya sendiri, jujur saja, 17 Agustus tidak banyak berarti apa-apa. Sama saja seperti hari libur lainnya. Malah agak di bawah lebaran yang ada perasaan tertentu berkecamuk. Ini, biasa dan cenderung datar-datar saja.

Saya ingat ketika di Perth. Mendekati 17 Agustus ada perasaan tertentu. Mengharapkan sesuatu yang berbeda dibanding ketika di tanah air. Sesuatu yang sifatnya mungkin bisa dikatakan pencerahan, seperti laiknya pengalaman spiritual. Nyatanya? Sama saja.

Semasa sekolah, 17 Agustus malah menjadi hari yang cukup menyebalkan bagi saya. Apa pasal? Karena hari yang seharusnya adalah hari libur, hari dimana saya bisa bangun siang, tetapi saya tetap harus bangun pagi dan mengenakan seragam lalu berdiri di terik matahari untuk upacara bendera. Saya sungguh tidak menyukai upacara. Setiap Senin saya melakukannya, dari SD hingga SMU. Rasanya saya tidak mendapatkan apa-apa.

Kalau mengingat masa-masa itu, ada saja yang dilakukan oleh saya dan teman-teman supaya bisa membolos upacara. Jika tidak menemukan alasan, kami mengikuti upacara dengan terpaksa. Apalagi di ujung upacara biasanya ada adegan penghukuman. Barang siapa yang tidak mengenakan kelengkapan upacara seperti dasi, topi, sepatu hitam, dsb, maka siap-siap ia akan dipermalukan di depan sekolah, di depan gebetan, o h m y g o d. Semakin saya tidak menemukan nikmatnya upacara bendera. Dan apakah upacara meningkatkan rasa nasionalisme dan cinta bangsa? Entahlah, bagi saya kok rasanya tidak ada hubungan yang signifikan antara keduanya.

Sebelum menuduh saya tidak nasionalis, saya akan menguraikan pembelaan diri. :mrgreen:

Saya mempunyai pertanyaan. Apa sih, sebenarnya makna 17 Agustus? Apakah 17 Agustus berarti upacara, lomba-lomba di kampung-kampung, pengibaran bendera, dll ? Jika kita tidak mengikuti semua kegiatan yang identik dengan perayaan 17an, apakah artinya? Dikaitkan dengan nasionalisme kah? Kalau begitu, apakah nasionalisme itu? **

Nasionalisme bagi saya adalah kata yang sangat abstrak. Sangat subyektif. Definisi operasionalnya bisa berbeda-beda bagi setiap orang.

Seringkali nasionalisme kita harus dibantu dengan hal-hal yang bersifat eksternal. Ketika budaya yang diakui milik Indonesia tiba-tiba diakui bangsa lain, langsung berkobar nasionalisme alias rasa memiliki. Ketika suatu daerah menyatakan ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia, sontak yang lain berkoar-koar tidak rela jika ada yang ingin memisahkan diri. Ketika situasi sedang adem ayem, maka ya bisa dikatakan tidak ada yang peduli.

Nasionalisme diidentikkan dengan mencintai produk dalam negeri. Tapi ketika wajah perfilman Indonesia didominasi oleh film-film plagiat dan tema monoton dengan skenario payah, akankah kita memaksa diri tetap menontonnya? Ketika kita memilih untuk menonton tayangan tv produksi luar negeri dibanding sinetron Indonesia yang mutunya ‘yah begitulah’, lunturkah nasionalisme kita?

Kalau sudah begini, saya cuma bisa keingetan quote dari John F Kennedy yang paling terkenal :

ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country.

Kuncinya kalau menurut saya satu : PEDULI.

Ketidakpedulian itulah yang dapat menghancurkan nasionalisme.

Ketika kita tidak peduli dengan budaya sendiri. Ketika kita tidak peduli dengan kelestarian lingkungan dan kelestarian hutan Indonesia. Ketika kita tidak peduli dengan sungai-sungai yang membelah kota dan pedesaan. Ketika kita tidak peduli dengan kekayaan flora fauna Indonesia. Ketika kita tidak peduli terhadap nasib saudara kita yang di Porong Sidoarjo. Ketika kita tidak peduli dengan saudara kita di pedalaman yang tidak tersentuh pelayanan kesehatan. Ketika kita tidak peduli dengan antrian warga yang mengantri uang zakat 30ribu rupiah hingga kegencet. ketika kita tidak peduli ada anak tetangga yang dianiaya oleh orang tua kandungnya sendiri.

