Makin Banyak Tahu Bikin Hidup Engga Bisa Tenang, Makin Sedikit Tahu Bikin Hidup Lebih Bahagia ?

sad_cat.jpg

 

Akhir-akhir ini mengamati obrolan emak-emak, curhat mereka dan segala keluh kesah mereka. Selain obrolan di grup chat, juga mengamati seliweran opini dan curcolan di social media seperti twitter dan facebook. Awalnya dapat kesan, kenapa jadi emak-emak jaman sekarang sepertinya ribet banget dan dikit-dikit ngeluh ya? Selain ngeluh, gampang banget menemukan pro kontra antar mereka sendiri. Rasa-rasanya dulu pas kecil dan melihat ibu sendiri, kok engga ribet seperti sekarang.

Ada beberapa kemungkinan sih:

Jaman dulu ga ada media seperti twitter dan facebook, jadi kalau pengen curcol ya dikeluarkan lewat arisan/ngobrol di telpon, diary, atau ditelan sendiri.  Bisa aja toh, ibu-ibu kita dulu ya merasakan yang disuarakan emak-emak sekarang, tapi yang ngerti/tahu kalangan terbatas aja. Penyebaran informasinya ga secepat sekarang.

Kalau sekarang, rasanya semua informasi dijembreng di depan mata dan penyebarannya cepat sekali. Cukup share/RT dan dalam sekian detik, curcolan emak-emak dari Norwegia nyampe ke emak-emak di Bantul. Ditambah, dulu ibu-ibu kita terbatas sekali untuk mengakses informasi. Paling cepet lewat TV tapi itupun searah. Kalau lewat majalah atau koran, sebenarnya berita yang udah terjadi beberapa hari lalu.

Misalnya nih, mengamati ‘perang’ antara pro kontra ASI. Dari dulu sepertinya udah denger kampanye untuk ASI eksklusif, tapi baru sekarang denger istilah Nazi ASI gara-gara ada pihak yang gerah ama pro ASI tapi kampanye-nya judgemental dan hitam putih banget, hihihi.  Trus baca di blog ini, wow ternyata rame juga ya perdebatan antara jadi emak yang kerja di luar rumah atau di rumah aja. Mungkin dulu juga udah ada perdebatan serupa, minimal perdebatan batin dan omongan tetangga lah, hahaha.

Nah, pernah engga sih, timbul pikiran kalau sekarang ini rasanya jadi serba ribet dan ribut, gak seperti dulu. Terutama pas belum ada/belum kenal internet dan social media. Adanya internet dan media sosial memang membuat kita jadi lebih banyak tahu dibanding orang tua kita. Dari gizi hingga cara mengasuh anak. Hayoo siapa pernah debat ama orang tua karena perbedaan pengetahuan ini? 😆

Tapi anugerah ‘lebih banyak tahu’ ini rasanya bisa jadi bencana, terutama ketika mengalami information overload alias kebanjiran informasi. Bingung, bingung, bingung, dan eneg, seperti itu rasanya, kalau aku sih. :mrgreen:

Sampai di sini, muncul pertanyaan. Betulkan sedikit tahu/malah ga tahu apa-apa bisa membuat kita lebih bahagia (karena jadi lebih tenang) ? Sementara kalau banyak tahu, yang ada malah hidup enggak tenang, bingung, serba kuatir, serba takut, paranoid.

Enggak tahu apa-apa rasanya tenang, tapi situasi demikian sebenarnya menipu lho. Tahu-tahu di ujung ada kejadian yang bikin sesak di hati. Baru deh menyesal, “Andai sebelumnya saya tahu…”

Nah, pilih mana deh?

Kalau pilih ‘lebih banyak tahu’, udah punya antisipasi biar enggak jadi paranoid, pencemas, dan bingungan?

 

PS. Gara-gara nulis ini, jadi timbul pemikiran. Sebenarnya yang dianggap pintar itu jangan-jangan hanya karena ybs lebih duluan tahu. Jadi menjadi pintar bukan perkara IQ, tapi duluan mendapatkan informasi. Nah, ‘bahaya’ kalau sampai rebutan untuk jadi yang pertama tahu. Kenapa hayo? Siapa yang pernah misuhin berita di Detik atau TV One? Lho hubungannya apa? Ya itu, soal siapa yang ‘duluan’ tahu, rebutan untuk jadi yang pertama tahu. 😉

Dicari : Mie Instan Cantik

Membaca-baca artikel gosip di media tentang perawatan kecantikan para seleb, emang bikin berdecak. Heran membayangkan besarnya uang yang mereka keluarkan, tetapi memaklumi ketika melihat wajah-wajah ayu dan body aduhai mejeng di majalah. Misal, budget Jennifer Aniston (43 tahun) untuk perawatan tubuh sebesar 6000 dollar, dan untuk perawatan wajah butuh 2000 dollar. Total setara dengan 80 juta per bulan. Tapi di usianya yang udah masuk hampir 45 tahun, Jen masih cantik dan seksi. Dari pemahaman tersebut, ga heran kalau semacam tertanam dalam benak kita, bahwa untuk menjadi cantik dan sexy itu butuh modal gede dan ga murah. Itu satu.

Dua, pemahaman tersebut juga melahirkan sikap serba instan. Jaman sekarang (now i sounds like an old man), menuntut serba cepat dan –jujur, memuja penampilan/bungkus. So, tak heran kalau denger keluhan cewe-cewe yang tidak puas dengan penampilan fisiknya, ingin mempunyai fisik seperti yang mereka idamkan, dengan secepat kilat.

Sebenarnya ini lucu, ironi buat aku. Mendengarkan mereka ngobrol dan keluar keluhan seperti, gendut dan pengen langsing, kulit kusam berjerawat pengen kulit yang bisa mulus glowing, rambut kasar bercabang pengen rambut halus sehat dan bersinar, dsb. Ironinya adalah, mereka ngomong mengeluh seperti itu, tapi sambil terus melakukan hal-hal seperti : makan makanan berlemak, kurang serat, full gula dan sodium, gaya hidup yang kurang gerak dan lebih suka bermalas-malasan di sofa/bed dengan gadget, tidak pernah/jarang membersihkan wajah sehabis dari bepergian atau ketika hendak tidur, tidak pernah/jarang mengoleskan sunscreen atau pelembab, dsb.

