One Big Step

image

Yup, i am finally engaged.

Wahahaha juarang-jarang, suangaaaat jaraaaang aku posting blog isinya sangat personal seperti yang aku tulis berikut.

Iya, ini tentang pertunangan saya. Satu langkah besar sebelum langkah berikutnya. Rasanya seperti mimpi. Antara, “oh, ternyata rasanya seperti ini to, biasa aja” dan “omaigaaat, aku jadi tunangan orang dan itu artinya…” campur baur.

Banyak teman-teman lama yang ga percaya dengan status baru ini. Sialaaaaan, aku bukannya anti dengan komitmen ya, tapi takut. Bukan takut kehilangan kebebasan, tapi takut dengan sisi gelapku ketika dihadapkan dengan komitmen. Takut akan menyakiti orang lain.

Sampai detik ini aku masih percaya, hidup single dan melajang itu lebih enak daripada hidup berdua. Aku bertanya-tanya, yang ngebet mengakhiri status single itu udah pada sadar ga sih, konsekwensinya? Hidup dengan dua kepala itu butuh kebesaran hati dan menurunkan ego lho, karena akan banyak kompromi ketika win-win solution sulit ditemukan. Musti banyak tenggang rasa dan toleransi, banyak memahami dan mendengarkan daripada meminta. Musti bisa menerima ga cuma kelebihan tapi juga kekurangan. Serously, living single is much more easier!

Lalu kenapa kamu mau mengakhiri status single-mu, Met?

Well, aku sendiri ga tahu. :))) Aku dijebak! :)))))

Aku selalu bilang: i was lost and (when) he found me.

Ketika “kopdar” berdua untuk pertama kalinya, ga ada ekspektasi apa-apa. Selain hanya menepati janji yang dibuat dibawah “paksaan”. Kopdar kedua, malah dibuat mbrambangi hampir nangis, hahahaha, kampret. Selanjutnya mengalir aja, tanpa harapan apapun hingga saat yang orang bilang ‘jadian’.

Ketika dia melontarkan maksud seriusnya, aku langsung mengangguk. Entah, apa juga yang ada di pikiran, kok aku langsung mengiyakan. Rasionalisasiku adalah teori blink-nya Malcolm Galdwell. Yeah, i’m thinking with my feeling.

Thank you untuk sedari awal mengingatkanku bahwa perjalanan kedepan tak selalu berisi senang-senang. Thank you untuk sedari mula menyadarkanku bahwa perjalanan kedepan tak selalu mulus. Thank you untuk sedari pertama, membuka diri apa adanya, showing who you really are.

Eh postingan belum kelar, kok belum-belum udah ucapan makasih aja.

Yap, perjalanan yang baru beberapa bulan tapi seperti di-akselerasi. Bukan tentang keputusan besarnya, tapi berbagai peristiwa, proses yang buatku makin membukakan mata. Belajar tentang penerimaan, tak hanya menerima dia tapi juga orang tua. Dan tentu aja hal-hal yang udah aku sebutkan diatas.

Iya, proses teknis lamaran memang menguras pikiran dan tenaga. Wara-wiri jakarta-jogja, terpaksa mengabaikan beberapa momen-momen kopdar dan networking, plus mengencangkan ikat pinggang. Belum lagi konflik dan drama dengan orang tua. Ketika ego saling bertemu, dilema antara memenuhi impian sejak lama atau mengorbankan impian demi orang tua. Belum lagi LDR dan peristiwa~dinamika antar pasangan.

You know what, bahkan dua jam sebelum acara, sempat yang tegangan tinggi dengan bapak. Tapi pas acara lamarannya, bapak ternyata meneteskan air mata hingga tiga kali…  Tukar cincin alias tunangan yang harusnya ga ada, jadi ada. Ga usahlah dijelaskan kenapanya, tapi sumpah itu lucu banget, kocak, memorable pisan. Semua konflik langsung berasa luruh saat itu, everybody happy. Bahagia.

Doaku, semoga kedepan aku bisa makin matang dan dewasa. Proses (belajar) belum berakhir, sangat mungkin berjalan seumur hidup. Lamaran, tunangan, dan acara-acara seremonial/adat sejenis, cuma teknis. Yang lebih penting adalah dinamika dibelakangnya, proses pendewasaan dan kematangan.
You, my anam cara.

The anam cara friendship awakens the fullness and mystery of your life. You are joined in an ancient and eternal union with humanity that cuts across all barriers of time, convention, philosophy, and definition. When you are blessed with an anam cara, the Irish believe, you have arrived at that most sacred place: home. ~ wikipedia.

Jadi kembali ke pertanyaan awal, apa yang membuatmu mau mengakhiri status single-mu, Met?

I believe because it’s him.

Seems like a long long way to go
But we’ve gotta hang tough
Wait a while give yourself a smile
And you’ll realize that
At the end of the day
It’s gonna work out ~ I’ll Still Be Loving You, Fourplay

So if you want it to get stronger
You’d better not let go
You gotta hold on longer
If you want your love to grow
Be brave when the journey is rough
It’s not easy when you’re in love
Don’t be ashamed when the going gets tough
It’s not easy, don’t give up
If you want it to get stronger
You’d better not let go
You gotta hold on longer
If you want your love to grow ~ Hang On To Your Love, Sade

Softselling vs Hardselling

Ini postingan pertama saya di Tahun Ular Air, yeeeyy. Apdet blog yang sifatnya rada-rada terpaksa, kalau orang Jawa bilang, kahanan. Ya gimana lagi, pulang kantor, udah deket terminal Blok M, eehhh hujan turun dengan derasnya plus angin kencang. Musti neduh dulu. Thus terdamparlah saya di sebuah tempat makan yang lumayan cozy dan surprise-nya, menunya cukup lezat. Spaghetti aglio olio, fish and chips, dan mix juice wortel-belimbing tanpa gula. Surprise karena saya ga pernah berharap akan dapat makanan enak di tempat seperti Blok M Square.

