oleh-oleh dari bandung (pt.one) : antara menikah beda agama dan pilkadal (apdet)

Selama beberapa hari kemarin, gw dan keluarga dengan kendaraan pribadi pergi ke Bandung. Postingan ini antara semi curhat tapi juga semi serius (maksudnya curhat serius, hehehe), karena terdapat beberapa poin menarik hasil dari perjalanan kemaren. Ya anggep aja, oleh-oleh dari Bandung lah, hehehe.

 Niat utama sebenarnya untuk silaturahmi. Teman dekat Bapak, lagi punya gawe mantu dan pestanya diadakan di Bandung. Yang menarik, cerita di balik pesta pernikahan ini, karena pasangan pengantennya adalah pasangan beda agama. Beberapa hari sebelum berangkat, sempet ‘mencuri’ dengar, bahwa pihak pengantin pria kemungkinan akan menikah tanpa dihadiri pihak keluarga, karena dicurigai pindah agama. Lha ya jelas saja, karena di undangan sangat bernuansa islami sedangkan dari nama pengantennya, sudah menimbulkan dugaan yang sangat kuat bahwa salah satu penganten berbeda agama.

 Sudah begitu, antara Bapak dan teman Bapak ini, sempat timbul suasana tidak enak. Teman Bapak mencurigai adanya ‘islamisasi’. Yah, gw maklum banget lah dan juga sangat memahami keadaannya. Akhirnya Bapak memutuskan untuk pergi ke Bandung, untuk mendampingi putra temen Bapak ini.

 Gw, demi mengetahui cerita ini, campur-campur perasaan gw. Satu, setelah membaca undangan pernikahan. Terbersit cahaya harapan tetapi sekaligus kecemasan. Kedua, membayangkan, jika yang terjadi nanti di Bandung adalah kondisi yang terburuk : penganten pria menikah tanpa didampingi siapapun dari pihak keluarga. Hati gw sempet hancur dan sedih, demi membayangkan hal tersebut. Terbayang jika hal tersebut menimpa gw.

Baca lebih lanjut

perkawinan beda agama pt.three : hasil dari kumpul-kumpul itu…..

* posting berikut lagi-lagi saya copy tak beradab dari milis*

*semoga dapat dinikmati*

*hiks, pengen dateng, secara dapet problema yg sama……*

*tp terimakasih kpd mbak stella dan mas wahyu yg mau repot2 merangkumkan hasil kopdar kemaren*

 Catatan Hasil Pertemuan Milis Kawincampur Ke-3

Sabtu, 15 Desember 2007 (14.00-17.30)

Restoran Omah Sendok, Jakarta

Pertemuan dihadiri oleh 31 orang, termasuk narasumber yaitu Prof. Dr. Kautsar Azhari dan Ilma beserta Farid dari ICRP.

Perkenalan dan pembukaan

Acara dibuka oleh saya dengan menjelaskan secara singkat awal terbentuknya milis Kawincampur. Lia Marpaung melanjutkan dengan menceritakan bahwa ia pernah diundang oleh GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) untuk menceritakan tentang pernikahan beda agama di hadapan anggota majelis gereja dan para penatua. Hal ini digunakan Lia sebagai kesempatan untuk menunjukkan pada gereja bahwa pernikahan beda agama ada di sekitar kita dan gereja tidak bisa menutup mata mengenai ini dan lari dari tanggungjawab untuk merangkut anggota jemaatnya yang menghadapi hal ini. Lalu Adi Abidin melanjutkan acara sebagai moderator.

Dalam perkenalan, masing-masing menjelaskan mengapa berminat mengikuti pertemuan dan apa yang diharapkan. Banyak peserta yang masih bergulat dengan persoalan teknis penikahan beda agama dan perihal meyakinkan orangtua dan mendapatkan persetujuan mereka. Isak (Protestan) dan Ninil (Islam) yang sedang memulai persiapan untuk menikah mengakui bahwa sampai saat terakhir mereka menghadap orangtua tanggapan mereka masih sama, yaitu tidak menyetujui.

