Preambule: Apologi dari Emak-emak

kucing kaget.jpg

 

Haloooo, jumpa lagi bersama mmmmemet di sini *disambit receh*

Astaga, ternyata postingan terakhirku adalah 3-4 bulan yang lalu! Terlaluh! Ngapain kamu ngaku-aku jadi blogger, nak, pulang aja sanah! 😆

Parah emang, padahal ada banyak bahan postingan. Yang paling seru tentu aja waktu menikah kemarin. Ada banyak yang bisa ditulis, dan harus saya tulis sebagai ucapan terimakasih. Yup, proses pernikahanku banyak banget dibantu para blogger yang menulis detail pernak-pernik pernikahan. Serius! So, sebagai ‘timbal balik’ udah diniatkan untuk menulis segala kerepotan menikah, siapa tahu bisa membantu yang lagi bingung stress nyiapin nikahan, hahaha.

Selain itu, entah kenapa, rasanya menulis di blog yang ini jadi beban. Beberapa tulisan terakhir, sifatnya serius. Trus jadi kebiasaan harus riset kecil-kecilan (baca banyak artikel untuk sumber referensi) biar lebih yakin dan ga asal omong. Jadilah males, karena waktu ‘selo’ juga ga banyak. Akhirnya ‘ngabur’ ke sini kalau lagi pengen nulis hal-hal yang terlintas dalam pikiran. Monggo lho, siapa yang kangen tulisanku dan mengira aku hiatus berbulan-bulan, sila tengok blog tumblr *sekalian promosi* :mrgreen:

Entah kenapa juga, jadi lebih sering menulis di blog yang satu itu karena merasa lebih lepas, lebih bebas. Ga pake mikir, ngalir aja nulisnya. Wah semestinya untuk blog yang ini juga demikian. Ada yang salah dong kalau sampai timbul perasaan menulis jadi beban, padahal aku suka banget menulis. Aku lebih cakap menulis daripada berbicara, wkwkwkwk.

Selain itu, perubahan status jadi ’emak’ alias istri, sehari-hari berkutat di dunia ‘dewasa’ (dulu taunya seneng-seneng aja, mikirin diri sendiri, dan jangka pendek) bikin niat untuk ‘menyegarkan’ blog ini lagi. Kedepannya mau lebih ‘feminin’ alias banyak berisi hal-hal yang berkaitan dengan dunia perempuan, keluarga, lingkungan sekitar. Maunya sih diseriusin, tapi sampai sekarang aja masih bingung membahasakan diri di blog ini, lebih nyaman ‘saya’ atau ‘aku’ ya? (asal bukan ‘gue/gw’ nanti diledekin abis-abisan sama suami).

Sepertinya tulisan singkat ini bisa jadi ‘pembukaan’ untuk melatih lagi sense menulis. Menulis itu harusnya seperti menari, mengalir dan luwes. Harus dilatih biar makin luwes. Next, aku mau posting tentang compassion di world farming, berangkat dari kesedihan pas baca twit serialnya @tidvrberjalan tentang #sengsu. Serem dan menyedihkan.

Jadi bagaimana, lebih nyaman membaca yang mana sih, pakai ‘saya’ atau ‘aku’? :mrgreen:

Update. Barusan mati listrik dan datang kesadaran baru. Salah satu yang bikin males update di blog ini adalah, karena aku merasa harus nambah gambar! Proses nambah gambar itu ga cepet lho. Memilah-milah mana yang sesuai dengan konten tulisannya, belum kalau harus diedit segala. Sementara di tumblr, enggak pakai gambar pun ga peduli. Bener-bener nulis dibikin gampang.

PS. Blog itu ternyata media yang efektif untuk mendokumentasikan transformasi cara berpikir dan gaya berbahasa ya. Beberapa malam yang lalu, aku malu banget baca-baca postingan lama di blog ini. Bahasanya engga banget, sampai diledekin suami “ilat jowo medhok ae ber-gue gue”. Sumpah malu banget. Plus aku dulu naif banget, serba didramatisasi juga. Astaga. Ini pasti efek waktu kecil bacaannya Candy-Candy, Miss Modern, Pop Corn, Rose of Versailles, dan Jendela Orpheus dihayati banget sampai termehek-mehek. 😛

A Tale of Two Cities dan Hidup itu Belajar & Bercinta

Pagi ini aku dirusuhi memori masa kecil, gara-gara dengerin lagu manis KennyLoggins  “Love Is”.

Entah gimana, aku jadi keinget film yang kutonton pas SD. Filmnya diputer di TVRI (belum masanya tv swasta keknya, lupa lupa inget), film lama yang aku sendiri ga paham judulnya apa. Cuma tahu terjemahannya “Cinta Dua Kota” atau apa gitu.

