Efek Samping The Raid : Perang Selera

Beberapa hari lalu saya kumat usilnya, menjadi devils advocate. Benernya ketinggian juga sih menyebut diri sendiri devil’s advocate, karena levelnya belum seperti Al Pacino di film The Devil’s Advocate. Sebenarnya apa sih artinya devil’s advocate? Karena sekarang jamannya serba internet, definisi bisa dengan mudah tinggal dibrowsing. Kalau aku sendiri secara sederhana mengartikan, peran yang sengaja diambil untuk mengetes argumentasi seseorang/orang lain. Jadi ketika aku sedang menjadi devil’s advocate si A, bukan berarti aku kontra dia. Aku hanya pengen tahu reaksinya dan sejauh apa argumentasinya, buat ngetes doang hihihi. :mrgreen:

Waktu itu yang menjadi sasaran adalah teman yang lagi demen banget ama film The Raid. Dia antusias dan semangat banget berbagi hal-hal menarik dari film The Raid. Buat dia, film ini bagus banget. Lalu aku iseng, kasih link review ber-sentimen negatif dari film tersebut.  Dari dia sendiri yang diinformasikan ke kita adalah pujian-pujian media dan orang tentang film ini.

Sebenarnya aku cuma pingin tahu, ketika seseorang sedang ‘euforia’ terhadap sesuatu hal, kemudian diberi fakta yang berbeda jauh dengan yang dia yakini, maka seperti apa reaksinya. Apakah dia bisa tetap obyektif atau akan membela yang dia yakini. Ingat lho, kita tidak berbicara tentang agama atau prinsip disini. Ini tentang selera.

Ternyata, doi membela lumayan habis-habisan film yang dia suka tersebut. Pertama doi mencibir review tersebut, dan kemudian yah mengedepankan argumentasi mengapa film tersebut bagus. Sisi iblisku makin keluar dong, bertanduk. Makin deh aku panas-panasi, dan walhasil doi makin ‘gegap gempita’ membela film The Raid dan menjurus ke menjelek-jelekkan selera orang lain (seleraku). Haha. Sampai disini eksperimen selesai.

Lantas apa yang aku dapat dari eksperimen tersebut?

Aku jadi mikir; kenapa ya kita ada kecenderungan untuk membela apa yang kita sukai/yakini kalau ada orang yang menyatakan sikap/penilaian yang berbeda dengan kita.

Mencoba merefleksikan hal tersebut. Jangan-jangan aku pernah melakukan hal yang sama juga. Jawabannya, jangankan pernah tapi SERING. *emot ngakak gulung-gulung sambil tepok jidat*

Ya gimana yah, ketika aku dengan menggebu-gebu bilang, “eh ini bagus lho, bla bla bla, “ lantas tiba-tiba ada orang yang dengan lugas bilang, “Cuma seperti itu ah, jelek, bla bla bla.” Yah kalau jujur ada semacam perasaan ga enak, jleb, seperti itu. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, ya buat apa merasa ga enak. Apa karena merasa selera kita direndahkan? Memang kalau ada yang berbeda pendapat/selera dengan kita, berarti selera kita lebih jelek atau gimana gitu?

Kembali ke teman yang lantas menjelekkan selera orang-orang terhadap film-film non action (drama), yang katanya “film pengantar tidur”.  Dia berpendapat, bahwa baginya, nonton film itu harusnya yang menghibur dan ga usah pake mikir. Kalau nonton masih pake mikir, malah bikin stress bukannya membuat terhibur. Fungsi film untuk dia, ya sebagai penghibur.

Tetapi, apa dia harus menyuruh/meminta/memaksa semua orang menerapkan standar dia? Itu kan pertanyaannya.