Meyakinkan diri sendiri

Evi (Katolik) dan Tom (Islam) mengatakan bahwa sebelum menghadap keluarga masing-masing harus memantapkan diri sendiri dulu. “Yang paling utama adalah, ego harus ditekan,” ungkap Tom. Dia menambahkan bahwa menikah beda agama benar-benar dituntut banyak dan diharapkan toleransi yang besar. Hal ini semakin dirasakan saat menjalani pernikahan itu sendiri. Kita tidak boleh memaksakan pasangan berpindah ke agama kita, malah kita harus mengingatkan soal ibadah jika pasangan lupa. Pernikahan Evi dan Tom dilakukan secara Katolik (tanpa sakramen) dan Islam. Memang diakui mereka bahwa perjuangan untuk meyakinkan keluarga besar membutuhkan proses yang panjang, demikian juga meyakinkan para sahabat yang sempat menentang.

Mengenai meyakinkan diri masing-masing juga disampaikan oleh Ari Perdana (Islam) dan Juli (Katolik). “Setelah meyakinkan diri akan lebih mudah menjelaskan kepada keluarga,” papar Ari. Hal selanjutnya yang harus dipikirkan memang adalah cara apa yang mau dijalankan dalam prosesi pernikahan. Menggunakan tata cara agama salah seorangkah atau keduanya, siapa yang harus didatangi dan bisa membantu, dan urusan administrasi lainnya. Semuanya ini harus dibicarakan berdua.

Ina, Yelce dan Indah, juga beberapa teman perempuan lainnya yang beragama Islam melihat bahwa jika perempuan Islam harus menikah beda agama menghadapi persoalan yang lebih besar karena masih banyak yang menganggap hal ini tidak memungkinkan karena terkait dengan tafsir Al-Qur’an.

ICRP

Ilma (ICRP) melanjutkan dengan menjelaskan apa sebenarnya misi ICRP dan mengapa mereka masuk ke persoalan pernikahan beda agama. ICRP (lihat http://www.icrp-online.org/) memfokuskan diri pada advokasi hak-hak sipil masyarakat, dan pernikahan termasuk hal sipil yang harus diadvokasi. Sampai saat ini ICRP sudah memfasilitasi pernikahan 52 pasangan beda agama. ICRP tidak hanya berhenti pada sebatas urusan prosedural pernikahan, tapi juga konseling pra nikah dan konseling selama pernikahan, dan berbagai urusan terkait di dalamnya, misalnya tentang agama anak pasangan beda agama misalnya.

Setelah masing-masing memperkenalkan diri dan menyampaikan cerita singkat berikut pertanyaan yang masih mengganggu pikiran mereka, lalu Prof. Kautsar menyambung dengan tanggapannya.

Teologis dan Teknis

Prof. Kautsar menjelaskan bahwa hal pernikahan beda agama masih sangat sensitif di Indonesia. Ia dipecat oleh Paramadina karena isu sensitif ini. Sebenarnya Paramadina pernah menerbitkan buku “Fiqh Lintas Agama” (Prof. Kautsar termasuk salah satu penulisnya) yang mengupas persoalan lebih besar tentang hubungan beda agama. Ada misalnya pembahasan mengenai bagaimana jika orang Islam datang ke acara perayaan Natal, tentang pengucapan salam, dan lain-lain. Tapi memang topik yang paling banyak disorot adalah tentang penikahan beda agama.

Dua persoalan yaitu persoalan teologis dan persoalan teknis selalu muncul menurut Prof. Kautsar. Dalam persoalan teologis-religi hukumnya adalah: bisa atau tidak. Prof. Kautsar menegaskan bahwa jangan kita melakukan sesuatu yang berlawanan dengan hati nurani. “Jika merasa haram, jangan lakukan,” tegasnya. Persoalan teologis inilah yang harus diselesaikan dulu.

