Jadi Turis yang Cerdas Dikit Yuk

 

 

Long weekend kemarin mendapat pengalaman seru, getaway ke sanctuary di ujung pulau yang belum terjamah industri pariwisata. Well, tentang kronologis dan serba-serbi travelnya, nanti diapdet di blog-ku yang khusus memuat tentang jalan-jalan dan makan-makan yah. Semoga dalam waktu dekat bisa segera langsung disusun jadi tulisan yang enak dibaca.  😆

Jalan-jalan keluar kota pas liburan memang seru. Apalagi buat yang demen jalan-jalan ke alam bebas. Selain memang hobi, jalan-jalan di alam bebas sepertinya udah menjadi gaya hidup. Maksudnya, ada gitu yang memang tujuannya untuk mencari eksistensi dari hal tersebut. Kalo ga ikutan melakukan hal serupa, rasanya seperti kurang gaul, merasa ketinggalan, kurang eksis, such things.

Tapi aku bukan mo ngoceh tentang hal tersebut. Jadi tulisan ini diilhami dari pemahaman baru ketika habis ngobrol dan bercerita tentang pengalaman liburan kemarin. Ternyata, masih banyak turis yang jalan-jalan dan travelling di alam bebas terutama, masih memandang alam dan satwa-satwanya sebagai obyek. Memang tujuan liburan adalah untuk seneng-seneng, tetapi ketika senang-senang diterjemahkan menjadi ‘binatang-binatang tersebut harus beratraksi seperti hewan sirkus’, wah itu repot.

Misal, ketika berlibur ke Ujung Genteng untuk melihat penyu bertelur. Saking bernafsunya untuk mendapatkan foto penyu bertelur, maka ketika motret trus pake blitz. Padahal pemakaian blitz tersebut sangat mengganggu si penyu ketika bertelur. Saya orangnya sangat mudah berempati terhadap hewan sih, jadi bisa memahami gimana perasaannya. Bertelur bagi penyu itu proses yang melelahkan lho, dan penyu adalah hewan yang sensitif. Ketika sedang melakukan ritualnya lalu ada gangguan-gangguan, gimana sih perasaannya? Sama seperti ketika kamu lagi pup trus ditontonin banyak orang dan dinilai kali ya.

Jadi begini, aku baru tahu bahwa ternyata ada aturan-aturan dalam berwisata di alam terbuka. Aturan tersebut adalah, kita namakan platinum rule ya, karena aturan intinya cuma satu dan mudah saja. Yaitu, dalam menikmati pemandangan (baik di bawah laut maupun di atas laut), cukup LIHAT SAJA.  Jangan ambil, petik, pegang, bahkan sentuh aja ga boleh. Kenapa? Karena ternyata hal tersebut dapat mengganggu kelangsungan hidup hewan-hewan maupun ekosistem di tempat tersebut.

Misal nih, aku baru tahu, bahwa dalam diving dan snorkling, sebenarnya GA BOLEH untuk megang-megang hewan maupun ekosistem di laut. Pegang manta, ternyata bisa menghilangkan lendir pelindung kulit manta. Terus, contoh kasus yang sangat lazim dilakukan orang padahal itu ga boleh, yaitu mendaki gunung dan memetik edelweiss. Jadi, para pakar lingkungan hidup dan pecinta alam sejati, paling prihatin kalo liat turis yang kalau jalan-jalan, tangannya nggratil alias usil megang-megang dan metik. Ketika dapat cerita ada turis yang dalam liburannya di Kiluan untuk melihat lumba-lumba, trus turis tersebut tahu-tahu nyemplung untuk bisa megang lumba-lumba, sebenarnya sangat dilarang. Bukan saja dari segi keselamatan, oke kalau si turis tersebut jago renang, tapi juga mengganggu si lumba-lumba. Kalau saran Pakde Mbilung yang ahli permanukan dan serba laut, jangan dipegang, diam aja. Nanti kalau lumba-lumbanya emang pengen ngajak main, dia akan datang sendiri mendekat. Tapi kalau gamau, ya jangan dipaksa.