Sebagai anak kecil, film itu berkesan banget. Sampe-sampe aku menuliskan panjang lebar berlembar-lembar di diary. Iya, aku nangis sampai bercucuran air mata pas nonton film itu.
Yang bikin aku terkesan dan kutuliskan di diary adalah, ketulusan cinta dan pengorbanan tokoh di film itu. Begitu dalamnya cinta si tokoh sampai rela mengorbankan nyawa di ujung guillotine demi perempuan yang dicintainya.

Waaah ketika ingat memori ini dan teringat apa aja yang aku tulis di diary (diarynya masih ada lho), aku terkesima sendiri. Kok sepertinya aku dari kecil kek udah ‘ditakdirkan’ untuk bersinggungan dengan cinta dan jatuh cinta dengan cinta itu sendiri (halah, cintaception dong, haha).

Membayangkan di usiaku yang baru kelas 5 SD, jatuh cinta dengan sosok pria dengan pengorbanan luar biasa itu. Sampai kemimpi-mimpi. Kok aneh ya.

Entah kenapa, hingga SMP, SMU, hingga sekarang, aku kok selalu dan mudah tersentuh oleh jenis cinta yang seperti itu. Call me naive, i don’t know. Tapi tergila-gila dengan kisah Miss Modern, Rose of Versailles, Jendela Orpheus, membaca sampai nangis bombay itu apa? 😆

Mungkin semua itu membentuk persepsi dan definisiku akan cinta. Aku percaya sih, cinta seharusnya bisa membuat orang menjadi lebih baik.

Oh ya, kembali ke pagi tadi, memoriku membawaku menyusuri youtube. Penasaran mencari film apa sih yang bikin anak kelas 5 SD menangis mengharu biru dan membekas sampai sekarang.
Ketemu! Judulnya A Tale of Two Cities (1980).

Well, it’s all connected. Maybe. I don’t know. Past, present, future. Tapi kalau membaca lagi tagline blog ini, terus mengingat memori tersebut, hmmm kok seperti ada ketersambungan. Entahlah. Jalani saja. Mengalir. Hidup ini (sepertinya) memang untuk belajar dan bercinta.

One Big Step

image

Yup, i am finally engaged.

Wahahaha juarang-jarang, suangaaaat jaraaaang aku posting blog isinya sangat personal seperti yang aku tulis berikut.

Iya, ini tentang pertunangan saya. Satu langkah besar sebelum langkah berikutnya. Rasanya seperti mimpi. Antara, “oh, ternyata rasanya seperti ini to, biasa aja” dan “omaigaaat, aku jadi tunangan orang dan itu artinya…” campur baur.

Banyak teman-teman lama yang ga percaya dengan status baru ini. Sialaaaaan, aku bukannya anti dengan komitmen ya, tapi takut. Bukan takut kehilangan kebebasan, tapi takut dengan sisi gelapku ketika dihadapkan dengan komitmen. Takut akan menyakiti orang lain.

Sampai detik ini aku masih percaya, hidup single dan melajang itu lebih enak daripada hidup berdua. Aku bertanya-tanya, yang ngebet mengakhiri status single itu udah pada sadar ga sih, konsekwensinya? Hidup dengan dua kepala itu butuh kebesaran hati dan menurunkan ego lho, karena akan banyak kompromi ketika win-win solution sulit ditemukan. Musti banyak tenggang rasa dan toleransi, banyak memahami dan mendengarkan daripada meminta. Musti bisa menerima ga cuma kelebihan tapi juga kekurangan. Serously, living single is much more easier!

Lalu kenapa kamu mau mengakhiri status single-mu, Met?

Well, aku sendiri ga tahu. :))) Aku dijebak! :)))))

Aku selalu bilang: i was lost and (when) he found me.

Ketika “kopdar” berdua untuk pertama kalinya, ga ada ekspektasi apa-apa. Selain hanya menepati janji yang dibuat dibawah “paksaan”. Kopdar kedua, malah dibuat mbrambangi hampir nangis, hahahaha, kampret. Selanjutnya mengalir aja, tanpa harapan apapun hingga saat yang orang bilang ‘jadian’.

Ketika dia melontarkan maksud seriusnya, aku langsung mengangguk. Entah, apa juga yang ada di pikiran, kok aku langsung mengiyakan. Rasionalisasiku adalah teori blink-nya Malcolm Galdwell. Yeah, i’m thinking with my feeling.