Persoalan teknis dan hukum biasanya bisa dicari jalan keluarnya asalakan keluarga sudah bisa menerima, demikian lanjut Prof. Kautsar. ICRP tidak berani memfasilitasi pernikahan pasangan yang orangtuanya belum merestui. Hal ini disebabkan karena kekhawatiran menghadapi tuntutan keluarga dan juga pernah mengalami serangan dari keluarga yang tidak setuju pada saat ICRP sedang memfasilitasi suatu prosesi pernikahan.

Mendapatkan persetujuan orangtua

Membujuk orangtua diakui Prof. Kautsar sebagai tahap yang paling sulit. Tapi ICRP mau menjadi salah satu pihak yang ikut bicara pada pihak keluarga yang masih menentang. Bisa juga dicari anggota keluarga yang setuju, lalu dicari cara dan kesmepatan yang terbaik untuk membujuk. Harus dilakukan berbagai cara dan memang membutuhkan proses yang panjang untuk meyakinkan.

Pihak-pihak yang memfasilitasi, mendukung dan menjalani pernikahan beda agama memang harus sanggung menerima banyak sekali konsekuensi, termasuk ancaman.

Ada beberapa kelompok teologi. Teologi eksklusif yang tidak menganggap agama lain benar bahkan menganggap penganut agama lain adalah kafir; Teologi Inklusif mengakui bahwa semua agama ada kebenaran tapi kebenaran ada pada agamanya saja; Teologi Pluralisme mengakui teologi berbeda, ritual berbeda tapi tujuannya sama yaitu mencapai keselamatan. Sayangnya Teologi Pluralisme masih sulit diterima. Orang lebih mementingkan identitas dan rela berkonflik karena kulit identitas, bukan isi. Ini disebabkan oleh pemahaman teologis yang masih terkotak-kotak. Harusnya kebebasan agama menekankan bukan hanya bebas memluk Islam atau lainnya, tetapi juga bebas untuk menganut paham atau mazhab tertentu.

Syahadat di dalam akad

Mayo (Katolik) menanyakan jika ICRP memerlukan restu orangtua lalu bagaimana jika hal tersebut belum diperoleh. Dan apakah pengucapan kalimat syahadat diharuskan dalam prosesi akad nikah.

Prof. Kautsar mengatakan bahwa memang membujuk orangtua supaya mau berdiaolog memang tidak mungkin sekali atau dua kali, tapi harus terus-menerus. Hal ini penting supaya orangtua dan keluarga setidaknya mengerti tujuan pasangan dan walaupun mereka tidak mau hadir dan merestui tapi mau menandatangani surat setuju atas adanya pernikahan. Sedangkan pengucapan kalimat syahadat sendiri bukanlah rukun nikah. Syarat sah pernikahan Islam adalah: 1. Pasangan yang akan menikah, 2. Wali Nikah, 3. Para Saksi, 4. Mahar (Mas Kawin), dan 5. Ijab Kabul.  Jadi, tidak diperlukan pengucapan kalimat syahadat.

Stella (Protestan) menceritakan bahwa ayahlah yang berperan melembutkan hati ibu selama tujuh tahun agar mau merestui pernikahan saya dengan Wahyu (Islam). Di tahun ketiga sempat mencoba membuka pembicaraan tentang hubungan beda agama ini tetapi malah membuahkan pertengkaran besar dalam keluarga. Akhirnya memang hanya ayah yang berusaha terus membujuk ibu. Bahkan pada saat awal mengurus administrasi pernikahan hanya berkomunikasi dengan ayah, dan hanya beliau yang menandatangani surat-surat administrasi dan surat persetujuan orangtua. Syukurlah akhirnya seluruh keluarga hadir pada saat pemberkatan di gereja dan resepsi, sedangkan saat akad hanya ayah yang hadir. Memang dibutuhkan proses yang amat panjang, tapi harus bertekad maju dan siap.

