
Saya habis beli hape baru, tweeps! *eh, keterusan, gara-gara enthong* \o/
Hape android, yang entry level saja sih, untuk newbie seperti saya. Sebulan ini saya masih kegirangan untuk otak atik mainan baru ini, tapi utak atiknya tentu aja masih level newbie. ^^
Mengapa saya tertarik untuk beli hape android? Jujur aja awalnya saya tertarik android karena saya ini termasuk tipe anti mainstream, alias males kalo harus sama dengan kebanyakan orang (ciri khas tipe empat enneagram banget). Android masih belum semassal Blackberry yang seperti hape sejuta umat, sedangkan kalau Iphone masih belum nyandak.
Saya sendiri ketika mo beli gadget terbiasa untuk survey dulu. Faktor yang mendasari saya untuk membeli gadget adalah fitur yang sesuai dengan kebutuhan dan harga yang sesuai anggaran. Sempat tergoda dengan beberapa merk dan pada akhirnya karena dipaksa keadaan, saya memilih Samsung Galay 5 (karena awalnya menetapkan pilihan LG Optimus tapi ndak ada yang jual dan disodorinya Samsung itu).
Dari sini bisa terlihat perilaku saya ketika memutuskan membeli gadget. Karakter saya anti mainstream *halah* dan tidak terlalu tergantung oleh orang lain dalam membuat keputusan. Pendapat orang lain itu perlu, tapi sebagai 2nd opinion.
Beberapa hari lalu saya mendapat pengalaman baru sekitaran perilaku membeli khususnya membeli gadget. Kebetulan pengalaman saya ini bersinggungan dengan kaum hawa.
Pengalaman pertama dengan rekan kerja saya. Waktu itu ia sedang asyik dengan Blackberry-nya hingga kemudian melihat hape saya. Dikiranya hape saya adalah Samsung Corby. Ketika ia tahu bahwa hape saya android, ia makin tertarik. Ia bertanya-tanya, dan dari pertanyaannya ia sepertinya tidak terlalu paham apa itu android. Misal, ia menganggap bahwa android itu adalah merk sama dengan Blackberry. Ia juga mempertanyakan kalau pake android cepet gak untuk internetan, dibanding dengan Blackberry. Bagi saya tidak masalah. Saya berusaha menjelaskan sebisanya, dengan bahasa awam sesuai pemahaman saya yang juga masih cethek tentang android.
Dari situ, mulailah ia ngoceh, bahwa ia ingin hape android dan mempertimbangkan untuk mengganti Blackberry-nya. Saya berseloroh dengan bertanya, pengen beli hape android itu kepinginan ato memang kebutuhan. Jawabannya membuat saya terbengong-bengong. Ia menjawab bahwa hape android sesuai dengan kebutuhannya, karena Blackberry Gemininya tidak bisa untuk memutar youtube dan hape android bisa dan cepat. Selain itu hape android juga lebih gampang.
Krik…krik…krik…
Kebengongan saya makin menjadi, melihatnya ngoceh ke teman-teman lain tentang hape android dan menjelaskan ke mereka apa itu hape android, berbekal hape saya. Saya cuma bisas diam dan mikir-mikir. Saya aja perlu waktu setahun untuk memahami apa itu hape android (ketika mulai dengar hape android pertama-tama di tahun 2009an, saya masih diam saja kalau ada orang ngomong soal hape android. Sumpah, saya ga dong apa bedanya ama hape biasa). Pegang hape android? Serasa seperti baru pertama pegang hape, nunak-nunuk belajar sana-sini, baca sana-sini, tanya sana-sini. Sampe sekarang juga masih nunak-nunuk belajar hehehehe.
**Blog ini sangat membantu lho, penulisnya perempuan juga ^^
Dari sini saya belajar kelakuan konsumen yang berkarakter/bertipe seperti rekan saya tadi. Keinginan untuk mempunyai/membeli gadget ternyata bisa timbul seketika setelah melihat orang lain memakainya dan tampak keren, walau ybs sebenarnya tidak tahu kerennya apa.
Terkait dengan gender, saya tidak tahu, ada hubungannya atau tidak. Selama ini ada stereotype bahwa kaum perempuan cenderung tidak terlalu melek gadget. Artinya, pemakaian gadget pada perempuan sebatas pada hal-hal sederhana alias belum optimal. Ples, hipotesis bahwa kaum perempuan lebih mudah merasakan kompetisi antar perempuan atau ada rasa tidak mau kalah dibanding sesamanya. Ayolah, pembaca pasti akrab dengan cerita istri-istri yang saling sirik dan tidak mau kalah ketika saling membandingkan milik masing-masing, kemudian berusaha gimana caranya untuk membeli barang yang minimal sama/lebih wah dibanding rekannya. Well, itu memang kisah yang stereotype dan menghakimi banget sih, LOL.
Pengalaman kedua, masih dengan teman perempuan. Saat itu reuni dengan geng SMP setelah sekian lama tak ada kontak. Salah satu pertanyaan yang timbul dalam perjumpaan tersebut adalah, “ada BB gak? Kalo ada bagi pin-nya.”
Pertanyaan tersebut berkembang menjadi obrolan ringan khas chicklit seputaran gadget. Teman saya itu ‘bangga’ ada peningkatan gadget, tidak lagi Nokia. Teman saya yang lain mencak-mencak karena hapenya Nokia. Lalu disambung dengan teman yang bangga dengan BB itu bahwa ia sebenarnya memakai BB karena jika tidak, ia bisa ketinggalan info. Kebetulan teman saya itu mahasiswa kedokteran spesialis. Satu angkatan dia, hampir semua memakai BB termasuk untuk menyebarkan informasi akademis. Kalau ada yang tidak memakai BB maka resikonya adalah ketinggalan informasi ples digosipkan. Entah maksudnya digosipkan ini apa. Ketika saya tanya, dijawab bahwa digosipkan ini dalam rangka untuk memberi tekanan kepada ybs supaya cepat-cepat beralih ke BB. Saya tanya lagi, penyebaran informasi ini pakai apa kok sampai pengguna hape lain tidak bisa mengaksesnya, apakah itu BBM. Kl iya, maka alasan teman saya pake BB adalah utk BBMnya untuk kelancaran informasi ples supaya bisa diterima oleh kelompok.
What? Pake BB supaya bisa diterima oleh kelompok? Tidakkah ini termasuk kategori bullying? #sotoy
Menurut pembaca?
Well, setidaknya dua pengalaman diatas memperkaya insight saya mengenai perilaku konsumen dalam hal gadget. Kesimpulannya? Buat saya tidak ada kesimpulan, hanya saya pergunakan sebagai data saja, untuk mendapat pemahaman. Namanya juga insight. Ya nggak tweeps? ^^
-7.797224
110.368797