Karena ketidaktahuanku, selama di Kiluan kemarin, aku melakukan hal-hal yang sebenarnya dilarang. Jadi, kemarin aku memungut dan membawa pulang beberapa rumah kerang dan koral mati. Ternyata kata Pakde Mbilung, kalau di pantai sekalipun, tak usah membawa pulang termasuk koral mati. Kenapa, ternyata rumah kerang tersebut masih dipakai kelomang, untuk rumah mereka juga. Kebetulan, pas di Kiluan tersebut, aku banyak menemukan kelomang-kelomang mungil yang sedang mencari-cari kerang-kerang bekas. Mungkin seperti kita kalau lagi survey kos/kontrakan kali ya. Aduuuhh dan karena ketidaktahuanku, aku merampas kerang yang sebenarnya bisa jadi rumah mereka.  😥

 

 

Jadi pren, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Dan jauh lebih baik lagi, ketika kita sudah tahu, dan melakukannya. Kalau kita sedang berlibur terutama di alam bebas, cara terbaik menikmati pemandangan adalah melihat saja. Kalau mo ambil sesuatu untuk kenang-kenangan (iye sih, mental turis kita itu masih souvenir-minded, jadi sebisa mungkin bawa apa gitu untuk token/kenangan), cukup foto saja. Tapi kalau motret pun, ingat seperti kasus penyu di Ujung Genteng, jangan juga sampe gangguin si satwa. Dan yang paling penting adalah mengubah mindset/paradigma kita, bahwa alam termasuk satwa-satwanya BUKAN obyek wisata tapi justru mereka adalah SUBYEK wisata. So, kita jadi turis, yang cerdas dikit lah, turut menjaga kelestariannya, ga semata-mata menuruti kesenangan kita yang sebenarnya cuma gatel/impulsif semata. Okek, sip?  :mrgreen:

Solo, Kota yang Ramah untuk Pedestrian

Tanggal 5-6 Juni lalu, saya dan beberapa teman Cahandong dolan ke Solo dalam rangka menghadiri acara Bengawan, Solo Sharing Online dan Offline. Seperti biasa, tripping (hah, kok tripping ya, its so laaast decade, isnt it?) kalo bareng Cahandong itu diisi dengan kegiatan ngakak dan berbagai kebodohan yang mencerdaskan. Tetapi bukan itu yang hendak saya ceritakan di sini.

Jadi begini. Walau Solo dan Jogja hanya sejarak 45 menit dengan kereta Prameks, tetapi saya ini jarang main ke Solo. Jadi kunjungan ke Solo awal Juni kemarin cukup menyegarkan memori saya. Kesan saya tentang Solo adalah kota yang ramah terhadap pejalan kaki. Kesan itu sangat terasa begitu turun dari Stasiun Purwosari. Tempat penginapan kami terletak di Jl. Slamet Riyadi, sebuah pilihan yang cukup ‘strategis’ karena terletak dipinggir jalan protokol. Dan yang terutama bagi kami (yang tidak membawa kendaraan tapi berhasrat untuk jalan-jalan) yaitu akses kemana-mana dari Jl. Slamet Riyadi cukup mudah, baik dengan jalan kaki, becak, maupun taksi.

Selesai dengan penginapan, ceritanya kami mo ngirit nih, kami memutuskan utnuk berjalan kaki ke tempat seminar Solo Sharing Online dan Offline berlangsung. Duapuluh menit pertama kami cukup menikmati jalan-jalan kami di trotoar yang memang dikhususkan untuk pedestrian. Trotoar sepanjang Jl. Slamet Riyadi sangat lebar (diksi ‘sangat’ memang subjektif, tetapi bagi saya, itu termasuk lebar jika dibandingkan dengan trotoar di Jogja yang habis untuk lahan parkir) dan –ini yang paling menyenangkan- teduh. Banyak pepohonan besar yang rimbun, cukup memberi keteduhan bagi kami pejalan kaki maupun yang pengen kongkow-kongkow. Jadi meskipun hari itu cukup cerah dan panas, kami cukup terbantu oleh teduhnya pepohonan. Apalagi sepanjang jalan ada penjaja makanan kaki lima dan kadang bangunan kuno nan antik yang menyenangkan untuk dipandang.