Eh tapi saya apdet bukan untuk membahas kuliner. Jadi ini adalah upaya dokumentasi pikiran saya, yang satu ini udah berkecamuk beberapa hari ini. Terpikir ketika saya sedang melamun di kamar mandi (ha, selalu deh. Ga heran kamar mandi is my bank of idea).

Mungkin ada kaitannya dengan dunia pekerjaan yang saya tekuni sekarang, juga keseharian saya yang nyaris ga lepas dari social media. Bahkan arena pergaulan saya kebanyakan kongkownya dengan teman-teman dari dunia dihital. Salah satu topik yang selalu seru untuk diperbincangkan yaitu pro-kontra twit berbayar. Sebenarnya pro-kontra ini udah lama sih, sejak dua tahunan lalu kali ya.

Yang kontra alasannya karena banyak twit-twit yang jadi semacam hidden-agenda dan mereka merasa ditipu/dimanfaatkan. Semakin kesini, yang saya amati, audience (jieee, tapi sepertinya pilihan katanya kurang tepat) udah makin bisa membedakan mana twit berbayar/campaign dan yang twit random. Biasanya jika ada hashtag-hashtag dan tiba-tiba banyak yang ngetwit (apalagi jika yang ngetwit circle selebtwit), makin curigalah audience. Yang pro alasannya karena ya ini profesi dan halal, nggak seperti koruptor atau calo. 

Udah banyak juga sih, saran-saran seperti penggunaan hashtag #ad untuk twit campaign/berbayar. Tapi di Indonesia sendiri, kulihat belum populer ya. Udah ada beberapa yang menggunakan, tapi di timeline-ku masih dikit banget, brand yang mau begitu apalagi. Untuk strategi campaign sendiri, diantara teman-teman dihital juga banyak yang saling mengkoreksi. Singkatnya ketika strategi campaign itu agak-agak kurang etis, biasanya social punishment udah berjalan dengan sendirinya. Eh istilah social punishment untuk konteks ini betul ga ya, hahaha. Abisnya, biasanya banyak yang mencerca di publik gitu.

Terkait buzzer, ini juga topik tersendiri yang cukup seru. 2013 dan masih ada lho, perdebatan tentang hal satu ini. Tapi kulihat, makin kesini orang makin maklum walau sebenarnya dongkol. Pemaklumannya lebih karena gak enak, kebanyakan teman sendiri, dan itu adalah penghidupan orang. Sebelnya mereka karena dinilai twit-twitnya jualan melulu. 

Disini saya keknya perlu menggali lebih jauh sih, ‘jualan melulu’ itu sebenarnya apa. Sebelnya kenapa. Karena toh, setiap hari setiap detik kita dikepung iklan, mulai dari iklan tv/radio/cetak hingga reklame. Nyepam sebagai bentuk jualan memang menyebalkan, tapi apakah ngebuzz seperti nyepam? Ada yang bilang, terlalu hardselling itu menyebalkan dan nggilani. Softselling konon lebih bisa diterima. Tapi saya berpikir, kalau softselling tujuannya adalah supaya ga terlalu kentara jualan, lalu gimana dengan strategi campaign yang awalnya dikira bukan bagian dari campaign brand tapi ternyata bagian dari campaign brand. Softselling apa nggak lebih dari suatu bentuk ‘penipuan’ dalam bahasa paling sopan, karena toh ujung-ujungnya jualan. Kenapa tidak dengan hard-selling yang dari awal emang kentara jualan. Itu suatu bentuk kejujuran tersendiri lho, dari awal orang udah mahfum kalau twit hardselling pasti jualan jadi orang lebih bisa mengambil sikap. Kalau softselling rentan menempatkan orang di posisi ngambang.

Eh pikiran random tadi konteksnya jualan di twitter lho ya, bukan iklan komersial di TV/media. Kalau iklan-iklan TV yang hardselling mah emang norak, macem sozzis-sozzis-an itu. Well, ini sekadar pikiran dan wondering seorang restlessangel. Masih angel kan, belum devil? Hehehehe…

Sepertinya hujan sudah berhenti. Semoga. Yang jelas, restoran ini sudah mau tutup. :mrgreen:

 

Ungkapkan Rasa Sayang dengan Helm

contoh bonceng ga dipakein helm

Pagi ini sewaktu berangkat ke kantor naik ojek langganan, aku melihat pemandangan yang bikin miris. Sebenarnya udah sering sih lihat pemandangan seperti pagi tadi, di Jogja pun juga sering banget lihat. Walau begitu, tetep aja rasanya miris dan kesel, ga habis pikir.

Jadi yang kulihat pagi tadi adalah seorang ibu naik motor memboncengkan anak perempuannya, kira-kira SD sekitar kelas 3-4 gitu. Si bocah ini ga dipakein helm apapun, padahal si ibu melaju cukup kencang. Udah gitu, jalan yang dilewati termasuk jalan protokol yang ramai dan rata-rata semua kendaraan ngebut kalau lewat jalan situ. Miris dan ngeri membayangkan kalau ada apa-apa.

Sambil melihat ke bocah yang duduk memeluk pinggang ibunya, aku mikir, ini si ibu sayang anaknya ga sih. Aku membayangkan, kalau misal ditanya, “Ibu sayang ga sama putri ibu?” pasti dijawab, “Ya sayanglah, saya kan ibunya.” Tapi kalau ditanya, “Kalau sayang, kenapa Ibu gak makein helm ke putri Ibu sewaktu mboncengin motor? Kepikir ga kalau ada apa-apa, bagaimana nanti putri Ibu?” kira-kira dia jawab apa ya, hmmm.