Kalau ada yang melihat film lebih dari sekadar penghibur, tapi juga sebagai propaganda kebudayaan, gimana dong? Apakah dia tidak menyadari hal tersebut? Apa dia tidak tahu, film-film bahkan seperti Avatar dan Titanic-nya James Cameron sekalipun melakukan riset yang pake mikir. Kalau kemudian ada yang nonton film Avatar ga pake mikir dan sekadar lihat special effect-nya, ya itu masalah penontonnya sih. Tapi sungguh lho, buatku, film itu bisa sebagai alat pencerahan. Berapa kali, aku keluar dari bioskop ato sehabis nonton film, jadi merenung. Bahkan terakhir nonton Hugo, itu film kartun kan, tapi selesai nonton pun aku jadi banyak merenung tentang pesan dalam film itu.   :mrgreen:

Sekarang begini, kalau misal aku yang lagi semangat cerita film drama/thriller yang menurutku bagus dan kemudian mendapat respon demikian, menurut kalian aku harus bagaimana?  :mrgreen:

Rise of the Planet of the Apes: Belajar Kepemimpinan dari Monyet

Bagi yang sudah nonton Planet of the Apes-nya Mark Wahlberg (2001), kemunculan film Rise of the Planet of the Apes (judulnya bikin lidah kesleo-sleo) cukup dinantikan oleh para penggemar. Seperti saya, yang penasaran, ini menceritakan sekuel atau prekuelnya Planet of the Apes yah. Jujur aja, selama ini tidak mencoba browsing-browsing dulu tentang Rise of the Planet of the Apes, bahkan sinopsisnya pun tidak. Jadi ketika nonton midnight Sabtu kemarin, sama sekali tidak ada bayangan.

Duapuluh menit pertama film ini sukses membuat saya terharu biru dan emosi bergolak. Karena dalam duapuluh menit pertama itu, langsung tergambar kerakusan dunia korporasi yang diwakili CEO Gen Sys, Steve Jacobs, versus kesejahteraan lingkungan yang diwakili simpanse-simpanse binatang percobaan mereka. Well, kelekatan emosi saya dengan binatang membuat saya merasa lebih mudah merasakan kelekatan dengan jalan cerita film ini. Jadi tak pelak saya langsung larut dan terlibat secara emosi. Apalagi dengan munculnya bayi simpanse yang rapuh, haduh, saya langsung mbeler-mbeler.

Singkatnya, sinopsis Rise of the Planet of the Apes bercerita tentang percobaan untuk menemukan obat bagi penyakit Alzheimer dan percobaan tersebut memunculkan anomali. Sesimpel itu sebenarnya jalan ceritanya. Tokoh utama, si peneliti Will Rodman mempunyai alasan yang bersifat personal terhadap penelitian ini, yaitu karena ayah yang sangat disayangi menderita Alzheimer. Karena itulah, ketika asistennya, Robert Franklin meminta Rodman untuk membawa si bayi simpanse pulang supaya tidak dibunuh/dimatikan, ia sempat merasa keberatan. Karena concern-nya sedari awal adalah ayahnya, bukan kesejahteraan binatang-binatang percobaan tersebut.

Ketika si bayi simpanse –Caesar– tumbuh makin besar, afeksi Rodman terhadap Caesar juga makin besar. Selain itu ia melihat bahwa si Caesar ini mempunyai keanehan yang patut diteliti, karena diyakini membawa kabar baik untuk perkembangan penemuan obat Alzheimer. Caesar ini mempunyai kecerdasan yang sangat mengagumkan. Konflik semakin tajam ketika Caesar yang remaja, terpaksa menyerang tetangga mereka. Caesar, berdasar putusan pengadilan, dianggap membahayakan lingkungan sekitarnya, dan tak seharusnya binatang liar seperti simpanse ada di lingkungan pemukiman. Caesar harus direhabilitasi di pusat penampungan satwa liar.

Di bagian ini, lagi-lagi emosiku terlibat cukup dalam. Entah karena aktor yang memerankan tetangga menyebalkan itu aktingnya pintar sehingga bener-bener menyebalkan, atau karena aku yang terlalu emosional.  :mrgreen:

Yang jelas, aku bener-bener geregetan dan berpendapat, itulah yang terjadi kalau orang ga dididik untuk mencintai lingkungan, alam, dan binatang dari kecil. Kalau dari kecil ga diajarkan menyayangi binatang, maka setiap kehadiran binatang akan dianggap sebagai ancaman. Thus takut. Padahal rasa takut adalah motivasi paling kuat untuk melakukan tindakan, misal tindakan menyerang.