Paling bikin kejengkang adalah ketika kesimpulan dari keluhan-keluhan tersebut yaitu : keinginan adanya produk yang bisa membuat penampilan mereka berubah seketika. Jadi kalau pake pelembab, yang langsung mulus glowing. Kalau ada obat yang bikin timbangan langsung turun dan celana jeans ukuran 27 langsung muat. Dan ketika mereka menyadari bahwa produk-produk tersebut mahal, mereka kemudian berhenti berusaha. Rasanya seperti… pengen ngoclak-ngoclak kepala mereka biar nyadar.    😆

Aku pernah kok, mencoba usaha-usaha instan untuk langsing. Menjajal treatment pelangsingan yang menjanjikan lingkar bagian tubuh manapun akan menurun, angka di timbangan juga menurun. Menjadi langsing bukan tujuanku, tapi aku terobsesi untuk mempunyai tubuh yang sempurna seperti para model/seleb. Pada saat itu, pengin banget menurunkan lingkar paha. Rasanya masih minder dan belum puas dengan paha yang menurutku adalah paha gebug maling alias gede banget. Syukur-syukur bisa melangsingkan perut menjadi lebih slim lagi.

Akibatnya, selama lima kali aku merasakan penyiksaan ala klinik kecantikan. Badanku dibebat plastik dan selimut khusus selama sejam lebih. Selama dibebat itu, badan ga bisa bergerak. Panas, karena selimutnya memang bersuhu tinggi, yang konon untuk melumerkan lemak. Ditambah dibebat plastik yang katanya untuk menambah optimalisasi treatment. Selama sejam lebih, berbaring tak bisa bergerak, panas dan keringat mengalir sangat deras. Memang sih, dalam sekali treatment, angka ditimbangan langsung turun 1-2 kg. Tetapi itu semu. Karena yang bikin angka timbangan turun adalah banyaknya air yang keluar selama treatment. Pernah lho, sehabis treatment, aku dehidrasi lumayan. Langsung nggliyeng, pusing berat, ingin muntah, dan hingga beberapa jam setelahnya rasanya lemas berat, ga kuat untuk dipakai jalan.

Kesimpulan dari pelajaran yang cukup mahal itu adalah : tidak, nggak akan pernah lagi merasakan treatment-treatment pelangsingan yang mengklaim membentuk tubuh sempurna dengan mudah dan instan.

Beberapa bulan lalu, kebetulan dapat undangan lunch dari Dove shampoo di restoran unik di daerah Kemang. Selain chit-chat tentang kecantikan/perawatan rambut (Ada Maia dan Jerry Pravda, hair stylist), rambut peserta lunch dites seberapa sehat. Jadi ada alat khusus yang memeriksa batang rambut. Hasilnya ditentukan dari angka yang keluar, skala dari nol (tidak ada kerusakan sama sekali) hingga 10 (rusak berat). Dari aku sendiri ketika mo dites rambut, ga ngarep banget.

jerry pravda dan maia, di acara lunch bareng dove di kemang

Sebelumnya pas chit-chat sempet ngobrol tentang rambut yang dismoothing, Jerry Pravda bilang kalo rambut yang abis di-smoothing itu udah pasti rusaknya. Karena proses smoothing rambut itu benar-benar mengubah secara drastis partikel rambut kita, apalagi ditambah dengan proses ironing dengan suhu tinggi, bahan-bahan kimia. Waaa…benar-benar deh. Mana rambutku sebelum di-smoothing aja, emang kering banget. Ga sampe bercabang sih, tapi memang keriing. Gak pernah perawatan di salon juga, seperti creambath, hairspa gitu, juarang bianget. Tiga bulan sekali belum tentu. Setahun mungkin sekali dua kali. Terus ketika peserta lunch yang lain dites, tercatat angka terendah adalah tiga.

Ketika giliran rambutku diperiksa, SURPRISE!! Skala kerusakannya adalah SATU! Alias minimal sekali. Uwoooh bengong dong, kok bisa kenapa? Padahal habis di-smoothing, juarang banget perawatan di salon. Rupanya, kuncinya adalah kebiasaan yang kulakukan selama ini. Yep, biar ga pernah perawatan di salon, tapi aku rajin untuk keramas dan pake conditioner, lanjut ke pelembab rambut.

Selain itu, kebiasaan makanku juga berpengaruh. Sudah dua tahun ini menerapkan diet banyak sayur dan buah, mengurangi karbohidrat sederhana termasuk makanan yang banyak gula, mengurangi garam, dan selalu air putih.

Yang jelas, pengalaman sewaktu diundang lunch oleh Dove tersebut semakin menguatkan pemahamanku tentang konsep kecantikan. Ga ada yang namanya menjadi cantik dalam sekejap. Eh, ada ding, dengan bantuan make up 😛 Apa yang tampak di tubuh kita sekarang ini adalah hasil dari apa yang telah kita lakukan bertahun-tahun sebelumnya. Hingga usia sekarang, banyak yang mengatakan bahwa kulitku bagus dan tidak berjerawat (ga butuh perawatan klinik-klinik ituh), well ini bukan hasil sekejap. Tapi hasil dari perawatan sejak SMU. Serius. Dan semua ga membutuhkan biaya gede, kok. Seumur-umur belum pernah ke klinik kecantikan, untuk facial di salon pun seumur-umur baru tiga kali.

Lihat saja koleksi perawatan tubuh dan wajah termasuk rambut di foto di bawah ini. Paling mahal adalah krim malam seharga 140an ribu. Rekor termahal untuk pelembab sehari-hari adalah serum seharga 130an ribu. Untuk perawatan tubuh, ada yang lain yang tidak tampak di foto, yaitu makanan yang banyak serat seperti buah dan sayur. Jadi siapa bilang, butuh duit banyak dan modal gede untuk mendapatkan penampilan oke?

