Beberapa hari lalu saya kumat usilnya, menjadi devils advocate. Benernya ketinggian juga sih menyebut diri sendiri devil’s advocate, karena levelnya belum seperti Al Pacino di film The Devil’s Advocate. Sebenarnya apa sih artinya devil’s advocate? Karena sekarang jamannya serba internet, definisi bisa dengan mudah tinggal dibrowsing. Kalau aku sendiri secara sederhana mengartikan, peran yang sengaja diambil untuk mengetes argumentasi seseorang/orang lain. Jadi ketika aku sedang menjadi devil’s advocate si A, bukan berarti aku kontra dia. Aku hanya pengen tahu reaksinya dan sejauh apa argumentasinya, buat ngetes doang hihihi.
Waktu itu yang menjadi sasaran adalah teman yang lagi demen banget ama film The Raid. Dia antusias dan semangat banget berbagi hal-hal menarik dari film The Raid. Buat dia, film ini bagus banget. Lalu aku iseng, kasih link review ber-sentimen negatif dari film tersebut. Dari dia sendiri yang diinformasikan ke kita adalah pujian-pujian media dan orang tentang film ini.
Sebenarnya aku cuma pingin tahu, ketika seseorang sedang ‘euforia’ terhadap sesuatu hal, kemudian diberi fakta yang berbeda jauh dengan yang dia yakini, maka seperti apa reaksinya. Apakah dia bisa tetap obyektif atau akan membela yang dia yakini. Ingat lho, kita tidak berbicara tentang agama atau prinsip disini. Ini tentang selera.
Ternyata, doi membela lumayan habis-habisan film yang dia suka tersebut. Pertama doi mencibir review tersebut, dan kemudian yah mengedepankan argumentasi mengapa film tersebut bagus. Sisi iblisku makin keluar dong, bertanduk. Makin deh aku panas-panasi, dan walhasil doi makin ‘gegap gempita’ membela film The Raid dan menjurus ke menjelek-jelekkan selera orang lain (seleraku). Haha. Sampai disini eksperimen selesai.
Lantas apa yang aku dapat dari eksperimen tersebut?
Aku jadi mikir; kenapa ya kita ada kecenderungan untuk membela apa yang kita sukai/yakini kalau ada orang yang menyatakan sikap/penilaian yang berbeda dengan kita.
Mencoba merefleksikan hal tersebut. Jangan-jangan aku pernah melakukan hal yang sama juga. Jawabannya, jangankan pernah tapi SERING. *emot ngakak gulung-gulung sambil tepok jidat*
Ya gimana yah, ketika aku dengan menggebu-gebu bilang, “eh ini bagus lho, bla bla bla, “ lantas tiba-tiba ada orang yang dengan lugas bilang, “Cuma seperti itu ah, jelek, bla bla bla.” Yah kalau jujur ada semacam perasaan ga enak, jleb, seperti itu. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, ya buat apa merasa ga enak. Apa karena merasa selera kita direndahkan? Memang kalau ada yang berbeda pendapat/selera dengan kita, berarti selera kita lebih jelek atau gimana gitu?
Kembali ke teman yang lantas menjelekkan selera orang-orang terhadap film-film non action (drama), yang katanya “film pengantar tidur”. Dia berpendapat, bahwa baginya, nonton film itu harusnya yang menghibur dan ga usah pake mikir. Kalau nonton masih pake mikir, malah bikin stress bukannya membuat terhibur. Fungsi film untuk dia, ya sebagai penghibur.
Tetapi, apa dia harus menyuruh/meminta/memaksa semua orang menerapkan standar dia? Itu kan pertanyaannya.
Kalau ada yang melihat film lebih dari sekadar penghibur, tapi juga sebagai propaganda kebudayaan, gimana dong? Apakah dia tidak menyadari hal tersebut? Apa dia tidak tahu, film-film bahkan seperti Avatar dan Titanic-nya James Cameron sekalipun melakukan riset yang pake mikir. Kalau kemudian ada yang nonton film Avatar ga pake mikir dan sekadar lihat special effect-nya, ya itu masalah penontonnya sih. Tapi sungguh lho, buatku, film itu bisa sebagai alat pencerahan. Berapa kali, aku keluar dari bioskop ato sehabis nonton film, jadi merenung. Bahkan terakhir nonton Hugo, itu film kartun kan, tapi selesai nonton pun aku jadi banyak merenung tentang pesan dalam film itu.
Sekarang begini, kalau misal aku yang lagi semangat cerita film drama/thriller yang menurutku bagus dan kemudian mendapat respon demikian, menurut kalian aku harus bagaimana?