Thank you untuk sedari awal mengingatkanku bahwa perjalanan kedepan tak selalu berisi senang-senang. Thank you untuk sedari mula menyadarkanku bahwa perjalanan kedepan tak selalu mulus. Thank you untuk sedari pertama, membuka diri apa adanya, showing who you really are.

Eh postingan belum kelar, kok belum-belum udah ucapan makasih aja.

Yap, perjalanan yang baru beberapa bulan tapi seperti di-akselerasi. Bukan tentang keputusan besarnya, tapi berbagai peristiwa, proses yang buatku makin membukakan mata. Belajar tentang penerimaan, tak hanya menerima dia tapi juga orang tua. Dan tentu aja hal-hal yang udah aku sebutkan diatas.

Iya, proses teknis lamaran memang menguras pikiran dan tenaga. Wara-wiri jakarta-jogja, terpaksa mengabaikan beberapa momen-momen kopdar dan networking, plus mengencangkan ikat pinggang. Belum lagi konflik dan drama dengan orang tua. Ketika ego saling bertemu, dilema antara memenuhi impian sejak lama atau mengorbankan impian demi orang tua. Belum lagi LDR dan peristiwa~dinamika antar pasangan.

You know what, bahkan dua jam sebelum acara, sempat yang tegangan tinggi dengan bapak. Tapi pas acara lamarannya, bapak ternyata meneteskan air mata hingga tiga kali…  Tukar cincin alias tunangan yang harusnya ga ada, jadi ada. Ga usahlah dijelaskan kenapanya, tapi sumpah itu lucu banget, kocak, memorable pisan. Semua konflik langsung berasa luruh saat itu, everybody happy. Bahagia.

Doaku, semoga kedepan aku bisa makin matang dan dewasa. Proses (belajar) belum berakhir, sangat mungkin berjalan seumur hidup. Lamaran, tunangan, dan acara-acara seremonial/adat sejenis, cuma teknis. Yang lebih penting adalah dinamika dibelakangnya, proses pendewasaan dan kematangan.
You, my anam cara.

The anam cara friendship awakens the fullness and mystery of your life. You are joined in an ancient and eternal union with humanity that cuts across all barriers of time, convention, philosophy, and definition. When you are blessed with an anam cara, the Irish believe, you have arrived at that most sacred place: home. ~ wikipedia.

Jadi kembali ke pertanyaan awal, apa yang membuatmu mau mengakhiri status single-mu, Met?

I believe because it’s him.

Seems like a long long way to go
But we’ve gotta hang tough
Wait a while give yourself a smile
And you’ll realize that
At the end of the day
It’s gonna work out ~ I’ll Still Be Loving You, Fourplay

So if you want it to get stronger
You’d better not let go
You gotta hold on longer
If you want your love to grow
Be brave when the journey is rough
It’s not easy when you’re in love
Don’t be ashamed when the going gets tough
It’s not easy, don’t give up
If you want it to get stronger
You’d better not let go
You gotta hold on longer
If you want your love to grow ~ Hang On To Your Love, Sade

Impian Para Miss Universe

Lagi-lagi postingan yang terinspirasi karena memperhatikan timeline twitter. Karang yo selo (semi hoax kalo ini sih) jadilah menarik untuk memperhatikan dinamika pendapat orang di twitter. Kali ini yang terbaru adalah tentang bencana alam di Soreang, Bandung, yang kebetulan berbarengan dengan kencangnya opini tentang Gaza.

Saya ndak mengikuti berita konflik Gaza. Yang membuat saya tertarik memperhatikan adalah, banyaknya sindiran yang ditujukan untuk aktivis Gaza, supaya mereka lebih baik membantu yang dekat dulu (Soreang) daripada jauh-jauh ke Gaza. Situasi tersebut, sindir-sindiran seperti itu, terus terang mengingatkan dengan apa yang saya dan teman-teman aktivis penyayang binatang. Seriiing gitu, kalau ada himbauan dan ajakan untuk lebih peduli terhadap satwa, adaaa aja yang sinis dan komen, “ngapain merhatiin binatang, tuh yang manusia juga banyak yang butuh bantuan.” Kasarannya gitu lah.

Jujur, capek dan cukup emosi menghadapi komentar-komentar seperti itu. Mengajak untuk A, disindir kok engga B aja, daaan seterusnya. Hingga akhirnya sadar. Ada banyak sekali masalah di dunia ini, bahkan di sekitar kita. Semua seperti menuntut perhatian untuk diselesaikan, minimal kepedulian kita. Tapi dengan segala keterbatasan, apalagi kita bukan superman, bahkan banyak yang menjalani peran ganda (ya orang tua, ya karyawan, ya pacar, ya anak, ya pelajar, dsb), naif banget kalau kita tampil mengambil alih dengan semua persoalan yang ada. Bisa-bisa jadi gila, atau keluarga ga keurus, dipecat jadi karyawan, dan sebagainya.

