dont buy dont breed, adopt!

 

 

Saya pecinta bintang, sepertinya semua orang sudah tahu itu.

Aku benci dan menolak-melawan kekerasan pada binatang, sepertinya semua orang juga paham.

Kalau saya ngomong, nyebut-nyebut “anakku”, teman-teman biasanya udah mahfum kalau yang kumaksud adalah kucing-kucingku.

 

Kepindahanku ke Jakarta seringkali mendapat pertanyaan, gimana nasib anak-anakku, kenapa ga dibawa aja. Kujawab, Jogja adalah rumah terbaik bagi mereka, di lingkungan yang mereka sudah kenal baik dan dikelilingi oleh orang-orang baik hati dan menyayangi mereka. Memang, di Jakarta ini, sering banget aku patah hati, nggregel, berlinang air mata, karena sering banget ketemu kucing-anjing liar di jalanan. Memikirkan nasib mereka dan kemungkinan adanya orang-orang jahat tidak berwelas asih, sungguh bikin risau. Apalagi kalau mendengar berita kekerasan pada binatang, seperti pembuangan bayi-anak kucing. Duh, hatiku lemah sekali. Rasanya lemes, gundah, galau to the max, sedih, tak berdaya dan sebagainya. Ingin menolong tapi keterbatasanku, di kos tidak boleh memelihara kucing, dan keterbatasan resource lainnya.

Kalau sudah galau to the max begitu, aku malah biasanya ga sanggup untuk ngomongin. Bukannya lebih suka memendam, ga ada hubungannya dengan suka atau tidak, tapi aku ga sanggup, bahkan membicarakannya sekalipun. Hatiku terlalu kecil, pecah duluan berderai-derai. Padahal sekelilingku ya banyak juga, yang pecinta kucing atau binatang. Kalau mendengar mereka membicarakan kelucuan kucing-kucing dari segala penjuru dunia, aku malah diam saja. Makin kesini malah makin jarang ngomongin tentang lucunya kucing etc. Ya gimana yah, udah kepikiran duluan tentang nasib kucing-kucing dan hewan lain yang terlantar. Udah broken duluan, ga sanggup mungutin, ga sanggup membicarakannya. Ga kuat.

 

Hingga beberapa waktu lalu, kepikiran ide ini. Yah, bahkan menuliskan ide ini menjadi bentuk postingan pun membutuhkan waktu untuk menguatkan diri menyampaikan sesuatu yang aku anggap penting. Lebay ya? ‘Cuma’ isu kek gini doang, kok sebegitunya. Ya gapapa juga sih, kalau ada yang berpikiran demikian. Lhawong yang benar kurasakan memang seperti itu. Ya tidak menyalahkan kalau ada yang beranggapan remeh.

Kembali ke ide. Cuma berangkat dari pemikiran, bahwa banyak sekali di sekitarku yang suka sekali (kalau ‘sayang’ ga tahu sih, karena menurutku, suka ama sayang itu level intensitasnya berbeda) dengan kucing/anjing. Tapi diantara yang suka itu, banyak yang tidak bisa memelihara kucing/anjing dengan berbagai alasan. Nah, ide ini sifatnya hanya ajakan/himbauan sih, karena bisa dilakukan secara individu. Ga butuh gerakan massa. Jadi, buat kita-kita yang suka binatang tapi ga bisa memelihara sendiri, kenapa tidak memperlakukan semua binatang yang kita temui selayaknya itu binatang piaraan kita. Caranya, selalu bawa catfood/petfood kemana-mana, jadi kalau ketemu di jalan, langsung aja kasih.

Asyik lho, menjalin interaksi dengan mereka, kalau kasusku, kucing-kucing liar tersebut. Mereka yang tidak mempunyai kepercayaan terhadap orang asing karena takut, lalu kita pelan-pelan berusaha membangun rasa percaya. Dan sekali rasa percaya itu terbangun, bonding/ikatan pun terjalin. And its magic!

Kedua, kalau melihat ada hewan liar yang sakit/terluka, segera dibawa ke dokter hewan. Sayang sekali, biaya dokter hewan di Jakarta mahal sekali ya dibanding Jogja. 😦

Ketiga, berpartisipasi kalau ada gerakan sterilisasi kucing/anjing liar, dengan berdonasi. Percayalah, men-sterilisasi hewan liar ini, manfaatnya jauh lebih banyak untuk mereka sendiri, dan ada manfaat juga yang bisa dipetik ulah manusia. Kalau di Jakarta, aku taunya Jakarta Animal Aid Network, bisa dicek di facebook mereka atau situs mereka. Sayang, sejauh aku pernah kontak mereka, kok minim respon.

Keempat, bagi yang ingin pelihara kucing/anjing, remember the platinum rules: DON’T BUY DON’T BREED, ADOPT. Salah satu alasan adalah, when adopt, you’re saving a life. Kalau masih ada kucing/anjing terlantar yang bisa kita pungut, kenapa tidak mengadopsi mereka saja? Selain itu, kenyataan bahwa banyak breeder/pebisnis hewan piaraan yang mengedepankan materi thok, bukan karena mereka sayang binatang.

So, mari kita semakin berwelas asih, terhadap semua mahkluk Tuhan. 🙂

 

NB. Why adopt than buy?

Tidak Semua Yang Menikah itu Pemberani

image

Valentine 2011 ini mendapati dua kabar gembira. Pasutri yang dua-duanya teman, mengabari bahwa sang istri hamil anak pertama. Kedua, seorang teman mengabari bahwa akhir April, akan menikah dengan pria yang telah mendampinginya untuk beberapa waktu ini. Diantara banjir ucapan selamat, ‘quote’ dari mas @imanbrotoseno ini membuat saya berpikir dan melahirkan postingan ini.

Tepatnya yang dikatakan mas Iman adalah sebagai berikut:

Hanya orang orang luar biasa yg berani mengambil komitmen ke perkawinan

Menurut saya itu benar. Terutama bagi mereka yang menyadari betul makna perkawinan. Well, tidak semua orang yang memutuskan untuk menikah adalah orang yang luar biasa dan pemberani. Apalagi mereka yang memutuskan menikah karena alasan-alasan yang bagi saya kurang kuat. Seperti, untuk mengejar status, karena tekanan orang lain/lingkungannya, karena ‘harus’ (bagi saya, menikah itu bukan keharusan, tapi pilihan), dll.

Menikah adalah keputusan yang berimplikasi besar dalam hidup seseorang. Ketika seseorang menikah, dia tidak lagi sendiri, tapi bersama. Konsekwensinya, salah satunya adalah ego yang mungkin saling bertabrakan. Selain itu, kita mungkin akan berubah dalam menjalani proses pernikahan, seperti juga pasangan yang mungkin juga berubah. Jadi dalam kehidupan pernikahan, kita dituntut untuk selalu belajar dan mengenali pasangan. Mengerti. Memahami.

Kebahagiaan bukan tujuan dalam pernikahan. Jika ada yang beralasan menikah karena ingin bahagia, itu nonsense. Karena dalam pernikahan merupakan proses belajar yang tiada henti. Ketika dia merasa tidak bahagia, lalu apa? Berhenti? Lalu mengejar kebahagiaan yang lain lagi?