Caesar selama masa rehabilitasi di penampungan primata, belajar banyak hal yang tak dia dapatkan di rumahnya. Caesar yang sangat cerdas, mengamati lingkungan dia berada. Interaksi antar primata, hierarki sosial antar kera, hierarki sosial kera-manusia, norma yang berlaku, hingga threatening act yang ditunjukkan Dodge, si penjaga. Yup Caesar bahkan mempelajari aspek psikologis Dodge. Bahkan dari penampungan tersebut dia belajar situasi sosial yang menumbuhkan kepekaannya. Selayaknya aktivis dah. Dia belajar serta menganalisa, apa yang harus dilakukan pada situasi tersebut, apa solusinya.

Nah, dari kacamataku, bagian ini yang sangat menarik dari keseluruhan film. Kita belajar mengenai bagaimana menjadi pemimpin yang betul-betul leader—pemimpin, tak sekedar pimpinan. Bagaimana Caesar bisa mempersatukan semua spesies kera untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Dan aku lagi-lagi mbrebes mili nangis bombai tersengguk-sengguk pada adegan martir.

Ada satu hal lagi yang menarik untuk digarisbawahi. Caesar dari bayi dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih sayang. Rodman dan ayahnya mengasuh (juga mendidik?) Caesar penuh cinta. Caesar belajar tentang cinta dan kasih sayang dari pengasuhan ini, dari ‘keluarga’nya. Hal ini yang membedakan Caesar dengan kera-kera lain ketika menghadapi musuh mereka. Being human (?). Well, statemen ini memang bisa memancing diskusi sih, apakah kasih sayang dan cinta kasih –yang diterjemahkan dalam film ini menjadi tindakan forgiveness— hanya milik manusia?

Selain itu, tokoh orang utan di penampungan primata, mewakili sosok yang bijaksana dan humoris. Saya suka dengan ‘ceplosan’nya yang santai tapi lucu tapi sesungguhnya dalam.

**notes.

Sebutan monyet untuk primata adalah sebutan yang berkonotasi menghina. Pakailah kata ‘kera’ daripada ‘monyet’ untuk menyebut primata, kecuali kalau anda memang berniat menghina. 😀

Thanks utk ekowanz yang menginspirasi saya untuk apdet blog lagiiih.  😆

Predators

A W A S   S P O I L E R !

Predator dan Alien sejauh ini adalah monster favorit saya, sejak saya melihat pertama kali di film mereka Predator (1987, dibintangi oleh Arnold Schwarzenegger) dan Alien II. Film-film itu saya tonton ketika saya masih kecil, masih SD, dalam bentuk home-video. Masih inget betul saya, pertama nonton Predator di rumah Bulik, malam-malam. Ketika pulang, saya terbayang-bayang mayat-mayat manusia tergantung dipohon, skinless alias telah dikuliti, dan saya tidak berani ke kamar mandi. 😆

Saya semakin tergila-gila dengan sosok predator ini, setelah menonton sekuelnya dalam bentuk laser disc. Terpesona dengan sosok fisik mereka, kekuatannya, naluri bertarung dan membunuh mereka, dan adegan jaw-dropping dalam sekuel tersebut adalah ketika Danny Glover ‘terdesak’ di dalam pesawat para predator tersebut. Ternganga menyaksikan berbagai trophy, termasuk tulang alien (yang menjadi semacam dreams comes true, ketika Alien vs Predator dirilis).

Karena itulah ketika tahu Predators adalah semacam sekuel untuk film Predator-nya si Arnie, maka saya harus wajib untuk menonton film ini dibioskop setelah semua film-film Predator dan Alien saya tonton dalam bentuk cakram padat. Apalagi ketika tahu Adrien Brody ikut membintangi film ini, makin bulat tekad saya. FYI, saya jatuh cinta dengan akting Brody semenjak film The Jacket.