Dan lain-lain.

Say No To Ignorance!! (halah, bahkan saya pun ‘terpaksa’ memakai bahasa Inggris untuk menghimbau ini)

Salut untuk para saudaraku yang demikian peduli, berbuat sesuatu untuk bangsa ini, untuk saudara-saudara sendiri. Seperti mereka para petugas penjaga hutan dengan gaji minim, para dokter PTT, para guru di pedalaman, mereka yang berjuang menyadarkan para tetangganya untuk mengelola sampah sendiri, dan lain-lain.

Termasuk apa yang telah dilakukan oleh teman-teman Kopdar Jakarta, dibawah koordinasi GoenRock. Kepedulian GoenRock dan teman-teman diwujudkan dalam video berikut. Jangan nilai besar-kecilnya, tapi apresiasilah bentuk kepedulian tersebut. Mereka peduli. Kita? Dan apakah bentuk kepedulian kita, bentuk yang nyata?

Jadi apa makna 17 Agustus? Cukupkah dengan upacara, pengibaran bendera, berbagai lomba-lomba yang lucu-lucu?

Dan tolong, bantu saya memahami mengapa perasaan saya datar-datar saja setiap 17 Agustus.

** Hal yang sama setiap kali mengamati perayaan Hari Kartini. Mengapa Hari Kartini jadi identik dengan memakai baju daerah, parade dengan baju daerah, dan lomba-lomba seperti memasak dsb.

Dirgahayu Indonesiaku!!

Marcelino X.Magno

*Postingan kali ini bersifat semi biografi, lantaran naskah ini ga lolos di dewan redaksi WajahJogja* :mrgreen:

Akhir Desember 2008.

Malam itu, di sudut kafe di sekitaran Selokan Mataram, kami berbincang. Sudah beberapa hari saya berjumpa, tapi baru kali itu bisa ngobrol dengan beliau. Marcel, demikian beliau biasa disapa, sehari-hari menduduki jabatan yang cukup penting dalam pemerintahan Timor Leste sebagai Chefe do Gabinete do Presidente atau Chief of Staff Parlemen Nasional Republik Demokrasi Timor Leste. Ya, beliau ini adalah warga Timor Leste. Kedatangannya ke Jogja kali ini di luar tugas resminya, yaitu liburan sekaligus memenuhi kerinduan akan kampung halamannya.

Marcel4

Lho, kampung halaman di Jogja ?

Jangan salah, Marcelino, beliau adalah warga asli Timor Leste. Mengapa beliau menganggap Jogja sebagai kampung halamannya, akan terungkap dalam obrolan berikut.

Marcel memulai obrolan santai malam itu, dengan menceritakan bagaimana dia bisa sampai di Jogja. Menjadi ‘warga’ di Jogja dari tahun 1985 hingga 1998, bahkan sempat bekerja sebagai wartawan dan kepala biro Jawa Tengah dan DIY untuk majalah Forum, tak heran ia hafal dengan berbagai sudut kota Jogja. Pekerjaan dan idealismenya, mengantarnya untuk menjelajahi dan mencumbui mesra kota Jogja.

Tokoh yang berjasa membukakan cakrawalanya, hingga ia bersekolah di UGM adalah guru-guru SMUnya di Timor. Guru-guru yang berjasa tersebut berasal dari De Britto dan SMU di Bantul (Marcel lupa nama sekolah di Bantul) yang diperbantukan di Timor, dan mereka selalu bercerita tentang Jogja. Marcel yang merupakan angkatan pertama di SMU di Timor tersebut, terpesona mendengar cerita guru-gurunya.

Tekadnya untuk kuliah di Universita Gadjah Mada sangat kuat, walau ia sendiri sebenarnya tidak begitu tahu tentang Indonesia, khususnya Jogja. Tahun 1985, ‘terdamparlah’ Marcel di Jogja, setelah sukses lolos ujian SIPENMARU dan diterima di Fakultas Komunikasi Universitas Gadjah Mada.