Itulah mengapa, saya setuju bahwa mereka yang memutuskan untuk menikah dengan penuh Kesadaran (sengaja dengan huruf kapital, karena tidak sekadar ‘sadar’ secara kognitif, tapi proses spiritual) maka saya menyebut mereka sebagai orang-orang pemberani. Saya salut. Kagum.

NOTED.
Mereka yang lelah untuk meneruskan proses pembelajaran, bukanlah individu gagal. Itu ‘hanya’ sebuah pilihan. Dan saya sangat yakin, pilihan itupun juga sebuah proses belajar. Hei, seperti tagline blog saya, hidup itu untuk belajar dan bercinta, bukan?

Jodoh tak Bisa Diduga, tapi Karakter Pasangan Anda Bisa Diduga

 

 

Kemarin menjenguk sahabat yang sedang tetirah di Jogja dalam rangka pengobatan. Nostalgia-nostalgia hingga mendapat kisah cinta terkait teman masa SMU.

Jadi waktu itu, dari ngobrol ngalor ngidul bernostalgia tentang masa SMU kuliah termasuk apdet kabar teman-teman lama. Ibu sahabat saya ikut nimbrung dan bercerita tentang senior jaman SMU, cowok. Dari cerita ibunda teman saya itu, baru tahu kalau si senior ini menikah dengan teman sekelas. Yang bikin saya surprise adalah karena kedua orang ini berasal dari dua dunia yang berbeda, alias waktu SMU sepertinya mereka gak pernah berhubungan.

Senior cowo ini cukup manis, dengan ciri-ciri fisik tinggi, putih, langsing, berkaca mata, imut, manis, pendiam. Mirip-mirip bintang Korea itu deh, tapi jangan ditanya yang mana, soale saya ndak apal. Sedangkan teman saya itu (sebut saja M) secara fisik, lebih pendek dari saya, agak gemuk, wajah bulat polos tanpa make up blas, rambut seleher tanpa ditata macam-macam, penampilan sangat bersahaja. Tergolong murid pintar, tekun, dan lempeng. Bukan termasuk golongan populer, blas, bahkan dia masih kalah terkenal dengan teman sekelas yang juga termasuk geek.

Nah, kata ibunda sahabat, si senior ini naksir M sudah sejak lama tapi katanya mo pedekate sama doi susah sekali. Hingga suatu saat jauh setelah masa SMU, mereka bertemu di pesta kawinan, dan dalam waktu tiga bulan mereka menikah. Kata ibunda sahabat, si M ini miriiiiipppp baaaangeeet dengan mertua perempuannya. Malah katanya lagi, M  lebih pas jadi anak mertuanya daripada ibu kandungnya. Karena M dan ibu kandungnhya secara fisik dan penampilan berbeda. Si ibu gaul dan modis, lain dengan putrinya yang sangat bersahaja.

Dari uraian diatas bukan bermaksud gimana-gimana/mendiskreditkan fisik. Okay jujur saya masih surprise, jodoh memang tak bisa diduga (bagi yang percaya adanya jodoh lho). Jodoh bisa datang dari lingkaran yang ‘jauh’ dari kita, tak terduga. Andai saya di posisi si M, mungkin heran. Bagaimana tidak, bukan siapa-siapa masa SMU alias tidak popular blas. Secara fisik merasa tidak istimewa. Tetapi dia yang ganteng bak bintang film Korea, ternyata menaruh hati sudah sejak lama. Apa yang dia lihat dari saya dan membuatnya tertarik?

 

Dari sini, timbul pikiran iseng saya. Menyimak kembali cerita ibunda sahabat jadi kepikiran. Mertua si senior ini mirip benar dengan menantunya. Jangan-jangan si senior ini tertarik dengan M karena faktor kemiripan tsb. Lantas, apa artinya kalau seorang anak lelaki mencari pasangan yang mirip dengan ibunya?

Ada banyak kemungkinan. Mungkin ia sangat memuja/mengagumi ibunya tapi mungkin juga ia anak mami. Waktu saya lempar pertanyaan tersebut ke twitter, ada beberapa respon. Mulai dari mothercompleks, Oedipus complex,  hingga haram dalam pandangan agama.

Well? Postingan ini hanya intermeso, tidak usah dianggap serius. Tapi kalau hendak berbagi, silakan saja 😀

Yakin, Pengen Punya Suami Seperti Habibie?

Semua gara-gara twitter. Eh maksudnya begini. Semalam, berbarengan dengan acara Mata Najwa yang memutar ulang kisah cinta Habibie-Ainun Habibie, timeline lumayan rame dengan komentar mereka-mereka (umumnya perempuan) yang terharu. Para komentator ini komennya mirip-mirip, pada intinya mereka ingin mempunyai kisah cinta yang abadi sampai kakek nenek, dicintai hingga masa tua tiba, bahkan ketika maut memisahkan rasa cinta itu tak pudar. Bahkan tak sedikit perempuan yang berkhayal (?) ingin punya suami seperti Habibie.

Saya yang tidak menonton tapi cukup membaca timeline, jadi bertanya-tanya. Satu, ingin punya suami seperti Habibie itu yang gimana? Wajah/fisiknya mirip, pinternya yang seperti Habibie, kekayaan seperti Habibie, atau dicintai seperti Habibie mencintai istrinya Ainun? Kedua, tak habis pikir dengan mereka-mereka yang sepertinya terbuai oleh kisah cinta itu. Tidakkah terpikirkan prosesnya sehingga pernikahan itu bisa awet hingga kakek nenek? It takes two to tango, Ladies!! Anda, perempuan, tidak bisa mengharapkan suatu hubungan akan awet sampai 50 tahun kedepan, dan hanya pihak pria saja yang bekerja keras untuk mencintai Anda. Non sense!!!

Jadi geli saja sih, kalau yang dipikirkan untuk membentuk mahligai kisah cinta yang abadi seperti yang dilihat adalah suami yang mau mencintai hingga 60 tahun kedepan. Lha diri sendiri ngapain dong? Again, it takes two to tango!!! Apalagi, belum tentu dibalik layar kisahnya seperti apa yang terlihat. Mata itu menipu, Ladies. Mata itu menipu karena dia tidak melihat yang tidak bisa dilihat.

Jadi maunya suami seperti Habibie yang mencintai sampai maut tiba? Jadi maunya dicintai tanpa putus? Oh, gimme a break, Ladies.

Biarkan saya berbagi pengalaman saja. Saya pernah berada dalam kondisi dicintai tetapi tidak mencintai. Apakah saya senang? Sepertinya ya, karena saya mendapatkan -katakanlah- pengawal pribadi, psikolog, supir, etc etc. Tetapi apakah saya bahagia? Ternyata tidak. Lama-lama saya merasa hampa, tidak merasakan apa-apa dari hubungan yang dijalani. Hanya sebatas kesenangan semu.

Tentu saja saya pernah mencintai. Dan benar adanya, ungkapan yang pernah saya baca di buku tentang sufisme, bahwa kebahagiaan itu ada pada mereka yang mencintai. Biarpun Gibran berkata, bahwa cinta seperti sayap dan dibaliknya terdapat pedang-pedang tajam yang siap melukaimu ketika sayap tersebut merengkuhmu, tetapi darah yang mengalir sangat berharga. Itu darah kebahagiaan, Jendral. Call me lebay. But thats true.

