Manusia Maha Adil dan Penyayang

Baru hari Sabtu siang ngetwit prediksi reaksi masyarakat terkait peristiwa pemboman Paris dan Beirut, eeehhh beneran aja mulai hari Minggu timeline udah rame dengan reaksi yang udah diprediksi sebelumnya. “Mereka” ini gampang ditebak, perilakunya gampang diduga.

Ini twit yang kuposting Sabtu siang, urutan bacanya dari bawah:

image

Twit itu berangkat dari pemikiran dan pengamatan, setiap kali ada warga yang bergerak atau beropini maka akan ada kontranya. Sebenarnya sangat wajar dan ya begitulah dinamikanya, ga ada yang mengejutkan. Yang membuatku merenung adalah kontra yang tipenya menuntut orang lain untuk menyelesaikan dan mikirin semua masalah di dunia.

Misalnya nih, yang udah lamaaaa terjadi. Ketika pecinta binatang bergerak terhadap isu kesejahteraan hewan dan against animal abuse, maka selalu ada komentar-komentar seperti :
– Ngapain bantu hewan, manusia aja banyak yang masih kesusahan
– Halah duitnya buat kucing kampung, trus gimana tuh nasib orang gila dan gelandangan? Mending duitnya buat mereka.
– Kenapa cuma kucing? Kenapa ga ayam? Tuh banyak ayam dan sapi disembelih tiap hari. Ngomong dong, belain juga.
– Dll.

Zzzzzzzz cape deeee. Niatnya ngetroll doang, ga ada niat baik sedikitpun dari komentator semacam ini. Aku belajar untuk mengabaikan mereka, lebih baik fokus energi ke niatan semula daripada buang-buang energi meladeni mereka.

Kemudian situasi bencana yang menimpa manusia. Komentar kayak gini juga ada lho, jangan salah.

Yang kupikirkan adalah, orang-orang ini menuntut orang lain untuk menyelesaikan semua masalah dan menuntut orang lain bersikap maha adil.  Mereka menuntut kita untuk mikirin semua persoalan di dunia. Buat apa? Buat menyenangkan mereka lah, karena sebenarnya mereka tidak tertarik dengan apa yang sudah kita lakukan dan sedang lakukan. Ga penting buat mereka.

Satu lagi, mereka menuntut kita bisa bersikap maha adil, tapi apakah mereka sendiri udah bersikap adil dan objektif? Ada beberapa golongan yang hanya berempati jika agamanya sama, satu agama pun harus dari aliran yang sama, ideologi politik yang sama, dan jumlah statistik. Korban satu nyawa kurang nendang bagi mereka. Korban beda aliran, sah-sah aja buat mereka karena korban adalah golongan yang berbeda dan karena sebab itu pantas menjadi korban.

Di satu sisi mikir, memang faktanya dunia ini ga adil. Kalau kamu aware, opini kita tu banyak dipengaruhi faktor luar. Kita sebagai individu aja punya bias, apalagi media, mereka punya kepentingan. Tapi kalau kamu aware, maka hati kecilmu akan tahu ada yang sifatnya hakiki dan beyond social media, beyond berita, beyond media, bahkan beyond agama. Namanya kemanusiaan.
Selain itu faktor lain adalah kejujuran. Apakah kamu sudah jujur dengan dirimu sendiri? Apakah kamu sadar, kesinisanmu disetir oleh perasaan kamu lebih baik dari yang lain atau betul-betul kesedihan/kepedulian.

Menyenangkan semua orang itu mustahil. Apalagi mikirin semua masalah di dunia, bisa meledak kepala kita, depresi dan suicidal. Yang penting, be the change you want to see in the world. Kalau kamu merasa kejadian di Paris tidak merepresentasikan Islam yang ramah, ya bersikap baiklah dengan teman-teman Syiah, Ahmadiyah, penganut kepercayaan dsb. Kamu ga sadar, ujaranmu bilang “Syiah bukan Islam” bisa berujung kemana? Simpan aja lah pikiran itu untuk dirimu sendiri, bukan urusanmu. Itu urusan keimanan, urusan sama Tuhan.

Kalau selo, bisa juga baca-baca kegelisahanku di tumblr:

Masih sah gak menyandang nama ‘Restlessangel’? 😁😁😁

Angkutan Umum Kelas VIP untuk Jakarta?

 

Ide postingan ini muncul saat pulang kantor sore ini, hasil dari melamun di metromini. Kebetulan sekarang kantor agak jauh dari kos, walhasil musti naik kendaraan umum, secara ga ada kendaraan pribadi. Sengaja ga bawa dari Jogja, males banget kudu nyetir di kemacetan Jakarta, belum perawatan, bensin, kos juga ga ada garasi sehingga kalau markir di depan kos, dan lain-lain yang bikin ribet.

Sebelumnya antara kos dan kantor cukup ditempuh dengan jalan kaki aja, cuma 10 menit. Dengan jarak kos ke kantor sekarang yang ‘cuma’ 8 km, kalau jalan kaki ya mrongos aja, tapi kalau naksi kok boros banget. Situasi tersebut akhirnya memaksa aku untuk merasakan sendiri naik kendaraan umum metromini, setelah setahun lebih di Jakarta belum pernah naik metromini, kopaja, dkk. Sebelumnya kalau naik kendaraan umum yang sifatnya massal, cuma berani naik Trans Jakarta. Alasannya, serem, ngeri, khawatir dengan keselamatan diri (ancaman copet) kalau naik metromini dkk itu.

 

Alasan naik metromini ditambah dengan fakta, rute busway masaoloh jauhnya, dua kali musti transit, dan bakalan luamaaaa di jalan. Waktu itu tahu ada jalur metromini juga karena diberitahu teman, bahwa jalur kos-kantor sebenarnya enak, karena ada metromini yang sekali jalan udah langsung sampai, ga harus pindah-pindah.