Setelah menyaksikan film ini, komentar saya: AWESOME, TWO THUMBS UP, 100% film laga. Ya, ini film laga sejati. Jadi jangan berharap cerita yang njelimet atau twisted. Dari segi special effect, cukup oke dong, untuk perwujudan sosok Predator. Apalagi ada predator spesies baru yang lebih sangar, eh atau itu ketua sukunya ya? Dari segi kesadisan dan kekejaman, mmm, menurut saya tidak terlalu sadis. Yah ada memang adegan daging segar, tulang dicerabut, darah muncrat, tapi yaaa….tidak sampai membuat dengkul lemas.

Selebihnya, cerita yang cukup kena menggali psikologis manusia ketika dihadapkan pada situasi yang tidak dikenal. Disini, dinamika kelompok, altruisme, psikologi kekerasan, dll ada semua. Juga pertanyaan mengena mengenai kemanusiaan: ketika dihadapkan pada situasi terdesak, apa yang akan kamu lakukan, menolong orang lain yang jelas-jelas membutuhkan pertolongan atau mengabaikan panggilan tersebut demi keselamatan nyawamu.

PS. Ketika rasa kasihan menjadi semacam kelemahan. Beberapa pihak yang cukup tega, bisa sekali memanfaatkan rasa kasihan demi keuntungan diri sendiri.

NB. Film ini sepertinya cukup ‘rasis’, deh. Ini tuduhan tak berdasar yang berlandaskan rasa bercanda. 😆

Selain itu ada adegan pembunuhan yang mengingatkan dengan adegan dalam film Species. Adegan tulang belakang dicerabut dari manusia, hidup-hidup. :mrgreen:

Mau tahu adegan favorit saya? Adegan pedang-pedangan!  :mrgreen:

from how to train your dragon into social media

Jogja memang rada telat, khususnya dibandingkan dengan ibukota kalau ada film-film bagus yang masuk indonesia (yaeyalaaaahhh…ibukota getu lowh, dibandingin dalam hal up-to-date). Jadilah saya barusan nonton How to Train Your Dragon not in 3D, yang baru saja masuk bioskop Jogja. Padahal niat awal pengen nonton Shutter Island (yayayaya, telat lagi) yang ternyata udah digusurpaksa untuk turun.

Filmnya ternyata bagus, seperti yang diomongin teman-teman yang sudah duluan nonton. Animasi yang halus banget (untuk mata awam seperti saya), adegan action yang menegangkan, lucu-lucunya juga, dialog yang sarat pesan, dan cerita yang kuat. Cukup untuk dikategorikan film bagus? :mrgreen:

Dan ternyata saya mewek! Ya, film yang kata teman-teman lucu, ternyata malah membuat saya mengalirkan air mata terharu. Tidak sebanjir Hachiko sih, tapi teuteup air mata ini tak terbendung. Yang bikin nangis karena cara-cara Hiccup dalam ‘menaklukkan’ naga. Weeewww, saya yang pecinta binatang, terharu banget. Memang seharusnya seperti itu hubungan antara manusia dan binatang! *berapi-api*

Tapi yang membuat saya gatel pengen nulis postingan ini justru pesan lain yang disampaikan dalam film tersebut.

Digambarkan dalam hubungan ayah anak, Hiccup dan ayahnya yang penguasa desa Berk, Viking, berat sebelah. Sang ayah digambarkan mempunyai keinginan/bayangan tersendiri tentang Hiccup, dan diam-diam merasa malu dengan kondisi anaknya yang tidak seperti diinginkannya. Hiccup sendiri seperti tak berdaya untuk mengekspresikan dirinya, dia bahkan kesulitan untuk menyampaikan apa yang baru saja dialaminya. Jadilah Hiccup lebih banyak mengalah dan (terpaksa) nurut apa kata ayahnya. Tapi menurut sang ayah, itu masih dikategorikan membangkang alias tidak menurut.