Enam bulan pertama adalah masa-masa adaptasi yang cukup berat bagi Marcel. Terasing, belum bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, membuatnya cukup frustasi. Hingga kemudian, Celi (panggilan Rizal Mallarangeng), kolega kampusnya, menasehatinya untuk tidak tinggal di asrama Timor-Timur (pada waktu itu) jika ingin bisa berinteraksi dan bergaul dengan kalangan yang lebih luas. Maka, petualangannya dimulai di perkampungan di sudut Gayam (sekarang Jl. Bung Tardjo).

Banyak yang Marcel pelajari selama berinteraksi dengan warga kampung, salah satunya adalah mengenai kepedulian dengan sekitar. Pada masa itu ia banyak bergaul dengan tukang becak, dan ia terkejut mendapati bahwa banyak di antara tukang becak tersebut yang anak-anaknya kuliah di UGM.

Hal lain yang sangat berkesan, adalah kebiasaan masyarakat yang suka membaca alias kesadaran akan ilmu, dari mahasiswa hingga ke tukang becak. Biasanya, pagi hari sebelum memulai aktivitas bekerja atau menggenjot becak atau kuliah, mereka selalu menyempatkan diri untuk membaca koran tempel, utamanya yang di depan kantor Kedaulatan Rakyat di Jl. Mangkubumi (koran tempel tersebut masih ada hingga sekarang).

“ Saya tak menemui hal semacam itu di tempat saya (Timor),” ujarnya dengan wajah serius.

Marcel

Kebiasaan tersebut mengantarnya tertarik di dunia tulis. Ia mencoba-coba untuk menulis artikel dan mengirimkannya untuk harian Kedaulatan Rakyat. Tak dinyana, tulisannya yang menanggapi esai Prof. Mubyarto mengenai penelitian beliau di Timor-Timur, diangkat di koran tersebut. Bahkan tulisan tersebut ditempel di sudut kantor PSPK (Pusat Studi Pedesaan dan Kependudukan) UGM berdampingan dengan artikel mengenai Prof. Mubyarto. Itulah awal Marcelino bersinggungan dengan arena diskusi dan kritik sosial, karena sejak saat itu, ia sering diundang untuk ngobrol dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh pendidikan dari UGM seperti Prof. Mubyarto, Lukman Soetrisno. Diskusi-diskusi tersebut sering menekankan Marcelino untuk lebih mencintai rakyat, lebih dekat dengan rakyat, dll.

Kebiasaannya yang bersinggungan dengan aktivis mahasiswa di arena diskusi dan kelompok berpikir  membuat dirinya yang sempat menjadi Ketua Mahasiswa Timtim, membuat perubahan di perkumpulan mahasiswa tersebut. Kebiasaan hedon mahasiswa Timtim seperti suka berpesta, nongkrong ngalor ngidul tidak jelas, diisi dengan kegiatan khas aktivis mahasiswa. Marcelino menggelar berbagai diskusi, training kepempinan, kepekaan sosial, dll bekerja sama dengan berbagai mahasiswa lintas jurusan. Bahkan katanya, alumninya hingga sekarang masih aktif berkiprah di masyarakat. Komentarnya mengenai aktivitas mahasiwa (khususnya UGM) yang marak pada masa tersebut, “Waktu itu, rasanya belum menjadi mahasiswa kalau belum masuk kelompok diskusi atau kelompok berpikir, “ ujarnya mengenang masa lalu.

*Hmmm….beda bener dengan gaya mahasiswa sekarang ya? Ah, (dulu) saya juga termasuk mahasiswa hedon kok. :mrgreen:

Awal terjunnya Marcel ke dunia jurnalistik yang membuatnya mesra menggumuli berbagai sudut kota Jogja, yaitu sewaktu beliau selesai kuliah. Marcel yang bercita-cita menjadi bupati di daerahnya, mendapat telegram dari Rizal Malarangeng. Rizal yang telah menghubungi Gunawan Moehammad meminta Marcel kembali ke Jawa untuk magang di Tempo. Mentornya waktu itu adalah Rustam Mandayung, yang mengantarnya berinteraksi dengan berbagai komunitas yang lebih luas di Jogja, dari budayawan hingga anak jalanan.