Seringkali kita hanya sebatas tahu suatu kata tapi tidak paham makna kata tersebut, bentuknya seperti apa. Seperti kata ‘sayang’. Kalau dari contoh di atas, si ibu pasti mengaku sayang sama anaknya. Yang menjadi misteri, mengapa ia tidak berpikir untuk melindungi si anak dari bahaya kecelakaan. Jadi ‘sayang’ menurut si ibu, itu yang gimana sih? Ga mungkin dong, sekadar pernyataan di bibir doang.

Jadi teringat, beberapa waktu lalu pernah ngobrol dengan teman, dia cowo dan bapak dari satu balita. Aku iseng nanya, dia sayang ga sih ama anaknya. Dijawab, “sayang lah,” tapi dia kesulitan menjelaskan sayang yang gimana. Aku curious, secara pekerjaan dia membuatnya jauh dari anaknya dan jarang banget untuk bisa ketemu ama anaknya. Pengin tahu aja sih, bagaimana dia mengartikan sayang dan mewujudkan rasa sayang tersebut. 

Eh menurut kalian, rasa sayang itu harus/perlu diwujudkan ga sih? Kalau iya, memasangkan helm ke anak ternyata bisa menjadi perwujudan rasa sayang ya. Berarti, helm bisa dilihat sebagai wujud kongkrit rasa sayang dong, iya gak?

Btw dari browsing-browsing, ternyata Senin 5 November lalu sempat ada Konferensi Anak Indonesia, tema untuk 2012 ini adalah Keselamatanku di Jalan. Nah, ayo dong ayah, bunda, aak, tante, om, demi keselamatan bersama nih, saling menjaga, dan tentu aja mulai dari diri sendiri.

 

Gambar 

 

Who Am I?

Gambar

Sebagai orang yang lebih aktif di twitter daripada social media lainnya, seringkali mendapatkan inspirasi dengan mengamati percakapan atau monolog di timeline. Salah satunya adalah membaca lontaran yang sering terbaca di timeline, kira-kira semacam ini bunyinya: “Jangan menilai orang dari twit-twitnya” dengan berbagai variasinya.

Menurutku penolakan seperti itu adalah bentuk penyangkalan terhadap isi twitnya sendiri. Kalau kita follow seseorang yang sering banget ngetwit isinya mengeluh, misuh-misuh, kasar, marah-marah, artinya apa? Bisa jadi sih, ketika ketemuan, ternyata orangnya pendiam, santun, ga banyak bicara. Tapi ga lantas twit-twitnya jadi ga berarti. Coba tanya kepada mereka yang sering stalking akun orang, bagaimana mereka bisa mendapatkan profiling singkat dari stalking timeline. Misal, dari mengamati timelinenya, kita jadi tahu si A perokok aktif, demen nongkrong di sevel, minuman kesukaannya bir, insomnia, kerja freelance, penyuka ikan cupang sebagai peliharaan, penganut paham sosialis, kritis karena suka bertanya hal-hal yang jarang dipikirkan orang lain, peduli dengan isu-isu sosial karena demen komen tentang berita-berita terkini, dsb dsb dsb. Apalagi ditambah ia demen absen 4sq, makin lengkap data yang kita peroleh.

Proses penilaian ini, sebenarnya tak jauh beda dengan yang dilakukan para psikolog, terutama penilaian kepribadian (kita menyebutnya assesment sih). Kepribadian alias personality, berasal dari kata persona yang berarti topeng. Yep, kepribadian memang topeng (-topeng) yang ditampilkan sesuai dengan lingkungan sekitar kita. Kita cenderung menampilkan diri secara berbeda di setiap peran/situasi. Dan itu wajar-wajar saja, sehat dalam arti fungsi kita tidak terganggu dan tidak mengganggu orang lain.

Sebagai makhluk individual sekaligus makhluk sosial, ada banyak peran yang kita jalankan sekaligus. Misal, sebagai anak buah di kantor, tapi di rumah sebagai kepala keluarga, di tetangga sebagai ketua RT, di organisasi sebagai bendahara. Kita bersikap di depan keluarga dan saudara mungkin berbeda dengan sikap kita di depan kantor, berbeda juga dengan sikap di antara teman-teman online dengan teman-teman SMU. So, tidak usah merasa berkepribadian ganda jika merasa berbeda sikap diantara teman-teman twitter dan diantara saudara. Untuk mendapat penilaian kepribadian ganda, perlu assesment yang lebih dalam dan data yang jauh lebih banyak, ples indikator perilaku lainnya.

Dalam psikologi dengan topik psikologi kepribadian-nya, berbagai tipe kepribadian yang dilansir para psikolog sebenarnya adalah upaya untuk lebih memahami manusia dan perilakunya. Karena itulah ada banyak sekali tes psikologi, karena psikotes adalah upaya ilmiah untuk memahami kepribadian manusia. Ilmiah, karena dalam penyusunan tes-tes tersebut melewati berbagai tahap pengukuran lho, dan rumit.

Dari sisi awam sendiri, dengan mengetahui ia termasuk tipe kepribadian yang mana, adalah salah satu upaya untuk mengenali dirinya sendiri. Tentu aja ada cara lain dalam proses lebih mengenali diri, selain psikotes. Seperti yang dibahas di paragraf selanjutnya. Ini berhubungan dengan pertanyaan “who am i” yang menjadi judul postingan ini.

Ada yang berpendapat bahwa siapa kita tak bisa didefinisikan berdasar pekerjaan kita, jabatan kita, status pernikahan dan jumlah anak, hobi kita, minuman favorit kita, preferensi seksual, dsb. Ada pula hadis (qudsi) yang menyatakan, “barang siapa yang mengenali dirinya maka ia mengenal Tuhannya”. Socrates sendiri bilang, “know thyself”.