Hubungan yang berat sebelah itu tampak jelas ketika ayahnya tidak mau mendengarkan Hiccup. Ayah yang terlalu ‘sibuk’ dengan bayangan ideal tentang seorang pemuda Viking yang ingin itu ada dalam diri Hiccup. Sehingga si Ayah tidak mau mendengar/sadar bahwa anaknya tidak ingin seperti yang ayahnya bayangkan. Padahal tanda-tanda itu jelas ada, pertandanya begitu mudah dibaca. Tapi ya gitu, sang ayah tidak mau mendengarkan, sehingga dia tidak sadar sama sekali dengan tanda-tanda tersebut.

Pesan itu sangat jelas di adegan ketika Sang Ayah baru pulang dan menemui Hiccup di kamar. Hiccup yang khawatir ayahnya marah dengan yang dia lakukan, dengan gugup menutupi hasil pekerjaannya. Sang Ayah tidak menangkap ekspresi gugup Hiccup. Ketika mereka mulai berbicara, Hiccup mengatakan apa, Sang  Ayah menangkapnya lain. Semua dalam frame/kerangka pikiran ayah. Hingga akhirnya konflik memuncak, Sang Ayah kecewa berat melihat Hiccup ternyata tidak membunuh naga seperti yang dibayangkan.

Kalau dibawa ke kondisi sehari-hari, situasi-situasi seperti ini sangatlah banyak ditemui. Situasi yang wajar (?) (saking banyaknya kejadian). Padahal kita tahu, kita mempunyai dua telingan dan satu mulut. Tetapi, tetap kita lebih ingin didengarkan daripada mendengar. Btw, antara hear dan listen itu berbeda sekali lho. “Mendengar” yang saya maksud disini adalah “listen”. Mendengar dengan hati, menyimak dengan sungguh-sungguh semua yang tersirat dan tersurat.

Bisa saja kita berargumen, selama ini kita telah banyak mendengar. Tetapi siapa yang sadar/jujur kepada diri sendiri, ketika kita mendengarkan orang lain, kita telah menanggalkan kacamata kita dan mengenakan kacamata orang tersebut. Jangan-jangan kita selama ini hanya mendengar apa yang kita ingin dengar. Itu konteksnya dalam berkomunikasi secara umum, sehari-hari.

Dalam konteks cyber-social (halah, istilah apalagi ini, ciptaan sendiri), keinginan untuk didengarkan alias berbicara itu bisa jadi alasan kenapa social media menjadi begitu laris manis diserbu. Social media adalah wadah yang tepat untuk menyalurkan semua yang ingin dikatakan, dikomentari, dicurhatkan, diopinikan, etc etc pendeknya tempat untuk bicara.

Kenapa social media? Jujur saja, tidak semua orang mempunyai kepercayaan diri untuk berbicara di depan publik, apalagi jika mereka ‘bukan apa-apa’ dalam arti bukan seleb/public figure. Katarsisnya ya disocial media itulah. Ada rasa aman, ketika kita bisa bicara disocial media, karena kita merasa ga benar-benar hadir/tampil di depan massa. Yang malu, yang ga pede, jadi merasa menemukan penyalurannya.

Kembali ke soal mendengar-didengarkan, begitulah kalau semua berebut untuk didengarkan/bicara disocial media, lantas siapa yang bersedia mendengar/membaca?

Mungkin karena itu pula, terkadang saya lelah menatapi timeline akun social media saya. Hiruk pikuk, timeline mengalir deras. Sepertinya semua orang sedang berebut untuk berbicara, meminta untuk diperhatikan dan didengarkan. Lantas siapa yang bersedia mendengarkan saya? :mrgreen:

Btw, naga-nya Hiccup kok mengingatkan saya dengan tokoh alien di Lilo and Stitch ya? 😀

Notes.

Perenungan saya, seringkali keinginan untuk didengarkan tersebut membuat kemampuan untuk mendengarkan inner-voice menurun. Cara yang saya lakukan adalah, saya menyepikan diri untuk lebih peka mendengar inner-voice saya.