Pada masa-masa tersebut, pergaulannya terutama dengan kalangan seniman seperti Jadug Ferianto, Butet Kertaradjasa, Djoko Pekik, Umar Kayam (yang disebut Marcel, sebagai pengikat antar seniman di Jogja), dll sangat erat. Tersambung oleh persamaan di antara mereka yaitu menentang hegemoni Orde Baru, Marcel merasa banyak belajar dari komunitas seniman tersebut, terutama dari kebebasan para seniman dalam menumpahkan ekspresi sebagai bentuk perlawanan terhadap Orde Baru.

Menurutnya, pergaulan dengan komunitas seniman pada masa tersebut, sangat kompak dan loyal. Memberi nuansa kerinduan tersendiri bagi Marcel setelah tidak lagi menginjakkan kaki di Jogja. Ngobrol dan diskusi ngalor ngidul dengan Jadug, dll di angkringan, katanya sangat khas Jogja.

Ia juga belajar dari komunitas lain di Jogja, yaitu komunitas anak jalanan Girli. Waktu itu awal persinggungannya adalah berkat Romo Sandyawan, yang banyak berinteraksi dengan komunitas tersebut. Lagi, Marcel belajar nilai-nilai seperti bekerja keras, tidak mudah patah semangat, solider dari komunitas anjal tersebut. Interaksi yang rupanya abadi, karena ketika ia sedang berada di Gereja St. Antonius Kotabaru, tak diduga ia masih diingat oleh salah satu bekas anak Girli yang menjadi tukang parkir di gereja tersebut. Salam sapa ramah dan hangat mengalir, tak ubahnya seperti bertahun-tahun silam.

Hal yang sama ia alami, ketika ia sedang bernostalgia di warung SGPC. Ternyata pelayan-pelayan di situ masih mengenalinya. Katanya, dulu semasa masih kuliah, banyak mahasiswa-mahasiswa UGM yang kere dengan uang saku terbatas, termasuk dirinya. Sehingga ada saja cara untuk makan banyak tapi bayarnya irit, entah dengan membuang tusuk sate ke bawah meja sehingga tidak bisa dihitung, atau tidak berkata jujur ia mengambil gorengan berapa. Pelayan-pelayan dan pemilik warung SGPC tahu dengan kelakuan mahasiswa-mahasiswa itu, tapi mereka diamkan. Ketika mahasiswa-mahasiswa kere tersebut kini telah sukses, biasanya mereka kembali ke warung terebut dan sengaja membayar lebih dari yang mereka makan, untuk ‘menebus dosa’.

Marcel terlihat sangat menikmati ketika ia mengenang hal tersebut. Ada sedikit ekspresi haru di wajahnya.

Rasa haru yang sama yang dirasakan ketika ia bercerita bahwa ia pernah ‘diselamatkan’ oleh mbok-mbok pemilik warung makan. Waktu itu, karena uangnya tinggal sedikit, sekitar 150 perak, dan belum mendapat kiriman wesel, maka ia makan di warung yang biasanya menjadi langganan tukang becak. Rupanya hal tersebut diamati oleh pemilik warung dan ia ditanya, mengapa ia makan disitu padahal biasanya tidak. Marcel menjawab jujur apa adanya bahwa uang sakunya sudah menipis. Ibu tersebut ‘marah-marah’ dan menunjuk dua karung beras di sudut dapurnya, dan menyuruh Marcel mengambilnya.

Sebagai jurnalis, Marcel rupanya pernah akrab dengan dunia bawah tanah perlawanan terhadap dominasi tiran. Waktu itu situasi politik sedang memanas. Ketika Tempo dibreidel, wartawan-wartawan yang tidak puas dengan respon PWI membentuk Aliansi Jurnalistik Indonesia dengan Marcel sebagai salah satu pemrakarsa.

Menurutnya, dalam berorganisasi, ada dua hal yang bisa dilakukan, yaitu secara terbuka dan tertutup atau bawah tanah. Terbuka, yaitu yang bersangkutan terus terang mengakui duduk di dalam organisasi. Alasan Marcel sendiri untuk memilih bawah tanah, sebenarnya sangat sederhana. Pada waku itu, ia masih mengkredit motor Astrea Grand yang merupakan kendaraan operasionalnya sehari-hari. Jika memilih untuk bersikap terbuka, resiko sudah pasti ada, salah satunya dipecat dari tempat ia bekerja. Karena pertimbangan bahwa motornya masih kredit, maka ia memilih gerakan bawah tanah tersebut. Sama sekali bukan alasan yang heroik, dan ketika ia dikonfirm tentang hal tersebut, ia malah tertawa terpingkal-pingkal mengiyakan.