Cantik adalah Memiliki Areola Pink dan Bentuk Vagina yang Sempurna

image

Menulis itu katanya lebih mudah kalau muncul dari hati, daripada menulis yang tidak dari hati. Sudah beberapa lama ini, si empunya blog mengalami writer’s block (halah) yang cukup lama. Ide bertebaran tetapi kesulitan untuk diwujudkan dalam sebentuk artikel yang enak dibaca.
Salahkan twitter, kalau mau gampang berkambing-hitam ria. Loncatan-loncatan ide atau pikiran random tersebut lebih mudah saya tuangkan dalam bentuk 140 karakter. Sebenarnya kalau sempet nengokin linimasa saya, itu adalah bank ide tulisan. 😛

Seperti, ketika saya sering ngetwit soal cantik. Dari yang nanya tips gimana supaya tampil cantik, sampai bahasan psikologis-filosofis (halah lagi) tentang kecantikan.

Dalam lamunan dan amatan random saya, saya menemukan bahwa kecantikan terkait dengan kepercayaan diri. Maksudnya begini, banyak perempuan-perempuan di sekitar saya yang cantik-cantik, tapi merasa tidak cantik dan tidak menarik (termasuk empunya blog). *plaaakkk* :mrgreen:
Jadi berpikir, sindrom rendahnya kepercayaan diri lebih sering dialami perempuan daripada laki-laki ya?

Saya beri contoh manifestasinya. Ketika bercermin alias ngaca, biasanya cowo cengar-cengir, bergaya bak binaragawan, dll. Mereka lebih mudah menemukan kelebihan fisiknya ketika bercermin. Sedangkan perempuan ketika ngaca, yang dilihat pertama-tama adalah kekurangannya. Seperti jerawat, kerut pada mata, komedo, rambut yang berantakan, dll.

Cantik selain terkait kepercayaan diri, dia juga adalah komoditas. Tak terhitung berapa banyak produk dan brand untuk menunjang kecantikan. Lupakan produk pemutih kulit wajah dan iklan dengan model perempuan berambut panjang lurus (dan sudah banyak yang protes). Tahukah kalian, ada produk yang bisa mencerahkan warna areola supaya lebih pinkish, memutihkan selangkangan, memutihkan ketiak, bahkan vaginoplasty untuk mempercantik bentuk labia?

Saya pernah berselancar ke situs kesehatan reproduksi yang ditujukan untuk perempuan remaja dan dewasa. Ternyata banyak perempuan yang mencemaskan bentuk vaginanya khususnya bentuk labianya. Mereka merasa bentuk labianya aneh, tidak normal, tidak seperti yang diidealkan, sehingga mereka merasa rendah diri, tidak menarik, tidak berharga, malu menjalin hubungan dengan lelaki karena takut pasangannya kelak akan kecewa, dll.
Dalam situs tersebut diterangkan bahwa karena minimnya informasi tentang reproduksi kita (perempuan) sendiri, menyebabkan banyak perempuan yang buta/tidak mengenali tubuhnya sendiri.
Gawatnya, mereka (kita) lebih banyak menerima informasi yang salah kaprah, dan menyebabkan kita semakin tenggelam dalam kekhawatiran. Terkait konteks labia, ternyata ada banyak sekali tipe bentuk labia, jadi tak seharusnya kita (perempuan) merasa rendah diri karena ada yang tidak normal dalam diri kita. Demikian menurut para ahli dalam situs tersebut. Bahkan vaginoplasti yang bertujuan untuk ‘memperbaiki’ bentuk labia, dapat merugikan perempuan karena mengurangi sensitifitasnya, sehingga dapat mempengaruhinya dalam menikmati proses hubungan seksual.

Lebih jauh lagi, definisi cantik yang sebatas mata dapat memandang, memang ditentukan oleh banyak kepentingan dan kultur. Bagaimana supaya makin banyak yang tersadar akan hal ini dan menjadi benar-benar merdeka, tak lagi terjajah oleh Definisi cantik menurut orang lain/tren/mode/kapitalis.

Mengenai kepercayaan diri, saya kok beranggapan, disitulah esensi inner beauty berada. Menurut kalian?
Errr…kalau si empunya blog, masih sering dihinggapi sindrom minderan sih… 😆

NB Keterangan Foto:
Kalau tidak salah, arca Pradnya Paramitha…difoto oleh penulis di Museum Nasional.
Menarik, mengamati arca tersebut. Bisa disebut merepresentasikan kecantikan ideal pada masa tersebut.

Pilih Sinetron atau Si Bolang?

image

Cihuuyyy, jagat blogosphere rame lagiii :mrgreen:

Semenjak @nonadita posting opini dia tentang sinetron Putri Yang Ditukar, efeknya ternyata diluar dugaan. Banyak postingan yang merespon tulisan @nonadita tersebut, bahkan @PakGuru yang setahu saya lagi anteng-antengnya, jadi terusik untuk ikut menuliskan opininya juga.

Saya sendiri sih, sejak lama berdiri dipihak yang anti sinetron. Kalau saya menghakimi bahwa sinetron itu ‘busuk, sampah’ dll, itu karena mudharat sinetron lebih banyak daripada manfaatnya. Hihihi, pilihan kata barusan pasti akan membuat panas pihak-pihak yang pro sinetron atau mereka yang memposisikan oposisi anti sinetron tanpa perlu menjadi fans sinetron.

Begini lho. Sikap saya itu didasari beberapa alasan, ples didukung latar belakang ilmu psikologi yang saya pelajari.

Alasan pertama, menonton sinetron untuk tujuan hiburan, kalau kita main ibarat, maka nonton untuk makanan rohani/mental/jiwa. Seperti ungkapan blogger siapa, yang mengibaratkan bahwa sinetron seperti makanan instan macam mie instan. Maka saya juga bisa memandang, tayangan-tayangan ditelevisi layaknya santapan yang bersifat psikologis.