Gambar

You think you know yourself? Kalau ada yang menjawab ya, menurut saya, ia sombong dan pongah. Mengenal diri sendiri adalah proses yang terus berjalan seumur hidupnya. Manusia adalah makhluk yang dinamis dengan berbagai pengalamannya. Bagaimana seseorang dapat mengenali dirinya? Well, cara ‘singkat’ memang dengan mengisi berbagai tes kepribadian/psikotes. Tetapi harus diingat, bahwa hasil yang keluar dari tes tersebut hanya salah satu data dan hanya mengungkap kecenderungan/bukan harga mati.

Di psikologi sendiri, ketika melakukan assesment, psikotes hanya salah satu alat untuk mendapatkan data. Ada lagi wawancara dan observasi. Apalagi penilaian kepribadian di psikologi umumnya untuk keperluan seleksi pekerjaan, konsultasi karir dan sekolah, promosi jabatan, konseling pernikahan, dsb. Tentu saja untuk menghemat waktu dan biaya, maka dipilih berbagai metode yang paling cepat.

Lalu bagaimana kalau ada orang yang menilai dirinya berbeda dengan yang dirasakan? Jadi alasan gitu untuk marah-marah kepada yang bersangkutan dan menutup kuping terhadap kata-katanya? Yang seperti itu mungkin perlu menyimak Jo-Harry Window.

Gambar

See, dalam diagram tersebut, ada dua unsur yang penting untuk tahu tentang diri kita. Yaitu diri kita sendiri dan orang lain. Yep, kita tidak bisa menafikan unsur orang lain untuk lebih mengenali diri kita. Karena itu ada 4 area yang berkaitan. Ada bagian dari diri kita, yang kita sendiri tahu dan orang lain juga tahu. Ada bagian dari diri kita, yang cuma kita yang tahu dan orang lain tidak tahu. Ada bagian dari diri kita yang bisa jadi kita tidak tahu tetapi orang lain mempunyai penilaian berbeda/tahu. Nah disinilah kedewasaan kita diuji, bagaimana reaksi kita terhadap penilaian orang terhadap kita. Menerima sebagai masukan atau ngamuk-ngamuk dan memutuskan untuk tutup telinga.

Jika kamu pikir kamu benar-benar sudah mengenali dirimu sendiri, maka cobalah kau bertanya pendapat orang lain tentang kamu.

Jadi masih mau marah-marah jika ada orang yang mempunyai pendapat tentang kamu berdasarkan celotehanmu di twitter?

Budak Hormon

Gambar

 

Siang ini, di tengah HIV (hasrat ingin vivis), pas di toilet kaget. Ternyata hari ini kedatangan tamu. Terkesan ga prepare dan ga siap, karena udah beberapa lama ini ga disiplin mencatat siklus menstruasi. Penting lho, menurutku, untuk rajin mencatat siklus menstruasi kita. Karena kita jadi tahu siklus kita dan langsung tahu kalau ada yang berubah, entah jadi pendek atau lebih panjang. Perubahan siklus bisa jadi merupakan sinyal yang dikirim tubuh kita untuk istirahat atau makan yang bener.

 

Well, ketika istilahnya baru ngeh bahwa hari ini lagi dapet, hal ini menjelaskan kenapa beberapa hari terakhir ini, aku mudah marah, gampang murka, darah panas, dan cepat tersinggung. Juga menjelaskan kenapa mendadak jadi muncul rasa bosan, jenuh, dan  maleeesss. Padahal tidak ada apa-apa, juga lagi ga kepikiran apa-apa. Ternyata beberapa hari kemarin sedang PMS. Lha ga nyadar karena memang lupa sama siklusnya. Perasaan baru aja dapet, ternyata memang sudah waktunya.

 

Selain itu, tentang PMS, walau sendirinya daku perempuan, tapi rada-rada kurang percaya dengan efek PMS yang membuat kita seperti budak hormon. Mikirku gini sih, kok perempuan sepertinya ga cukup mampu untuk mengendalikan tubuhnya sendiri. Memang siklus hormon turun naik begini sudah default tubuh kita, tapi apa lantas kita sama sekali ga punya kendali terhadap emosi dan perilaku kita? Kalau benar, ya maaf saja, tetapi ga bisa disalahkan dong kalau ada yang memandang perempuan itu (stereotype-nya) labil dan lemah.

 

Efek dari stereotype tersebut lumayan lho. Misalnya tentang isu kepemimpinan. Ada banyak yang meragukan kualitas kepemimpinan perempuan, yak arena kelabilan waktu PMS tersebut. Banyak yang meragukan, jangan-jangan ada masa seorang pemimpin perempuan mengambil keputusan gegabah karena pas lagi labil PMS dan mood sedang ancur-ancuran. Lha kalau presiden perempuan ngamuk-ngamuk karena emang lagi dapet, lantas memutuskan untuk perang nuklir, ya repot. Apa karena itu juga ya, presiden perempuan umumnya sepuh-sepuh karena sudah waktunya menopause sehingga secara emosi juga lebih stabil. *ngikik*

 

Kembali ke ‘masalah’ku tadi (halah). Jadi mikir, kalau kita tahu bahwa kita sedang PMS sebenarnya bisa membantu kita untuk lebih aware/sadar/ngeh yang terjadi ama diri kita ga? Kalau di kasusku ini tadi, karena aku ga sadar bahwa sedang PMS, ketika emosi lagi naik, jadi bingung dan bertanya-tanya, kok aku jadi gampang marah. Kalau sudah ngeh/sadar, semestinya bisa lebih mengendalikan perilaku kita. Idealnya.

 

Tetapi di lain pihak, mengamati teman-teman di sekitarku, PMS biasanya malah jadi pembenaran untuk bisa berlaku seenaknya. Yaitu, bisa marah-marah, labil, bête ga jelas tanpa juntrungan. Kalau ada yang protes, tinggal bilang, “lagi PMS (so you don’t have the right to ask me)”. Dan kalau sudah begitu, biasanya para lelaki memilih untuk ngalah, diam, menjauh, daripada kena semprot.