Tetapi dasar kami manusia kota yang kamso, setelah lebih dari 20 menit berjalan kami mulai kepayahan. Melewati Taman Sriwedari, kami bertanya-tanya, kok tidak melihat tanda-tanda digelar suatu seminar. Sementara menurut beberapa pedagang kaki lima yang kami tanyai, Grha Solo Raya ya di Taman Sriwedari itu. Kami terus berjalan hingga melewati Museum Radya Pustaka. Lho, kok sudah lewat museum nih, sudah jauh dan belum melihat tanda positif. Untung kami melihat seorang polisi (polisi pariwisata?) yang sedang duduk santai di depan gerbang Taman Sriwedari. Puji Tuhan Haleluya, dari polisi tersebut kami mendapat keterangan yang cukup jelas bahwa tempat yang kami tuju masih jauuuuhhh…

Jadilah kami akhirnya mutung dan menggunakan becak. Ternyata memang jauh (untuk ditempuh dengan jalan kaki) dan kami cuma ngekek-ngekek membayangkan andai kami tetap nekat jalan. Gemporrrr bok

Malamnya kami kembali mengulangi petualangan berjalan kaki menikmati kota Solo. Jadi selesai dari wisata kuliner menikmati timlo solo Marto, kami memutuskan pulang ke penginapan dengan berjalan kaki. Coba tebak berapa lama waktu yang kami tempuh? Kurang lebih 45 menit, saudara! Itu jalan kaki santai lho. Tetapi selama 45 menit itu kami cukup menikmati dan enjoy. Padahal waktunya sekitar menjelang tengah malam. Alasan utama bukan soal ngirit, hehehe, tapi ingin membakar lemak gara-gara wisata kuliner selama seharian di Solo. Keuntungan lain yang didapat, dengan berjalan kaki ternyata kami lebih bisa menikmati Solo dari dekat.

Sepanjang Jl. Slamet Riyadi waktu malam, cukup ramai dengan berbagai aktivitas warganya. Dari yang sekedar nongkorng pacaran (kami sempat memergoki pasangan yang sedang duduk mesra atau bahkan marahan), aktivitas klub (ada beberapa klub motor yang cukup bising), hingga mereka yang menikmati jajanan sepanjang jalan. Memang Jl. Slamet Riyadi, ndak siang ndak malam menyediakan banyak jajanan kaki lima yang menarik untuk diicip. Dulu malah saya menemukan sate kere alias sate tempe gembus di dekat Taman Sriwedari. Para penjaja kaki lima yang saya amati, cukup menjaga kebersihan lokasinya berjualan. Dan selama 45 menit kami membakar kalori, tak terasa kami sudah sampai hotel. Pengalaman yang cukup menyenangkan, dan yang patut diacungi jempol adalah tentang keamanan. Kami merasa cukup aman untuk berjalan-jalan tengah malam itu.

Paginya, sambil bersiap-siap menanti Pakde Blontank menjemput kami, saya kembali terkesan dengan Jl. Slamet Riyadi. Ternyata tiap hari Minggu, jalan tersebut bebas kendaraan bermotor dari pukul 6-9 (eh ato pukul 10 ya, lupa). Jadilah pagi itu banyak sekali warga Solo yang beraktivitas olahraga, jalan-jalan, bersepeda, jajan, dll.

Saya mengacungkan jempol untuk walikota Solo, Jokowi, dan pihak-pihak terkait. Mereka cukup berhasil memberikan kesan pertama bagi wisatawan yang datang ke Solo, dengan kesan yang cukup baik. Untuk catatan, sebagai ujung tombak pariwisata, tukang becak, sopir taksi, dll semestinya juga mendapat pembinaan bagaimana seharusnya melayani pelanggan/wisatawan. Selama perjalanan kemarin cukup baik sih, tidak mendapat pengalaman yang kurang menyenangkan. Bravo, Solo!

PS.

Kesan lain yang saya tangkap tentang Solo, sepertinya Solo sedang mempersiapkan diri sebagai kota MICE (meetings, incentives, conferences, and events). Dimana-mana saya mendapati spanduk/umbul-umbul event yang sedang dan akan digelar di kota tersebut. Mengenai Solo sebagai tujuan wisata kuliner, saya sepenuhnya mengamini. Banyak banget tempat makan yang musti dicoba, apalagi mereka yang mengaku lekkerbek. Kekayaan kulinernya luar biasa, bahkan saya dengan mudah menjumpai warung masakan babi dengan beragam variasi, seperti sate buntel babi hingga bakso babi.