Pertanyaan: apakah anda akan terus menerus memberi makan jiwa/rohani anda dengan tayangan seperti sinetron?
Orang nonton berita saja bisa berakibat negatif untuk jiwa, seperti jadi marah, depresi, dll. Apalagi sinetron yang lebih memfokuskan konflik tak berkesudahan, cara berpikir yang instan untuk mengatasi konflik, dll. Memang, ada yang membela bahwa sinetron juga memuat nilai ‘kebajikan selalu menang melawan kebatilan’, tapi fokusnya apakah benar itu?

Yang saya lihat malah ‘Cinderella Effect’. Tokoh utama digambarkan selalu pasrah, tak punya determinasi kuat, resilience rendah, achievement juga tak jelas, sikap dan komunikasi asertif apalagi. Yang ada malah, menunggu ditolong pihak lain, alih-alih asertif malah bersikap ala keset-nya 7 Habits.
Manusia Indonesia, secara umum banyak digerakkan oleh motivasi eksternal. Karena itu bisa dipahami, bahkan untuk sadar lalu lintas harus dipaksa lewat hukum/punishment, jarang sekali yang muncul karena kesadaran sendiri alias motivasi internal.

Nilai-nilai seperti inikah yang akan menjadi konsumsi anda?

Alasan kedua. Saya mempunyai pilihan. Sebagai manusia dengan kehendak bebas, saya bebas memilih. Selain sinetron, masih banyak kok alternatif tontonan yang lebih baik sebagai makanan jiwa. Saya tidak langganan tv kabel, jika anda menduga pilihan saya adalah channel NatGeo, Discovery Channel, atau HBO. Alternatif saya ya tv nasional dan tv lokal. Dan percayalah, selain sinetron masih banyak tayangan lain yang lebih bagus untuk jiwa. Mungkin yang penonton tv perlukan adalah tv guide (bukan rating, tapi ulasan atau review) dan promosi.

Misal di trans7 dari jam 12.30 – 17.00 full tayangan edutainment keluarga. Dari Si Bolang, Laptop si Unyil, Cita-citaku, Koki Cilik, Dunia Fauna, Jejak Petualang, Kisah Si Gundul, dll.
Kalau jam 9.30 – 12.30, bisa stel channel trans7, transTV, antv, global, metro, sila ganti-ganti. Dijamin tanpa sinetron dan full edutainment. Dari pengetahuan untuk anak, informasi kesehatan, keluarga, perempuan, hingga kuliner dan jalan-jalan.

Nah untuk jam prime time 18.00 – 21.00 memang lebih sedikit alternatif edutainment. Saya sendiri lebih memilih on the spot-nya trans7. Kadang antv menayangkan ripley’s believe it or not. Atau metrotv yang menayangkan feature. Atau kalau tidak, saya ganti ke channel tv lokal seperti rbtv, jogjatv, aditv, bahkan tvri. Tayangannya mulai dari kuliner lokal, jalan-jalan lokal, seni tradisional (jogja tv sering memutar folksong melayu hingga banyumasan), sampai talkshow.

Tetapi jam-jam segitu bukannya jam belajar ya? Saran saya sih, jika anak anda belajar, anda sebagai orang tua mencontohkan diri dengan mematikan tv dan melakukan kegiatan lain, misal membaca. Jadi anak-anak merasa orangtuanya bersikap konsisten, tidak sekadar jadi mandor perintah ini itu tapi sendirinya maunya cari hiburan.

Edutainment yang saya sebut diatas, menurut saya memuat lebih banyak nilai-nilai positif. Seperti cinta alam, lingkungan, dan binatang, persahabatan, menghargai perbedaan (si bolang dan unyil, setiap hari menampilkan anak-anak dari temanggung sampai kalimantan), wiraswasta (tayangan cita-citaku menampilkan potensi ekonomis dari hal-hal disekitar kita, seperti bebek, buah mengkudu, labu siam, dll), mengenal kekayaan & keragaman nusantara (bhinneka tunggal ika banget deh), dll.

Jadi saya merasa sayang kalau hanya saya saja yang belajar dan menikmati sendiri. Apalagi buat keluarga dan keponakan, untuk mereka, saya dorong mereka belajar nilai-nilai tersebut secara fun.

Alasan ketiga, sudah banyak penelitian tentang televisi dan acaranya dan dampaknya secara psikologis. Silakan dicari dijurnal juga, bahwa menonton bukanlah proses yang sederhana. Karena itu sebuah tontonan kekerasan bisa berdampak kepada penontonnya.

Jika saya ingin memberi jiwa saya, santapan yang menyehatkan, itu pilihan saya. Jika saya ingin orang-orang disekitar saya ikut merasakan santapan jiwa yang menyehatkan, demi kesehatan jiwanya, maka saya berupaya untuk memberi himbauan dan penjelasan, khususnya kepada anak-anak. Kalau untuk dewasa, pilihan ada ditangan masing-masing sih.

Seperti ibarat makanan. Kalau masih anak-anak, dididik dan dipilihkan makanan bernutrisi seperti sayuran segar, susu, dll. Kalau yang sudah dewasa, kalau sudah diingatkan bahaya kolestrol hipertensi dll tapi masih memilih lemak, makanan instan, rokok, dll ya terserah sih.

Terakhir, saya sebenarnya agak-agak gimana gitu dengan polemik sinetron ini. Ya tidak apa-apa sih, demi proses edukasi/mencerdaskan masyarakat *tsaaahhh*.
Tapi andai waktu rame-rame kasus ahmadiyah, temanggung, dll kekerasan karena dipicu perbedaan, kita sesama blogger bisa segempita ini untuk menaikkan awareness, khan gimana gitu.  🙂

Notes.
Kemarin Selasa, sempat berdiskusi dengan @hotradero dll ditwitter. Kesimpulan (sementara) saya, masih kuatnya dominasi sinetron sebagai pilihan hiburan keluarga, sepertinya karena banyak yang belum tahu ada alternatif lain. Karena itu seyogyanya, selain mengkritik juga sekaligus mempromosikan tontonan alternatif tersebut.