Isak menanyakan kepada Lia apa yang memutuskan dia menikah beda agama. Lia (Protestan) mengatakan bahwa selama berpacaran dengan Adi (Islam), ia terus mengkaji ulang apakah dirinya siap atau tidak menghadapi pernikahan beda agama. Akhirnya melalui perenungan dan pengkajian itulah memutuskan siap, bahkan siap dikucilkan oleh keluarga. Adi menambahkan bahwa ia justru bersyukur menjalani pernikahan beda agama karena bisa mendalami kepercayaan sendiri lebih esensial.

Joseph (Katolik) dan Myrna (Islam) menanyakan mengenai penjelasan dalam undangan. Jika memakai dua cara, yang mana yang harus dicantumkan. Menurut Prof. Kautsar mengenai undangan bisa menjadi kesepakatan bersama. Bisa saja dalam undangan hanya dicantumkan tentang acara resepsi, sedangkan prosesi agama dibuat dalam kertas yang diselipkan pada undangan untuk orang yang setuju saja. Ada berbagai macam variasi cara untuk hal teknis ini, asal kesepakatan saja.

Moniq (Katolik) yang berpacaran dengan Salim (Islam) menanyakan tentang Muhammadiyah dan NU. Apakah Muhammadiyah memang lebih keras menentang pernikahan beda agama? Dijelaskan oleh Prof. Kautsar bahwa NU dan Muhammadiyah sama-sama beragam-ada yang keras dan ada yang tidak. Ada juga yang sebenarnya setuju tapi tidak mau menghadiri akad nikah karena dia pemuka agama/ masyarakat.

Ina melanjutkan pertanyaan tentang perempuan Muslim yang ingin menjalani pernikahan beda agama. Sudah enam tahun berpacaran dengan seorang Protestan Advent tapi masih sulit bicara dengan orangtua karena tidak mempunyai referensi yang mendukung pernikahan perempuan Muslim dengan laki-laki non Muslim.

Fiqh dan Mahzab

Prof. Kautsar menjelaskan dalam Islam ada berbagai fiqh dan mazhab. Ada yang mengharamkan secara total pernikahan orang Islam dengan agama/kepercayaan lain, berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Ada paham lain yang membolehkan tapi hanya membatasi laki-laki saja yang boleh asal dengan perempuan dari agama ahli kitab. Sedangkan ada pula yang membolehkan baik laki-laki maupun perempuan Muslim menikah dengan penganut ahli kitab, dan pengertian tentang ahli kitab diperluas dengan tidak hanya Yahudi dan Kristen saja tapi semua agama dan kepercayaan yang memiliki kitab dan percaya pada Tuhan. Ia menambahkan bahwa tidak ada larangan yang tegas tentang hal ini di Al-Qur’an. Semuanya tergantung tafsir yang mana. Aliran yang menyetujui pernikahan beda agama dalam Islam mau menerapkan prinsip non diskriminatif dan egalitarian, yaitu tidak ada diskriminasi terhadap non Muslim dan perempuan. Bahkan menurut Prof. Kautsar, perempuanpun bisa menjadi imam.

Ia menambahkan bahwa dalam penelitian salah seorang dosen UIN terhadap keluarga beda agama (kelompok atas-menengah-bawah) di Yogyakarta, didapatkan hasil yaitu secara sosiologis pemahaman fiqh lama yang menagtakan bahwa jika ayahnya non Muslim maka anak-anak cenderung ikut agama ayah tidak terbukti. Justru melalui penelitian ini menunjukkan anak-anak umumnya mengikut agama ibu jika sang ibu beragama Islam atau Katolik. Jadi tidak ada alasan yang kuat untuk mengkhawatirkan jika seorang perempuan Muslim menikah dengan pria non Muslim maka anak-anaknya juga menjadi non Muslim. Justru pihak perempuanlah (ibu) umumnya yang lebih berperan dalam agama sang anak.

Prof. Kautsar menambahkan dalam perjalanan pernikahan pasangan beda agama biasanya keluarga besar, terutama mertua biasanya tetap (baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan) berharap menantu mengikuti agama anaknya. Mereka juga biasanya ingin berperan dalam menentukan agama cucu mereka. Hal-hal seperti inilah yang harus diantisipasi. Lebih baik pasangan bersepakat juga dalam menghadapi kondisi seperti ini dan sepakat mengenai agama anak supaya tidak menjadi bibit konflik dalam keluarga.