D-9 : Tragedi Kemanusiaan

District9Poster265_000

Sore ini sambil ngabuburit, saya nonton District 9. Selain karena suka dengan film-film dengan tokoh alien (sci-fi),  saya juga tertarik mendengar penuturan beberapa teman yang sudah menonton duluan.

Ternyata District 9 bukan film sci-fi, tetapi lebih ke film action biasa. Dengan cerita yang luar biasa. Film ini dibuat berdasarkan short movie Alive in Joburg. Alive in Joburg ini sendiri dibuat karena terinspirasi atas kondisi penerapan politik apartheid di Afrika Selatan. Mengetahui latar belakang film District 9 ini sedikit banyak mempengaruhi kacamata yang saya pakai dalam menonton. Frame saya pun terbentuk, bahwa ini bukan sekedar film eksyen biasa tapi ada pesan tertentu yang hendak disampaikan. Dan memang benar.

Apa yang saya lihat sepanjang film adalah, mewakili karakter gelap manusia yang terbungkus oleh energi fear, energi takut. Termasuk takut oleh sesuatu yang berbeda, yang asing. Energi takut itu berujud pada sikap prasangka, penolakan, kebencian, dan permusuhan. Dan yang terburuk adalah kekerasan, kekejaman, kematian

District 9 adalah film tentang tragedi kemanusiaan. Adalah suatu tragedi kemanusiaan kita apabila manusia dalam kehendak bebasnya memilih untuk berlaku lebih rendah dari hewan. Membunuh demi kesenangan, membunuh karena kebencian yang dibalut prasangka. Dan itulah yang saya lihat. Telanjang tanpa ada yang ditutupi.

Hanya karena Prawn-prawn tersebut berbeda, maka menjadi pembenaran untuk melakukan eksperimen biologis. Berbagai macam kekejaman yang sangat absurd dilakukan untuk membuktikan hipotesis tertentu. Dengan darah dingin membicarakan keuntungan yang akan diperoleh di depan si Obyek, sementara si Obyek adalah saudara mereka juga.

Wikus van der Merwe, tokoh utama dalam film ini diceritakan berkarakter sangat manusiawi, dengan segala egoisme dan kebodohannya. Dan kemanusiaannya itu semakin lengkap ketika diperlihatkan kehendak bebas Wikus untuk memilih, apakah akan semakin menjauh dari kemanusiaannya atau sebaliknya.

Saya tersentuh oleh film ini. Jika benar film ini terinspirasi oleh kondisi dimana politik apartheid diperlakukan, maka alangkah menyedihkan. Membayangkan nasib mereka-mereka yang dianggap berbeda dan diperlakukan penuh prasangka. Hmmm….

wrong turn, film horror, adrenalin, dan orgasme

Malem td, hmp berbarengan dg kupas tuntas, gw nonton film horror di rcti, wrong turn. Ni film tipikal kayak film2 helloween, texas chainsaw massacre gitu. Jadi karakter protagonis, biasanya remaja dr kota, kesasar di desa nan asing serta misterius. Kemudian satu per satu mereka mati dg sadis, plus adegan kejar-kejaran yg bikin kita ikut histeris dan adrenalin mengalir deras. Tokoh antagonis alias pembunuhnya biasanya psikopat, sadistik, misterius, dan secara fisik juga menyimpang.  Dari tokoh2 protagonis itu ada tokoh pengacau, biasanya karakternya agak manja, keras kepala, tp begitu dalam situasi yg menekan, langsung paling labil, paling stress, histeria, dan paling merepotkan pahlawannya.

**catatan : sebenarnya dl dunia nyata pun, sll ada karakter2  begini, dan dg mudah dpt kita identifikasikan kl kita sekelompok berada dl situasi yg menekan. Pernah dong ngalamin yg namanya plonco / ospek ?? coba inget, ada gak karakter begini. Ato ketika kita lg outbond ato survival.  