Sampailah saya pada satu kesimpulan. Masalah di dunia ini banyak. Ya udah lah, masing-masing pilih peran dan kepeduliannya sendiri-sendiri yang sesuai dengan hati nurani, jalankan. Ga usah lihat-lihat pihak lain dan cari-cari celah untuk menyalahkan atau cari kelemahan untuk dikomentari. Toh, sama-sama tujuannya adalah berbuat baik, menolong sekitar, ujung-ujungnya sebenarnya khan untuk membuat tempat yang kita tinggali menjadi lebih baik. Udahlah, masing-masing ambil porsi dan jobdesnya sendiri-sendiri, ga usah ngurusi yang lain. Yang sayang binatang, sudah sewajarnya kemudian lebih banyak terlibat aktivitas yang berkaitan dengan binatang. Nah, yang lain kalau melihat ada yang belum tertangani padahal menurutunya itu urgent, ya udah langsung cekat-ceket cak-cek tanpa bicara, terjun ke permasalahannya. Semua bekerja gitu lho.

So, kembali ke sindir-sindiran Gaza, menurut saya, ya udah lah ya, biarin aja. Kalau mereka emang maunya nolongin yang di sana, monggo. Terimakasih. Yuk, yang sini bantuin hal-hal yang belum tercover. Wes, meneng-meneng ae, rasah kakehan komentar. Niscaya, impian para Miss Universe lebih cepat terwujud: a better world and peace.

September

 

September selalu mempunyai kesan khusus untukku. Tidak saja karena bulan itu aku ulang tahun, tapi lebih karena memory yang melekat menyebabkan muncul kesan tersendiri. September yang buatku berarti Virgo, dengan lambangnya yang begitu feminin, mempunyai kesan karena dua peristiwa yang mengerikan. Pertama, peristiwa gestapu. Maklum, sebagian besar masa kecilnya dihabiskan di jaman orba, jadi untuk bertahun-tahun didoktrin tiap tanggal 30 September dengan pemutaran gestapu.

Sejarah memang memihak kepada yang berkuasa. Ketika sekarang kekuasaan berganti dan sejarah pelahan berganti sisi, kesan yang ditinggalkan dari suara musik film gestapu tersebut susah untuk dihilangkan. Kini aku tahu bahwa gestapu sesungguhnya adalah periode pembantaian terhadap sesama anak bangsa. Lebih mirip perang saudara. Setelah mengetahui sebagian faktanya malah semakin menambah kesan kelam September—bulanku, yang harusnya ceria.

Kedua, 7 september adalah tanggal di mana Munir meninggal. Penyebab kematiannya adalah karena racun arsenik. Yang membuat pedih adalah karena ada kemungkinan Munir dibunuh untuk membungkam dan menghentikan perjuangannya. Pas tanggal 7, pas September, pas ulang tahunku. Jadi seperti diingatkan terus.

Tentang kematian Munir ini, kebetulan waktu itu masih lumayan mengikuti berita. Masih inget reaksi Bapak Ibu tiap nonton berita tentang Munir, mereka pun mengagumi Munir. Kalau ga salah ingat, mereka kagum, karena Munir ini warga keturunan (Arab) tapi idealis dan mau berjuang untuk orang lain.

Kebetulan, September 2012 ini di twitter sedang ada gerakan 2 juta avatar Munir untuk mengenang Munir. Sejak saat itu banyak twit-twit yang bercerita tentang Munir. Salah satunya dari mba Dhyta @puplerebel, yang menceritakan sosok Munir dari sisi personal, interaksinya yang terbatas dengan Munir. Aku terkesan sekali dengan sisi kesederhanaan dan pengorbanan Munir untuk orang lain.

Jadi berpikir, nilai-nilai kesederhanaan terutama dari orang-orang besar selalu membuat kita kagum dan tersentuh. Apalagi jika orang tersebut sebenarnya bisa mendapatkan materi lebih dari yang dipunyai, tapi ia rela untuk tidak mendapatkannya, karena selalu dipakai untuk kepentingan orang lain. Di era yang makin materialistis, ketika tolok ukur sukses diukur dari kepemilikan benda dan popularitas, maka menghidupi nilai-nilai kesederhanaan rasanya makin jauh.

