Menulis itu katanya lebih mudah kalau muncul dari hati, daripada menulis yang tidak dari hati. Sudah beberapa lama ini, si empunya blog mengalami writer’s block (halah) yang cukup lama. Ide bertebaran tetapi kesulitan untuk diwujudkan dalam sebentuk artikel yang enak dibaca.
Salahkan twitter, kalau mau gampang berkambing-hitam ria. Loncatan-loncatan ide atau pikiran random tersebut lebih mudah saya tuangkan dalam bentuk 140 karakter. Sebenarnya kalau sempet nengokin linimasa saya, itu adalah bank ide tulisan. 😛
Seperti, ketika saya sering ngetwit soal cantik. Dari yang nanya tips gimana supaya tampil cantik, sampai bahasan psikologis-filosofis (halah lagi) tentang kecantikan.
Dalam lamunan dan amatan random saya, saya menemukan bahwa kecantikan terkait dengan kepercayaan diri. Maksudnya begini, banyak perempuan-perempuan di sekitar saya yang cantik-cantik, tapi merasa tidak cantik dan tidak menarik (termasuk empunya blog). *plaaakkk*
Jadi berpikir, sindrom rendahnya kepercayaan diri lebih sering dialami perempuan daripada laki-laki ya?
Saya beri contoh manifestasinya. Ketika bercermin alias ngaca, biasanya cowo cengar-cengir, bergaya bak binaragawan, dll. Mereka lebih mudah menemukan kelebihan fisiknya ketika bercermin. Sedangkan perempuan ketika ngaca, yang dilihat pertama-tama adalah kekurangannya. Seperti jerawat, kerut pada mata, komedo, rambut yang berantakan, dll.
Cantik selain terkait kepercayaan diri, dia juga adalah komoditas. Tak terhitung berapa banyak produk dan brand untuk menunjang kecantikan. Lupakan produk pemutih kulit wajah dan iklan dengan model perempuan berambut panjang lurus (dan sudah banyak yang protes). Tahukah kalian, ada produk yang bisa mencerahkan warna areola supaya lebih pinkish, memutihkan selangkangan, memutihkan ketiak, bahkan vaginoplasty untuk mempercantik bentuk labia?
Saya pernah berselancar ke situs kesehatan reproduksi yang ditujukan untuk perempuan remaja dan dewasa. Ternyata banyak perempuan yang mencemaskan bentuk vaginanya khususnya bentuk labianya. Mereka merasa bentuk labianya aneh, tidak normal, tidak seperti yang diidealkan, sehingga mereka merasa rendah diri, tidak menarik, tidak berharga, malu menjalin hubungan dengan lelaki karena takut pasangannya kelak akan kecewa, dll.
Dalam situs tersebut diterangkan bahwa karena minimnya informasi tentang reproduksi kita (perempuan) sendiri, menyebabkan banyak perempuan yang buta/tidak mengenali tubuhnya sendiri.
Gawatnya, mereka (kita) lebih banyak menerima informasi yang salah kaprah, dan menyebabkan kita semakin tenggelam dalam kekhawatiran. Terkait konteks labia, ternyata ada banyak sekali tipe bentuk labia, jadi tak seharusnya kita (perempuan) merasa rendah diri karena ada yang tidak normal dalam diri kita. Demikian menurut para ahli dalam situs tersebut. Bahkan vaginoplasti yang bertujuan untuk ‘memperbaiki’ bentuk labia, dapat merugikan perempuan karena mengurangi sensitifitasnya, sehingga dapat mempengaruhinya dalam menikmati proses hubungan seksual.
Lebih jauh lagi, definisi cantik yang sebatas mata dapat memandang, memang ditentukan oleh banyak kepentingan dan kultur. Bagaimana supaya makin banyak yang tersadar akan hal ini dan menjadi benar-benar merdeka, tak lagi terjajah oleh Definisi cantik menurut orang lain/tren/mode/kapitalis.
Mengenai kepercayaan diri, saya kok beranggapan, disitulah esensi inner beauty berada. Menurut kalian?
Errr…kalau si empunya blog, masih sering dihinggapi sindrom minderan sih… 😆
NB Keterangan Foto:
Kalau tidak salah, arca Pradnya Paramitha…difoto oleh penulis di Museum Nasional.
Menarik, mengamati arca tersebut. Bisa disebut merepresentasikan kecantikan ideal pada masa tersebut.