Singkat cerita setelah merasakan sendiri angkutan umum kelas metromini, ada beberapa catatan yang sayang kalau disimpan sendiri. Pengalaman naik beberapa jenis angkutan umum juga menyadarkan bahwa sebenarnya Jakarta ini udah memiliki modal untuk menanggulangi masalah lalu lintas, yaitu sistem transportasi umum. Hanya aja, sistem transportasi umum yang ada sekarang bener-bener kedodoran untuk pelayanan dan maintenance-nya. Parah banget dah pokoknya. Padahal problema utama Jakarta, MACETTT, bisa teratasi dengan modal tersebut. Transportasi umum bisa menjadi jalan keluar, sayangnya potensi ini diabaikan lamaaaa sekali oleh pemerintah, entah sengaja atau gimana.

 

 

Kembali ke soal pengalaman pribadi merasakan berbagai angkutan umum di Jakarta. Semoga catatan ini berguna di belantara jalanan yang macetnya kejam. Saya memberi beberapa rekomendasi berdasar apa yang saya rasakan dan alami:

Taksi, mempunyai kelebihan untuk kenyamanan dan reliabilitas cukup baik. Reliabel dalam arti, mudah ditemui alias banyak. Kelemahannya, jika kena macet, ya sama saja seperti mobil pribadi, cuma bisa pasrah. Dan siap-siap aja argonya melonjak drastis kalau macet. Belum lagi kalau ketemu supir yang ga ngerti jalan, duh itu bikin bete banget.

Ojek, mempunyai kelebihan cepat karena relatif anti macet (karena bisa meliuk-liuk di tengah kepadatan lalu lintas), juga mudah ditemui. Jika sedang keburu-buru untuk janjian sementara lalu lintas sedang padat, ojek sangat disarankan. Yang menyebalkan dari ojek adalah, kadang bisa lebih mahal dari taksi untuk situasi normal, karena kasih tarif seenaknya. Musti pinter nawar deh. Oh ya kelebihan lainnya adalah umumnya mereka lebih ngerti jalan/rute dibanding supir taksi.

Transjakarta. Selama ini adanya busway sangat membantu. Haltenya ada di mana-mana. Bisa lebih nyaman dari yang ada sekarang, jika pemeliharaan diseriusi. Udah lumayan banget ada ACnya, cuma ya gitu deh. Yang paling menyebalkan adalah reliabilitasnya kurang bisa diandalkan. Bisa aja nunggu lebih dari 30 menit menanti busway datang, dan tidak ada pemberitahuan alasan mengapa busway ga datang-datang. Ngantrinya jadi lamaaaa banget, ini sangat menyebalkan. Mustinya tiap 5 menit, ada. Armada kurang juga membuat penumpang menumpuk, sehingga tak beda dengan metromini. Padahal dengan adanya jalur khusus busway, jelas bebas macet.

Metromini dan sebangsanya. Kelebihannya adalah, dia sangat murah, cuma dua ribu, jauh dekat. Untuk rute yang saya tempuh sehari-hari, metromini jauh lebih cepat daripada naik taksi apalagi kalau lagi padat lalu lintasnya. Entah gimana, metromini punya caranya sendiri melawan kemacetan. :facepalm:

Padahal jalur kantor-kos itu lumayan padat dan jam-jam pulang kantor pasti macet. Tapi metromini bisaaa aja mengatasinya dan waktu tempuhnya jadi cukup cepat. Beberapa cara yang dipakai metromini mengatasi kemacetan adalah naik jalur busway dan ‘memaksa’ mobil-mobil lain untuk mengalah jika sang metromini hendak lewat. Ciyus, dipaksa! Si kernet turun dan kemudian menstop-menghalau mobil-mobil untuk berhenti sehingga metromini bisa melenggang. :facepalm:

Kelemahannya adalah, metromini reliabilitasnya rendah. Kemunculannya ga bisa diprediksi, hampir sama seperti TransJakarta. Bisa gitu, setiap 10 menit ada, tapi bisa juga menunggu lebih dari 30-45 menit baru muncul, itupun padaaaat banget. Kelemahan lainnya seperti kita tahu, bejubel persis sarden dan armadanya juga parah abis. Sopirnya cara bawanya juga ngawur ngebutnya.

Dari pengalaman ini jadi mikir, metromini sebenarnya cukup bisa diandalkan juga sebagai angkutan umum di tengah kemacetan. Tapi banyak pengguna kendaraan pribadi yang males naik metromini karena alasan kenyamanan dan keamanan. Andai ada metromini kelasnya super eksekutif gitu, asyik juga kali ya. BerAC, nyaman, cepat, tiap dua menit ada. Trus keamanan juga terjamin karena pengamen dan penjaja ga bisa masuk. Serem je kalau ada peminta-minta naik, trus menyilet-nyilet tangan sendiri, sembari setengah ngancem kalau ga dikasi duit maka silet tersebut bisa melukai.

Jadi dari awal memang angkutan umum masal bis ini diniatkan khusus untuk kelas eksekutif, yang ga keberatan membayar 10-20 ribu, asal nyaman, aman, bisa diandalkan.

Persoalan sekarang kenapa pemilik kendaraan pribadi ogah beralih ke kendaraan umum, kan ya karena faktor kenyamanan itu. Males berdesakan, males keringetan. Ditambah copet, pengamen, dsb. Ga heran, macet masih terus ada walau gubernurnya ganti. Lhawong penyumbang kemacetan ya kita sendiri, lebih memilih pakai kendaraan pribadi daripada beralih ke angkutan umum. Tapi ya gimana berminat naik angkutan umum, kalau kondisinya seperti itu. Bener-bener lingkaran setan.

Rise of the Planet of the Apes: Belajar Kepemimpinan dari Monyet

Bagi yang sudah nonton Planet of the Apes-nya Mark Wahlberg (2001), kemunculan film Rise of the Planet of the Apes (judulnya bikin lidah kesleo-sleo) cukup dinantikan oleh para penggemar. Seperti saya, yang penasaran, ini menceritakan sekuel atau prekuelnya Planet of the Apes yah. Jujur aja, selama ini tidak mencoba browsing-browsing dulu tentang Rise of the Planet of the Apes, bahkan sinopsisnya pun tidak. Jadi ketika nonton midnight Sabtu kemarin, sama sekali tidak ada bayangan.