 

Are we happy, puas, ketika mereka memilih untuk diam dan menjauh? Apa ga lantas makin mengukuhkan kita ini budak hormon dan lemah?

 

Dan moral cerita adalah, selalu sedia pembalut untuk berjaga-jaga. 😆

 

 

 

 

Komunikasi di era 2.0: Lebih Sulit atau Lebih Mudah? (2)

Bagian I-nya disini.

Setelah dibagian pertama membincang latar belakang masalah dan hipotesisnya, sekarang kita akan membicarakan karakteristik berbagai social media untuk menemukan solusi atas pertanyaan kita 😀

Ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan sehubungan untuk memahami serba-serbinya berkomunikasi di era socmed ini:

  • Karakter tiap socmed itu berbeda

Misal, twitter itu bersifat lebih terbuka. Maksudnya, suatu diskusi/pembicaraan tidak terlokalisir seperti halnya tret plurk, sehingga dalam timeline lazim terjadi suatu pembicaraan tercampur dengan obrolan lain.

Mereka yang tidak sabaran/konsentrasi, sangat mudah terdistorsi dalam memaknai pembicaraan.

Selain itu interaksi di twitter tidak seintensif diplurk. Maksudnya, kita bisa saja sering sekali update status tanpa harus khawatir membanjiri timeline teman (flooding) karena apdetan kita dalam 10 menit sudah tenggelam ditimpa apdetan orang lain. Tetapi hal ini hanya berlaku bagi timeline mereka yang following lebih dari 200 orang. Kalau hanya 10 orang yang diikuti, ya tentu tidak. :mrgreen:

Tentang batasan sampai seberapa sering kita boleh update status tanpa mengganggu orang lain, memang tidak ada batasan baku. Disini kepekaan & kesadaran diri yang memegang kendali.

Komunikasi di twitter tidak menuntut adanya conversation yang intensif. Kita memang senang kalau twit kita ada yang menanggapi, tetapi ketika tidak ada yang menanggapi pun, tidak begitu masalah. Lain halnya dengan plurk yang memang menuntut adanya interaksi, karena tiap tret ada kolom respon. Jika tret yang kita buat lebih banyak tanpa respon, rasanya sepi sendiri tiada yang menemani… *lebay lagi* :mrgreen:

Jika dimisalkan mungkin seperti hidup berdampingan tapi tidak ada yang mengajak bicara sama sekali.

  • Motivasi yang melatarbelakangi seseorang ketika membuat suatu akun socmed

Pada akhirnya, memang tergantung motivasi seseorang, apa tujuan dia membuat suatu akun. Apakah untuk nyampah/katarsis, untuk ajang eksistensi, untuk interaksi / networking, untuk share, untuk senang-senang, dll. The underlying motives ini yang mewarnai bagaimana dia berperilaku di socmed sehari-harinya. Misal, ada yang getol mencari follower atau bagaimana. Tetapi menurut saya, motivasi ini bisa berubah seiring waktu.

Juga, penting diketahui dan dicamkan baik-baik, untuk terjun ke suatu socmed sama saja terjun/berinteraksi dengan crowd disitu. Ini soal cocok-cocokan saja, tidak usah memaksakan untuk terjun semua. Atau jika ingin terjun kesemua, kenali dulu karakter masing-masing, sehingga bisa berperilaku berkomunikasi sesuai tempatnya.

Solusi untuk komunikasi yang lebih sehat:

–          Harus peka, menyimak baik-baik (ini termasuk kemampuan listening), dan kemampuan pengamatan yang baik, untuk bisa menangkap apa yang tak terlihat/tersirat.

–          Pengendalian diri/awareness. Seringkali kita merasa ‘aman’ bahwa kita terlindungi topeng, sehingga jauh lebih bebas dalam menuliskan apa yang kita rasakan.

FYI, ada yang namanya TMI alias Too Much Information. Memang tidak ada aturan bakunya dan kadang-kadang bersifat sangat subjektif. Apalagi mereka yang berkarakter ekstrovert atau ingin nyampah, cenderung lebih terbuka mengungkapkan hal-hal personal.

–          Khusus untuk pengguna twitter, harus paham twitter usability, yaitu memeras apa yang ingin disampaikan dalam maksimal 140 karakter (fanabis, 2010).

Untuk diskusi silakan saya buka di bawah. Lagipula ini hanya asumsi, tidak didasarkan pada riset sama sekali. Jadi sangat terbuka untuk dikoreksi 😀

Notes.

–          Mengenai komunikasi brand, itu beda lagi. Tapi yang perlu digarisbawahi, konsumen senang kalau komplen-nya atau apapun, ditanggapi dengan cepat oleh brand ybs. Brand itu bisa produk atau person loh.

–          Mengenai pencitraan, sekali lagi, tergantung motivasi awal si pemilik akun. Kalau untuk branding, jelas butuh pencitraan. Tetapi, IMO, kejujuran/otentik itu lebih disukai. Jadi, sudah sinkronkah antara di socmed dan real life?

–          Masing-masing socmed, seperti misal plurk dan twitter, punya caranya sendiri untuk mendongkrak ‘ego’ pemilik akun (aduh, lupa namanya). Contohnya sistem karma diplurk dan jumlah follower di twitter. Hal ini disadari/tidak menciptakan ‘kasta’ dalam dunia socmed dan cenderung mengakibatkan kecemburuan sosial.

Komunikasi di era 2.0: Lebih Sulit atau Lebih Mudah? (1)

Postingan ini terilhami setelah mengamati kelakuan para pengguna socmed, khususnya twitter dan plurk, tapi tak menutup medium lain. Dari sini timbul pertanyaan besar:

MENJALIN KOMUNIKASI DI ERA 2.0 DAN SOCMED APAKAH LEBIH RUMIT DAN EMOSIONAL DARIPADA KOMUNIKASI DI REAL LIFE?