Ketika saya mencintai seseorang, saya cenderung akan berusaha membuat dia bahagia. Dan my ultimate happiness is, i’m happy when he’s happy. Although he doesnt love me. I’ve been there, i’ve been done that. Hancur mengetahui cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan. Tetapi jika diingat-ingat lagi bagaimana saya mau melakukan apa saja untuk membuat dia bahagia, nyaman, tercukupi kebutuhannya, saya bahagia. Perasaan yang lebih dari sekedar emosi, perasaan yang sangat dalam.

Dicintai itu hanya memberikan rasa aman. Mencintai, akan membuatmu menjadi manusia seutuhnya.

Dan untuk sebuah kisah cinta yang langgeng, dibutuhkan kerja keras dari semua pihak yang mencintai. Give and give. Termasuk mencintai segala kekurangannya dan tidak banyak menuntut. Can i? Can you?

Antara Pacar dan Kata Orang

Hari Senin, hari yang sibuk sampai ada ‘falsafah’ I Hate Monday. Bahkan menurut penelitian, banyak kasus-kasus serangan jantung, kejadian pada hari Senin. Weekend kemarin ditimeline twitter banyak dibombardir berita politik, utamanya pemilihan PD1. Di Jogja sendiri hari Minggu kemarin berlangsung hajatan demokrasi pilkada, untuk pemilihan bupati Sleman, Bantuk, dan Gunung Kidul. Walau begitu, berita pilkada tidak terlalu mendominasi timeline. Saya tidak tahu, apa karena pengguna twitter dari Jogja tidak tertarik untuk men-tweet-kan pilkada di tempatnya, atau karena timeline didominasi berita impor dari Jakarta.

Well, saya tidak akan membahas itu. Sore ini, sore yang sejuk dan agak mendung, damai tenang tentram setelah hiruk pikuk Senin telah dituntaskan. Pikiran jadi melayang-layang dan browsing kemana-mana. Buka milis, buka social media, blogwalking, etc etc. Dan salah satu pikiran yang kemana-mana itu, adalah soal pacar/pasangan.

Jujur, saya pernah melakukan aib tercela terkait dengan (mantan) pacar jaman saya masih culun-culunnya. Jadi, waktu itu saya sempat malu (doh) dengan pacar saya. Gara-garanya, saya mendengarkan celotehan riwil orang-orang disekitar saya yang emang agak ‘sadis’ kalau memberikan penilaian. Mereka bilang, secara fisik pacar saya beginilah, begitulah. Dan saya (waktu itu) maluuuuu sekali. Walhasil, saya jadi agak ilfil karena termakan apa kata orang.

Sekarang, kalau saya mengingat-ingat kembali masa itu, duh saya kok ndak bangga. Maunya minta maaf kepada yang bersangkutan. Selain itu, saya jadi penasaran juga sih. Maunya mereka-mereka yang demen komen riwil terhadap hal-hal begituan, apa tho? Sirik karena ga berhasil memacari saya atau bagaimana? *plakkk, dan sepasang bakiak pun sukses melayang* :mrgreen:

Bagaimana dengan pembaca yang terhormat?

from how to train your dragon into social media

Jogja memang rada telat, khususnya dibandingkan dengan ibukota kalau ada film-film bagus yang masuk indonesia (yaeyalaaaahhh…ibukota getu lowh, dibandingin dalam hal up-to-date). Jadilah saya barusan nonton How to Train Your Dragon not in 3D, yang baru saja masuk bioskop Jogja. Padahal niat awal pengen nonton Shutter Island (yayayaya, telat lagi) yang ternyata udah digusurpaksa untuk turun.

Filmnya ternyata bagus, seperti yang diomongin teman-teman yang sudah duluan nonton. Animasi yang halus banget (untuk mata awam seperti saya), adegan action yang menegangkan, lucu-lucunya juga, dialog yang sarat pesan, dan cerita yang kuat. Cukup untuk dikategorikan film bagus? :mrgreen:

Dan ternyata saya mewek! Ya, film yang kata teman-teman lucu, ternyata malah membuat saya mengalirkan air mata terharu. Tidak sebanjir Hachiko sih, tapi teuteup air mata ini tak terbendung. Yang bikin nangis karena cara-cara Hiccup dalam ‘menaklukkan’ naga. Weeewww, saya yang pecinta binatang, terharu banget. Memang seharusnya seperti itu hubungan antara manusia dan binatang! *berapi-api*

Tapi yang membuat saya gatel pengen nulis postingan ini justru pesan lain yang disampaikan dalam film tersebut.

Digambarkan dalam hubungan ayah anak, Hiccup dan ayahnya yang penguasa desa Berk, Viking, berat sebelah. Sang ayah digambarkan mempunyai keinginan/bayangan tersendiri tentang Hiccup, dan diam-diam merasa malu dengan kondisi anaknya yang tidak seperti diinginkannya. Hiccup sendiri seperti tak berdaya untuk mengekspresikan dirinya, dia bahkan kesulitan untuk menyampaikan apa yang baru saja dialaminya. Jadilah Hiccup lebih banyak mengalah dan (terpaksa) nurut apa kata ayahnya. Tapi menurut sang ayah, itu masih dikategorikan membangkang alias tidak menurut.

Hubungan yang berat sebelah itu tampak jelas ketika ayahnya tidak mau mendengarkan Hiccup. Ayah yang terlalu ‘sibuk’ dengan bayangan ideal tentang seorang pemuda Viking yang ingin itu ada dalam diri Hiccup. Sehingga si Ayah tidak mau mendengar/sadar bahwa anaknya tidak ingin seperti yang ayahnya bayangkan. Padahal tanda-tanda itu jelas ada, pertandanya begitu mudah dibaca. Tapi ya gitu, sang ayah tidak mau mendengarkan, sehingga dia tidak sadar sama sekali dengan tanda-tanda tersebut.

Pesan itu sangat jelas di adegan ketika Sang Ayah baru pulang dan menemui Hiccup di kamar. Hiccup yang khawatir ayahnya marah dengan yang dia lakukan, dengan gugup menutupi hasil pekerjaannya. Sang Ayah tidak menangkap ekspresi gugup Hiccup. Ketika mereka mulai berbicara, Hiccup mengatakan apa, Sang  Ayah menangkapnya lain. Semua dalam frame/kerangka pikiran ayah. Hingga akhirnya konflik memuncak, Sang Ayah kecewa berat melihat Hiccup ternyata tidak membunuh naga seperti yang dibayangkan.

Kalau dibawa ke kondisi sehari-hari, situasi-situasi seperti ini sangatlah banyak ditemui. Situasi yang wajar (?) (saking banyaknya kejadian). Padahal kita tahu, kita mempunyai dua telingan dan satu mulut. Tetapi, tetap kita lebih ingin didengarkan daripada mendengar. Btw, antara hear dan listen itu berbeda sekali lho. “Mendengar” yang saya maksud disini adalah “listen”. Mendengar dengan hati, menyimak dengan sungguh-sungguh semua yang tersirat dan tersurat.