Duapuluh menit pertama film ini sukses membuat saya terharu biru dan emosi bergolak. Karena dalam duapuluh menit pertama itu, langsung tergambar kerakusan dunia korporasi yang diwakili CEO Gen Sys, Steve Jacobs, versus kesejahteraan lingkungan yang diwakili simpanse-simpanse binatang percobaan mereka. Well, kelekatan emosi saya dengan binatang membuat saya merasa lebih mudah merasakan kelekatan dengan jalan cerita film ini. Jadi tak pelak saya langsung larut dan terlibat secara emosi. Apalagi dengan munculnya bayi simpanse yang rapuh, haduh, saya langsung mbeler-mbeler.

Singkatnya, sinopsis Rise of the Planet of the Apes bercerita tentang percobaan untuk menemukan obat bagi penyakit Alzheimer dan percobaan tersebut memunculkan anomali. Sesimpel itu sebenarnya jalan ceritanya. Tokoh utama, si peneliti Will Rodman mempunyai alasan yang bersifat personal terhadap penelitian ini, yaitu karena ayah yang sangat disayangi menderita Alzheimer. Karena itulah, ketika asistennya, Robert Franklin meminta Rodman untuk membawa si bayi simpanse pulang supaya tidak dibunuh/dimatikan, ia sempat merasa keberatan. Karena concern-nya sedari awal adalah ayahnya, bukan kesejahteraan binatang-binatang percobaan tersebut.

Ketika si bayi simpanse –Caesar– tumbuh makin besar, afeksi Rodman terhadap Caesar juga makin besar. Selain itu ia melihat bahwa si Caesar ini mempunyai keanehan yang patut diteliti, karena diyakini membawa kabar baik untuk perkembangan penemuan obat Alzheimer. Caesar ini mempunyai kecerdasan yang sangat mengagumkan. Konflik semakin tajam ketika Caesar yang remaja, terpaksa menyerang tetangga mereka. Caesar, berdasar putusan pengadilan, dianggap membahayakan lingkungan sekitarnya, dan tak seharusnya binatang liar seperti simpanse ada di lingkungan pemukiman. Caesar harus direhabilitasi di pusat penampungan satwa liar.

Di bagian ini, lagi-lagi emosiku terlibat cukup dalam. Entah karena aktor yang memerankan tetangga menyebalkan itu aktingnya pintar sehingga bener-bener menyebalkan, atau karena aku yang terlalu emosional.  :mrgreen:

Yang jelas, aku bener-bener geregetan dan berpendapat, itulah yang terjadi kalau orang ga dididik untuk mencintai lingkungan, alam, dan binatang dari kecil. Kalau dari kecil ga diajarkan menyayangi binatang, maka setiap kehadiran binatang akan dianggap sebagai ancaman. Thus takut. Padahal rasa takut adalah motivasi paling kuat untuk melakukan tindakan, misal tindakan menyerang.

Caesar selama masa rehabilitasi di penampungan primata, belajar banyak hal yang tak dia dapatkan di rumahnya. Caesar yang sangat cerdas, mengamati lingkungan dia berada. Interaksi antar primata, hierarki sosial antar kera, hierarki sosial kera-manusia, norma yang berlaku, hingga threatening act yang ditunjukkan Dodge, si penjaga. Yup Caesar bahkan mempelajari aspek psikologis Dodge. Bahkan dari penampungan tersebut dia belajar situasi sosial yang menumbuhkan kepekaannya. Selayaknya aktivis dah. Dia belajar serta menganalisa, apa yang harus dilakukan pada situasi tersebut, apa solusinya.

Nah, dari kacamataku, bagian ini yang sangat menarik dari keseluruhan film. Kita belajar mengenai bagaimana menjadi pemimpin yang betul-betul leader—pemimpin, tak sekedar pimpinan. Bagaimana Caesar bisa mempersatukan semua spesies kera untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Dan aku lagi-lagi mbrebes mili nangis bombai tersengguk-sengguk pada adegan martir.

Ada satu hal lagi yang menarik untuk digarisbawahi. Caesar dari bayi dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih sayang. Rodman dan ayahnya mengasuh (juga mendidik?) Caesar penuh cinta. Caesar belajar tentang cinta dan kasih sayang dari pengasuhan ini, dari ‘keluarga’nya. Hal ini yang membedakan Caesar dengan kera-kera lain ketika menghadapi musuh mereka. Being human (?). Well, statemen ini memang bisa memancing diskusi sih, apakah kasih sayang dan cinta kasih –yang diterjemahkan dalam film ini menjadi tindakan forgiveness— hanya milik manusia?

Selain itu, tokoh orang utan di penampungan primata, mewakili sosok yang bijaksana dan humoris. Saya suka dengan ‘ceplosan’nya yang santai tapi lucu tapi sesungguhnya dalam.

**notes.

Sebutan monyet untuk primata adalah sebutan yang berkonotasi menghina. Pakailah kata ‘kera’ daripada ‘monyet’ untuk menyebut primata, kecuali kalau anda memang berniat menghina. 😀

Thanks utk ekowanz yang menginspirasi saya untuk apdet blog lagiiih.  😆

Hunian Sederhana dan Mimpi untuk Karangasem

image

image

image

image

image

Saya tertegun sewaktu berdiri di bibir jurang desa ini. Sulit membayangkan kondisinya sewaktu desa ini masih utuh. Banjir lahar dingin menerjang Desa Karangasem beberapa kali, mengamblaskan separo desa, menyisakan tebing jurang. Mental orang Jawa, walau separo desa hilang, sawah kebun rumah amblas, masih merasa beruntung, “untung gak ada korban jiwa, untung ternak bisa diselamatkan.”