Walo setting biasanya di hutan, biasanya tokoh2 tsb pake baju seksi2 abis dan terbuka. Dan yg paling bikin heran dr film2 horror setipe itu, dari thn pembuatannya yg sekitar thn 2000an, PARA TOKOH ITU GAK PUNYA HENGPON !!!!!!!!!!! jadinya ketika mrk lg sembunyi dr penjahat ato lari dr pembunuh, mereka bener2 terpencil, terisolasi. Biasanya mrk hanya mengandalkan fasilitas telkomunikasi konvensional, seperti telp kabel. GIMME A BREAKKKK !!!! sementara di endonesa, dg pendapatan per kapita yg jauuuuh di bawah amrik aja, ada tukang nasi goreng keliling yg punya hengpon, masak remaja2 gaul di amrik kagak ???? 

Walo begitu, gw masih cinta banget sama film2 beginian hehehe. Biar tutup mata dan intip2 dr celah2 jari ketika adegan kejar2an sang tokoh yg mencoba lari dr sang pembunuh yg bersenjatakan mesin gergaji listrik (hee…..suara gergaji itu bener2 traumatik dan terrorizing bgt deh, kebayang gimana pembunuh itu menghabisi korbannya) ato ketika sang psikopat mencacah-cacah sang korban dg cara2 yg bikin mual, ketika itulah adrenalin mengalir deras. Dan ketika matahari mulai bersinar lg, setting film mulai cerah, sang psikopat sudah benar2 mati (bukannya baru setengah mati, shg tau2 nyambar sang hero), pd saat itu rasanya legaaaaaaaaaa bgt. Berasa seperti orgasme. Orgasme yg panjang, nikmat, dan bikin lemas. Apalgi kmd setelah itu, menghembuskan nafas panjang, pertanda sgt lega. Hehehe, ouwghhhhh…..sedapnya the big O. 

Eh tp kembali sebel, film2 horror kayak gini biasanya ga tuntas dan menyisakan penasaran gw. Yaitu ttg sosok pembunuhnya. Sll bikin penasaran, siapa mereka (ato dia), kok bisa begitu (fisik menyimpang dan jd psikopat supersadis). Seperti film wrong turn ini. Sang pembunuh ada 4 orang dan semuanya secara fisik menyimpang. Apakah mrk itu hasil dr kawin incest (soale jd inget salah satu episode the x files) ?? selain itu mengapa mereka jd psikopat sadis yg cenderung kanibal (mengkoleksi barang2 korabnnya seperti mengkoleksi piala, menyimpan sisa2 tubuh korban, malah ada sisa daging di panci) ??? semua itu ga kejawab di film ini. Mungkin film texas chainsaw yg memberikan kisah dibalik terbentuknya pembunuh sadis terkejam di texas (konon film ini based on true story), sayang gw blm sempet nonton yg texas beginning-nya. Eh di film heloween/jason kayaknya juga diceritain ya, kenapa jason pake topeng trs dan bersenjatakan kelewang, memburu korban. 

Selain itu entah kenapa ada kecenderungan manusia utk tertarik/ingin tahu dg sisi paling kelam dr diri manusia tsb. Buktinya, dalam film2 tsb, sang sutradara cukup detail meng-ekspose kekejaman sang pembunuh dan kadang sisa2 jenazah di zoom. Buat gw, sll ada excuse kenapa gw cenderung penasaran dg adegan ini, krn film2 ini kan boongan. Ga beda lah sama film 300 yg juga mengekspose darah muncrat. Lain halnya dengan vcd2 ‘sakit’ yg sempet beredar dan tren berat bbrp tahun silam, yg mengekspose kematian, kekejaman, daging tersayat, darah muncrat, dsb, dan itu aseli, real, ga ada rekayasa.  

Gw pernah nonton, dan cukup sekali saja. Vcd itu berupa cuplikan2 berita, seperti adegan pembantaian di mana tuh, salah satu negara afrika, orang bunuh diri, dll. Hasilnya ??? alih2 orgasme, gw ga selera makan seminggu. Ha, sakit banget dong, kl nonton gituan malah orgasme. Serius orgasme. Serius sakit juga. Berarti ada penyimpangan seksual, sadistik. Palagi kl digabung dg kepribadian sosiopat, waaah…..alamat masuk penjara asylum aja deh…. 