Bisa saja kita berargumen, selama ini kita telah banyak mendengar. Tetapi siapa yang sadar/jujur kepada diri sendiri, ketika kita mendengarkan orang lain, kita telah menanggalkan kacamata kita dan mengenakan kacamata orang tersebut. Jangan-jangan kita selama ini hanya mendengar apa yang kita ingin dengar. Itu konteksnya dalam berkomunikasi secara umum, sehari-hari.

Dalam konteks cyber-social (halah, istilah apalagi ini, ciptaan sendiri), keinginan untuk didengarkan alias berbicara itu bisa jadi alasan kenapa social media menjadi begitu laris manis diserbu. Social media adalah wadah yang tepat untuk menyalurkan semua yang ingin dikatakan, dikomentari, dicurhatkan, diopinikan, etc etc pendeknya tempat untuk bicara.

Kenapa social media? Jujur saja, tidak semua orang mempunyai kepercayaan diri untuk berbicara di depan publik, apalagi jika mereka ‘bukan apa-apa’ dalam arti bukan seleb/public figure. Katarsisnya ya disocial media itulah. Ada rasa aman, ketika kita bisa bicara disocial media, karena kita merasa ga benar-benar hadir/tampil di depan massa. Yang malu, yang ga pede, jadi merasa menemukan penyalurannya.

Kembali ke soal mendengar-didengarkan, begitulah kalau semua berebut untuk didengarkan/bicara disocial media, lantas siapa yang bersedia mendengar/membaca?

Mungkin karena itu pula, terkadang saya lelah menatapi timeline akun social media saya. Hiruk pikuk, timeline mengalir deras. Sepertinya semua orang sedang berebut untuk berbicara, meminta untuk diperhatikan dan didengarkan. Lantas siapa yang bersedia mendengarkan saya? :mrgreen:

Btw, naga-nya Hiccup kok mengingatkan saya dengan tokoh alien di Lilo and Stitch ya? 😀

Notes.

Perenungan saya, seringkali keinginan untuk didengarkan tersebut membuat kemampuan untuk mendengarkan inner-voice menurun. Cara yang saya lakukan adalah, saya menyepikan diri untuk lebih peka mendengar inner-voice saya.

Mumpung Jomblo, Pergilah Lihat Dunia Seluasnya, Selebarnya

Sungguh. Seriusan. Beneran.

Alasannya, saya mengamati; mereka-mereka yang bertemu lebih banyak orang, sering berjumpa dan berinteraksi dengan orang baru, bergaul dengan berbagai kalangan, sering berada di tempat-tempat baru, biasanya wawasannya lebih luas dan pemikirannya lebih terbuka. Memang hasil amatan saya tidak 100% bersifat absolut, selalu ada pengecualian.

Selain itu, dunia ini terlalu sayang jika tidak dieksplorasi. Menyenangkan sungguh, bisa bepergian ke berbagai tempat, berpetualang, tidak melulu di mall. Bertemu (apalagi jika sampai berinteraksi) dengan kebudayaan dan kebiasaan yang sungguh berbeda dengan kita. Menemukan kebesaran Tuhan dimana-mana. Mengalami sendiri tentu sejuta kali berbeda daripada hanya menyaksikan lewat televisi atau membaca saja.

Tetapi selalu ada beberapa situasi khusus yang membuat kita tidak bisa leluasa menuntaskan hasrat petualangan kita. Berpasangan adalah salah satunya. Berkaitan dengan ini, beberapa bulan lalu sewaktu berada di luar kota nan jauh dimato, saya menemukan pencerahan.

Jadi ceritanya, saya dan teman saya, mewakili Cahandong, diundang ke Padang oleh Oxfam. Teman saya si Alle mengajak untuk extend, mumpung di Padang sekalian ke Bukittinggi. Saya antusias dengan ide tersebut, untuk itu saya ijin dulu kepada Kangmas. Ternyata sesuatu dan lain hal membuat saya berubah pikiran dan membatalkan rencana extend ke Bukittinggi.

Pada saat mengambil keputusan tersebut, saya termangu, seperti inikah situasinya jika saya telah menikah dan berkeluarga nanti? Tidak lagi sebebas masa lajang, karena tentu saja ada prioritas-prioritas lain yang musti didahulukan. Saya yang sangat memuja kebebasan, mendadak tersadar. Dan seiring kesadaran itu datang, rasa ikhlas itu muncul.

Prioritas seseorang dapat berubah-ubah, sesuai dengan situasinya. Kondisi masyarakat (yang cenderung patriarkhal) dan konstruk sosial turut berpengaruh. Mau tidak mau musti menyadari bahwa ketika perempuan  sudah berpasangan, apalagi menikah, maka prioritasnya berubah tak lagi dirinya menjadi nomer satu. Situasi seperti ini kadang (atau sering?) membuat perasaan tidak puas itu muncul. Akibatnya bisa fatal, status bisa menjadi kambing hitam atas ketidakbahagiaan.

Saran saya, buang jauh-jauh rasa penyesalan itu. Kuncinya ada pada kesadaran. Seperti ketika saya yang dengan sadar 100% memilih untuk membatalkan ke Bukittinggi demi orang lain. Saya sadar, that i choosed him over myself. Dats my happiness. The happiness of being together.

Being single is fun. Thats so true. Karena itu, saya menghimbau teman-teman yang masih single, untuk buru-buru melihat dunia, seluas-luasnya, selebar-lebarnya. Mumpung. Serius nih.

Soal bahagia, bahagia itu keputusan kok. Pilihan. Sekarang, detik ini juga, saya bisa memutuskan untuk bahagia. Soal kebebasan, hmmm… Seperti yang saya utarakan diatas, prioritasnya mungkin sudah waktunya direvisi. Kebersamaan, mungkin menjadi urutan awal dari daftar prioritas. Dan kuncinya, sekali lagi adalah kesadaran.

Notes.

Soal kesadaran ini, seperti dalam tulisan saya yang ini, dalam memilih dan membuat keputusan ada baiknya karena memang sesuai dengan kata hati. Bukan karena kata orang-orang. Termasuk postingan ini sekalipun.

Oia, endingnya, saya ternyata jadi berangkat ke Bukittinggi. Jadi tips lain kalo memang doyan berpetualang, sebisa mungkin cari pasangan yang memahami kegemaran akan jalan-jalan. Apalagi kalau doyan jalan-jalan bareng. Kesasar berdua? Malah jadi anugerah!! LOL

Tips Untuk Para Jomblowan yang Ingin Mengakhiri Masa-masa Suram Jomblo Abadi Tiada Tara : tips tokcer langsung dari narasumber

Wahai para Jojoba alias Jomblo-jomblo bahagia…..terutama bagi pemegang predikat jomblo selama lebih dari 2 tahun berturut-turut dan yang lebih mengenaskan lagi, sudah lima tahun berturut-turut masih memakai sabuk kejuaraan Jomblo kelas berat….masihkan kalian merasakan kebahagiaan dengan predikat jomblo tersebut ?? Ask your deepest heart….

Tidak irikah kalian melihat kemesraan dan kebahagiaan para sejoli, yang saling berbagi asa dan cerita ?? Tidakkah kalian rindu adanya pasangan jiwa yang mampu memberikan kesejukan dikala panas melanda, pasangan jiwa yang mampu membuat diri merasa berarti dan bermakna ??