Saya berdiri di bibir jurang. Jarak antara tempat saya berdiri hingga ke bawah dimana Kali Putih mengalir, setinggi 14 meter. Serius saya sulit membayangkan tempat ini dulunya bagaimana. Konon katanya aliran Kali Putih sudah berubah. Kalau diwaktu mendatang lahar dingin menerjang lagi, beberapa kelokan tebing akan runtuh. Beberapa rumah sudah mepet dengan bibir tebing. Tinggal tunggu waktu saja sampai rumah tersebut ikut longsor.
Masih tertegun, saya tersentak ketika diberitahu bahwa banjir lahar dingin yang menerjang Karangasem ini terjadi Oktober 2010. Ohmy, sekarang Juni 2011. Itu kejadian sudah sekian bulan lalu…

Tujuhbelas rumah amblas. Sekarang sudah dibangun, delapan hunian sederhana. Tanpa bantuan pemerintah sama sekali. Tinggal sembilan hunian lagi. Kalau kata mas Karman, ini kampung sosmed, karena rumah yang berdiri atas bantuan warga social media. Rumah sederhana berdinding sebagian anyaman bambu, sebagian batako/batu bata. Kusen, pintu, batu bata/batako, sebisanya memanfaatkan apa yang tersisa dari rumah yang amblas. Rata-rata per-unit menghabiskan 4 juta rupiah. Sebagian dibangun di atas kebun sendiri, sebagian disewakan tanah.

Sore itu angin lembut menyisir kulit. Menjelang magrib di akhir obrolan, Mas Karman sempat mengungkapkan mimpinya.
“Selesai pembangunan hunian sederhana ini, PR saya selanjutnya adalah pendidikan. Ternyata banyak anak warga Karangasem yang bersekolah hanya sampai SMP. Ketiadaan biaya yang membuatnya demikian.”

Saya ndlongop. Karangasem ke Jogja itu hanya beberapa kilometer. Dengan mobil hanya setengah jam. Tak jauh dari situ, ada SMK.
Masih ada gitu, desa yang mayoritas anaknya cuma mengenyam pendidikan sampai SMP?

Sayang saya terburu-buru pamit karena diburu janji dengan dokter. Ternyata saya sempat dibungkuskan tape singkong mentega oleh Pak Samijo. Pak Samijo ini pembuat tape singkong yang disetor untuk bahan baku pembuatan permen tape.

Di jalan pulang, saya teringat kembali pembicaraan dengan Mas Karman dan Mas Penyu. Betul, Desa Karangasem ini banyak potensinya. Dari desa wisata alam hingga kuliner seperti tape. Tak jauh dari Jembatan Krasak, tak jauh dari Borobudur, dekat ke Kalibawang Kulonprogo.
Tapi warganya masih membutuhkan sedikit bantuan dari kita untuk bergerak lebih mandiri dan berdaya.

Berbagi sedikit dari apa yang kita miliki, untuk kemandirian dan pemberdayaan orang lain. 🙂

CATATAN:
Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang Desa Karangasem, bisa tanyakan langsung kepada Mas Karman lewat twitter di @karmanproject.

Bhinneka Tunggal Ika – Komodo: Antara Kerukunan Umat Beragama dan Keajaiban

image

image

Sebenarnya sejak dari hari Minggu, kepengen nulis tentang macam-macam hal yang mengendap di kepala sejak beberapa bulan terakhir. Tetapi sindroma blogger males apdet dengan berbagai alasan klasik membuat blog ini belum me-release postingan baru lagi. Padahal yang namanya prihatin dan gelisah –sesuai takdirnya, restless angel– terus membuncah dan menghantui.

Masih ingat sekali, Minggu pagi tanggal 5 Februari. Sama seperti hari Minggu lain, bangun siang, langsung nyaut hape dan baca timeline twitter. Masih pagi tapi berbagai isu sudah tergelar, dan yang hot pagi itu adalah berita tentang tereliminasinya Pulau Komodo dari 10 besar nominasi New Seven Wonder

danbeberapa fakta menggelitik dibaliknya.

Setelah terlibat diskusi yang cukup seru dengan @ndorokakung, aktivitas hari itu berjalan seperti biasa. Tanpa pernah menyangka, bahwa siang/sorenya, akan terjadi peristiwa sadis yang mengguncang akal sehat dan hati nurani. Mungkin pagi itu di-jam yang sama, tiga penduduk Cikeusik, Pandeglang, Banten, tidak akan pernah menyangka, dalam beberapa jam kedepan mereka akan mengalami siksaan maha dahsyat, sekarat dengan cara yang mengenaskan dan menyakitkan, dan ketika meninggal pun masih harus mengalami penistaan.

Saya shock ketika sore itu mendapat kabar dari teman. Apalagi ketika sudah sampai rumah malamnya dan mengecek peristiwa Cikeusik dengan lebih seksama. Ya Allah… saya gemetar. Bahkan Seninnya, saya masih senewen. Malam, bergabung dengan mba @AlissaWahid dan teman-teman lain di Tugu Jogja untuk aksi Senin Hitam.

Mba Alissa banyak sharing dan ngobrol dengan kami, berbagi kegelisahannya. Bahwa yang terjadi di Cikeusik bukan semata tentang Ahmadiyah. Karena, peristiwa serupa dapat terjadi pada pihak lain yang berbeda. Ada yang salah dalam memaknai perbedaan. Apa kabar Bhinneka Tunggal Ika, demikian pertanyaan yang tercetus malam itu.

Dan, innalillahi… Selasa siang merebak berita pembakaran gereja dan sekolah kristen oleh massa yang mengamuk. Sekali lagi saya lemas, gelisah luar biasa. Apalagi ketika mencermati respon-respon mengenai dua peristiwa tersebut. Ada kecenderungan, publik terbelah, karena perbedaan sikap dalam memandang / bereaksi terhadap peristiwa tersebut. Dan yang cukup menggelisahkan, ada kecenderungan untuk bersikap negatif terhadap pihak yang berbeda sikap. Permusuhan? Kebencian? Dislike? Semoga saya salah.

Selain itu juga kecenderungan bersikap ignorant. Banyak alasan yang mendasari sikap tersebut. Ignorant dalam arti, banyak yang belum sadar/enggan untuk benar-benar bertindak melakukan sesuatu. Cenderung menghindar.
Ada apa? Mengapa? Saya tidak paham. Apa arti Bhinneka Tunggal Ika bagi mereka?

Ada lagi yang merasa ketenangan dan kenyamanannya terusik dengan reaksi kemarahan, kegelisahan, kegeraman. Mereka yang terganggu ini menyuruh kami diam. Mengapa kami tidak boleh menyuarakan kegelisahan kami?