Semalam di perjalanan menuju Jakarta, tiba-tiba melamun tentang Gadjah Mada dengan sumpah amukti palapanya. Yang aku tahu dari sumpah tersebut adalah, Gadjah Mada tidak akan bersenang-senang sebelum cita-citanya (Majapahit Raya) terwujud. Kok sepertinya tidak menemukan orang-orang pemerintahan atau politikus yang seperti itu ya. Menjalani laku prihatin demi Indonesia yang lebih baik. Rela ga makan wagyu dan naik jaguar, selama masih ada warga yang makan nasi aking dan ga bisa mengubur jenasah karena ga punya duit.

Tapiii…sebagai anak bangsa yang lebih suka hidup nyaman, ya mengerti sih sulitnya menjalani hidup sederhana. Bukan sulit karena tidak mampu, lhawong hidup sederhana itu malah spend less. Tapi ga mau. Maunya yang senang-senang, gampang penginan-nya terpenuhi. Hidup sederhana itu harus menekan keinginan pribadi, dan untuk itu musti engga iri. Karena iri berpangkal dari keinginan yang tak tercapai tapi orang lain dapat mencapainya. Percayalah, iri itu tidak enak.

Oke, ini sudah melantur kemana-mana. Soal Munir yang kematiannya kebetulan di 7 September. Akhir-akhir ini berpikir banyak tentang pengorbanan. Sudahkah saya melakukan pengorbanan?

Tentang gestapu, tentang sejarah. Menyitir tagline dari novel Cloud Atlas: Death, life, birth. Past, present, future. Love, hope, courage. Everything’s connected. From death until rebirth.

Happy birthday, me, in my present life.

Whatta Coincidence


 

Hari ini energi saya lemah/sedang mengecil. I can feel it.

Terbangun pagi-pagi sekitar jam 7 dengan mata masih berat untuk dibuka, padahal mulai pagi itu agenda lumayan padat. Kepikiran pekerjaan yang sedang diterpa masalah, pekerjaan satunya yang menuntut deadline, meeting, dll ditambah kurang tidur beberapa hari. Ketika berkaca pagi ini tadi, sambil menatap mata sendiri, tiba-tiba saya diserang perasaan kurang percaya diri. I feel I am not perfect and i dont like it. Saya merasa tidak ada yang bisa dibanggakan. Saya kesulitan untuk menerima diri saya apa adanya dan terus melihat kekurangan saya.

 

Di sini saya merasa energi saya sedang melemah, kecil. Terus terang, jika sedang di situasi seperti ini, saya bingung apa yang harus dilakukan. Mengumpulkan percaya diri dari hal-hal eksternal? Bahkan underwear paling sexy dan baju kantor berpotongan sixties dipadu cropped blazer yang saya kenakan hari ini pun kurang berhasil mendongkrak PD.

Sempat berpikir apakah energi yang mengecil ini dikarenakan kurang istirahat dan stress. Entahlah, saya gak ngerti. Bisa jadi. Tapi ya sudahlah, mari jalani saja hari ini, mengalir saja. Terbuka pada segala kemungkinan.

Hingga beberapa kejadian kebetulan menyadarkan saya. Peristiwa kebetulan yang untuk saya sifatnya cukup ajaib. Harusnya malam ini saya bereksperimen dengan pengalaman baru yang cukup gila, dan pengalaman baru tersebut menuntut kenyamanan diri dan kepercayaan diri yang tinggi. Dengan kondisi dari tadi pagi yang diserang bimbang, dilema, rendah diri, kurang bisa menerima diri apa adanya, sulit rasanya bisa melalui pengalaman tersebut dengan baik. Tapi tadi ketika hendak berangkat, saya pasrahkan saja. Terbuka terhadap semesta, ngalir aja. Pasrah.

Dan ya itulah jawaban yang diberikan semesta. Peristiwa kebetulan. Saya betul-betul terkesima.

Terkadang memang yang kita butuhkan adalah kemauan untuk mendengar dan ‘surrender’ (pasrah?) terhadap pesan tersebut. Semesta sudah mempersiapkan jawabannya untuk setiap pertanyaan. Walau logika masih kesulitan untuk mencerna dan memahami, tapi di hati merasa inilah yang benar.

Puncak hari ini mungkin malam ini barusan. Pulang dari meeting terjebak macet di sekitar Kuningan. Sampai daerah Langsat sudah pukul 19.30an dan hujan gerimis lebat. Saya mampir soto kudus untuk menuntaskan ngidam. Selesai makan, rupanya hujan semakin lebat. Gelisah karena masih ada PR yang harus dituntaskan malam ini dan kesulitan untuk dapat bajaj pulang ke kos (kalau pakai taxi nanti didamprat supir karena jarak terlalu dekat). Entah kenapa hati kecil membayangkan angka 9.