Kalau foto-foto sungai, itu adalah sungai Bengawan Solo yang legendaris itu. Saya beruntung berkesempatan mencicipi acara spesial Solo Sharing Online dan Offline, susur sungai Bengawan dengan perahu karet. Seru banget, tapi disisi lain, aduuuhhh kotornya itu sungai… Bahkan pada waktu landing (eh apa ya sebutan ketika perahu mendekati daratan untuk merapat) saya jinjo gilo setengah modyar (tapi ga kelihatan dong diekspresi wajah saya) karena saya melihat di tepi daratan ada sisa-sisa pup… Kyaaaaaa…!!!

oleh-oleh dari cangkringan, kaliurang

Hari Minggu kemaren, niatnya sih mau jalan-jalan menyusuri kali di Kaliurang. Semi hiking tapi yang fun, untuk beginner macam saya ini. :mrgreen:

Tapi apa daya, hujan yang mengguyur kota Jogja, membuat rencana tersebut terancam gagal. Karena niat jeng-jeng sudah membulat, maka suatu improvisasi diperlukan. Maka, jadilah kemaren jalan-jalan buang bensin menyusuri Kaliurang. Ehm, rindu yang membuncah dengan alam, membuat kami nekat menyusuri Kaliurang sembari berhujan-hujan.

Kali ini tak banyak yang saya katakan, cukuplah gambar yang bicara.

di-atas-jembatan-kalikuning1

Ini di jembatan Kalikuning…eh, sekarang jembatannya baru loh. Baru dibangun, hehehe..udah selesai kok.

Ngalamun di jembatan ini bakalan disuguhi pemandangan Merapi yang indah buanget. Udah gitu, konstruksi jembatannya juga unik, karena menurun di tengah-tengah. Saya ga tahu, ini jembatan lahar ato bukan. Katanya kalo jembatan lahar, konstruksinya beda dengan jembatan biasa.

Trus, yang asik lagi, kamu bisa turun jembatan dan main-main di sungai ^^

*sempet mergoki bekas tapak manusia dan anjing. sepertinya ada yang ngajak anjingnya jalan-jalan menyusuri Kaliurang di pagi hari. Uwaah…jadi pengin punya Siberian Husky..*

jembatan-baru2

jembatan-kalikuing-lawas1

jembatan-kokoh1

brem-bali

*ini intermezzo. nemu botol kosong tak bertuan di pinggir jembatan. huhuuuww….ada yang mencoba untuk menghangatkan diri, rupanya… :mrgreen: *

Pakdheeee…pengen oleh-oleh dari Bali ini nih… 😛

sayurane-wong-ndeso1

Tau ga, ternyata tanaman meliar seperti ini, yang banyak terdapat di sekitar kali, oleh warga setempat sering dipetik dan dimasak gitu. Sempet ketemu sama ibu-ibu yang lagi methiki tanaman tersebut, ada dua jenis tanaman tapi lupa apa namanya. Katanya enak utk dimasak santan pedas ato dioseng. (mmm)

warung-umbul

warung-umbul2

pemanangan-dpn-warung

Sewaktu lewat warung ini, ntah kenapa, saya jadi ngiler dan memutusan untuk mampir. Sate jamurnya itu looohhh…saya kan suka sekali dengan berbagai jamuran. Kata Pak Bondan, jamur adalah The King of Vegetables. Padahal 40 menit sebelumnya, kami sudah makan lontong tuyuhan di deket kampus UII lho…tapi hawa dingin memang membuat siapapun cepat melapar… :mrgreen:

Dari warung tersebut, kita bisa melihat pemandangan indah, bukit Turgo yang diselimuti kabut dan kebun-kebun nan permai. ^_^

jangan-lobok-ijo

jangan-lombok-ijo2

jangan-lombok-ijo3

puyuh-bacem1

pepes-jamur

Pepes jamur ini sungguh sedap dan bisa untuk oleh-oleh. Cuma 1500 perak pebungkus. Kaliurang sepertinya memang jadi sentra industri kecil jamur, banyak yang membudidayakan jamur, terlihat dari banyaknya grajen untuk media jamur di rumah-rumah.

Olahan jamur yang lain, yang ohhhh….sungguh sedaaappp….. *merem melek*

sate-jamur-tiram

sunflower2

sunflower3

sunflower4

sunflower

minta-kembang

Ndak jauh dari warung tersebut, ada kebun cabe yang pinggirnya dipenuhi dengan bunga matahari. Berhubung bunga matahari ini termasuk bunga favoritku, jadilah ku manfaatkan untuk menikmati  keindahannya, syukur kalo bisa minta bijinya untuk ditanam. Eeee….ternyata boleh. Tuh, sama si Ibu, malah diambilin biji-biji dari bunga yang sudah tua.  See, bunganya tinggi ya ? Konon, tingginya bisa mencapai dua meter lho.