Malam ini ketika sedang gugling saya mengalami ‘kebetulan’. Dua peristiwa/kejadian yang sepertinya tidak berhubungan sama sekali sebenarnya, tapi seperti tersambung benang merah.
Silakan baca link berikut ini. Postingan warga Kompasiana, yang menuturkan kekayaan yang dimiliki Nusa Tenggara Timur. Bhinneka Tunggal Ika yang benar-benar dihidupi dan dijalani. Sungguh kebetulan, dari kawasan kering dan miskin itu, dimana juga terdapat kekayaan dunia yang sempat digadang-gadang 7 Keajaiban Dunia, terdapat contoh nyata tentang kerukunan umat beragama. Contoh nyata tentang sikap terhadap perbedaan.

Teringat lagi rame-rame Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang dieliminasi dari nominasi yayasan NewSevenWonder. Walaupun dieliminasi, hal tersebut tidak menggoyahkan fakta bahwa komodo termasuk keajaiban dunia, bagian dari kekayaan dunia yang harus dilestarikan.
Sama halnya dengan contoh nyata dari Ledalero, Nusa Tenggara Timur. Ketika Bhinneka Tunggal Ika benar-benar dibadani dan dihidupi. Kekayaan asli Indonesia yang juga harus dilestarikan.

Bangga Warga Jogja

image

Ketika tulisan ini dibuat siang tadi pada jam ishoma, ribuan warga Jogja sedang memadati Malioboro. Mereka bukan sedang berwisata atau habis sholat Idul Fitri/Idul Adha, mereka sedang mengadakan aksi massa terkait dengan penetapan status istimewa Yogyakarta.

Dari sisi politik maupun historis, saya tidak menguasai mengapa warga Jogja begitu “menuntut” label istimewa untuk daerahnya.Berkaitan dengan tuntutan bahwa warga menuntut gubernur harus Sri Sultan, jika itu dikaitkan dengan penyebab Jogja istimewa, saya tidak terlalu setuju. Saya sebagai warga Jogja asli, bahkan jika nantinya pemerintahan pusat mencabut label istimewa, saya tetap merasa Jogja sebagai daerah istimewa.

Keistimewaan Jogja bagi saya tak semata terkait dengan sejarahnya atau malah dengan landmarknya. Tugu Jogja bisa saja ambruk seperti tahun 1800an yang sempat hancur digoyang gempa. Kraton jogja (bangunannya) bisa saja berubah muka dan fungsi sebagaimana bangunan-bangunan bersejarah di Jogja yang pelahan mulai berubah menjadi tempat komersial. Penetapan kepala daerah gubernur harus Sultan, saya memilih no comment karena alasan tertentu, yang saya lebih nyaman untuk diobrolkan sambil ngopi sore daripada saya tulis.

Keistimewaan Jogja menurut saya terletak pada karakternya, karakter orang Jogja secara umum. Hingga postingan ini saya tulis, ribuan massa masih memadati kawasan Malioboro. Toko-toko, menurut laporan @dabgenthong dan @KILDDJ mereka tutup dengan sukarela. Malah mereka juga menyediakan air minum cuma-cuma. Saya berharap, keistimewaan Jogja saat ini sedang ditunjukkan dan diwujudkan oleh warga Jogja sendiri. Damai, plural, tanpa kekerasan, guyub.
Setelah (dan masih) berlangsung bencana erupsi Merapi dan banjir lahar dingin, warga Jogja menunjukkan karakternya, sigap membantu dan menolong orang lain. Sekarang aksi massa berlangsung damai, itu sungguh keistimewaan Jogja dibanding daerah-daerah lainnya.

Karakter, serupa dengan value, nilai yang dipegang warga setempat. Mewariskan dan menghidupi nilai-nilai seperti kedamaian, guyub, sigap menolong, plural, dll adalah lebih long lasting daripada membangun landmark. Lebih terasa nyata karena benar-benar dirasakan, dihidupi, bahkan hingga orang Jogja tersebut hijrah kemana saja. Menunjukkan identitas dan keistimewaan Jogja.

Bravo Jogja. Jogja istimewa dengan karakternya.

Saya Dibully Gadget! Gadget Membuat Saya Loser!

Saya habis beli hape baru, tweeps! *eh, keterusan, gara-gara enthong* \o/

Hape android, yang entry level saja sih, untuk newbie seperti saya. Sebulan ini saya masih kegirangan untuk otak atik mainan baru ini, tapi utak atiknya tentu aja masih level newbie. ^^

Mengapa saya tertarik untuk beli hape android? Jujur aja awalnya saya tertarik android karena saya ini termasuk tipe anti mainstream, alias males kalo harus sama dengan kebanyakan orang (ciri khas tipe empat enneagram banget). Android masih belum semassal Blackberry yang seperti hape sejuta umat, sedangkan kalau Iphone masih belum nyandak.

Saya sendiri ketika mo beli gadget terbiasa untuk survey dulu. Faktor yang mendasari saya untuk membeli gadget adalah fitur yang sesuai dengan kebutuhan dan harga yang sesuai anggaran. Sempat tergoda dengan beberapa merk dan pada akhirnya karena dipaksa keadaan, saya memilih Samsung Galay 5 (karena awalnya menetapkan pilihan LG Optimus tapi ndak ada yang jual dan disodorinya Samsung itu).

Dari sini bisa terlihat perilaku saya ketika memutuskan membeli gadget. Karakter saya anti mainstream *halah* dan tidak terlalu tergantung oleh orang lain dalam membuat keputusan. Pendapat orang lain itu perlu, tapi sebagai 2nd opinion.

Beberapa hari lalu saya mendapat pengalaman baru sekitaran perilaku membeli khususnya membeli gadget. Kebetulan pengalaman saya ini bersinggungan dengan kaum hawa.