Pukul 20an, hujan masih lebat. Es jeruk sudah habis, soto 2 mangkuk sudah tandas. Perut kekenyangan menjurus ‘suduken’. Pasrah memutuskan untuk membayar dan pulang. Lho tepat pukul 21, hujan sudah reda. Jadilah saya pulang tanpa kehujanan. Dalam langkah kaki menuju ‘rumah’, saya merenungkan betapa saya teramat dicintai. Dan perasaan dicintai itu yang mengirimkan energi yang menopang saya untuk menjalani hari ini.

Saya masih bergulat dengan ketidaksempurnaan, belajar untuk menerima apa adanya. Tetapi sungguh saya bersyukur, saya diingatkan selalu dengan perasaan dicintai lewat berbagai peristiwa kebetulan.

Need to Slow Down

 

Ini postingan refleksi, bukan curhat. Lebih ke kesimpulan yang didapat dari hasil perenungan, paling banyak didapat sewaktu nongkrong di WC menunaikan kewajiban alam. Perenungan mengendapkan pengalaman atas berbagai situasi yang dialami beberapa waktu terakhir ini.

Kalau di milis, saya pernah mengatakan ingin berbagi mengenai manajemen stress terkait adaptasi ketika tinggal di tempat baru (Jakarta), tak lama kemudian saya diberi kesempatan naik level untuk belajar manajemen stress level yang lebih advance. Pemahaman saya terhadap manajemen stress, diuji lagi. Terus terang agak keteteran dan sempat mengalami gejala depresi. Tapi dari situasi tersebut, saya mendapatkan pengalaman dan pembelajaran baru.

We need to slow down, apalagi di kota seperti Jakarta ini. Kota yang menuntut semua serba cepat, kita dituntut untuk multitasking, hyperspeed kalau bisa, dihajar deadline sana-sini, memuaskan berbagai pihak. Begitu bangun, otak sudah langsung diajak untuk kondisi alert/beta. Kondisi stress.

Untunglah, yah saya masih beruntung. Saya masih diberi kemampuan untuk mengamati, baik situasi sekitar maupun mengamati diri sendiri. Dari sini saya menyadari, we need to slow down. To really feel and having conversation/dialog dengan hati kita sendiri. To find peace of mind. Adalah pada saat-saat hening, baru bisa mendengar diri sendiri.

Hidup adalah proses belajar yang terus berlangsung. Bersyukurlah yang diberi kesempatan untuk mencobai berbagai pengalaman, itu artinya kita punya kesempatan untuk belajar. Naik level?

Tiba-tiba terbersit pertanyaan. Gentarkah kamu jika diberi kesempatan untuk naik level, yang berarti bisa saja kamu dicobai pengalaman yang lebih sulit daripada yang sudah-sudah.

 

 

dont buy dont breed, adopt!

 

 

Saya pecinta bintang, sepertinya semua orang sudah tahu itu.

Aku benci dan menolak-melawan kekerasan pada binatang, sepertinya semua orang juga paham.

Kalau saya ngomong, nyebut-nyebut “anakku”, teman-teman biasanya udah mahfum kalau yang kumaksud adalah kucing-kucingku.

 

Kepindahanku ke Jakarta seringkali mendapat pertanyaan, gimana nasib anak-anakku, kenapa ga dibawa aja. Kujawab, Jogja adalah rumah terbaik bagi mereka, di lingkungan yang mereka sudah kenal baik dan dikelilingi oleh orang-orang baik hati dan menyayangi mereka. Memang, di Jakarta ini, sering banget aku patah hati, nggregel, berlinang air mata, karena sering banget ketemu kucing-anjing liar di jalanan. Memikirkan nasib mereka dan kemungkinan adanya orang-orang jahat tidak berwelas asih, sungguh bikin risau. Apalagi kalau mendengar berita kekerasan pada binatang, seperti pembuangan bayi-anak kucing. Duh, hatiku lemah sekali. Rasanya lemes, gundah, galau to the max, sedih, tak berdaya dan sebagainya. Ingin menolong tapi keterbatasanku, di kos tidak boleh memelihara kucing, dan keterbatasan resource lainnya.

Kalau sudah galau to the max begitu, aku malah biasanya ga sanggup untuk ngomongin. Bukannya lebih suka memendam, ga ada hubungannya dengan suka atau tidak, tapi aku ga sanggup, bahkan membicarakannya sekalipun. Hatiku terlalu kecil, pecah duluan berderai-derai. Padahal sekelilingku ya banyak juga, yang pecinta kucing atau binatang. Kalau mendengar mereka membicarakan kelucuan kucing-kucing dari segala penjuru dunia, aku malah diam saja. Makin kesini malah makin jarang ngomongin tentang lucunya kucing etc. Ya gimana yah, udah kepikiran duluan tentang nasib kucing-kucing dan hewan lain yang terlantar. Udah broken duluan, ga sanggup mungutin, ga sanggup membicarakannya. Ga kuat.