Buku terbitan KOMNAS HAM

Wahyu kemudian menjelaskan ada buku terbitan Komnas HAM dan ICRP yang diedit oleh Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish berjudul “Pernikahan Beda Agama” yang berisi cerita-cerita pasangan beda agama dan isu-isu besar yang akan mengalami transformasi teologis. (Adi Abidin dan Lia Marpaung termasuk pasangan yang menjadi narasumber untuk buku ini).

Teknis-teknis

Ilma menjelaskan lebih lanjut tentang program konseling nikah beda agama yang dilaksanakan oleh ICRP. Ada tiga pendekatan yang dijalankan oleh ICRP, yaitu: 1. Dialog dalam tatanan teologi (penguatan keagamaan masing-masing), 2. Sharing pengalaman (yang sudah dan akan menikah, yang sudah punya anak, dll), 3. Tatanan aksi (2 kali mengadakan acara halal bihalal dan 1 kali mengadakan aksi sosial). 

Teknis lain yang penting dalam pengurusan pernikahan adalah hal administrasi (melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan untuk catatan sipil dan surat dari ICRP, gereja dll). Hal lain yang utama dalam dokumen ini adalah surat persetujuan dari orangtua. Ilma juga menjelaskan bahwa hanya ada beberapa Kantor Catatan Sipil yang bersedia mencatatkan pernikahan beda agama. Jika mengalami kesulitan saat mengurus surat di Kantor Kelurahan bisa mengatakan bahwa akan melangsungkan pernikahan di luar kota dll.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan juga adalah pemilihan lokasi pernikahan. Karena ada saja tempat yang tidak mau dijadikan tempat untuk pernikahan beda agama. Dan harus dipastikan aman supaya tidak ada gangguan dari pihak-pihak yang tidak setuju. 

ICRP tidak melayani konseling via telepon karena memang lebih baik berdiskusi dengan bertemu langsung. Namun ICRP tetap akan membantu memfasilitasi pernikahan beda agama meskipun diadakan di luar Jakarta. Kantor ICRP: 021-42802349.

perkawinan beda agama -pt.two-

berikut adl kutipan wawancara dengan Ibu Siti Musdah Mulia, yang saya copy dari milis…… enjoy^^ 

Anda bergerak dalam bidang pendidikan. Bagaimanakah harus menjembatani keberagaman yang demikian jauh berbeda?

Persoalannya, di dalam pendidikan agama, pandangan-pandangan yang kritis, yang rasional, itu baru disajikan pada level atas. Biasanya pada level S2 atau S3. Padahal, berapa banyak orang yang bisa akses pendidikan itu?

Karena itu ketika rapat di Departemen Agama, saya mengatakan seharusnya pendidikan agama yang kritis itu dimulai sejak SMU. Tetapi banyak yang menyangkal, dengan mengatakan kalau di SMU itu pemahaman agamanya belum kuat. Mereka takut akan goyah.

Maksud saya, pendidikan agama tidak semata-mata dogmatis, doktriner. Saya maunya, dalam agama, yang dogmatis itu tidak banyak. Tetapi, political will kita masih sebegitu.

Ada banyak gangguan dalam keberagaman kita, yang membuat keharmonisan hidup dalam keberagaman tercederai belakangan ini?

Pengaruh reformasi ini membuat semua orang muncul. Termasuk kalangan ekstrem, dari agama apa pun, turut mengambil bagian dalam reformasi ini. Hanya sayangnya, mereka ternyata lebih vokal bersuara. Kelompok-kelompok moderat atau kelompok liberal ini, lebih memilih menggunakan cara-cara yang biasa dilakukan kalangan terdidik, menggunakan ajang diskusi, menggunakan pena untuk menulis.