Selain itu, sudah agak lama saya mencari jika tayangan macam Si Bolang diproduksi dalam bentuk vcd. Jadi bisa ditonton kapan saja, dimana saja.
Semoga ada yang mendengar harapan saya dan syukur-syukur dikirimi gratisannya :mrgeen:

Note kedua, kalau mencermati komen-komennya, kok seperti ada kecenderungan, membenturkan dengan ‘aktivis socmed’. Ada yang menuduh socmed dan mereka yang kebetulan populer diranah socmed, dan mengoposisikan diri terhadap mereka.
Lhaaaa…mo cari musuh atau gimana?

Tidak Semua Yang Menikah itu Pemberani

image

Valentine 2011 ini mendapati dua kabar gembira. Pasutri yang dua-duanya teman, mengabari bahwa sang istri hamil anak pertama. Kedua, seorang teman mengabari bahwa akhir April, akan menikah dengan pria yang telah mendampinginya untuk beberapa waktu ini. Diantara banjir ucapan selamat, ‘quote’ dari mas @imanbrotoseno ini membuat saya berpikir dan melahirkan postingan ini.

Tepatnya yang dikatakan mas Iman adalah sebagai berikut:

Hanya orang orang luar biasa yg berani mengambil komitmen ke perkawinan

Menurut saya itu benar. Terutama bagi mereka yang menyadari betul makna perkawinan. Well, tidak semua orang yang memutuskan untuk menikah adalah orang yang luar biasa dan pemberani. Apalagi mereka yang memutuskan menikah karena alasan-alasan yang bagi saya kurang kuat. Seperti, untuk mengejar status, karena tekanan orang lain/lingkungannya, karena ‘harus’ (bagi saya, menikah itu bukan keharusan, tapi pilihan), dll.

Menikah adalah keputusan yang berimplikasi besar dalam hidup seseorang. Ketika seseorang menikah, dia tidak lagi sendiri, tapi bersama. Konsekwensinya, salah satunya adalah ego yang mungkin saling bertabrakan. Selain itu, kita mungkin akan berubah dalam menjalani proses pernikahan, seperti juga pasangan yang mungkin juga berubah. Jadi dalam kehidupan pernikahan, kita dituntut untuk selalu belajar dan mengenali pasangan. Mengerti. Memahami.

Kebahagiaan bukan tujuan dalam pernikahan. Jika ada yang beralasan menikah karena ingin bahagia, itu nonsense. Karena dalam pernikahan merupakan proses belajar yang tiada henti. Ketika dia merasa tidak bahagia, lalu apa? Berhenti? Lalu mengejar kebahagiaan yang lain lagi?

Itulah mengapa, saya setuju bahwa mereka yang memutuskan untuk menikah dengan penuh Kesadaran (sengaja dengan huruf kapital, karena tidak sekadar ‘sadar’ secara kognitif, tapi proses spiritual) maka saya menyebut mereka sebagai orang-orang pemberani. Saya salut. Kagum.

NOTED.
Mereka yang lelah untuk meneruskan proses pembelajaran, bukanlah individu gagal. Itu ‘hanya’ sebuah pilihan. Dan saya sangat yakin, pilihan itupun juga sebuah proses belajar. Hei, seperti tagline blog saya, hidup itu untuk belajar dan bercinta, bukan?

Jodoh tak Bisa Diduga, tapi Karakter Pasangan Anda Bisa Diduga

 

 

Kemarin menjenguk sahabat yang sedang tetirah di Jogja dalam rangka pengobatan. Nostalgia-nostalgia hingga mendapat kisah cinta terkait teman masa SMU.

Jadi waktu itu, dari ngobrol ngalor ngidul bernostalgia tentang masa SMU kuliah termasuk apdet kabar teman-teman lama. Ibu sahabat saya ikut nimbrung dan bercerita tentang senior jaman SMU, cowok. Dari cerita ibunda teman saya itu, baru tahu kalau si senior ini menikah dengan teman sekelas. Yang bikin saya surprise adalah karena kedua orang ini berasal dari dua dunia yang berbeda, alias waktu SMU sepertinya mereka gak pernah berhubungan.

Senior cowo ini cukup manis, dengan ciri-ciri fisik tinggi, putih, langsing, berkaca mata, imut, manis, pendiam. Mirip-mirip bintang Korea itu deh, tapi jangan ditanya yang mana, soale saya ndak apal. Sedangkan teman saya itu (sebut saja M) secara fisik, lebih pendek dari saya, agak gemuk, wajah bulat polos tanpa make up blas, rambut seleher tanpa ditata macam-macam, penampilan sangat bersahaja. Tergolong murid pintar, tekun, dan lempeng. Bukan termasuk golongan populer, blas, bahkan dia masih kalah terkenal dengan teman sekelas yang juga termasuk geek.

Nah, kata ibunda sahabat, si senior ini naksir M sudah sejak lama tapi katanya mo pedekate sama doi susah sekali. Hingga suatu saat jauh setelah masa SMU, mereka bertemu di pesta kawinan, dan dalam waktu tiga bulan mereka menikah. Kata ibunda sahabat, si M ini miriiiiipppp baaaangeeet dengan mertua perempuannya. Malah katanya lagi, M  lebih pas jadi anak mertuanya daripada ibu kandungnya. Karena M dan ibu kandungnhya secara fisik dan penampilan berbeda. Si ibu gaul dan modis, lain dengan putrinya yang sangat bersahaja.

Dari uraian diatas bukan bermaksud gimana-gimana/mendiskreditkan fisik. Okay jujur saya masih surprise, jodoh memang tak bisa diduga (bagi yang percaya adanya jodoh lho). Jodoh bisa datang dari lingkaran yang ‘jauh’ dari kita, tak terduga. Andai saya di posisi si M, mungkin heran. Bagaimana tidak, bukan siapa-siapa masa SMU alias tidak popular blas. Secara fisik merasa tidak istimewa. Tetapi dia yang ganteng bak bintang film Korea, ternyata menaruh hati sudah sejak lama. Apa yang dia lihat dari saya dan membuatnya tertarik?

 

Dari sini, timbul pikiran iseng saya. Menyimak kembali cerita ibunda sahabat jadi kepikiran. Mertua si senior ini mirip benar dengan menantunya. Jangan-jangan si senior ini tertarik dengan M karena faktor kemiripan tsb. Lantas, apa artinya kalau seorang anak lelaki mencari pasangan yang mirip dengan ibunya?