Pada waktu itu perannya adalah kontributor majalah bawah tanah Suara Independen. Ia merupakan wartawan pertama yang memiliki alamat email, padahal masa itu internet belum umum. Di rumah seorang pastor yang identitasnya dirahasiakan, naskah yang telah diedit oleh rekan di Jakarta, diolah dan kemudian disebar.

Tahun 1998 keadaan semakin genting. Pada saat kongres AJI di Realino yang diadakan secara tertutup, seorang rekan membisikkan bahwa Marcel sudah disebut-sebut namanya oleh Danrem Jogja. Dengan kata lain, yang bersangkutan telah menjadi TO. Sejak saat itu, Marcel sadar bahwa keselamatan dirinya terancam dan dia harus bersembunyi dari kejaran intel.

Pada saat yang sama, Ariel Hariyanto menawarkan beasiswa S2 ke NUS sekaligus jalan keluar untuk keselamatan dirinya. Marcel menerima tawaran tersebut walau bahasa Inggrisnya sangat pas-pasan. Dewi Fortuna rupanya sedang berpihak ke Marcel, karena pada saat seleksi, yang mewawancarai Marcel adalah lulusan Cornell yang fasih berbahasa Indonesia. Marcel hanya diminta untuk bercerita mengenai kondisi Timor dan rekomen yang keluar adalah, “Orang ini  calon pemimpin Timor Leste !”, kata Marcel menirukan ucapan profesor tersebut sambil tertawa-tawa.

Tak dinyana, sekarang Marcel berkarir di jajaran parlemen menduduki jabatan yang cukup penting di pemerintahan Timor Leste.

Ketika ditanya apa kesan-kesannya setelah lama tidak menginjak Jogja, ia mengatakan bahwa ia belum sempat bernostalgia di angkringan lagi, tapi ia sempat diberitahu Jadug bahwa angkringan di Jogja sekarang berhotspot dan pengunjungnya pun bermobil. Jalanan yang lebih ramai serta perubahan suhu di tempat tertentu seperti Kaliurang (dahulu jauh lebih dingin dibanding sekarang). Yang masih belum berubah adalah persaudaraannya.

Marcel tak berani untuk memberi pesan-pesan untuk Jogja, karena ia merasa justru dialah yang banyak belajar dari Jogja hingga membentuk dirinya menjadi sekarang ini. Marcel, walau dirinya adalah pejabat yang cukup penting di Timor Leste, tapi saya mendapati kesan yang sangat berbeda dari bayangan saya akan pejabat. Ramah, hangat, rendah hati, sederhana, aura tersebut benar-benar terpancar dari dirinya.

Marcel3

Akhir perrbincangan, Marcel sempat bercerita tentang salah satu tokoh yang sangat berkesan bagi dirinya, Pak Wito dari Kedungombo. Mengapa berkesan, karena dari diri Pak Wito tersebut Marcel banyak belajar hal-hal yang membekas hingga sekarang.

“Penderitaan saya tidak seberapa dibanding orang-orang tersebut, “ katanya dengan sorot mata tajam dan bersungguh-sungguh, mengakhiri bincang-bincang malam yang menyenangkan. Esok paginya, ia sekeluarga harus kembali ke Timor.

*Terimakasih untuk keluarga Mas Marcel dan Mbak Dedet 🙂

di balik earth hour

Sabtu ini, 28 Maret 2009, sedang diadakan kampanye dalam rangka hari bumi. Digawangi oleh WWF, Indonesia tepatnya Jakarta mendapat kehormatan untuk menjadi kota pertama diadakan kampanye tersebut.

Gaung kampanyenya sendiri sudah mulai terdengar sekitar sepekan sebelumnya, utamanya oleh kita-kita yang aktif bergelut di dunia maya, lewat plurk, facebook, dll. Saya sendiri merasa senang-senang saja dan mendukung kampanye tersebut, walau sebenarnya apa yang dikampanyekan oleh WWF tersebut merupakan hal yang biasa saya lakukan (gaya hidup pro lingkungan).