Dan ternyata di dunia maya, penikmat hal2 kayak gitu banyak bgt ya ?? kayak waktu rame2 videonya saddam pas digantung. Ato jaman dulu kala, website-nya rotten cukup rame jd bahan rumpian temen2 dan adek gw.  Wah kalo yg kayak gini mah, beda ama preferensi gw dg film horror hollywood. Yg kayak gini mah, ampun2 dah, Cuma bisa menghimbau : tobat, tobat, kasi makan jiwa dg sesuatu yg menyegarkan dong……sumthing postive^^   

RELIGION VS SCIENCE ??? WHO WIN ???

Dini hari ini, sambil nunggu ngantuk karena terbangun tengah malam, eh nemu The Simpsons di anteve. I like Simpsons, karakter antihero yg unik dan satire banget, bener-bener film kartun untuk dewasa^.^Episode kali ini cukup menggelitik dan cukup menginspirasi. Alur kisahnya mengingatkan akan debat panjang tak berkesudahan yang cukup melegenda di ranah blogsphere, antara sains dan agama, hehehe. Ketika sebuah fakta -berupa sesuatu seperti kerangka manusia yang bersayap. Disini fakta adalah sesuatu yang bisa dijangkau oleh indera- muncul dan perdebatan antara sains dan agama tak terelakkan, muncul dialog, ‘apakah fakta itu??’. sok serius nih….

BEOWULF – film animasi yang bukan untuk anak-anak –

beowulf_poster.jpg

Baru saja gw habis dari nonton Beowulf dr satu-satunya bioskop 21 di kota jogja. Manfaatin nomat, ealah ternyata dari senin-jumat adalah nomat, cuman 15rebu aja. Sayang dong, td gw nonton sendiri aja.

Yang bikin gw tertarik nonton, setelah baca reviewnya di koran Sindo hari minggu, yang kasih 4 bintang dari 5. Nih koran biasanya rada sadis kalo kasih review, nah tumben aja lihat ada film yang dapet nilai nyaris sempurna. Biasanya tiga, malah film2 indonesia yg selama ini beredar rata-rata satu or dua bintang.

Dibilang disitu bahwa Beowulf adalah film animasi ‘gagap’, karena dari teknik pembuatannya, ada pro-kontra apakah film ini pantas masuk kategori animasi. Tapi yang bikin gw tambah tertarik nonton, karena ada adegan lakon utamanya, bertarung telanjang bulat alias nude. Hehehe, dasar rames, jadilah poin tambah untuk semangat nonton ^^

klik untuk lebih jauh ttg seberapa rames ups seberapa keren ni film

proof of life, sebuah kisah cinta yang pedih tapi indah

proofoflife.png 

Malem tadi, selasa tgl 23 oktober, kebetulan aku sempatkan untuk dirumah sejak awal. Sengaja untuk nonton resident evil 2 yang diputer di global. Fil lama emang,tp belum nonton. Walo gw penggemar film2 sci-fi tp gw belum rental film yg dibintangi milla jovovich ini. Ternyata ni film keren juga, bloody hell and awesome monster. Mbikin gw super duper tertarik untuk nonton resident evil 3 yg lagi rame di bioskup.

Udah gitu, gw suka sama milla. Ni cewe, aseli, cantik banget. Cantik dalam arti sebenarnya, natural, bahkan ketika dia sedang berdarah-darah. Dengan matanya yang hijau menyorot tajam, wah kl gw lesbong udah gw pacarin kali yeee haha. Sekedar catatan, milla ni kayaknya cocok banget main di film2 sci-fi action sejenis resident evil, dimana dia berperan jd jagoan cewe yg rada eksentrik dan engga sok nyeksi ato memakai keseksiannya sbg senjata. Gw lupa film pertama  dia apa, tp gw gak bakal lupa dengan aksi dia di fifth element sbg leeloo. Aneh tp cantik. Atraktif. Kecantikan yang cerdas. You know by looking at her face. Sejenis dg natalie portman.

lho mana prof of life-nya ??