Lelaki Penikmat Hujan

rain-drops

 

Perempuan itu tertarik dengan sosok lelaki itu.

Didapatinya lelaki itu selalu di posisi yang sama saat hujan. Duduk di kursi yang sama, kursi yang menghadap jendela. Matanya lekat menatap bulir-bulir air di kaca. Diam tanpa sepatah kata. Berjam-jam memandangi hujan dan kabut turun.

Perempuan itu penyuka pemandangan. Masalahnya, di kota ini sulit menemukan tempat dengan banyak pepohonan dan tanaman hijau rimbun, gemericik air mengalir, dan harum udara basah ketika kabut turun. Satu-satunya tempat yang mampu mengobati kerinduan perempuan itu adalah tempat ini. Dan saat favoritnya adalah sore hari. Ketika kabut turun menyentuh pucuk dedaunan. Dinginnya semilir angin menghantar aroma khas pegunungan. Saat-saat seperti itu yang selalu dirindukan perempuan itu. Saat-saat yang mampu membasuh jiwanya yang letih.

Dan pada saat itu ia menemukan lelaki itu. Lelaki penikmat hujan. Selalu hadir di kursi yang sama dan lekat memandang udara kelabu. Perpaduan sendu yang entah bagaimana menggetarkan syahwat perempuan itu. Nalurinya terjamah oleh rasa ingin tahu.

Maka ketika ia menjumpai lagi lelaki itu, ia menyapanya.

“Hai, boleh aku duduk di sini?”

Lelaki itu menengadahkan kepalanya. Matanya berpandangan dengan mata perempuan itu. Perempuan itu menggigit bibir, mendapati tiba-tiba desakan kuat muncul dari dalam, membuatnya gelisah dan basah.

“Silakan, kursi ini selalu kosong,” ujar lelaki itu. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Perempuan itu segera duduk di depan lelaki itu. Mata lelaki itu kembali menatap kaca yang basah oleh air.

“Kau suka hujan? Apa yang menarik dari hujan, bagimu?”

Lelaki itu mengalihkan pandangannya. Menatap perempuan itu. Telapak kaki perempuan itu seperti tersetrum dan menjalarkan rasa panas hingga diantara dua pahanya. Lembab. Perempuan itu tanpa sadar menelan ludah dan melepaskan alas kakinya, menyentuh betis lelaki itu. Ketika sadar apa yang disentuh oleh ujung jari kakinya, perempuan itu kembali seperti tersetrum dan pipinya sekarang terasa hangat.

Lelaki itu bangkit dari duduknya. Di depan perempuan itu ia membungkuk hingga ia mampu mencium semerbak mawar gunung yang menguar dari belakang telinga perempuan itu.

“Ikut aku, aku akan ceritakan apa yang menarik dari hujan,” bisiknya. Perempuan itu menatap nanar dan mengangguk.

….

Perempuan itu berbaring meringkuk telanjang. Sisa-sisa keringat berembun di keningnya. Ditatapnya lelaki itu sedang mengenakan celananya.

“Aku harus mengejar hujan,” ucap lelaki itu sambil membungkuk dan mengecup kening perempuan itu.

Perempuan itu mencium aroma udara basah dari kabut yang menjamah dedaunan ketika bibir lelaki itu mendarat lembut di bibirnya.

Argo Parahyangan, Bandung – Gambir, 7 Mei 2013

A Tale of Two Cities dan Hidup itu Belajar & Bercinta

Pagi ini aku dirusuhi memori masa kecil, gara-gara dengerin lagu manis KennyLoggins  “Love Is”.

Entah gimana, aku jadi keinget film yang kutonton pas SD. Filmnya diputer di TVRI (belum masanya tv swasta keknya, lupa lupa inget), film lama yang aku sendiri ga paham judulnya apa. Cuma tahu terjemahannya “Cinta Dua Kota” atau apa gitu.