Kali ini, rute bergeser ke arah Kaliadem. Pemandangan di Kaliadem lebih eksotis, karena jika kita minggir sedikit, sudah bisa menyaksikan jurang-jurang nan curam. Dari atas kita bisa menyaksikan sisa-sisa wedhus gembel yang berubah wujud menjadi berkah bagi sebagian orang : tambang pasir.

Tak lupa, kalau mau terus, kita bisa ber-lava tour. Berhubung sudah sering, kami memutuskan untuk terus menyusuri jalur alternatif.

kaliadem2

kaliadem

tambang-pasir21

tambang-pasir

pedhut

Karena kabut alias pedhut semakin tebal (sementara kegiatan penambangan di bawah kami tidak jua berhenti), maka kami memutuskan pulang. Tentu saja dengan membawa segepok peps jamur yang menanti untuk dipanggang.

THE END          :mrgreen:

goa cerme, keindahan yang terbentang dari langit hingga dalam bumi

Selalu ada berkah dibalik setiap peristiwa. Klasik tapi benar adanya, dan saya sudah berkali-kali membuktikan kebenarannya. Seperti kemarin. Jadi latar belakangnya, saya nggak jadi terima job karena persoalan teknis, tapi siapa sangka dibalik itu saya justru bisa masuk goa, merasakan caving amatiran. Jikalau sendirian, pasti malah tidak terlaksana karena berbagai alasan.

Yak, sodara-sodara. Kemaren itu, saya mengunjungi obyek wisata Bantul, Goa Cerme. Serombongan turis Korea-lah yang membawa saya. Malunya, malah mereka tahu lebih dulu dari browsing internet. Sebenarnya, obyek wisata ini sudah lama adanya. Saya pun selama ini Cuma lewat-lewat saja, belum pernah masuk hingga ke dalam obyeknya. Kemaren-kemaren tujuannya malah nongkrong di atas perbukitan kapur, sebelum menuju Parangtritis lewat jalur alternatif (menembus perbukitan kapur), menyaksikan keindahan bumi Bantul yang menghampar. Atau sekedar jalan-jalan sore menikmati hembusan angin sambil memandangi karpet alami yang terdiri dari sawah menghijau, kerbau membajak sawah, dan terakhir kali jalan-jalan disitu, saya kehilangan sandal, gara-gara terperosok di lendut alias tanah sawah. Lumayan, gratis spa lumpur sawah :p

Goa cerme ini bisa dituju lewat jalan Imogiri. Ada banyak petunjuk jalan yang mengarah ke Goa Cerme. Bahkan, traveler amatiran penderita disorientasi arah macam saya ini, bisa menemukan dengan mudah hanya berbekal petunjuk yang dipasang oleh dinas terkait. Kebetulan waktu itu, berbarengan dengan kunjungan MenSos ke Bantul, jadi lagi-lagi keberuntungan menyertai saya, karena jalan jadi lancar, dijaga oleh polisi dan tentara.

Sebelum ke Goa Cerme, saya sarankan anda-anda sekalian untuk mampir makan siang di warung ramesan Mbak/Bu Pur, yang berada tepat di pojokan pertigaan sebelum ke tanjakan arah Goa Cerme. Warung ini menyediakan menu-menu ndeso dan otentik, yang dijamin tidak anda temukan di kota-kota besar. Menu andalannya brongkos yang bercita rasa pedas. Kemudian ada juga oseng-oseng kulit melinjo, oseng-oseng pare, dll. Sayangnya, untuk lauk, kemaren ketika saya mampir makan, kok tidak selengkap terakhir saya datang (sekitar tahun 2004-2005). Dulu itu ada lele asap dan wader goreng. Kemaren kok tidak ada.

Berdua kami makan lengkap dengan minum, Cuma habis 12.500 perak. Wow, murah meriah dan mengenyangkan. Puas setelah mengisi amunisi, kami segera menuju Goa Cerme. Sebelumnya kami diberitahu oleh penduduk setempat, untuk kendaraan mini yang mungkin tidak kuat menanjak, bisa lewat jalur lain. Patokannya, pertigaan yang ada beringin, belok kiri. Tapi jika Anda termasuk kategori advance dalam menyetir kendaraan dan tidak ada masalah dengan tanjakan yang lumayan ekstrim, tidak apa-apa mengambil jalur lurus.