Pada hari H, mencermati berbagai reaksi yang justru ramai bermunculan pada saat pelaksanaan, membuat saya tergelitik. Okelah, kampanye adalah kampanye, dia tidak mempunyai kekuatan memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang dikampanyekan. Termasuk berbagai reaksi, pro dan kontra. Ada yang antusias, ada yang skeptis, ada yang apatis, dll.

Di luar berbagai reaksi, saya menyayangkan, bahwa ternyata masih ada salah kaprah mengenai tujuan kampanye tersebut. Karena hingga detik-detik menjelang earth-hour, masih saja ada yang menyangka bahwa pada saat tersebut, kota akan gelap gulita. Pemadaman total, termasuk lampu lalu lintas dan berbagai fasilitas umum.

Kampanye earth-hour, menurut saya, sebenarnya hanyalah sebagai trigger, pemantik, suatu usaha yang dipromosikan secara cukup masif, untuk tujuan yang lebih besar lagi. Dalam hal ini, tujuan utamanya adalah untuk mengkampanyekan suatu gaya hidup yang pro lingkungan. Harapannya, dengan gerakan mematikan lampu, dicapai suatu kesadaran untuk penghematan dan lebih jauh lagi; konsumsi seperlunya, sebutuhnya.

Jadi bukan gerakan untuk mematikan penerangan secara total, hingga ke stasiun kereta, lampu lalu lintas, lampu penerang jalan, dll. Mematikan lampu, hanyalah sebagian kecil dari gaya hidup ramah lingkungan, yang bisa kita lakukan. Gaya hidup ramah lingkungan ini, menurut saya adalah, kembali ke hakikatnya yaitu fungsional, memakai dan menggunakan seperlunya dan sebutuhnya.

Jika diterjemahkan, bisa ke perbuatan yang bermacam-macam dan sangat banyak yang bisa dilakukan. Misal, tidak menyalakan mesin mobil sekaligus AC pada saat berhenti / parkir, hanya karena menghindari gerah matahari. Menyalakan AC pada suhu yang tidak terlalu dingin, misal 18 derajat celsius. Menyetir kendaraan dengan baik, tidak acak adut, sekaligus merawat secara berkala kendaraan, sehingga di jalam tidak boros bahan bakar dan emisi gas buang terjaga tetap di bawah ambang.

Mengkonsumsi makanan yang selama prosesnya tidak memakai bahan-bahan kimia berbahaya, menyebabkan punahnya suatu species hanya untuk memenuhi hawa nafsu paling primitif semata, tidak menyebabkan rusaknya suatu rantai makanan dan ekosistem.

Berbelanja sejauh kebutuhan, tidak hanya menuruti keinginan, karena disadari atau tidak, dalam prosesnya, ada banyak sekali faktor yang terlibat, misal kantong plastik, itu menghabiskan berapa banyak minyak bumi, tenaga kerja illegal seperti mempekerjakan anak-anak demi menekan biaya produksi, dll.

Menggunakan air bersih secukupnya, misal tidak membiarkan kran air menyala sementara kita menyikat gigi. Dan masih sangat banyak yang lain.

Sempat terlintas kekhawatiran, kampanye semacam ini, yang sambutannya cukup antusias, ternyata hanya sekedar tren, gerakan hura-hura glamour semata. Setelah selesai tanggal 28 Maret, lenyap pula kesadaran tersebut dan kembali ke habit lawas yang merugikan lingkungan. Seperti halnya issue global warming, yang menjadi sekedar euphoria trend, mulai dari konser musik yang pada aksinya justru jauh dari semangat anti global warming, hingga fesyen yang sok-sokan jadi full serba hijau (green become a must have hot item), padahal dalam prosesnya jauh dari kesadaran lingkungan.

Kesadaran memang bukan sesuatu yang hadir karena dipaksakan. Tetapi, mudah-mudahan kesadaran untuk lebih menghormati Ibu Bumi, semakin banyak. Kesadaran yang bersifat masif, kalau saya boleh berharap. Toh, semua walaupun memang bukan kita yang memetik hasilnya, tapi siapa lagi yang bisa merubah keadaan jika bukan kita sendiri?

🙂