Ada banyak kemungkinan. Mungkin ia sangat memuja/mengagumi ibunya tapi mungkin juga ia anak mami. Waktu saya lempar pertanyaan tersebut ke twitter, ada beberapa respon. Mulai dari mothercompleks, Oedipus complex,  hingga haram dalam pandangan agama.

Well? Postingan ini hanya intermeso, tidak usah dianggap serius. Tapi kalau hendak berbagi, silakan saja 😀

Hore, Saya Diet dan Sukses!

Judulnya seperti menawarkan produk MLM ya? 😕

😆

Berat badan selalu menjadi topik sensitif dikalangan perempuan, apalagi buat mereka yg merasa gemuk. Saya sendiri sebenarnya ga bermasalah dengan berat badan, tapi bermasalah dengan lemak berlebih didaerah 3P, perut, paha, pinggang, hehehe.

Gara-garanya membaca artikel dimajalah Prevention edisi bulan Juli. Disebutkan disitu, dalam dua minggu lemak diperut dan daerah bandel lainnya akan susut dalam 2 minggu dengan mengikuti diet south beach. Setelah membaca lebih lanjut, diklaim bahwa diet tersebut juga dapat menurunkan berat badan 4-6kg dalam 2 minggu. Penasaran dan skeptik, saya mulai gugling tentang apa itu south beach diet.

Setelah membaca beberapa situs tentang apa itu south beach diet, secara impulsif saya memutuskan menjalani diet tersebut. Motivasi awal untuk membuktikan, apa bener dalam 2 minggu bisa turun sampai 6 kg. Yang kedua, boleh deh menurunkan berat badan sedikit, kembali ke masa-masa 10 tahun lalu, melangsingkan perut buncit dan paha gebug maling, hahaha.

Jadilah selama 2 minggu saya pantang untuk menyantap daftar makanan yg termasuk larangan dalam south beach diet fase I. Saya ‘terpaksa’ memasak sendiri makanan saya, termasuk mengurangi keinginan/kebiasaan nongkrong di kafe. Itupun saya pun masih melakukan dosa-dosa yang dilarang Yang Mulia dr. Agatston, pencipta diet jenis ini. Dosa-dosa kecil itu misal, makan gorengan tahu-tempe (tapi gorengan masakan rumah kok, dan saya tahu bahwa minyaknya bagus, ga kilong-kilong yang berminyak banget) (halah pembenaran) 😆 , beberapa suap karbohidrat larangan spt nasi putih, roti tawar gandum, secuil puthu, sekerat roti, crackers. Juga buah pisang dan apel sebagai P3K ketika tidak ada avocado dan sayuran+daging/telur untuk dimakan (padahal buah masih dilarang).

Larangan lain selain lemak, karbohidrat terutama karbohidrat jahat, adalah gula, itu harom semua. Jadi mendadak saya punya kebiasaan baru kalo ke kafe, pesen teh tanpa gula sama sekali. Padahal dari balita, sumpah, saya ga doyan teh.

Yang saya santap selama dua minggu itu, sayuran berbagai jenis, daging tanpa lemak (dada ayam tanpa kulit & lemak, daging tanpa lemak, ikan) dan sumber protein nabati seperti tahu tempe. Sayuran itu selain dimasak ala tumis, gado-gado, pecel, atau sayur bening (walau kata dr. Tan penganut raw food sejati, sayur yang dimasak itu sia-sia, sampah, cuma dapet serat ga ada enzim). Atau kalo lagi males, sayuran mentah aja a la lalapan.

Untuk sumber protein hewani maupun nabati, bisa dimasak panggang oven, kukus, sop, atau campuran tumis. Dan satu lagi, telur. Ya, saya malah bebas makan telur.  Puji Tuhan, telur ini sungguh bermanfaat sekali bagi yang sedang diet, lapar, ga ada yang bisa dimakan (yang diperbolehkan) karena cara masaknya sungguh gampang. Tinggal bikin scramble egg dengan minyak zaitun/rice bran oil atau direbus. Untuk lebih jelasnya panduan tahapan south beach diet seperti apa bisa klik, disini.

Selain itu, karena kesibukan dan *agak malas ngegym* maka untuk olahraga saya usahakan untuk lebih aktif bergerak dimana saja. Entah jalan kaki, bersih-bersih rumah, nyikat kamar mandi. Pokoknya bergerak terus, sesuai fitrah kita.  Memang kurang sempurna sih, karena disarankan untuk melakukan workout seperti yang sudah diprogramkan dimajalah.

Setelah dua minggu, tepatnya Sabtu 17 Juli 2010, saya menimbang berat badan. Wow, saya cukup terkesima dengan hasilnya. Jika sebelumnya, berat badan saya ditimbang sekitar 52-54 kg (tergantung timbangannya hihi) pada saat ditimbang itu berat badan saya 47,5 kg! Wow, kembali ke masa SMU!

Selesai dari acara penimbangan itu, saya merenung mengenai apa yang saya lakukan selama dua minggu ini. Ada beberapa hal yang menjadi refleksi saya:

  1. Salah kaprah dalam diet: tujuan utama adalah ingin kurus/berat badan turun. Salah! Yang benar adalah untuk menjadi sehat dengan merubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Berat badan turun/menjadi langsing adalah bonus.
  2. Yang paling berat dalam diet adalah mengendalikan keinginan. Lapar selalu bisa dihandle. Tetapi yang namanya pengen, mungkin saja muncul pada saat kondisi kenyang. Apalagi yang kita diinginkan (gula, makanan berlemak, etc) belum tentu dibutuhkan tubuh. Jadi diet adalah tentang mengendalikan keinginan, bukan mengurangi porsi/puasa(*).
  3. Tentang mengendalikan keinginan. Walau ada idiom; what your resist, persist, tetapi dalam pengendalian keinginan ini tidak berarti me-resist keinginan kita. Resist dalam arti menolak, menahan, menahan, melawan. Itu mirip-mirip dengan denial, menyangkal. Pengendalian keinginan lebih seperti menyadari bahwa keinginan itu ada, tetapi tidak dituruti.