Pengalaman pertama dengan rekan kerja saya. Waktu itu ia sedang asyik dengan Blackberry-nya hingga kemudian melihat hape saya. Dikiranya hape saya adalah Samsung Corby. Ketika ia tahu bahwa hape saya android, ia makin tertarik. Ia bertanya-tanya, dan dari pertanyaannya ia sepertinya tidak terlalu paham apa itu android. Misal, ia menganggap bahwa android itu adalah merk sama dengan Blackberry. Ia juga mempertanyakan kalau pake android cepet gak untuk internetan, dibanding dengan Blackberry. Bagi saya tidak masalah. Saya berusaha menjelaskan sebisanya, dengan bahasa awam sesuai pemahaman saya yang juga masih cethek tentang android.

Dari situ, mulailah ia ngoceh, bahwa ia ingin hape android dan mempertimbangkan untuk mengganti Blackberry-nya.  Saya berseloroh dengan bertanya, pengen beli hape android itu kepinginan ato memang kebutuhan. Jawabannya membuat saya terbengong-bengong. Ia menjawab bahwa hape android sesuai dengan kebutuhannya, karena Blackberry Gemininya tidak bisa untuk memutar youtube dan hape android bisa dan cepat. Selain itu hape android juga lebih gampang.

Krik…krik…krik…

Kebengongan saya makin menjadi, melihatnya ngoceh ke teman-teman lain tentang hape android dan menjelaskan ke mereka apa itu hape android, berbekal hape saya. Saya cuma bisas diam dan mikir-mikir. Saya aja perlu waktu setahun untuk memahami apa itu hape android (ketika mulai dengar hape android pertama-tama di tahun 2009an, saya masih diam saja kalau ada orang ngomong soal hape android. Sumpah, saya ga dong apa bedanya ama hape biasa). Pegang hape android? Serasa seperti baru pertama pegang hape, nunak-nunuk belajar sana-sini, baca sana-sini, tanya sana-sini.   Sampe sekarang juga masih nunak-nunuk belajar hehehehe.

**Blog ini sangat membantu lho, penulisnya perempuan juga ^^

Dari sini saya belajar kelakuan konsumen yang berkarakter/bertipe seperti rekan saya tadi. Keinginan untuk mempunyai/membeli gadget ternyata bisa timbul seketika setelah melihat orang lain memakainya dan tampak keren, walau ybs sebenarnya tidak tahu kerennya apa.

Terkait dengan gender, saya tidak tahu, ada hubungannya atau tidak. Selama ini ada stereotype bahwa kaum perempuan cenderung tidak terlalu melek gadget. Artinya, pemakaian gadget pada perempuan sebatas pada hal-hal sederhana alias belum optimal. Ples, hipotesis bahwa kaum perempuan lebih mudah merasakan kompetisi antar perempuan atau ada rasa tidak mau kalah dibanding sesamanya. Ayolah, pembaca pasti akrab dengan cerita istri-istri yang saling sirik dan tidak mau kalah ketika saling membandingkan milik masing-masing, kemudian berusaha gimana caranya untuk membeli barang yang minimal sama/lebih wah dibanding rekannya. Well, itu memang kisah yang stereotype dan menghakimi banget sih, LOL.

Pengalaman kedua, masih dengan teman perempuan. Saat itu reuni dengan geng SMP setelah sekian lama tak ada kontak. Salah satu pertanyaan yang timbul dalam perjumpaan tersebut adalah, “ada BB gak? Kalo ada bagi pin-nya.”

Pertanyaan tersebut berkembang menjadi obrolan ringan khas chicklit seputaran gadget. Teman saya itu ‘bangga’ ada peningkatan gadget, tidak lagi Nokia. Teman saya yang lain mencak-mencak karena hapenya Nokia.  Lalu disambung dengan teman yang bangga dengan BB itu bahwa ia sebenarnya memakai BB karena jika tidak, ia bisa ketinggalan info. Kebetulan teman saya itu mahasiswa kedokteran spesialis. Satu angkatan dia, hampir semua memakai BB termasuk untuk menyebarkan informasi akademis. Kalau ada yang tidak memakai BB maka resikonya adalah ketinggalan informasi ples digosipkan. Entah maksudnya digosipkan ini apa. Ketika saya tanya, dijawab bahwa digosipkan ini dalam rangka untuk memberi tekanan kepada ybs supaya cepat-cepat beralih ke BB. Saya tanya lagi, penyebaran informasi ini pakai apa kok sampai pengguna hape lain tidak bisa mengaksesnya, apakah itu BBM. Kl iya, maka alasan teman saya pake BB adalah utk BBMnya untuk kelancaran informasi ples supaya bisa diterima oleh kelompok.

What? Pake BB supaya bisa diterima oleh kelompok? Tidakkah ini termasuk kategori bullying? #sotoy

Menurut pembaca?

Well, setidaknya dua pengalaman diatas memperkaya insight saya mengenai perilaku konsumen dalam hal gadget. Kesimpulannya? Buat saya tidak ada kesimpulan, hanya saya pergunakan sebagai data saja, untuk mendapat pemahaman. Namanya juga insight. Ya nggak tweeps? ^^

Komunikasi di era 2.0: Lebih Sulit atau Lebih Mudah? (2)

Bagian I-nya disini.

Setelah dibagian pertama membincang latar belakang masalah dan hipotesisnya, sekarang kita akan membicarakan karakteristik berbagai social media untuk menemukan solusi atas pertanyaan kita 😀

Ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan sehubungan untuk memahami serba-serbinya berkomunikasi di era socmed ini:

  • Karakter tiap socmed itu berbeda

Misal, twitter itu bersifat lebih terbuka. Maksudnya, suatu diskusi/pembicaraan tidak terlokalisir seperti halnya tret plurk, sehingga dalam timeline lazim terjadi suatu pembicaraan tercampur dengan obrolan lain.

Mereka yang tidak sabaran/konsentrasi, sangat mudah terdistorsi dalam memaknai pembicaraan.

Selain itu interaksi di twitter tidak seintensif diplurk. Maksudnya, kita bisa saja sering sekali update status tanpa harus khawatir membanjiri timeline teman (flooding) karena apdetan kita dalam 10 menit sudah tenggelam ditimpa apdetan orang lain. Tetapi hal ini hanya berlaku bagi timeline mereka yang following lebih dari 200 orang. Kalau hanya 10 orang yang diikuti, ya tentu tidak. :mrgreen:

Tentang batasan sampai seberapa sering kita boleh update status tanpa mengganggu orang lain, memang tidak ada batasan baku. Disini kepekaan & kesadaran diri yang memegang kendali.