Untuk jalan, tidak usah khawatir. Sepanjang jalan, aspal mulus menemani kami. Dan sepanjang perjalanan, benar saja, pemandangan indah mempesona mata saya. Apalagi ketika mulai melewati tanjakan-tanjakan, sehingga bisa memandang pemandangan dari atas. Temans, mata saya benar-benar dimanjakan dengan perbukitan menghijau (karena sehabis musim hujan kali ye, jadi hijau. Coba kalau sudah musim kemarau, mungkin agak gersang, karena perbukitan yang kami lewati adalah perbukitan kapur). Apalagi dalam perjalanan kembali, pemandangan lebih indah, karena tidak hanya sekedar perbukitan, tapi juga sawah-sawah.

Kami memarkir mobil di pelataran rumah penduduk yang memang disiapkan untuk tempat parkir. Sayangnya, untuk jalur yang kami lewati, kami harus menaiki tangga yang agak jauh dan cukup melelahkan sebelum ke Goa Cerme. Jika melewati jalur yang satunya, mobil bisa parkir tepat di jalan setapak menuju Goa Cerme, dan dari situ Anda cukup berjalan kurang lebih 100 meter, tidak terlalu menanjak, tidak bikin ngos-ngosan.

Dari pemandu yang menjaga, kami mendapat keterangan, sebelum masuk Anda harus membeli tiket sebesar seribu rupiah per orang. Dan untuk masuk ke dalam goanya, Anda harus ditemani pemandu. Jasa pemandu sebesar 2000 rupiah per orang. Jadi misal Anda rame-rame dengan teman sebanyak 8 orang, masing-masing bayar 2000 untuk pemandu, begitchu….

Sesampai di bibir goa, saya lagi-lagi dibuat terpana oleh keindahan lukisan Tuhan. Kampret, slompret, bin semprullll, saya lupa bawa kamera !!! Pake hape ??? Duh, ga puas banget dan karena saya cenderung perfeksionis, saya tak sampai hati membingkai keindahan tersebut dalam layar hape.

Lekukan sungai entah apa namanya, saya lupa, seperti cacing besar raksasa yang keperakan berkilauan tertimpa sinar matahari, perbukitan yang seperti candi, karena berundak-undak oleh sawah kehijauan, bukit-bukit perawan yang berlapis-lapis, dari yang terjauh berwarna kebirauan tipis lalu dilapisi lagi oleh perbukitan di depannya yang berwarna biru-kehijauan, dan terakhir perbukitan dengan rumah-rumah mungil yang tampak seperti noktah, berwarna hijau tua. Semua dengan latar belakang langit membiru….

Oase bagi mata yang lelah mempelototi layar komputer dan jiwa yang penat di tengah-tengah paket rimba beton dan polusinya.

Ketika kami datang, berbarengan dengan beberapa warga sekitar yang membawa perbekalan. Kami sempat GR, tapi rupanya ada warga yang kenduren karena punya gawe mantu. Warga tersebut, Bapak-Bapak, membawa tikar dan ubo rampe berupa nasi, urap, ingkung ayam, dan buah, yang dibungkus daun jati. Ubo rampe tersebut didoai bersama-sama, tepat di mulut goa, dan kemudian disantap bersama-sama. Pemandangan menyenangkan, menyaksikan kebersamaan pedesaan yang mulai luntur di kota-kota besar.

Sebelum masuk ke dalam gua, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk kenyamaman bersama. Disarankan untuk membawa senter sendiri, karena di dalam goa cukup gelap. Bisa juga menyewa senter, sebesar 5000 rupiah, tetapi nyalanya tidak terlalu terang dan berat dibawa karena pakai aki segala. Oia, bagi pengunjung disarankan untuk memakai celana pendek dari bahan yang cepat kering dan membawa ganti pakaian serta sandal gunung.

Jalur dalam goa sendiri jika dituruti hingga mentok, sepanjang 1,2km, dan menyusuri sungai dalam tanah. Ketinggian antara selutut hingga pangkal paha. Air sungainya sendiri keruh, karena stalaktit dan stalakmit terselimuti oleh tanah lempung. Beda dengan Goa Seplewan, yang terletak di perbatasan Kulon Progo-Purworejo. Sungai di goa tersebut, airnya jernih….