Saya hanya ingin mengatakan, kita sebagai bangsa kok hanya mengurusi pornografi, bukan mengurusi persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa ini. Saya sungguh sedih sekali.

Maksudnya perlu terus-menerus disuarakan bahwa ada yang lebih penting yang dihadapi bangsa ini, selain daripada pornografi dan pornoaksi?

Ya. Saya langsung katakan kepada para ulama, apa fatwa ulama tentang trafiking (perdagangan manusia, menjadi pekerja seks), yang sekarang terjadi di mana-mana. Siapa pula yang membela migrant worker kita yang diperlakukan sangat tidak manusiawi? Kapan mereka pernah mengeluarkan fatwa berkaitan dengan itu?

Bagaimana pula caranya kita mencegah busung lapar, yang masih terjadi di mana-mana? Kalau saya ajak ngomong tentang hal itu, mereka cuma bengong-bengong saja. Saya katakan itu di hadapan ulama.

Persoalan Ahmadiyah, contohnya, bukan persoalan internal umat Islam, tetapi ini persoalan eksistensi bangsa ini sendiri. Apa kita memilih menjadi bangsa yang homogen, yang bersatu dari ujung ke ujung dengan seluruh pluralitas yang kita miliki?

Nanti akan ada banyak kelompok yang lain, dan ini potensi konflik di mana-mana.

Kalau kita ini terlalu sibuk dengan masalah-masalah internal, akhirnya kita tidak akan melakukan apa-apa. Saya tidak tahu. Ini perlu menjadi perenungan kita bersama.

Dengan kata lain, kita terlalu sibuk dengan urusan-urusan kecil, sementara di depan kita mengadang banyak masalah seperti bencana alam, flu burung, busung lapar, dan sebagainya?

Ya. Busung lapar itu, misalnya, ketika pada suatu saat saya turun ke lapangan, pejabat desa itu malah berada di Jakarta. Entah mengurus apa.

Bagaimana soal perjuangan perempuan?

Ya. Soal pembelaan kepada kaum perempuan, misalnya, saya sering mendapat caci-maki, dengan mengatakan saya telah kebablasan. Bagi saya, itu karena sejak kecil kita sudah dicekoki pandangan-pandangan yang mengatakan, apa yang sudah pada tempatnya itulah yang benar. Mereka tidak punya alternatif lain.

Nah, berkaitan dengan pandangan-pandangan baru ini, saya bersama kawan-kawan memang tidak berharap pandangan baru ini akan berlaku sekarang. Itu jauh. Tetapi, setidaknya, buat saya, mereka pernah mendengar pandangan yang berbeda. Itu saja. Karena untuk mengubah sekarang, tidak mungkin.

Bagaimana Anda menyosialisasikan pandangan-pandangan baru?

Sebagai staf pengajar, saya mengajar. Yang kedua saya menulis. Yang ketiga, saya menyosialisasikan melalui banyak diskusi, seminar.

Saya pikir memang perlu ada jembatan. Namun, siapa yang menjembatani? Ada banyak orang tidak pernah punya akses. Dalam penelitian saya, rata-rata kita beragama itu hanya karena pendengaran sendiri, tidak pernah menggali sendiri kebenaran dari sumber aslinya.

Saya sangat bersyukur pernah kuliah di Sastra Arab, mengerti bahasa Arab.

Bagaimana Anda memetakan perempuan Indonesia?

Gerakan perempuan Indonesia memang tidak bisa dimungkiri banyak kemajuan. Dalam pendidikan, contohnya. Semua lapangan kerja sudah bisa dimasuki perempuan. Cuma, persoalannya, akses itu terbatas oleh persoalan ekonomi dan patriarkhi yang dianut. Begitu menikah, mereka terjebak lagi.

Saya mengenal banyak aktivis yang sebelum menikah itu luar biasa karyanya, tetapi sesudah menikah terjebak pada pola patriarkhi. Makanya pemberdayaan perempuan itu harus dilakukan di semua lini. Bagaimana membuat masyarakat kita, laki-laki maupun Perempuan, menyadari hal itu. Keterlibatan perempuan pada semua sektor itu suatu keniscayaan. Karena membiarkan perempuan menjadi beban juga masalah besar masa ini.