Komunikasi di twitter tidak menuntut adanya conversation yang intensif. Kita memang senang kalau twit kita ada yang menanggapi, tetapi ketika tidak ada yang menanggapi pun, tidak begitu masalah. Lain halnya dengan plurk yang memang menuntut adanya interaksi, karena tiap tret ada kolom respon. Jika tret yang kita buat lebih banyak tanpa respon, rasanya sepi sendiri tiada yang menemani… *lebay lagi* :mrgreen:

Jika dimisalkan mungkin seperti hidup berdampingan tapi tidak ada yang mengajak bicara sama sekali.

  • Motivasi yang melatarbelakangi seseorang ketika membuat suatu akun socmed

Pada akhirnya, memang tergantung motivasi seseorang, apa tujuan dia membuat suatu akun. Apakah untuk nyampah/katarsis, untuk ajang eksistensi, untuk interaksi / networking, untuk share, untuk senang-senang, dll. The underlying motives ini yang mewarnai bagaimana dia berperilaku di socmed sehari-harinya. Misal, ada yang getol mencari follower atau bagaimana. Tetapi menurut saya, motivasi ini bisa berubah seiring waktu.

Juga, penting diketahui dan dicamkan baik-baik, untuk terjun ke suatu socmed sama saja terjun/berinteraksi dengan crowd disitu. Ini soal cocok-cocokan saja, tidak usah memaksakan untuk terjun semua. Atau jika ingin terjun kesemua, kenali dulu karakter masing-masing, sehingga bisa berperilaku berkomunikasi sesuai tempatnya.

Solusi untuk komunikasi yang lebih sehat:

–          Harus peka, menyimak baik-baik (ini termasuk kemampuan listening), dan kemampuan pengamatan yang baik, untuk bisa menangkap apa yang tak terlihat/tersirat.

–          Pengendalian diri/awareness. Seringkali kita merasa ‘aman’ bahwa kita terlindungi topeng, sehingga jauh lebih bebas dalam menuliskan apa yang kita rasakan.

FYI, ada yang namanya TMI alias Too Much Information. Memang tidak ada aturan bakunya dan kadang-kadang bersifat sangat subjektif. Apalagi mereka yang berkarakter ekstrovert atau ingin nyampah, cenderung lebih terbuka mengungkapkan hal-hal personal.

–          Khusus untuk pengguna twitter, harus paham twitter usability, yaitu memeras apa yang ingin disampaikan dalam maksimal 140 karakter (fanabis, 2010).

Untuk diskusi silakan saya buka di bawah. Lagipula ini hanya asumsi, tidak didasarkan pada riset sama sekali. Jadi sangat terbuka untuk dikoreksi 😀

Notes.

–          Mengenai komunikasi brand, itu beda lagi. Tapi yang perlu digarisbawahi, konsumen senang kalau komplen-nya atau apapun, ditanggapi dengan cepat oleh brand ybs. Brand itu bisa produk atau person loh.

–          Mengenai pencitraan, sekali lagi, tergantung motivasi awal si pemilik akun. Kalau untuk branding, jelas butuh pencitraan. Tetapi, IMO, kejujuran/otentik itu lebih disukai. Jadi, sudah sinkronkah antara di socmed dan real life?

–          Masing-masing socmed, seperti misal plurk dan twitter, punya caranya sendiri untuk mendongkrak ‘ego’ pemilik akun (aduh, lupa namanya). Contohnya sistem karma diplurk dan jumlah follower di twitter. Hal ini disadari/tidak menciptakan ‘kasta’ dalam dunia socmed dan cenderung mengakibatkan kecemburuan sosial.

Komunikasi di era 2.0: Lebih Sulit atau Lebih Mudah? (1)

Postingan ini terilhami setelah mengamati kelakuan para pengguna socmed, khususnya twitter dan plurk, tapi tak menutup medium lain. Dari sini timbul pertanyaan besar:

MENJALIN KOMUNIKASI DI ERA 2.0 DAN SOCMED APAKAH LEBIH RUMIT DAN EMOSIONAL DARIPADA KOMUNIKASI DI REAL LIFE?

Alasannya:

  • Banyak ‘keributan’ di socmed, seperti soal follow-unfollow, flooding timeline,  atau RT abuser, menjadi topik yang sering sekali dibicarakan. Banyak sekali pengguna socmed yang mengeluh, yang merasa ‘sangat’ terganggu sehingga mereka komplain, curcol, nyindir, nggremeng, etc ditimeline mereka sendiri.
  • Keributan tersebut memang tidak sampai yang berdampak sosial yang massive, bisa jadi memang agak lebay/dilebih-lebihkan. Tapi ya gitu, dari pengamatan, selalu saja ada orang-orang yang terganggu.

Sebelum saya teruskan lebih lanjut, saya mendefinisikan dulu apa yang dimaksud dengan era 2.0. Saya merujuk pada Wikipedia, disini yang dimaksud dengan era 2.0 adalah web 2.0. Definisi web 2.0:

Web 2.0 adalah aplikasi web yang memfasilitasi interaksi yang lebih interaktif (dua arah) dari penyedia/pengisi konten dengan penikmatnya. Aplikasi tersebut selain memungkinan terjadinya dialog, juga information sharing dari dua belah pihak. Bisa dikatakan dengan aplikasi tersebut  dapat memunculkan dari diskusi hingga kolaborasi.

Dari pengamatan saya (yang termasuk juga pengguna socmed) muncul beberapa hipotesis/asumsi:

Berkomunikasi di era socmed dan 2.0 seperti sekarang ini membutuhkan skill komunikasi yang lebih daripada komunikasi biasa.

Mengapa? Karena berkomunikasi lewat tulisan, selain harus bisa menuangkan pikiran lewat bahasa tulisan yang bisa dipahami orang, juga harus bisa memahami nonverbal/yang tersirat dari sebuah tulisan. Non verbal itu bisa mencakup nuansa emosi, mengenali karakter seseorang dari tulisan-tulisannya, dll.