OOT, Goa Seplewan juga wajib dikunjungi oleh Anda-anda penggemar wisata yang berbau petualangan. Soal keindahan alam, jangan ditanya. Anda bahkan bisa berdiri di atas bukit, dan memandang lepas ke perbukitan Laut Selatan pantai Parangtritis hingga ke kota Purworejo. Kereeeennnnn !!!! Jalur juga cukup menantang, sedikit off road (kalau belum diperbaiki aspalnya), dan ngadem di hutan sengon (???) tapi tenang, kereeeennnn banget !!! Bahkan terdapat peninggalan purbakala, sebuah candi primitif (??) berbentuk lingga dan yoni. Di tempat ini juga pernah ditemukan arca emas serupa dewi, entah dewi siapa saya lupa.

Kembali ke goa. Ada yang lucu dengan goa ini. Jadi begini, saya heran, sewaktu nyampe ke bibir goa. Selain pemandangan yang terkesan purba banget, dinding cadas, pohon-pohon kukuh tinggi menjulang, sulur-sulur perdu, ada patung seorang laki-laki bersorban naik kuda. Saya heran, patung siapakah gerangan. Ternyata itu patung Pangeran Diponegoro. Loh, kok Pangeran Diponegoro sampe sini, bukannya markas beliau di Goa Selarong ?? Apakah Goa Cerme termasuk salah satu petilasannya ?? Jawab sang pemandu, beliau buka cabang di Goa Cerme ini.

Wakakaakkkk, ada-ada saja Mas Pemandu ini.

Tapi, memang penempatan patung Pangeran Diponegoro ini rada ngawur. Setelah ditelisik, ternyata patung tersebut sebagai hiasan saja. Goa Cerme ini malah dulunya konon sebagai tempat pertemuan Walisongo, yak semua wali itu, bertemu di tempat ini dan membicarakan pelbagai permasalahan, duniawi dan spiritual.

Entah ada hubungannya atau tidak, goa ini juga menjadi tempat untuk bersemadi atau bertapa. Kemaren, saya melihat sisa-sisa bakaran entah menyan dan bunga tabur. Selain itu masih tercium lamat-lamat, wangi dupa.

Pemandangan di dalam goa tak kalah menakjubkan. Saya serasa di alam realis Salvador Dali, karena bentuk dinding goa serupa benar dengan ciri khas pelukis tersebut. Bahkan sesaat imajinasi saya melayang, berada di dunia science fiction, dunianya Alien dan Predator, karena bentuk stalaktit dan stalakmit seperti bentuk monster-monster khas film-film sci-fi, tidak beraturan, aneh, tapi luar biasa. Sayang, saya hanya menyusuri sekitar 500 meter kurang, karena rombongan turis tersebut tidak berani untuk berjalan lebih jauh. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk jenis wisata petualangan, sehingga kami pun mendampingi mereka juga sampai situ saja.

     gambar diambil dari sini

Keseluruhan, obyek wisata ini mulai dikelola secara profesional, terlihat dari berbagai faslitas yang sedang dibangun untuk memudahkan wisatawan. Lingkungan juga cukup bersih, tidak tampah sampah yang dibuang sembaragan. Entah dengan toilet umumnya, karena tidak sempat saya inspeksi. Kekurangannya, parkir kendaraan yang mahal, masak mobil dicharge 5000 rupiah. Selain itu, masih minim informasi. Pemuda setempat yan kebagian jatah untuk mengelola (mungkin diajak kerjasama oleh dinas pariwisata Bantul), juga hanya memberi kami dua lembar leaflet mengenai Goa Cerme. Atau mungkin keberadaan leaflet diganti oleh semacam papan informasi yang tidak saja berisi keterangan tentang Goa Cerme tetapi juga obyek wisata lain yang dekat-dekat situ.

Bahkan dari ngobrol ngalor ngidul, bisa saja ke depannya dikembangkan berbagai game-game outdoor yang menantang adrenalin, seperti flying fox, bungee jumping, panjat tebing (khusus kelas pemula), dll.

Two thumbs up, rekomendasi penuh bagi penggemar wisata alam yang berbau petualangan, apalagi bagi yang masih kelas amatiran. Jogja ga melulu isinya Malioboro (uuuh basiiiii !!!), Kraton, dan Taman Sari. Dan saya membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi mereka yang ingin saya temani ke Goa Cerme, saya masih berhasrat caving dan hunting foto ala kadarnya :mrgreen: