berikut adl kutipan wawancara dengan Ibu Siti Musdah Mulia, yang saya copy dari milis…… enjoy^^
Anda bergerak dalam bidang pendidikan. Bagaimanakah harus menjembatani keberagaman yang demikian jauh berbeda?
Persoalannya, di dalam pendidikan agama, pandangan-pandangan yang kritis, yang rasional, itu baru disajikan pada level atas. Biasanya pada level S2 atau S3. Padahal, berapa banyak orang yang bisa akses pendidikan itu?
Karena itu ketika rapat di Departemen Agama, saya mengatakan seharusnya pendidikan agama yang kritis itu dimulai sejak SMU. Tetapi banyak yang menyangkal, dengan mengatakan kalau di SMU itu pemahaman agamanya belum kuat. Mereka takut akan goyah.
Maksud saya, pendidikan agama tidak semata-mata dogmatis, doktriner. Saya maunya, dalam agama, yang dogmatis itu tidak banyak. Tetapi, political will kita masih sebegitu.
Ada banyak gangguan dalam keberagaman kita, yang membuat keharmonisan hidup dalam keberagaman tercederai belakangan ini?
Pengaruh reformasi ini membuat semua orang muncul. Termasuk kalangan ekstrem, dari agama apa pun, turut mengambil bagian dalam reformasi ini. Hanya sayangnya, mereka ternyata lebih vokal bersuara. Kelompok-kelompok moderat atau kelompok liberal ini, lebih memilih menggunakan cara-cara yang biasa dilakukan kalangan terdidik, menggunakan ajang diskusi, menggunakan pena untuk menulis.
Saya hanya ingin mengatakan, kita sebagai bangsa kok hanya mengurusi pornografi, bukan mengurusi persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa ini. Saya sungguh sedih sekali.
Maksudnya perlu terus-menerus disuarakan bahwa ada yang lebih penting yang dihadapi bangsa ini, selain daripada pornografi dan pornoaksi?
Ya. Saya langsung katakan kepada para ulama, apa fatwa ulama tentang trafiking (perdagangan manusia, menjadi pekerja seks), yang sekarang terjadi di mana-mana. Siapa pula yang membela migrant worker kita yang diperlakukan sangat tidak manusiawi? Kapan mereka pernah mengeluarkan fatwa berkaitan dengan itu?
Bagaimana pula caranya kita mencegah busung lapar, yang masih terjadi di mana-mana? Kalau saya ajak ngomong tentang hal itu, mereka cuma bengong-bengong saja. Saya katakan itu di hadapan ulama.
Persoalan Ahmadiyah, contohnya, bukan persoalan internal umat Islam, tetapi ini persoalan eksistensi bangsa ini sendiri. Apa kita memilih menjadi bangsa yang homogen, yang bersatu dari ujung ke ujung dengan seluruh pluralitas yang kita miliki?
Nanti akan ada banyak kelompok yang lain, dan ini potensi konflik di mana-mana.
Kalau kita ini terlalu sibuk dengan masalah-masalah internal, akhirnya kita tidak akan melakukan apa-apa. Saya tidak tahu. Ini perlu menjadi perenungan kita bersama.
Dengan kata lain, kita terlalu sibuk dengan urusan-urusan kecil, sementara di depan kita mengadang banyak masalah seperti bencana alam, flu burung, busung lapar, dan sebagainya?
Ya. Busung lapar itu, misalnya, ketika pada suatu saat saya turun ke lapangan, pejabat desa itu malah berada di Jakarta. Entah mengurus apa.
Bagaimana soal perjuangan perempuan?
Ya. Soal pembelaan kepada kaum perempuan, misalnya, saya sering mendapat caci-maki, dengan mengatakan saya telah kebablasan. Bagi saya, itu karena sejak kecil kita sudah dicekoki pandangan-pandangan yang mengatakan, apa yang sudah pada tempatnya itulah yang benar. Mereka tidak punya alternatif lain.
Nah, berkaitan dengan pandangan-pandangan baru ini, saya bersama kawan-kawan memang tidak berharap pandangan baru ini akan berlaku sekarang. Itu jauh. Tetapi, setidaknya, buat saya, mereka pernah mendengar pandangan yang berbeda. Itu saja. Karena untuk mengubah sekarang, tidak mungkin.
Bagaimana Anda menyosialisasikan pandangan-pandangan baru?
Sebagai staf pengajar, saya mengajar. Yang kedua saya menulis. Yang ketiga, saya menyosialisasikan melalui banyak diskusi, seminar.
Saya pikir memang perlu ada jembatan. Namun, siapa yang menjembatani? Ada banyak orang tidak pernah punya akses. Dalam penelitian saya, rata-rata kita beragama itu hanya karena pendengaran sendiri, tidak pernah menggali sendiri kebenaran dari sumber aslinya.
Saya sangat bersyukur pernah kuliah di Sastra Arab, mengerti bahasa Arab.
Bagaimana Anda memetakan perempuan Indonesia?
Gerakan perempuan Indonesia memang tidak bisa dimungkiri banyak kemajuan. Dalam pendidikan, contohnya. Semua lapangan kerja sudah bisa dimasuki perempuan. Cuma, persoalannya, akses itu terbatas oleh persoalan ekonomi dan patriarkhi yang dianut. Begitu menikah, mereka terjebak lagi.
Saya mengenal banyak aktivis yang sebelum menikah itu luar biasa karyanya, tetapi sesudah menikah terjebak pada pola patriarkhi. Makanya pemberdayaan perempuan itu harus dilakukan di semua lini. Bagaimana membuat masyarakat kita, laki-laki maupun Perempuan, menyadari hal itu. Keterlibatan perempuan pada semua sektor itu suatu keniscayaan. Karena membiarkan perempuan menjadi beban juga masalah besar masa ini.
Kalau saya menyosialisasikan masalah ini di depan bapak-bapak, biasanya saya balik bertanya, kalau perempuan itu tidak berdaya, akan jadi beban. Akankah selamanya kaum bapak sanggup memikul beban itu?
Perjuangan seperti itu tidak bisa dilakukan dengan paham-paham feminis yang menuntut. Karena akan terlebih dulu ada resistensi. Jadi, harus ada strategi.
Kalau seorang suami mencari nafkah sendiri, apakah di masa depan juga akan tetap bisa seperti itu dalam kondisi kehidupan yang semakin sulit? Masa yang akan datang, kita tak akan bisa hidup dengan hanya seorang pencari nafkah. Dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi, tidak bisa tidak, dua-duanya, suami-istri, harus mencari nafkah.
Kita sejak awal harus mendidik anak-anak dalam dunia realistik. Tidak laki-laki, tidak perempuan, keduanya harus bisa, karena keduanya harus berbagi peran. Itu tuntutan hidup di masa datang, suka tak suka kita harus menghadapinya.
Pernikahan beda agama adalah kenyataan yang tidak terbantahkan. Apa yang Anda lakukan bersama ICRP?
Di Jakarta saja, ada 500-700 pernikahan pasangan beda agama. Itu contohnya. Makanya, harus ada solusi. Angka itu kami peroleh dari institusi resmi seperti imigrasi dan lain-lain. Kecenderungannya meningkat. Nah, kenapa sih keinginan masyarakat untuk menikah beda agama itu tidak diredam dengan peraturan, apa pun.
Itu hak masing-masing orang. Dan, kita tidak bisa mengubah keyakinan seseorang.
Kami di ICRP, pertama kali akan meyakinkan, bahwa keputusan pandangan beda agama itu bukan emosi sementara. Kami memberi gambaran akan masa depan mereka. Kami mengingatkan masih akan ada kemungkinan konflik di masa datang, risiko yang harus dihadapi. Kami paparkan logika, pernikahan agama yang sama saja banyak konflik, apalagi yang berbeda agama. Menikah satu kewarganegaraan saja ada banyak masalah, apalagi pernikahan antarkewarganegaraan.
Semua kemungkinan buruk itu kami sampaikan dulu. Kalau memang yakin, pasangan itu akan datang lagi. Pada tahap itu, yang kami minta adalah persetujuan orangtua. Kami tidak mau kalau tak ada persetujuan orangtua. Kalau memang sudah yakin, akan kami panggilkan ulama, lalu kami menguruskan ke pengadilan untuk mendapatkan akta. Jadi secara hukum sah.
Namun, harap dicatat, kami tidak mempromosikan perkawinan beda agama. Kami ingin merespons persoalan-persoalan yang muncul, karena menyangkut pluralitas masyarakat itu sendiri. Ingat, kalau ada persoalan yang muncul, itu harusnya ada solusi.
PEWAWANCARA: SOTYATI
http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu=artikel&id=783