Alasannya:

  • Banyak ‘keributan’ di socmed, seperti soal follow-unfollow, flooding timeline,  atau RT abuser, menjadi topik yang sering sekali dibicarakan. Banyak sekali pengguna socmed yang mengeluh, yang merasa ‘sangat’ terganggu sehingga mereka komplain, curcol, nyindir, nggremeng, etc ditimeline mereka sendiri.
  • Keributan tersebut memang tidak sampai yang berdampak sosial yang massive, bisa jadi memang agak lebay/dilebih-lebihkan. Tapi ya gitu, dari pengamatan, selalu saja ada orang-orang yang terganggu.

Sebelum saya teruskan lebih lanjut, saya mendefinisikan dulu apa yang dimaksud dengan era 2.0. Saya merujuk pada Wikipedia, disini yang dimaksud dengan era 2.0 adalah web 2.0. Definisi web 2.0:

Web 2.0 adalah aplikasi web yang memfasilitasi interaksi yang lebih interaktif (dua arah) dari penyedia/pengisi konten dengan penikmatnya. Aplikasi tersebut selain memungkinan terjadinya dialog, juga information sharing dari dua belah pihak. Bisa dikatakan dengan aplikasi tersebut  dapat memunculkan dari diskusi hingga kolaborasi.

Dari pengamatan saya (yang termasuk juga pengguna socmed) muncul beberapa hipotesis/asumsi:

Berkomunikasi di era socmed dan 2.0 seperti sekarang ini membutuhkan skill komunikasi yang lebih daripada komunikasi biasa.

Mengapa? Karena berkomunikasi lewat tulisan, selain harus bisa menuangkan pikiran lewat bahasa tulisan yang bisa dipahami orang, juga harus bisa memahami nonverbal/yang tersirat dari sebuah tulisan. Non verbal itu bisa mencakup nuansa emosi, mengenali karakter seseorang dari tulisan-tulisannya, dll.

Kalau komunikasi ‘standar’, non verbal tersebut bisa kita lihat dengan mudah, seperti gesture, ekspresi wajah, dll. Ingat, bahwa non verbal dalam komunikasi malah justru mengungkap/berbicara jauh lebih banyak daripada yang verbal. Selain itu, berinteraksi dunia maya bisa jadi lebih rumit  karena kita bisa bersembunyi dibalik topeng/alter ego yang sengaja kita ciptakan.

Jadi lazim kita temui orang yang berbeda antara di dunia maya dan di dunia nyata. Apalagi jika menyangkut netiket (yang belum luas diketahui orang seperti halnya etika pergaulan di dunia nyata) dan pengendalian diri.

Dari kultur sendiri, masyarakat kita menurut para pakar lebih terbiasa dengan budaya lisan daripada tulisan. Walau banyak juga yang mengaku, lebih mudah mengungkapkan pikiran lewat tulisan daripada lewat verbal, tetapi hal tersebut tidak menjamin dia mempunyai skill komunikasi (tulisan) yang cukup baik.

Alasan lain yang mendasari asumsi diatas:

Dalam masyarakat online, suatu kabar/buzz lebih cepat menyebar daripada lewat medium komunikasi telepon genggam/sms, literally dari mulut ke mulut, apalagi pos merpati (halah).

Contoh, adanya trending topic di twitter dan viral marketing yang makin sering digunakan akhir-akhir ini.

Dari pengamatan, entah kenapa lebih banyak yang percaya adanya kabar yang belum jelas kebenarannya kalau disampaikan lewat media text (media televisi dan radio juga sih, tapi kita kan sedang membahas komunikasi tertulis) daripada yang sekedar bisik-bisik. Apa karena faktor komunikasi tertulis dapat terdokumentasi dengan baik, sehingga mudah dilacak/meninggalkan jejak daripada lisan yang cenderung lebih mudah dilupakan/sukar dilacak.


BERSAMBUNG KE BAGIAN SELANJUTNYA, KARAKTERISTIK KHAS TIAP SOCMED :goodluck:

Cepet Tua di Jalan Raya

Beberapa waktu terakhir ini, berada di jalanan, menyetir/bawa kendaraan, sungguh merupakan stressor tingkat tinggi yang berefek instan. Marah, gusar, jengkel, meledak, frustrasi, etc etc segala emosi negatif yang bikin cepat tua. Ga salah sama sekali alias benar, kalau saya bilang jalanan bikin saya cepet tua. Lha gimana nggak, saya marah-marah melulu kalo lagi nyetir. Semua gara-gara kelakuan pengguna jalan lain yang minus etika jalan raya.

Seperti malam ini. Di perempatan Tugu, ada bapak-bapak dengan cerdasnya memarkir mobil tepat di pengkolan sebelum belokan kekiri. Padahal disitu juga merupakan perempatan yang ada lampu lalu lintas. Pas lampu merah masih nyala, pas saya lewat. Sebelah kanan mobil penuh dengan mobil dan luberan motor. Dan dikiri, saya tidak bisa langsung belok (kekiri jalan terus) karena bapak-bapak yang memarkir mobil dengan sangat cerdas itu. Saya berhenti ditengah-tengah, karena jalan sangat sempit dan kalau saya teruskan, sepertinya mobil bapak tersebut akan menggesek body mobil saya.

Saya muntab. Saya turunkan jendela dan berteriak, “Pak, parkirnya pinter banget, sih. Cerdas banget ya, Pak,” sambil saya pelototi si bapak.

Bapak tersebut balik memandangi saya dan menjawab, “Kan masih lebar gitu.”

Woooo….rasanya pengen saya beset pake paku itu body mobilnya. Saya cuma bisa misuh-misuh memuji kecerdasan bapak itu.