Well, jika kerinduan kalian akan sosok yang mampu melengkapi diri, sudah tak tertahankan lagi, bolehlah kalian simak tips-tips yang sudah teruji validitasnya di kancah laboratorium pergaulan manusia…. :mrgreen:

  • Pengalaman pribadi membuktikan, semasa masih guyub bergerombolan dengan anggota gank, maka harapan datangnya bidadari masih jauh dari kenyataan. Ya, masuk akal toh, perempuan akan berpikir 100x bahkan 1000x untuk mendekati seorang lelaki, semenarik apapun dia, jika dikelilingi oleh gerombolan teman-temannya, sesama lelaki jalang.

Perempuan juga akan lebih menghargai seorang lelaki yang pedekate, sendiri, tanpa ditemani oleh segerombolan lelaki jalang, biarpun untuk memberi dukungan moral.

Lagian, dari kacamata psikologi kelompok, perilaku massa (kelompok) berbeda jauh dengan perilaku individu. Ketika beramai-ramai dengan anggota genk-nya, lebih berani menunjukkan perilaku vulgar (yang sesungguhnya sangat norak di mata kaum perempuan), seperti pandangan kagum yang berlebihan yang menjurus ke hasrat, siulan, panggilan-panggilan ndeso bin norak bin melecehkan macam “Mbake….suit2, *cethok2* -menjentikkan lidah di rongga mulut- “ Oooohhh, sumpah, menggelikan dan langsung turun deh derajatnya di mata kaum perempuan.

Coba ketika sendiri, apakah dirinya akan seberani itu, bahkan untuk menanyakan nama sekalipun dan mengungkapkan kekaguman atas pesona Sang Jelita ??

  • Percaya diri dan menjadi diri sendiri. Tidak usah berlagak menjadi Nicholas Saputra, apalagi jika tidak didukung oleh penampilan fisik yang memadai :mrgreen:

Let your inner handsome, out !! Percayalah, gadis yang tepat dan sesuai dengan dirimu akan menangkap resonansi inner handsome-mu dan biarkan alam yang bertindak selanjutnya.

Tapi tentu saja, menjadi diri sendiri tidak berarti tampil kumuh dan bau badan prengus gara-gara hobi makan kambing, menyeruak tajam. Apalagi jika bau kaki yang tidak sedap juga ikut pamer gara-gara males menjaga kebersihan diri. Waduuuuuhhhh, ya jangan harap untuk mengharapkan sosok jelita macam Sandra Dewi atau Gita Gutawa datang mendekat. Mimpiiiii !!!!

  • Perempuan menghargai lelaki yang juga menghargai dirinya sendiri dengan menjaga kebersihan diri. Yah, standar akan meningkat jika Sang Jelita juga menerapkan standar diri yang juga tinggi. Gampangannya, Sang Jelita yang doyan ke salon dan spa, juga mengharapkan sosok Pangeran yang juga rajin memperhatikan dirinya, minimal kenal dengan berbagai merk parfum kelas atas. Tetapi Sang Jelita yang lebih peduli untuk up-grade pengetahuan daripada up-grade penampilan, tentu juga akan risih jika harus kencan dengan sosok Ivan Gunawan.

JIKA HARI BESAR TIBA…..

Oke, kamu sudah tahu namanya. Beberapa perbincangan pun sudah sukses dilalui. Merasa ada kecocokan dan ingin tahu lebih lanjut lewat kencan, ow, thats sweet. Nah, gimana supaya kencan tidak berakhir basi di keranjang sampah ?? :mrgreen:

  • Be Gentle

Perempuan sangat mudah termehek-mehek dengan para lelaki yang mampu memperlakukan mereka seperti seorang lady. Tidak usah harus gombal setengah mati dan memborong mawar, malah-malah kalau ketemu perempuan yang berhati singa, semua itu bisa jadi akan ditertawakan habis-habisan.

Rahasianya apa sih ??

– Jangan kelewat vulgar, hehehe. :mrgreen:

Maksudnya, pada pengalaman kencan pertama ini, wajar jika Sang Jelita berdandan agak lebih istimewa dibanding hari-hari biasa. Terpesona boleh dong, tapi ekspresikan dengan kata-kata yang lugas tapi membuat perempuan penasaran. Misal, kamu malam ini cantik banget. Eit, tapi awas, pandangan mata dijaga jangan sampai hanya terpaku di titik tertentu macam singa kelaparan, hihihihii.

Tangan juga tuh, jangan sampai kelewat ramah alias rajin menjamah. Perlakukan dia selayaknya boneka perselin yang harus dijaga hati-hati.

– Conversation.

Mendominasi pembicaraan adalah langkah bunuh diri. Apalagi kalo yang dibicarakan melulu kesuksesan diri, huuuu…kabur deh. Kecuali kalau si Dia berminat ketika kamu membicarakan deposit tabungan berapa juta, take home pay berapa, fasilitas yang didapat apa, dsb. Yah tapi itu kan berarti….. :mrgreen:

Beri si Jelita kesempatan untuk berbicara. Di sini kepiawaian Anda dalam mendorong dan merangsang menstimulir pasangan untuk lebih ekspresif bercerita, akan diuji. Apalagi jika si Dia tampak sangat nyaman dalam bercerita, mengalir lancar, bingo !! Kartu truf sudah di tangan^^

Dan nilai plu-plus jika Anda mampu membuat si Dia tertawa terpingkal-pingkal. Jika asmara bisa datang lewat perut, ternyata humor pun mampu membuat hati jatuh bertekuk lutut.

Lha, gimana kalau si Dia termasuk kategori nenek-nenek cerewet. Well, ga perlu susah-susah lagi untuk menstimulir to ?? Tinggal mencocokkan apakah isi pembicaraan saling nyambung, bisa mengalir lancar ga^^

– Saat makan !!!

Tampaknya sepele, tapi awas, kebanyakan gadis bisa sangat sensitif dalam hal ini. Apalagi kalau cara makan jorok, seperti kuli yang habis kerja rodi dan udah tiga hari ga makan, waduuuuhhhh…. Ditambah bersendawa keras-keras, ngupil, korek-korek gigi secara vulgar, nasi berceceran di sekitar piring, aduuuhhh iiiih jorok banget deh.

Tapi kalau tetap mo nekat, ya silakan saja. Jika si Dia tampaknya tidak keberatan, kemungkinan ada dua. Satu, cara dia makan juga sama joroknya. Kedua, si Dia adalah aktris yang hebat yang mampu berakting menyembunyikan rasa jijiknya. Tapi habis itu, langsung kabuuuurrr dari hadapan Anda.