Sebagai anak kecil, film itu berkesan banget. Sampe-sampe aku menuliskan panjang lebar berlembar-lembar di diary. Iya, aku nangis sampai bercucuran air mata pas nonton film itu.
Yang bikin aku terkesan dan kutuliskan di diary adalah, ketulusan cinta dan pengorbanan tokoh di film itu. Begitu dalamnya cinta si tokoh sampai rela mengorbankan nyawa di ujung guillotine demi perempuan yang dicintainya.

Waaah ketika ingat memori ini dan teringat apa aja yang aku tulis di diary (diarynya masih ada lho), aku terkesima sendiri. Kok sepertinya aku dari kecil kek udah ‘ditakdirkan’ untuk bersinggungan dengan cinta dan jatuh cinta dengan cinta itu sendiri (halah, cintaception dong, haha).

Membayangkan di usiaku yang baru kelas 5 SD, jatuh cinta dengan sosok pria dengan pengorbanan luar biasa itu. Sampai kemimpi-mimpi. Kok aneh ya.

Entah kenapa, hingga SMP, SMU, hingga sekarang, aku kok selalu dan mudah tersentuh oleh jenis cinta yang seperti itu. Call me naive, i don’t know. Tapi tergila-gila dengan kisah Miss Modern, Rose of Versailles, Jendela Orpheus, membaca sampai nangis bombay itu apa? 😆

Mungkin semua itu membentuk persepsi dan definisiku akan cinta. Aku percaya sih, cinta seharusnya bisa membuat orang menjadi lebih baik.

Oh ya, kembali ke pagi tadi, memoriku membawaku menyusuri youtube. Penasaran mencari film apa sih yang bikin anak kelas 5 SD menangis mengharu biru dan membekas sampai sekarang.
Ketemu! Judulnya A Tale of Two Cities (1980).

Well, it’s all connected. Maybe. I don’t know. Past, present, future. Tapi kalau membaca lagi tagline blog ini, terus mengingat memori tersebut, hmmm kok seperti ada ketersambungan. Entahlah. Jalani saja. Mengalir. Hidup ini (sepertinya) memang untuk belajar dan bercinta.

Pasif-Agresif dan Kedewasaan Emosi

Postingan ini terilhami –lebih tepatnya reminder untuk diri sendiri– gara-gara insiden di warung lele malam ini.

Entah mengapa malam ini saya mudah kepancing emosinya. Berawal dari mau makan tapi ga ada sendok garpu tersedia. Saya panggil pelayan minta sendok garpu. Perlu dua kali panggilan untuk mendapatkan yang saya mau, pertama seperti gak digubris. Yang kedua, cara menaruh sendok garpu yang saya inginkan pun jauh dari sopan. Disorongkan begitu aja, dan ga ada garpunya. Pas saya nanya, garpunya mana, sambil ngeloyor dijawab, “garpunya gak ada.”
Padahal kalau dia mau usaha dikit aja, pasti ada.

Kedua, minta minum juga harus extra effort untuk mendapatkan perhatian pelayan. Kualitas pelayanan di warung ini bener-bener payah, out of excellence. Biasanya saya sabar sih, tapi malam ini entah kenapa saya terpancing emosi dan hampir saja saya ngamuk, hahaha.

Saya mangkel. Kesal. Kalau sudah begini, saya kepikiran melakukan sesuatu untuk melampiaskan mangkel saya. Saya kepikiran hal-hal ‘jahat’ untuk sekadar pembalasan, karena warung ini udah melakukan hal yang bikin saya kesal.

Tapi untunglah kesadaran saya masih jalan. Alih-alih demikian, selain membuat tabungan emosi saya berkurang, juga ga menyelesaikan masalah. Kenapa ga langsung komplain baik-baik perihal kekecewaan saya.

Pikiran saya melantur lebih jauh lagi. Reaksi ‘balas dendam’ tadi adalah manifestasi sikap pasif-agresif. Dalam situasi lain, sikap pasif-agresif muncul dalam bentuk diam aja tapi di belakang ternyata nyinyir.