Kalau saya menyosialisasikan masalah ini di depan bapak-bapak, biasanya saya balik bertanya, kalau perempuan itu tidak berdaya, akan jadi beban. Akankah selamanya kaum bapak sanggup memikul beban itu?

Perjuangan seperti itu tidak bisa dilakukan dengan paham-paham feminis yang menuntut. Karena akan terlebih dulu ada resistensi. Jadi, harus ada strategi.

Kalau seorang suami mencari nafkah sendiri, apakah di masa depan juga akan tetap bisa seperti itu dalam kondisi kehidupan yang semakin sulit? Masa yang akan datang, kita tak akan bisa hidup dengan hanya seorang pencari nafkah. Dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi, tidak bisa tidak, dua-duanya, suami-istri, harus mencari nafkah.

Kita sejak awal harus mendidik anak-anak dalam dunia realistik. Tidak laki-laki, tidak perempuan, keduanya harus bisa, karena keduanya harus berbagi peran. Itu tuntutan hidup di masa datang, suka tak suka kita harus menghadapinya.

Pernikahan beda agama adalah kenyataan yang tidak terbantahkan. Apa yang Anda lakukan bersama ICRP?

Di Jakarta saja, ada 500-700 pernikahan pasangan beda agama. Itu contohnya. Makanya, harus ada solusi. Angka itu kami peroleh dari institusi resmi seperti imigrasi dan lain-lain. Kecenderungannya meningkat. Nah, kenapa sih keinginan masyarakat untuk menikah beda agama itu tidak diredam dengan peraturan, apa pun.

Itu hak masing-masing orang. Dan, kita tidak bisa mengubah keyakinan seseorang.

Kami di ICRP, pertama kali akan meyakinkan, bahwa keputusan pandangan beda agama itu bukan emosi sementara. Kami memberi gambaran akan masa depan mereka. Kami mengingatkan masih akan ada kemungkinan konflik di masa datang, risiko yang harus dihadapi. Kami paparkan logika, pernikahan agama yang sama saja banyak konflik, apalagi yang berbeda agama. Menikah satu kewarganegaraan saja ada banyak masalah, apalagi pernikahan antarkewarganegaraan.

Semua kemungkinan buruk itu kami sampaikan dulu. Kalau memang yakin, pasangan itu akan datang lagi. Pada tahap itu, yang kami minta adalah persetujuan orangtua. Kami tidak mau kalau tak ada persetujuan orangtua. Kalau memang sudah yakin, akan kami panggilkan ulama, lalu kami menguruskan ke pengadilan untuk mendapatkan akta. Jadi secara hukum sah.

Namun, harap dicatat, kami tidak mempromosikan perkawinan beda agama. Kami ingin merespons persoalan-persoalan yang muncul, karena menyangkut pluralitas masyarakat itu sendiri. Ingat, kalau ada persoalan yang muncul, itu harusnya ada solusi.
PEWAWANCARA: SOTYATI
http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu=artikel&id=783

perkawinan beda agama -pt.one-

ide ini sudah agak lama, dari sejak ngeblog. tp krn idenya terlalu serius, saya jd nunda2 terus.  padahal topik ini menarik krn sensitifnya dan juga komplesitas masalahnya. hanya aja, dari hasil blogwalking, ternyata masih juarang yg ngulik. agak heran juga sih, krn biasanya topik2 agama laku keras di wordpress. ide mulai terbentuk sejak membaca postingannya om guh, bang aiptop, extremusmilitis, dan terakhir felix. lha gak nyangka aja, dr diskusi ttg natal bersama di rumah mas mbelgedez kok malah jd oot bgt. tp malah memacu saya utk ngetik. awalnya yg hanya pengen memperjelas masalah, yg dimaksud natal bersama itu apa, sekedar salah persepsi atau isu kristenisasi. eeeh dr sharing pengalaman kok malah membahas ttg PBA^^(sori buat yg belum dilink, mata saya udah pedezzzzz)