Well, demikian tips-tips lumayan sesat yang berhasil dikumpulkan dari pengalaman pribadi perempuan-perempuan. Semoga bermanfaat dalam mengusir predikat jomblo dan tidak lagi harus merusuhi teman Anda yang sedang berasyik masyuk dengan kekasihnya, karena sekarang Anda pun punya acara sendiri, hihihhihih….. :mrgreen:

interpersonal conflict management pt.two

-lirik lagu Seventeen : selalu mengalah….-

jelaskan padaku isi hatimu
seberapa besar kau yakin padaku
untuk tetap bisa bertahan denganku
menjaga cinta ini

pertengkaran yang terjadi
seperti semua salahku

reff:
mengapa selalu aku yang mengalah
tak pernah kah kau berpikir
sedikit tentang hatiku

mengapa ku yang harus selalu mengalah
pantaskah hatiku
masih bisa bersamamu


Ada yang mengalami kisah mirip-mirip dengan penggalan lirik lagu dari grup band Seventeen di atas ??

 

Gimana sih, rasanya, ketika kita memendam masalah dengan orang lain, dan orang lain tersebut bersikap dominan terhadap kita ?? Kita seperti di pihak yang harus menelan bulat-bulat rasa kesal, kecewa, marah, dsb, karena kita merasa lebih inferior dibanding dirinya. Pada kasus yang ekstrim, dominasi itu bahkan ditunjukkan oleh aksi kekerasan, misal pukulan, tamparan, bahkan kekerasan verbal seperti mengatai kita kata-kata yang tak pantas.

 

Apa yang pembaca rasakan, ketika kita konflik dengan orang lain dan akibatnya ada rasa tidak enak yang mengganjal di hati, tetapi kita tidak kuasa untuk melepaskan ganjalan tersebut ??

Waaah, rasanya…seperti nelen kulit durian utuh bulet-bulet, betul apa betul ?? Hehehe….

 

Misal, begini. Kamu dan pacar kamu baru saja jadian. Malam itu malam minggu. Udah janjian nih, untuk nonton bareng. Ketika kalian pergi bareng, kamu agak kecewa melihat perilakunya, karena Si Dia terang-terangan mengagumi cewek lain walau ada kamu di sebelahnya. Dan cara Si Dia menunjukkan kekaguman itu, cukup norak. Misal, menatap dengan mata melotot dan mulut setengah terbuka, kemudian berkomentar betapa seksinya cewek itu, betapa besar dadanya, dsb. Padahal ada kamu di sebelahnya.

 

Wuah, kesel dong, diperlakukan seperti itu. Rasanya seperti nggak dianggep aja. Tapi apa yang kamu lakukan ??

Kamu hanya tersenyum kecut dan menelan bulat-bulat rasa gondok itu, tak sepatah kata pun keluar menyinggung kejadian tersebut. Gondok, mangkel, sebal, tapi kamu pendam saja.

 

Atau, kamu langsung meradang, dan berteriak-teriak memaki-maki perilakunya yang menurutmu keterlaluan. Akibatnya, kalian jadi tontonan gratis satu mall.

Bisa juga, kamu diam saja tapi balas dendam, dengan berlaku persis sama, malah kegatelan. Misal, main mata dengan cowo keren, pasang bahasa tubuh yang menggoda dan terang-terangan di depan mata pacar kamu. Diam sih, ga keluar kata-kata keberatan, tapi perilakumu menyatakan sebaliknya.

 

Contoh kedua, misal kamu dan temenmu. Kalian sobatan akrab. Walau begitu, ada beberapa kebiasaan temenmu yang bikin kamu kesal. Seperti, pinjam duit, banyak pula, tapi lewat dari waktu yang dijanjikan, dia diem aja. Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, atau belagak lupa kalau dia pernah pinjam. Dan kamu tahu persis, dia bukan orang fakir. Kebiasaan buruknya yang lain misal, tanpa ijin sama sekali membuka-buka file pribadimu, meminjam tanpa ijin barang-barangmu, malah yang paling keterlaluan, dia flirting dengan pacarmu !! Ketika ditanyain, dia berkilah, dia biasa aja ga ada maksud godain.

Nah lo, apa yang kamu lakukan ?? Dia sahabat baikmu lho. Bagaimana caramu menyatakan keberatan itu ?? Diam saja tapi dongkol setengah mati, atas nama persahabatan dan ogah ribut ?? Atau langsung memutuskan tali persahabatan ??

 

Contoh ketiga, misal kamu lagi bete antre di kasir supermarket. Antrian panjang yang biasa terlihat di bulan Ramadhan, apalagi menjelang berbuka. Tapi kamu lega, karena antrian di depanmu tinggal beberapa orang lagi. Tiba-tiba, nyelonong gadis cantik mempesona di depanmu, enak banget lansung potong antrian, ikutan antri di depanmu. Ketika kamu tanya, alasannya, dia Cuma belanja beberapa barang saja.

Langsung meledak marah atau diam saja walaupun dongkol, dan oke, karena dia cantik. Coba kalo jelek, wuah, jangan-jangan reaksimu beda lagi. :p

 

Lagi-lagi, tak bisa dielakkan, dalam bergaul dan bersosialisasi dengan orang lain, ga bisa lepas dari yang namanya konflik. Dalam postingan sebelumnya, sempat disinggung tentang diagram alternatif respon terhadap konflik. Selain itu juga sempat disinggung mengenai posisi psikologis yang mendasari pemilihan alternatif respon terhadap konflik tersebut.

 

ANALISIS TRANSAKSIONAL

 

Posisi psikologis merupakan istilah yang lazim dalam metode Analisis Transaksional yang dikembangkan oleh Eric Berne. Latar belakangnya adalah Eric Berne memandang bahwa komunikasi yang terjadi antara dua orang, galibnya adalah sama dengan proses transaksi.

 

Ketika seseorang berkomunikasi dengan pihak lain, yang terjadi adalah si A bermaksud menyampaikan keinginannya dan kebutuhannya, serta mencoba mempengaruhi orang lain (si B) supaya si B mau mendengarkan, memperhatikan, memahami, dan mau berbuat seperti yang diinginkan si A. sebaliknya, si B dalam berkomunikasi dengan si A juga bersikap sama dengan si A.

Karena tiap individu mempunyai harapan dan keinginan yang seringkali berbeda, untuk mempertemukannya biasanya terjadi semacam proses tawar menawar. Kondisi seperti inilah yang disebut Eric Berne sebagai transaksi. Proses transaksi ini tak semua bisa berjalan mulus, seringkali malah saling melukai dan menyakiti, seperti contoh konflik dalam uraian di atas atau postingan sebelumnya.

 

Analisis Transaksional (AT), menurut Eric Berne merupakan metode untuk menganalisis atau menemukan pola mana saja yang berperan dalam sulit atau mudahnya proses transaksi/komunikasi. AT ditawarkan oleh Eric mengikuti teori psikoanalisis Sigmund Freud dan penemuan kerja otak dari Broca dan W. Penfield antara aktivitas otak dan perilaku manusia.

 

Menurut Penfield, otak manusia sejak bayi sudah mampu merekam berjuta-juta pengalaman tentang perasaan, pandangan, sikap, perilaku, dll. Pengalaman yang tertanam sejak bayi hingga dewasa ini untuk selanjutnya disebut sebagai egostate.

Berne mengelompokkan rekaman pengalaman tersebut menjadi kelompok pesan-pesan norma Orang Tua (egostate Orang Tua) dan kelompok reaksi perasaan Anak (egostate Anak). Kedua egostate tersebut dalam keseharian berebut untuk tampil dalam proses komunikasi. Sulit untuk melepaskan diri sepenuhnya dari kedua egostate tersebut, apalagi egostate tersebut sebenarnya adalah rekaman perbendaharaan mengenai berbagai cara yang individu lakukan dalam menghadapi / menyelesaikan masalah, entah itu berhasil atau tidak.