Sekarang pertanyaannya begini, menurut pembaca, mana yang lebih baik jika sedang mengalami kekecewaan terhadap seseorang:
– menyampaikan kekecewaan ke orang yang bersangkutan, tentu aja secara baik-baik.
– diam aja tapi di belakang ngomong macem-macem.

Mana dari kedua sikap diatas yang lebih menyelesaikan masalah? Mana yang berpotensi menimbulkan masalah baru?

Jadi berpikir, dalam konteks twitter, no mention yang bukan becanda dan semacam nyindir karena kesal, sama ga dengan sikap pasif-agresif?

Yah saya sih jujur aja. Kadang ngomong di belalang karena memang ga punya cukup keberanian untuk menyampaikan langsung. 😉

One Big Step

image

Yup, i am finally engaged.

Wahahaha juarang-jarang, suangaaaat jaraaaang aku posting blog isinya sangat personal seperti yang aku tulis berikut.

Iya, ini tentang pertunangan saya. Satu langkah besar sebelum langkah berikutnya. Rasanya seperti mimpi. Antara, “oh, ternyata rasanya seperti ini to, biasa aja” dan “omaigaaat, aku jadi tunangan orang dan itu artinya…” campur baur.

Banyak teman-teman lama yang ga percaya dengan status baru ini. Sialaaaaan, aku bukannya anti dengan komitmen ya, tapi takut. Bukan takut kehilangan kebebasan, tapi takut dengan sisi gelapku ketika dihadapkan dengan komitmen. Takut akan menyakiti orang lain.

Sampai detik ini aku masih percaya, hidup single dan melajang itu lebih enak daripada hidup berdua. Aku bertanya-tanya, yang ngebet mengakhiri status single itu udah pada sadar ga sih, konsekwensinya? Hidup dengan dua kepala itu butuh kebesaran hati dan menurunkan ego lho, karena akan banyak kompromi ketika win-win solution sulit ditemukan. Musti banyak tenggang rasa dan toleransi, banyak memahami dan mendengarkan daripada meminta. Musti bisa menerima ga cuma kelebihan tapi juga kekurangan. Serously, living single is much more easier!

Lalu kenapa kamu mau mengakhiri status single-mu, Met?

Well, aku sendiri ga tahu. :))) Aku dijebak! :)))))

Aku selalu bilang: i was lost and (when) he found me.

Ketika “kopdar” berdua untuk pertama kalinya, ga ada ekspektasi apa-apa. Selain hanya menepati janji yang dibuat dibawah “paksaan”. Kopdar kedua, malah dibuat mbrambangi hampir nangis, hahahaha, kampret. Selanjutnya mengalir aja, tanpa harapan apapun hingga saat yang orang bilang ‘jadian’.

Ketika dia melontarkan maksud seriusnya, aku langsung mengangguk. Entah, apa juga yang ada di pikiran, kok aku langsung mengiyakan. Rasionalisasiku adalah teori blink-nya Malcolm Galdwell. Yeah, i’m thinking with my feeling.

Thank you untuk sedari awal mengingatkanku bahwa perjalanan kedepan tak selalu berisi senang-senang. Thank you untuk sedari mula menyadarkanku bahwa perjalanan kedepan tak selalu mulus. Thank you untuk sedari pertama, membuka diri apa adanya, showing who you really are.

Eh postingan belum kelar, kok belum-belum udah ucapan makasih aja.

Yap, perjalanan yang baru beberapa bulan tapi seperti di-akselerasi. Bukan tentang keputusan besarnya, tapi berbagai peristiwa, proses yang buatku makin membukakan mata. Belajar tentang penerimaan, tak hanya menerima dia tapi juga orang tua. Dan tentu aja hal-hal yang udah aku sebutkan diatas.