Ngaku aja memang ada keinginan untuk menyantap yang manis-manis, berlemak, etc, ngiler to de max terhadap cake, pie, pancake, donat, etc tapi tidak dituruti. Kalau dituruti tapi tahu porsinya yg cukup, misal cukup segigit saja. Pertanyaannya  when enough is enough?

Karena pengalaman terakhir saya, ketika diet fase I berakhir, pas saya melihat ada kue bolen Kartika Sari. Saya mengijinkan diri saya untuk menyantap satu. Tetapi habis satu biji, masih ingin lagi. Saya turuti lagi, jadilah makan dua. Eh ternyata saya jadi lapar mata, jadi pingin bolen lagi, pengen roti-roti manis dll. Aduuuh kenapa rasa ‘lapar’ saya malah makin menjadi kalau keinginan saya turuti ya? 😛

Ternyata pengalaman dua minggu kemaren tidak sebatas pengalaman fisik saja, tapi juga menyentuh ke aspek rohani *halah*. Tapi beneran loh. Maksudnya, karena poin nomer dua diatas jadi mikir, sepertinya kita memang perlu diet disegala bidang. Misal diet belanja. Nah ini, kelaparan akan shopping ini nyaris ndak ada kata kenyang. Selalu ingin lagi, lagi, lagi, lagi…

Juga diet bicara. Seringkali kita bicara terlalu banyak bicara, saking banyaknya sampai hal-hal yg ga perlu dibicarakan, bicara juga. Saking banyaknya berbicara sampai organ telinga jadi jarang dilatih intensif untuk mendengar.

Hehe, itu contoh saja sih. Refleksi atas diri sendiri.

Pada intinya, diet (yang benar) itu baik. Tidak usahlah orang yang sedang diet dipandang sebelah mata. Pengen sehat kok dilecehkan. Apalagi memandang super heran melihat piring makan berisi daun kenikir, kemangi, dan bayam mentah. Biasa aja tho, orang pengen sehat saja gitu lowh.

PS. Ada keuntungan lain dengan saya menjalankan diet south beach ini. Awalnya saya merasa ini diet mahal, krn untuk fase I, bahkan buah untuk cemilan saja ga boleh. Untuk memenuhi makan 6 kali sehari, menunya antara sayur dan dedagingan, telur, aduh itu mahal nek. Tetapi ternyata dalam prakteknya, saya malah lebih irit. Kenapa? Karena saya otomatis jadi ngerem keinginan untuk kekafe menikmati berbagai dessert, diganti dengan menyantap berbagai cemilan sehat (termasuk salad dengan dressing yg lebih sehat). Dan kalau memang butuh ketemu di kafe, saya cukup pesan teh tanpa gula 😆

Btw, kalau ingin berdiet apapun itu, saya sarankan untuk benar-benar mencari info lebih lanjut. Lebih baik lagi jika sambil berkonsultasi dengan ahli gizi dan atau dokter ahli.

(*) sebentar lagi ramadhan menjelang. Banyak disekitar kita, orang pada saat bulan puasa bukannya makin langsing tapi malah menggembil. Tanya kenapa? Karena tidak bisa mengendalikan keinginan! 😆

Yakin, Pengen Punya Suami Seperti Habibie?

Semua gara-gara twitter. Eh maksudnya begini. Semalam, berbarengan dengan acara Mata Najwa yang memutar ulang kisah cinta Habibie-Ainun Habibie, timeline lumayan rame dengan komentar mereka-mereka (umumnya perempuan) yang terharu. Para komentator ini komennya mirip-mirip, pada intinya mereka ingin mempunyai kisah cinta yang abadi sampai kakek nenek, dicintai hingga masa tua tiba, bahkan ketika maut memisahkan rasa cinta itu tak pudar. Bahkan tak sedikit perempuan yang berkhayal (?) ingin punya suami seperti Habibie.

Saya yang tidak menonton tapi cukup membaca timeline, jadi bertanya-tanya. Satu, ingin punya suami seperti Habibie itu yang gimana? Wajah/fisiknya mirip, pinternya yang seperti Habibie, kekayaan seperti Habibie, atau dicintai seperti Habibie mencintai istrinya Ainun? Kedua, tak habis pikir dengan mereka-mereka yang sepertinya terbuai oleh kisah cinta itu. Tidakkah terpikirkan prosesnya sehingga pernikahan itu bisa awet hingga kakek nenek? It takes two to tango, Ladies!! Anda, perempuan, tidak bisa mengharapkan suatu hubungan akan awet sampai 50 tahun kedepan, dan hanya pihak pria saja yang bekerja keras untuk mencintai Anda. Non sense!!!

Jadi geli saja sih, kalau yang dipikirkan untuk membentuk mahligai kisah cinta yang abadi seperti yang dilihat adalah suami yang mau mencintai hingga 60 tahun kedepan. Lha diri sendiri ngapain dong? Again, it takes two to tango!!! Apalagi, belum tentu dibalik layar kisahnya seperti apa yang terlihat. Mata itu menipu, Ladies. Mata itu menipu karena dia tidak melihat yang tidak bisa dilihat.

Jadi maunya suami seperti Habibie yang mencintai sampai maut tiba? Jadi maunya dicintai tanpa putus? Oh, gimme a break, Ladies.

Biarkan saya berbagi pengalaman saja. Saya pernah berada dalam kondisi dicintai tetapi tidak mencintai. Apakah saya senang? Sepertinya ya, karena saya mendapatkan -katakanlah- pengawal pribadi, psikolog, supir, etc etc. Tetapi apakah saya bahagia? Ternyata tidak. Lama-lama saya merasa hampa, tidak merasakan apa-apa dari hubungan yang dijalani. Hanya sebatas kesenangan semu.

Tentu saja saya pernah mencintai. Dan benar adanya, ungkapan yang pernah saya baca di buku tentang sufisme, bahwa kebahagiaan itu ada pada mereka yang mencintai. Biarpun Gibran berkata, bahwa cinta seperti sayap dan dibaliknya terdapat pedang-pedang tajam yang siap melukaimu ketika sayap tersebut merengkuhmu, tetapi darah yang mengalir sangat berharga. Itu darah kebahagiaan, Jendral. Call me lebay. But thats true.