Berne menawarkan alternatif cara untuk menyadari egostate tersebut dan mengontrol dan mengendalikannya sepenuhnya. Egostate tersebut adalah egostate Dewasa. Individu yang sehat adalah mereka yang mampu menggunakan egostate-nya sesuai dengan situasi dan kondisi, yaitu ketika egostate Dewasa dalam posisi dominan sehingga mampu memilih egostate mana yang sesuai dengan situasi tertentu.

 

Misal, ketika lagi bermanja-manja dengan pacar, boleh lah kita memakai egostate Anak, tapi kalau terus-menerus memakai egostate Anak, pacar bisa kabur karena merasa tidak pacaran dengan kita tapi seperti sedang menjadi baby sitter anak kecil.

Atau misal, ketika dalam suatu meeting penting, rapat komite khusus untuk menentukan sikap terhadap suatu kebijakan. Eh, karena opini kita ditolak, kita ngotot untuk memaksakan opini yang kita anggap benar tersebut dan kita jadi berang, marah-marah, bahkan naik ke meja dan meninju pimpinan rapat, hehehe.

 

Dalam kehidupan sehari-hari, ketiga egostate sering bertentangan satu dengan yang lain. Umumnya, cara yang paling ideal adalah memakai egostate Dewasa, yang mampu menerima dan menyalurkan keinginan Anak dan Orang Tua secara proporsional. Karena itu, menurut psikolog dan terapis Dr. Salim A Sungkar menyatakan :

 

USE YOUR ADULT, PLEASE

 

Bukan, be adult. Mengapa ?? Karena sering kita saksikan, mereka yang berusia lebih dari 20 tahun, yang di Indonesia termasuk kategori dewasa (ingat pengkategorian film, hehehe), ternyata usia mentalnya belum dewasa. Dr. Salim A Sungkar menyatakan, mental tak akan menjadi dewasa hingga egostate Dewasa menjadi dominan dibanding egostate Anak dan Orang Tua.

 

Selain itu, selama proses interaksi dengan orang lain yang terus terjadi dari masa bayi, membuat individu merekam semacam kesimpulan tentang diri sendiri dan orang lain, yang menjadi dasar keputusan sikap hidupnya. Secara singkat bisa dirangkum dalam empat macam kemungkinan, yang juga disebut sebagai Posisi Psikologis, yaitu :

 

  • Saya Tidak Oke – Kamu Oke
  • Saya Tidak Oke – Kamu Tidak Oke
  • Saya Oke – Kamu Tidak Oke
  • Saya Oke – Kamu Oke

 

Dalam berkomunikasi antara tiga egostate tersebut, ada tiga kemungkinan transaksi yang terjadi, yaitu :

 

  • Transaksi komplementer : jika kedua belah pihak mampu memberikan respon yang saling diharapkan.

Misal, A : sedang dimana, Sayang ?

         B : masih di kantor nih, Mah, rapat. –> egostate yang sama

Atau, X : mengapa semester ini penjualanmu menurun ?

         Z : maaf, Pak, saya kesulitan dengan ketatnya persaingan pasar. –> egostate yang berbeda

 

  • Transaksi silang : jika kedua belah pihak tidak memberikan respon yang masing-masing harapkan.

Misal, C : Kok kamu ga pernah posting lagi, sih, Sayang ?

         D : Eh, suka-suka gw dong, mo posting kek, mo enggak kek, bodo !!

 

Transaksi ini yang paling rentan konflik, seperti yang sudah diungkap di postingan sebelumnya.  Ketika pihak lawan memberikan respon silang atau jawaban yang tak diharapkan, maka sebenarnya terbuka peluang bagi pihak pertama untuk memberi jawaban silang juga atau memberi jawaban yang komplementer untuk memperbaiki keadaan tidak enak.

Bagi pihak pertama yang cepat menyadari (transaksi) apa yang terjadi dan memiliki kemampuan untuk memahami (fleksibel, empati, easy going), maka dia mampu untuk memberikan jawaban yang komplementer.

 

Misal, bagaimana dengan situasi berikut :

C : Kok kamu ga pernah posting lagi, sih, Sayang ?

D : Eh, suka-suka gw dong, mo posting kek, mo enggak kek, bodo !!

C : Eh, ditanya baik-baik kok nyolot sih, mau kamu apa, heh ?? Nantang ??

 

Atau situasi seperti ini :

C : Kok kamu ga pernah posting lagi, sih, Sayang ?

D : Eh, suka-suka gw dong, mo posting kek, mo enggak kek, bodo !!

C : Sayang, aku kaget nih, denger jawaban kamu. Ada apa, Sayang ?? Lagi bad mood ??

 

Hmmm…what do you think ???

 

  • Transaksi terselubung : maksudnya adalah, apabila ada maksud yang tidak tersirat dibalik ungkapan.

Misal, ketika hendak menyindir seseorang, kita sering memakai transaski seperti ini. Ketika flirting pun, tanpa sadar, kita memakai transaksi seperti ini juga.

 

Contoh yang romantis, yaitu antara pasangan yang baru menikah, ketika suasana sedang hangat-hangatnya bulan madu. Ketika sang suami mendapati istrinya yang sama sekali tidak bisa memasak, mencoba memasak untuk makan malam bersama, ia akan tersenyum dan memuji usaha istrinya dan mengajak untuk makan malam di luar.

 

Oke, sampai disini dulu kuliah Interpersonal Conflict Management, hehehe.

Dengan Analisis Transaksional, seyogyanya (karena penulis adalah orang Yogya, mungkin kalau orang Surabaya akan menulis sesurabayanya :mrgreen: ) kita mampu mengenali egostate yang kita pakai dalam berkomunikasi dan mengenali jenis transaksi apa yang kita gunakan.

Harapannya adalah, mampu meminimalisir atau meredam konflik yang timbul karena gesekan-gesekan yang tak selaras dari hubungan antar individu.

Penulis sih, bersemboyan, tidak ada masalah yang tidak bisa dibicarakan, atau dengan kata lain, SEMUA BISA DIBICARAKAN, GITU AJA KOK REPOT :mrgreen: .

interpersonal conflict management

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari hubungannya dengan individu lain. Kecuali ia Robinson Crusoe yang yang terdampar di pulau terpencil yang tak tercatat di peta, maka sampai kapan pun kita akan selalu berhubungan dengan individu lain. Entah itu di kampus, di rumah, di warung, di kantor, di rumah ibadah, dll.

Sebagai individu yang selalu berhubungan dengan inividu lain, tak jarang hubungan antar individu tersebut menjadi sumber permasalahan atau konflik yang merembet hingga ke masalah lain, misal stress, depresi, kinerja memburuk, dll. Konflik antar individu adalah wajar dan merupakan proses yang musti dialami oleh setiap individu. Dari konflik-konflik tersebut, disadari / tidak, ia belajar untuk mengembangkan dirinya yang pada akhirnya bermuara ke pengembangan pribadi atau personal development.