Kalau komunikasi ‘standar’, non verbal tersebut bisa kita lihat dengan mudah, seperti gesture, ekspresi wajah, dll. Ingat, bahwa non verbal dalam komunikasi malah justru mengungkap/berbicara jauh lebih banyak daripada yang verbal. Selain itu, berinteraksi dunia maya bisa jadi lebih rumit  karena kita bisa bersembunyi dibalik topeng/alter ego yang sengaja kita ciptakan.

Jadi lazim kita temui orang yang berbeda antara di dunia maya dan di dunia nyata. Apalagi jika menyangkut netiket (yang belum luas diketahui orang seperti halnya etika pergaulan di dunia nyata) dan pengendalian diri.

Dari kultur sendiri, masyarakat kita menurut para pakar lebih terbiasa dengan budaya lisan daripada tulisan. Walau banyak juga yang mengaku, lebih mudah mengungkapkan pikiran lewat tulisan daripada lewat verbal, tetapi hal tersebut tidak menjamin dia mempunyai skill komunikasi (tulisan) yang cukup baik.

Alasan lain yang mendasari asumsi diatas:

Dalam masyarakat online, suatu kabar/buzz lebih cepat menyebar daripada lewat medium komunikasi telepon genggam/sms, literally dari mulut ke mulut, apalagi pos merpati (halah).

Contoh, adanya trending topic di twitter dan viral marketing yang makin sering digunakan akhir-akhir ini.

Dari pengamatan, entah kenapa lebih banyak yang percaya adanya kabar yang belum jelas kebenarannya kalau disampaikan lewat media text (media televisi dan radio juga sih, tapi kita kan sedang membahas komunikasi tertulis) daripada yang sekedar bisik-bisik. Apa karena faktor komunikasi tertulis dapat terdokumentasi dengan baik, sehingga mudah dilacak/meninggalkan jejak daripada lisan yang cenderung lebih mudah dilupakan/sukar dilacak.


BERSAMBUNG KE BAGIAN SELANJUTNYA, KARAKTERISTIK KHAS TIAP SOCMED :goodluck:

Cepet Tua di Jalan Raya

Beberapa waktu terakhir ini, berada di jalanan, menyetir/bawa kendaraan, sungguh merupakan stressor tingkat tinggi yang berefek instan. Marah, gusar, jengkel, meledak, frustrasi, etc etc segala emosi negatif yang bikin cepat tua. Ga salah sama sekali alias benar, kalau saya bilang jalanan bikin saya cepet tua. Lha gimana nggak, saya marah-marah melulu kalo lagi nyetir. Semua gara-gara kelakuan pengguna jalan lain yang minus etika jalan raya.

Seperti malam ini. Di perempatan Tugu, ada bapak-bapak dengan cerdasnya memarkir mobil tepat di pengkolan sebelum belokan kekiri. Padahal disitu juga merupakan perempatan yang ada lampu lalu lintas. Pas lampu merah masih nyala, pas saya lewat. Sebelah kanan mobil penuh dengan mobil dan luberan motor. Dan dikiri, saya tidak bisa langsung belok (kekiri jalan terus) karena bapak-bapak yang memarkir mobil dengan sangat cerdas itu. Saya berhenti ditengah-tengah, karena jalan sangat sempit dan kalau saya teruskan, sepertinya mobil bapak tersebut akan menggesek body mobil saya.

Saya muntab. Saya turunkan jendela dan berteriak, “Pak, parkirnya pinter banget, sih. Cerdas banget ya, Pak,” sambil saya pelototi si bapak.

Bapak tersebut balik memandangi saya dan menjawab, “Kan masih lebar gitu.”

Woooo….rasanya pengen saya beset pake paku itu body mobilnya. Saya cuma bisa misuh-misuh memuji kecerdasan bapak itu.

Beberapa hari lalu, saya juga harus mencuci mulut saya dengan air tujuh kali plus pasir, gara-gara kelakuan pengendara motor yang sangat-sangat minus. Kejadiannya di Tajem, Maguwoharjo. Jalanan di desa tersebut memang mempunyai tikungan yang sangat tajam, sehingga pas kalau dinamai dusun Tajem. Sudah begitu, aspalnya tidak rata (mungkin karena struktur tanahnya, mungkin juga karena kualitas aspal yang kurang bagus) dan relatif sempit untuk dua jalur mobil. Setiap lewat situ, saya pasti di gigi 2, bahkan 1, karena harus extra pelan dan hati-hati.

Nah dikondisi seperti itu, ada motor lewat dari arah berlawanan. Dari arah saya, jelas terlihat motor yang dinaiki dua pemuda mebo tanpa helm itu nyalip mendahului mobil dan motor lain. Ngebut pula. Pas nyalip itu dia memakai jalur yang berlawanan arah dan jaraknya cukup dekat dengan mobil saya. Saya perlambat kecepatan sambil mengklakson keras. Weeelha, dua kroco tersebut tidak memelankan laju motornya dan dalam jarak yang cukup dekat berada didepan mobil saya. ‘Sayangnya’ mereka masih dilindungi Gusti Allah, sehingga bisa menghindar dan membanting arah masuk jalurnya lagi. Untung, kendaraan-kendaraan dibelakang mereka bisa memperlambat lajunya, walau mungkin sambil misuh-misuh. Wuah, udah. Saya waktu itu muntab banget. Dan ya gitu, sampai musti mensucikan mulut saya.

Dan ada banyak contoh-contoh lain, yang kesemuanya menunjukkan betapa minus dan lemahnya kesadaran pengguna jalan atas etika lalu lintas. Tidak motor, tidak mobil, ndak becak, ndak penyeberang jalan. @$%^$^%&U^T*%E$@

Mengapa, oh, mengapa kesadaran untuk beretika di jalan raya itu sedemikian rendah?

Kuncinya cuma satu kok, saling menjaga dan lebih baik saling mengalah. Urusannya nyawa, bung. Atau paling sedikit, cacat, luka. Jadi pilih mana? Saling menjaga di jalan raya atau menyerahkan nyawa kita kepada orang lain?

Notes. Tahukan Anda, apa saja etika di jalan raya itu? Sudahkan Anda mempraktekannya?