Ketika saya mencintai seseorang, saya cenderung akan berusaha membuat dia bahagia. Dan my ultimate happiness is, i’m happy when he’s happy. Although he doesnt love me. I’ve been there, i’ve been done that. Hancur mengetahui cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan. Tetapi jika diingat-ingat lagi bagaimana saya mau melakukan apa saja untuk membuat dia bahagia, nyaman, tercukupi kebutuhannya, saya bahagia. Perasaan yang lebih dari sekedar emosi, perasaan yang sangat dalam.

Dicintai itu hanya memberikan rasa aman. Mencintai, akan membuatmu menjadi manusia seutuhnya.

Dan untuk sebuah kisah cinta yang langgeng, dibutuhkan kerja keras dari semua pihak yang mencintai. Give and give. Termasuk mencintai segala kekurangannya dan tidak banyak menuntut. Can i? Can you?

Mumpung Jomblo, Pergilah Lihat Dunia Seluasnya, Selebarnya

Sungguh. Seriusan. Beneran.

Alasannya, saya mengamati; mereka-mereka yang bertemu lebih banyak orang, sering berjumpa dan berinteraksi dengan orang baru, bergaul dengan berbagai kalangan, sering berada di tempat-tempat baru, biasanya wawasannya lebih luas dan pemikirannya lebih terbuka. Memang hasil amatan saya tidak 100% bersifat absolut, selalu ada pengecualian.

Selain itu, dunia ini terlalu sayang jika tidak dieksplorasi. Menyenangkan sungguh, bisa bepergian ke berbagai tempat, berpetualang, tidak melulu di mall. Bertemu (apalagi jika sampai berinteraksi) dengan kebudayaan dan kebiasaan yang sungguh berbeda dengan kita. Menemukan kebesaran Tuhan dimana-mana. Mengalami sendiri tentu sejuta kali berbeda daripada hanya menyaksikan lewat televisi atau membaca saja.

Tetapi selalu ada beberapa situasi khusus yang membuat kita tidak bisa leluasa menuntaskan hasrat petualangan kita. Berpasangan adalah salah satunya. Berkaitan dengan ini, beberapa bulan lalu sewaktu berada di luar kota nan jauh dimato, saya menemukan pencerahan.

Jadi ceritanya, saya dan teman saya, mewakili Cahandong, diundang ke Padang oleh Oxfam. Teman saya si Alle mengajak untuk extend, mumpung di Padang sekalian ke Bukittinggi. Saya antusias dengan ide tersebut, untuk itu saya ijin dulu kepada Kangmas. Ternyata sesuatu dan lain hal membuat saya berubah pikiran dan membatalkan rencana extend ke Bukittinggi.

Pada saat mengambil keputusan tersebut, saya termangu, seperti inikah situasinya jika saya telah menikah dan berkeluarga nanti? Tidak lagi sebebas masa lajang, karena tentu saja ada prioritas-prioritas lain yang musti didahulukan. Saya yang sangat memuja kebebasan, mendadak tersadar. Dan seiring kesadaran itu datang, rasa ikhlas itu muncul.

Prioritas seseorang dapat berubah-ubah, sesuai dengan situasinya. Kondisi masyarakat (yang cenderung patriarkhal) dan konstruk sosial turut berpengaruh. Mau tidak mau musti menyadari bahwa ketika perempuan  sudah berpasangan, apalagi menikah, maka prioritasnya berubah tak lagi dirinya menjadi nomer satu. Situasi seperti ini kadang (atau sering?) membuat perasaan tidak puas itu muncul. Akibatnya bisa fatal, status bisa menjadi kambing hitam atas ketidakbahagiaan.

Saran saya, buang jauh-jauh rasa penyesalan itu. Kuncinya ada pada kesadaran. Seperti ketika saya yang dengan sadar 100% memilih untuk membatalkan ke Bukittinggi demi orang lain. Saya sadar, that i choosed him over myself. Dats my happiness. The happiness of being together.

Being single is fun. Thats so true. Karena itu, saya menghimbau teman-teman yang masih single, untuk buru-buru melihat dunia, seluas-luasnya, selebar-lebarnya. Mumpung. Serius nih.

Soal bahagia, bahagia itu keputusan kok. Pilihan. Sekarang, detik ini juga, saya bisa memutuskan untuk bahagia. Soal kebebasan, hmmm… Seperti yang saya utarakan diatas, prioritasnya mungkin sudah waktunya direvisi. Kebersamaan, mungkin menjadi urutan awal dari daftar prioritas. Dan kuncinya, sekali lagi adalah kesadaran.

Notes.

Soal kesadaran ini, seperti dalam tulisan saya yang ini, dalam memilih dan membuat keputusan ada baiknya karena memang sesuai dengan kata hati. Bukan karena kata orang-orang. Termasuk postingan ini sekalipun.

Oia, endingnya, saya ternyata jadi berangkat ke Bukittinggi. Jadi tips lain kalo memang doyan berpetualang, sebisa mungkin cari pasangan yang memahami kegemaran akan jalan-jalan. Apalagi kalau doyan jalan-jalan bareng. Kesasar berdua? Malah jadi anugerah!! LOL

Di Balik Keindahan Payudara

Guys, para lelaki pemuja keindahan perempuan. Pasti setuju kan, kalau payudara adalah ‘aset’ perempuan yang selalu mengundang rasa ingin tahu sekaligus kekaguman.

Guys, saya jadi ingin tahu nih. Andai pasangan didiagnosa harus menjalani mastektomi (operasi pengangkatan payudara) karena kanker, bagaimana perasaan Anda? Bagaimana perasaan Anda terhadap pasangan, jika melihat payudara indah milik pasangan tak lagi ada di sana?

PS. Girls, mari kita menjaga kesehatan sendiri. Tidak saja demi kecantikan tetapi juga demi kita sendiri. Dan andai kehendakNya berbeda dengan yang kita inginkan, you’re not alone. 🙂