Postingan ini murni adalah kutipan yang saya copy secara tidak beradab dari buku Tafsir Ulang Perkawainan Lintas Agama : Perspektif Perempuan dan Pluralisme, yang diterbitkan oleh KAPAL Perempuan, Jakarta, tahun penerbitan 2004, editor Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga. Jika ada pertanyaan mengenai isi tulisan ini, saya selaku pemilik blog tidak dapat menjawabnya, saya hanya bisa menjawab pertanyaan yang menyangkut mengenai opini saya pribadi, mengenai apa yang saya rasakan dalam menjalani pacaran beda agama.

Sebenarnya sudah agak lama saya ingin posting mengenai topik yang cukup sensitif ini, baik dari sudut pandang pribadi yang lebih banyak bersifat curhat, dan beberapa tulisan dari para ahli yang pro mengenai PBA. Tujuan saya tidak lebih dari sekedar sharing, karena selama kurang lebih 2 tahun menjalani pacaran beda agama dan mulai berpikir ke arah yang lebih serius (perkawinan), ternyata banyak sekali suka duka yang saya alami dan saya tidak sendirian. Apalagi posisi saya sebagai perempuan, muslim, saya pribadi merasa sebagai pihak yang tidak berdaya. Misal, cap pezinah yang kelak akan disematkan ke jidat saya jika kelak saya menikah, sementara andai saya lelaki, cap tersebut tidak akan dialamatkan.

Betapa, secara personal, pedih yang saya alami, menerima penolakan dan kontra dari keluarga dan sahabat. Bahkan mungkin sekali, salah satu sahabat saya, satu genk sedari SMP, akan memperlakukan saya berbeda karena tidak setuju saya menikah beda agama. Betapa pedih hati saya sebagai perempuan, yang mungkin tidak saja kehilangan keluarga tapi juga sahabat.

Di sisi lain, secara personal juga, banyak sekali yang saya dapatkan dan belajar dengan menjalani pacaran beda agama. Mata saya (fisik dan batin) dibukakan untuk belajar menghormati, menghilangkan segala prasangka, dan hal-hal lain termasuk secara spiritual. Entah, setiap saya berdoa untuk dijauhkan darinya jika memang dia bukan untukku, ternyata ikatan yang terjalin di antara kami justru lebih erat, dan kami sama-sama merasakan, apa yang kami rasakan menjangkau hingga ke sisi spiritual kami.

Dari pengalaman pribadi tersebut, saya menjumpai banyak persinggungan dengan teman-teman senasib. Perempuan, muslim, yang juga mengalami dilema yang sama. Hanya saja, tidak semua seberuntung saya, dengan mendapatkan informasi yang mungkin dapat membuat mereka tidak lagi merasa terpojok.

Apa yang saya kutip berikut, sekali lagi adalah sebuah sharing, khususnya untuk teman-teman seperjuangan, bahwa ada pilihan lain yang kita miliki. Keputusan memang ada di tanganmu, tetapi alangkah mewahnya jika kita mempunyai lebih banyak pilihan.

Terimakasih saya ucapkan untuk Resyta dan Sauson Indriarso, teman seperjuangan, yang berkenan meminjamkan buku ini -sory, belum aku balikin, masih aku simpen hehehe-

Perjuangan agar perkawinan lintas agama tidak dipersoalkan masih membutuhkan waktu panjang, karena agama dan negara saling menjustifikasi untuk menolaknya. Padahal, dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia, bentuk perkawinan ini adalah sebuah keniscayaan. Oleh karenanya, diperlukan keberanian dan keterbukaan untuk menafsirkan kembali secara kritis dan kontekstual dogma dan hukum agama maupun kebijakan negara yang menolak perkawinan lintas agama. Perspektif perempuan dan pluralisme yang ditawarkan buku ini merupakan salah satu alternatifnya.

baca lebih lanjut…..