 

Hingga beberapa waktu lalu, kepikiran ide ini. Yah, bahkan menuliskan ide ini menjadi bentuk postingan pun membutuhkan waktu untuk menguatkan diri menyampaikan sesuatu yang aku anggap penting. Lebay ya? ‘Cuma’ isu kek gini doang, kok sebegitunya. Ya gapapa juga sih, kalau ada yang berpikiran demikian. Lhawong yang benar kurasakan memang seperti itu. Ya tidak menyalahkan kalau ada yang beranggapan remeh.

Kembali ke ide. Cuma berangkat dari pemikiran, bahwa banyak sekali di sekitarku yang suka sekali (kalau ‘sayang’ ga tahu sih, karena menurutku, suka ama sayang itu level intensitasnya berbeda) dengan kucing/anjing. Tapi diantara yang suka itu, banyak yang tidak bisa memelihara kucing/anjing dengan berbagai alasan. Nah, ide ini sifatnya hanya ajakan/himbauan sih, karena bisa dilakukan secara individu. Ga butuh gerakan massa. Jadi, buat kita-kita yang suka binatang tapi ga bisa memelihara sendiri, kenapa tidak memperlakukan semua binatang yang kita temui selayaknya itu binatang piaraan kita. Caranya, selalu bawa catfood/petfood kemana-mana, jadi kalau ketemu di jalan, langsung aja kasih.

Asyik lho, menjalin interaksi dengan mereka, kalau kasusku, kucing-kucing liar tersebut. Mereka yang tidak mempunyai kepercayaan terhadap orang asing karena takut, lalu kita pelan-pelan berusaha membangun rasa percaya. Dan sekali rasa percaya itu terbangun, bonding/ikatan pun terjalin. And its magic!

Kedua, kalau melihat ada hewan liar yang sakit/terluka, segera dibawa ke dokter hewan. Sayang sekali, biaya dokter hewan di Jakarta mahal sekali ya dibanding Jogja. 😦

Ketiga, berpartisipasi kalau ada gerakan sterilisasi kucing/anjing liar, dengan berdonasi. Percayalah, men-sterilisasi hewan liar ini, manfaatnya jauh lebih banyak untuk mereka sendiri, dan ada manfaat juga yang bisa dipetik ulah manusia. Kalau di Jakarta, aku taunya Jakarta Animal Aid Network, bisa dicek di facebook mereka atau situs mereka. Sayang, sejauh aku pernah kontak mereka, kok minim respon.

Keempat, bagi yang ingin pelihara kucing/anjing, remember the platinum rules: DON’T BUY DON’T BREED, ADOPT. Salah satu alasan adalah, when adopt, you’re saving a life. Kalau masih ada kucing/anjing terlantar yang bisa kita pungut, kenapa tidak mengadopsi mereka saja? Selain itu, kenyataan bahwa banyak breeder/pebisnis hewan piaraan yang mengedepankan materi thok, bukan karena mereka sayang binatang.

So, mari kita semakin berwelas asih, terhadap semua mahkluk Tuhan. 🙂

 

NB. Why adopt than buy?

Kenalin, Anak Adopsiku, Miko Si Bayi Orang Utan

image

image

Awalnya karena baca celotehan Chika di milis yang menulis ulang tweet dari seseorang (aduh lupa namanya). Tweet tersebut mengajak untuk mengadopsi bayi orangutan. Sontak heran dan bertanya-tanya, “Hah, memang bisa orangutan diadopsi?”. Bayangannya, membawa bayi orangutan ke rumah untuk diasuh. Yang bener aja, mosok memelihara binatang liar, langka pula.

Yup, orangutan menurut International Union for Conversation of Nature, masuk dalam klasifikasi “Critically Endangered”. Populasinya menurun drastis dari 12ribu ekor pada tahun 1994 menjadi 6500 ekor tahun 2008 menurut wiki. Pembunuh terbesarnya adalah manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Kalau langsung, jika manusia jahat ketemu induk orangutan dengan anaknya, maka induknya akan dibunuh untuk merebut anaknya. Lalu bayi-bayi orangutan tersebut dijual tanpa memperhatikan kondisinya selama dalam krangkengan. Padahal dari yang saya tahu, induk orangutan akan melakukan apa saja untuk melindungi anaknya.