Beberapa hari lalu, saya juga harus mencuci mulut saya dengan air tujuh kali plus pasir, gara-gara kelakuan pengendara motor yang sangat-sangat minus. Kejadiannya di Tajem, Maguwoharjo. Jalanan di desa tersebut memang mempunyai tikungan yang sangat tajam, sehingga pas kalau dinamai dusun Tajem. Sudah begitu, aspalnya tidak rata (mungkin karena struktur tanahnya, mungkin juga karena kualitas aspal yang kurang bagus) dan relatif sempit untuk dua jalur mobil. Setiap lewat situ, saya pasti di gigi 2, bahkan 1, karena harus extra pelan dan hati-hati.

Nah dikondisi seperti itu, ada motor lewat dari arah berlawanan. Dari arah saya, jelas terlihat motor yang dinaiki dua pemuda mebo tanpa helm itu nyalip mendahului mobil dan motor lain. Ngebut pula. Pas nyalip itu dia memakai jalur yang berlawanan arah dan jaraknya cukup dekat dengan mobil saya. Saya perlambat kecepatan sambil mengklakson keras. Weeelha, dua kroco tersebut tidak memelankan laju motornya dan dalam jarak yang cukup dekat berada didepan mobil saya. ‘Sayangnya’ mereka masih dilindungi Gusti Allah, sehingga bisa menghindar dan membanting arah masuk jalurnya lagi. Untung, kendaraan-kendaraan dibelakang mereka bisa memperlambat lajunya, walau mungkin sambil misuh-misuh. Wuah, udah. Saya waktu itu muntab banget. Dan ya gitu, sampai musti mensucikan mulut saya.

Dan ada banyak contoh-contoh lain, yang kesemuanya menunjukkan betapa minus dan lemahnya kesadaran pengguna jalan atas etika lalu lintas. Tidak motor, tidak mobil, ndak becak, ndak penyeberang jalan. @$%^$^%&U^T*%E$@

Mengapa, oh, mengapa kesadaran untuk beretika di jalan raya itu sedemikian rendah?

Kuncinya cuma satu kok, saling menjaga dan lebih baik saling mengalah. Urusannya nyawa, bung. Atau paling sedikit, cacat, luka. Jadi pilih mana? Saling menjaga di jalan raya atau menyerahkan nyawa kita kepada orang lain?

Notes. Tahukan Anda, apa saja etika di jalan raya itu? Sudahkan Anda mempraktekannya?

Nicowijaya Narcism

Mereka yang mengenal Nico (panggilan akrabnya) dan pernah pergi bareng-bareng dengannya, pasti setuju bahwa teman Nico ini bejibun di mana-mana. Kami, teman-temannya di Cah Andong, sering terheran-heran dengan begitu banyaknya teman-teman baru yang diajak untuk kopdar bersama. Ada komunitas multiply, ada komunitas flickr, entah apalagi. Banyak teman, demikian kesan saya terhadap pemuda yang aslinya berdomisili di Lampung ini.

Saya sendiri tertarik mengangkat profil di kontes E-Narcism gara-gara karya dia yang menyebar luas di facebook. Jadi waktu itu, sedang heboh-hebohnya gerakan Indonesia United, dengan mengganti avatar di facebook dengan avatar bendera merah putih. Nico, sesuai pengakuannya, bercerita bahwa proses kreatif avatar merah putih dengan logo Indonesia United berlangsung cukup cepat. Penggemar disain minimalis ini lantas meng-upload ke facebook dan men-tag beberapa teman. Yang terjadi selanjutnya di luar dugaan. Tak hanya teman-teman Nico yang memakai avatar hasil karyanya, tapi juga orang-orang lain yang tak Nico kenal.

indonesiaunite-hi-s

Secara personal, saya mengenal Nico sebagai pemuda yang low profile. Tetapi sepak terjangnya di dunia maya membuktikan sebaliknya; cukup narsis :mrgreen: .
Blog sendiri dia ada dua (sekarduside.com dan nicowijaya.posterous.com), yang cukup rajin di update. Selain itu, di situs mikroblogging Plurk, ada sekitar lebih dari 350 teman yang dia miliki. Belum yang di deviant art.
Sebagai blogger, dia juga tergabung di Komunitas CahAndong. Beberapa kali diwawancara oleh media seperti Harian Jogja, sehingga namanya sempat muncul mewakili Cah Andong di beberapa surat kabar, termasuk dengan fotonya nampang di surat kabar tersebut (waktu itu pas Pesta Blogger 2008 mampir di Jogja).

Pemuda yang berprofesi sebagai freelancer di bidang web designer, flash animation, dan graphic desainer ini mengaku, bahwa eksis di dunia maya cukup membantu mendongkrak personal brandingnya. Dulu yang hanya dikenal di kalangan teman-teman kuliahnya, semenjak aktif di dunia maya, jaringannya mulai bertambah di luar kampus. Memang tidak secara langsung, karena Nico dari awal berprinsip untuk tidak money oriented, maka dia lebih tertarik untuk menambah teman daripada cari proyekan. Tapi yang terjadi adalah, dampak tak langsung dari pertemanan itu, dia sering ditawari berbagai proyek.

*Ternyata selain dua blog di atas, ada blog lainnya yaitu nico.wijaya.web.id yang berisi curhatan personalnya  dan akun lain di posterous yang menyimpan semua hasil karyanya.

Ikuti Kontes E-Narcism, Gaul dan Eksisnya si Teman di Internet, dan menangkan 6 buah iPod persembahan dari Bhinneka.com dan 24 t-shirt E-Narcism dari Grin Clothing.