Mereka yang cukup bijak untuk belajar mengelola konflik akan tumbuh menjadi pribadi yang dewasa (kata iklan, menjadi dewasa itu pilihan, menjadi tua itu pasti), mandiri, bijaksana, dll. Dalam istilah saya, ia akan menjadi pribadi yang matang, mapan, mempesona……akar dari inner beauty (bagi perempuan) atau inner handsome (bagi pria).

Nah, tantangannya adalah, bagaimana cara mengelola konflik interpersonal atau bahasa kerennya interpersonal conflict management ??

Kebetulan, salah seorang teman sedang mengalami masalah interpersonal yang cukup pelik dan mengganggu kenyamanannya, dan merembet kepada lingkungannya. Peristiwa ini menjadi bahan pelajaran yang sangat bagus bagi saya, karena saya menjadi belajar untuk lebih menghormati orang lain (termasuk rasa nyamannya dan hak-haknya), dan bagaimana mengelola respon ketika mengalami kekecewaan yang teramat sangat.

Singkat cerita, teman ini sedang merasa ketenangannya terusik dan bahkan merasa terancam oleh seseorang yang baru dikenalnya. Alasannya orang tersebut mengganggunya, karena ia kecewa oleh teman tersebut yang tidak bisa memberikan apa yang ia inginkan. Kecenderungannya ia bertekad, untuk win-loose atau loose-loose, diantara mereka berdua.

Meminjam teori analisis transaksional, interaksi antar personal akan terganggu jika transaksi yang terjadi antara A dan B, ternyata antara stimulus yang diberikan A tidak direspon B seperti yang diharapkan oleh si A. Posisi psikologis masing-masing di antara keduanya bisa jadi seperti berikut :

Cara memandang diri sendiri Cara memandang orang lain
I’m not ok You’re not ok
I’m not ok You’re ok
I’m ok You’re not ok
I’m ok You’re ok

Posisi psikologis ini ternyata mendasari gaya seseorang dalam menyelesaikan permasalahan, yaitu apakah ia akan mengambil penyelesaian masalah yang :

Loose – Loose (berdasar kepada posisi i’m not ok – you’re not ok)

Loose – Win (berdasar kepada posisi i’m not ok – you’re ok)

Win – Loose (berdasar kepada posisi i’m ok – you’re not ok)

Win – Win (berdasar kepada posisi i’m ok – you’re ok)

Jika saya bertanya kepada teman-teman, menurut Anda, gaya penyelesaian masalah manakah yang paling ideal ?? (jawaban bisa disimpan dalam hati saja kok, hehehe). Dan bagaimana perwujudannya ??

Dalam kehidupan sehari-hari, jika kita mencermati sekeliling kita, ada banyak yang mewakili empat kategori tersebut. Walaupun secara konsep, gaya penyelesaian (konflik interpersonal) win-win adalah yang paling ideal, tetapi tidak semua mampu menjalani.

Misal, karena kalah dalam bersaing dan tidak menjadi pemenang, maka ia bertekad bahwa tidak boleh ada seorang pun yang juga jadi pemenang (loose-loose). Atau karena merasa tidak enak (sungkan), misal kepada teman atau bos, maka ia diam saja ketika haknya diambil orang lain.

Gaya penyelesaian win-win, dalam istilah lain disebut sebagai kolaborasi.

Ciri-cirinya adalah, jika terjadi konflik antar individu, kegiatan lebih difokuskan mencari solusi atas konflik yang terjadi (diarahkan pada pemecahan masalah). Gaya ini dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.

Bandingkan dengan tiga gaya penyelesaian masalah lainnya. Apakah gaya tersebut mampu memenuhi kebutuhan kedua belah pihak ?? Tentu saja tidak, selalu ada kebutuhan entah siapa yang dikorbankan.

Mari kita berguru kepada musisi.

Dalam pertunjukan musik atau nge-jamm atau entah apalah, istilah yang selalu dipakai adalah kolaborasi. Misal, saya pernah menyaksikan di televisi, kolaborasi yang sangat menakjubkan antara Debu dan Slank, live. Emosi saya tersentuh dan hati saya tergetar mendengar dan menyaksikan komposisi yang luar biasa tersebut. Debu, yang kental dengan warna gambus dan lirik-lirik bernafaskan kesufian, berkolaborasi dengan Slank, yang lekat dengan image urakan dan lirik-lirik nakal. Masing-masing tetap menjadi dirinya dengan tidak membawa ego masing-masing, dan hasilnya luar biasa !!!

Atau jika kita menikmati sesi jam session musisi jazz di panggung. Saya sangat kagum, karena masing-masing mampu berkolaborasi tanpa membenturkan ego masing-masing untuk tampil paling menonjol. Mereka tanpa harus berbicara, mampu membawakan bagiannya masing-masing dan hasilnya lagi-lagi suatu komposisi baru yang luar biasa….

Karena itu saya meyakini, terlebih untuk pasangan kekasih atau suami istri, jika terus berkolaborasi, mampu melahirkan sesuatu yang baru yang membawa kebaikan bagi sekitarnya. Masing-masing pasangan mampu bertumbuh, melahirkan yang terbaik dari diri masing-masing.

Bedakan kolaborasi dan kompromi.

Kompromi, seperti halnya kolaborasi, merupakan usaha untuk memuaskan kedua belah pihak. Bedanya, kedua belah pihak mengorbankan beberapa kepentingan yang dipunyai agar terjadi titik temu. Gaya ini cenderung masih menyisakan permasalahan yang kemungkinan potensial untuk menimbulkan konflik lagi.

Ada beberapa respon alternatif dalam menghadapi konflik, yaitu :

  • forcing : assertive – uncooperative
  • avoiding : unassertive – uncooperative
  • accomodating : unassertive – cooperative
  • collaborative : assertive – cooperative
  • compromising : in the middle

Dari uraian di atas (sebenarnya saya sudah membuat diagram alternatif  respon, tetapi sayang sekali tidak bia muncul 😦  ), kita bisa mengidentifikasikan, kecenderungan seperti apa yang biasa kita ambil dalam menyelesaikan konflik. Atau kita bisa memperkirakan, respon apa yang diambil oleh orang lain ketika mengalami konflik dengan kita.

Seperti kasus teman saya tersebut, kemungkinan yang bersangkutan menggunakan gaya forcing / dominasi. Hal tersebut bisa dilihat dari caranya dalam menyelesaikan permasalahan, apakah menggunakan cara-cara :

* Menggunakan otoritas yang dipunyai

* Ancaman

* Manipulasi

* Tidak memperhatikan hak-hak orang lain

Usaha yang dilakukan adalah untuk memuaskan kebutuhan diri sendiri.

Pertanyaannya adalah, apakah yang harus kita lakukan menghadapi individu-individu sulit seperti itu ??

Tetap, kita harus memakai dan mengedepankan win-win solution, selalu berpikir win-win solution. Cara kedua, seperti yang ditunjukkan oleh diagram di atas, tidak bisa lepas dari komunikasi asertif.

Wah, apalagi itu, asertif ?? Makanan apa pula itu ??

Hmmm…..untuk yang satu ini, akan saya bahas di postingan tersendiri, karena panjang kali lebar samadengan luas, ok ??^^