Membunuh yang tidak langsung adalah proses deforestasi habitat mereka, hutan tropis. Biasanya untuk perkebunan kelapa sawit. Kalau sadar hal ini rasanya pengen boikot ga pake produk-produk hasil perkebunan kelapa sawit. Mustinya ada daftar perusahaan perkebunan kelapa sawit yang bertindak sebagai teroris lingkungan dan produk-produk sampingannya.
Deforestasi ini selain mengurangi habitat dan pakan orangutan, juga berdampak konflik manusia-orangutan khususnya di perkebunan & pemukiman. Dan lagi-lagi orangutan dibunuh karena dinilai sebagai hama.

Duh saya nulis ini sambil mata mbrambangi, nangis. Miris, pedih, sedih. Karena itu ketika dapat info adopsi tersebut, langsung cari tahu di orangutan.or.id
Ternyata adopsi yang dimaksud adalah semacam donasi untuk membantu operasional perawatan orangutan di konservasi. Semacam anak asuh. Ada beberapa paket yang bisa dipilih sesuai kemampuan. Nanti kita sbg orang tua asuh, mendapat laporan berkala.

Saya sendiri waktu tanya-tanya via email, ada sekitar 7 bayi orangutan yang masih berusia bulanan. Semua dengan masing-masing kisah sedihnya, direnggut dari induk, ditemukan dalam kondisi menyedihkan. Saya mengadopsi Miko, yang menurut staff Borneo Orangutan Survival Foundation, masih belum punya ortu asuh. Yay, Miko, i believe he choosed me.

Saya, karena resources yang terbatas, memilih paket perunggu. Donasi 350ribu/tiga bulan. Saya pikir, apalah, saya bisa sekali belanja segitu. Budget ngopi-ngopi hura-hura jajan-jajan sebulan juga bisa segitu. Kali ini ngirit, stop belanja, makan di rumah daripada nongkrong-nongkrong, untuk Miko anak adopsiku.

Semoga aku mendapat kesempatan untuk memeluk (eh lebay sih memeluk orangutan) melihat Miko dewasa di habitat aslinya di Kalimantan sana.
*hapus air mata*

Tidak Semua Yang Menikah itu Pemberani

image

Valentine 2011 ini mendapati dua kabar gembira. Pasutri yang dua-duanya teman, mengabari bahwa sang istri hamil anak pertama. Kedua, seorang teman mengabari bahwa akhir April, akan menikah dengan pria yang telah mendampinginya untuk beberapa waktu ini. Diantara banjir ucapan selamat, ‘quote’ dari mas @imanbrotoseno ini membuat saya berpikir dan melahirkan postingan ini.

Tepatnya yang dikatakan mas Iman adalah sebagai berikut:

Hanya orang orang luar biasa yg berani mengambil komitmen ke perkawinan

Menurut saya itu benar. Terutama bagi mereka yang menyadari betul makna perkawinan. Well, tidak semua orang yang memutuskan untuk menikah adalah orang yang luar biasa dan pemberani. Apalagi mereka yang memutuskan menikah karena alasan-alasan yang bagi saya kurang kuat. Seperti, untuk mengejar status, karena tekanan orang lain/lingkungannya, karena ‘harus’ (bagi saya, menikah itu bukan keharusan, tapi pilihan), dll.

Menikah adalah keputusan yang berimplikasi besar dalam hidup seseorang. Ketika seseorang menikah, dia tidak lagi sendiri, tapi bersama. Konsekwensinya, salah satunya adalah ego yang mungkin saling bertabrakan. Selain itu, kita mungkin akan berubah dalam menjalani proses pernikahan, seperti juga pasangan yang mungkin juga berubah. Jadi dalam kehidupan pernikahan, kita dituntut untuk selalu belajar dan mengenali pasangan. Mengerti. Memahami.

Kebahagiaan bukan tujuan dalam pernikahan. Jika ada yang beralasan menikah karena ingin bahagia, itu nonsense. Karena dalam pernikahan merupakan proses belajar yang tiada henti. Ketika dia merasa tidak bahagia, lalu apa? Berhenti? Lalu mengejar kebahagiaan yang lain lagi?

Itulah mengapa, saya setuju bahwa mereka yang memutuskan untuk menikah dengan penuh Kesadaran (sengaja dengan huruf kapital, karena tidak sekadar ‘sadar’ secara kognitif, tapi proses spiritual) maka saya menyebut mereka sebagai orang-orang pemberani. Saya salut. Kagum.

NOTED.
Mereka yang lelah untuk meneruskan proses pembelajaran, bukanlah individu gagal. Itu ‘hanya’ sebuah pilihan. Dan saya sangat yakin, pilihan itupun juga sebuah proses belajar. Hei, seperti tagline blog saya, hidup itu untuk belajar dan bercinta, bukan?