Gunawan Rudy : Gold, Girls, and Glory*)

Saya mengenal anak ini sedari tahun 2007, waktu awal-awal saya nge-blog dan memang tahu pertama tentang dia ya lewat blog. Dari blog, lanjut ke situs pertemanan friendster, lanjut ke komunitas blogger. Setiap kali saya bertemu dengan anak ini secara offline, si Gun (panggilan sayang terhadapnya) ini nyaris ndak pernah lepas dari laptopnya dan online. Padahal yang namanya ketemuan rame-rame, bareng-bareng, ngakak-ngakak dan ngobrol-ngobrol, ya enakan bercengkerama dengan orang-orang di depan mata kita tho. Tapi berbeda dengan Gun, dia lebih memilih untuk setia dengan aktivitas online-nya. Eh ya benernya ndak setiap saat dia begitu sih, makanya tadi saya bilang nyaris.

Karena aktivitas online anak ini luar biasa (di mata saya) dan ternyata dia gak cuma sekedar narsis, tapi juga berkarya, maka saya tertarik untuk mengangkat profilnya di kontes e-narcism yang diselenggarakan oleh Media Ide. Saya ingin menunjukkan, ini loh, narsis yang levelnya udah setingkat lebih maju daripada saya (hihi), karena dia ndak cuma mejeng doang tapi juga berkarya. Ada wujud nyata yang manfaatnya dirasakan oleh orang lain.

Coba deh, klik betang.com.

Itu adalah salah satu hasil karya beliau. Hebat kan? Keren kan? Dan jangan kaget kalau portal tersebut bukan proyekan beliau bersama pemda setempat (yang berarti duit), karena justru proyek ini adalah proyek sosialnya Gun (dibantu oleh seorang teman dia). Menurut pengakuan dia, justru selama mengerjakan portal tersebut, dia yang keluar uang.

Dan karena Gun ini juga eksis di situs mikroblogging macam plurk dan twitter, saya jadi tahu susah payahnya beliau ketika mengerjakan proyek ini. Misal, tengah-tengah malam, ndak tidur, sibuk ngetes uji coba portal ini dan minta tolong teman-teman di plurk untuk jadi tester. Wah, penuh darah dan air mata deh (lebay mode on).

Sudah lama sebenarnya Gun eksis di ranah maya, tepatnya sejak tahun 2004. Bermula dari menjadi moderator forum video game dan anime, lanjut ke mendesain untuk forum. Yang awalnya untuk have fun diseriusi sehingga menjadi tambahan penghasilan bagi lajang yang masih kuliah di kota gudeg ini. Tekad ini menjadi pemacu Gun untuk belajar otodidak dengan sungguh-sungguh. Beberapa proyekan juga berhasil dia dapatkan gara-gara keaktifannya di ranah maya. Biasanya bermula dari perkenalan secara terbuka di forum dan milis, beberapa kali memamerkan hasil karyanya (tuh kan, narsis dianya, tapi narsis yang bermanfaat :mrgreen:  ) dan juga aktif terlibat dalam diskusi dan memberikan solusi. Dari situlah, beberapa ada yang tertarik dan konsultasi japri dan berlanjut kemana-mana (eits jangan berpikiran ngeres lho). :mrgreen:

Selain dari forum diskusi dan milis, beliau ini juga cukup aktif diblog. Gun ini punya banyak sekali blog. Yang saya tahu ada rozenesia.wordpress.com (awal saya tahu tentang dia), lalu lanjut ke gunawanrudy.com, gun.web.id, lie.siang.in, itu yang ketahuan. Gosipnya, sebelum blognya yang rozenesia itu, dia punya beberapa blog lagi tapi dihapus. Entahlah, namanya juga gosip. Tapi dari berapa banyaknya blog yang dia miliki, cukup menjelaskan seberapa narsis dan eksisnya dia di ranah daring. Walau begitu, lajang kelahiran 1990 ini merendah dengan mengatakan bahwa dirinya bukan seleblog, terbukti dari rendahnya trafik blog.

Biarpun Gun mengklaim demikian, tapi saya ndak 100% percaya. Secara dia selain aktif di blognya juga aktif di portal macam politikana.com. Dulu sewaktu Politikana masih soft launching, anak ini langsung melejit menjadi warga terpuji, saking aktifnya di portal tersebut. Hingga sekarang, keeksisannya di portal tersebut tersebut berdampak, katakanlah, dia cukup ‘disegani’ karena kadung terkenal sebagai warga Politikana yang kritis dan komentar-komentarnya di diskusi yang cukup bernas.

Selain itu, bukti bahwa dia cukup popular bisa dilihat di postingan mas Karmin berikut.

Jadi kalau kita rangkum *halah* apa saja yang didapat oleh Gun dari kenarsisan dia di ranah daring, yang jelas adalah teman dan proyekan. Tapi idiom dari mata turun ke hati, dari ranah daring berlanjut ke hubungan cinta, berlaku juga untuk Gun. Yup, dari dunia maya inilah Gun mendapatkan sosok kekasih hati yang juga cukup eksis di dunia maya. Tapi saya belum sempat bertanya, apa enaknya punya pacar yang sama-sama aktif di dunia maya. Apalagi sama-sama ikutan situs mikroblogging dan juga situs jaringan sosial seperti Facebook. Pikiran usil saya, segala kegiatan kita bisa terpantau dari situs-situs tersebut (apalagi mengingat citra Gun di antara teman-temannya *nyengir jahat*).

Gunawan Rudy. Coba saja gugling nama dia. Niscaya, apa yang terpampang lebih dari cukup untuk membuktikan apa yang saya tuliskan ini. :mrgreen:

Dan bukti paling ‘top’ adalah adanya halaman berikut ini, narsis senarsis-narsisnya… *muke ijo* *jadi ndak usah dipajang fotonya ya* :mrgreen:

*) Dikutip dari halaman profil Gunawan di sini.

Ikuti Kontes E-Narcism, Gaul dan Eksisnya si Teman di Internet, dan menangkan 6 buah iPod persembahan dari Bhinneka.com dan 24 t-shirt E-Narcism dari Grin Clothing.