Iya, proses teknis lamaran memang menguras pikiran dan tenaga. Wara-wiri jakarta-jogja, terpaksa mengabaikan beberapa momen-momen kopdar dan networking, plus mengencangkan ikat pinggang. Belum lagi konflik dan drama dengan orang tua. Ketika ego saling bertemu, dilema antara memenuhi impian sejak lama atau mengorbankan impian demi orang tua. Belum lagi LDR dan peristiwa~dinamika antar pasangan.

You know what, bahkan dua jam sebelum acara, sempat yang tegangan tinggi dengan bapak. Tapi pas acara lamarannya, bapak ternyata meneteskan air mata hingga tiga kali…  Tukar cincin alias tunangan yang harusnya ga ada, jadi ada. Ga usahlah dijelaskan kenapanya, tapi sumpah itu lucu banget, kocak, memorable pisan. Semua konflik langsung berasa luruh saat itu, everybody happy. Bahagia.

Doaku, semoga kedepan aku bisa makin matang dan dewasa. Proses (belajar) belum berakhir, sangat mungkin berjalan seumur hidup. Lamaran, tunangan, dan acara-acara seremonial/adat sejenis, cuma teknis. Yang lebih penting adalah dinamika dibelakangnya, proses pendewasaan dan kematangan.
You, my anam cara.

The anam cara friendship awakens the fullness and mystery of your life. You are joined in an ancient and eternal union with humanity that cuts across all barriers of time, convention, philosophy, and definition. When you are blessed with an anam cara, the Irish believe, you have arrived at that most sacred place: home. ~ wikipedia.

Jadi kembali ke pertanyaan awal, apa yang membuatmu mau mengakhiri status single-mu, Met?

I believe because it’s him.

Seems like a long long way to go
But we’ve gotta hang tough
Wait a while give yourself a smile
And you’ll realize that
At the end of the day
It’s gonna work out ~ I’ll Still Be Loving You, Fourplay

So if you want it to get stronger
You’d better not let go
You gotta hold on longer
If you want your love to grow
Be brave when the journey is rough
It’s not easy when you’re in love
Don’t be ashamed when the going gets tough
It’s not easy, don’t give up
If you want it to get stronger
You’d better not let go
You gotta hold on longer
If you want your love to grow ~ Hang On To Your Love, Sade

Softselling vs Hardselling

Ini postingan pertama saya di Tahun Ular Air, yeeeyy. Apdet blog yang sifatnya rada-rada terpaksa, kalau orang Jawa bilang, kahanan. Ya gimana lagi, pulang kantor, udah deket terminal Blok M, eehhh hujan turun dengan derasnya plus angin kencang. Musti neduh dulu. Thus terdamparlah saya di sebuah tempat makan yang lumayan cozy dan surprise-nya, menunya cukup lezat. Spaghetti aglio olio, fish and chips, dan mix juice wortel-belimbing tanpa gula. Surprise karena saya ga pernah berharap akan dapat makanan enak di tempat seperti Blok M Square.

Eh tapi saya apdet bukan untuk membahas kuliner. Jadi ini adalah upaya dokumentasi pikiran saya, yang satu ini udah berkecamuk beberapa hari ini. Terpikir ketika saya sedang melamun di kamar mandi (ha, selalu deh. Ga heran kamar mandi is my bank of idea).

Mungkin ada kaitannya dengan dunia pekerjaan yang saya tekuni sekarang, juga keseharian saya yang nyaris ga lepas dari social media. Bahkan arena pergaulan saya kebanyakan kongkownya dengan teman-teman dari dunia dihital. Salah satu topik yang selalu seru untuk diperbincangkan yaitu pro-kontra twit berbayar. Sebenarnya pro-kontra ini udah lama sih, sejak dua tahunan lalu kali ya.

Yang kontra alasannya karena banyak twit-twit yang jadi semacam hidden-agenda dan mereka merasa ditipu/dimanfaatkan. Semakin kesini, yang saya amati, audience (jieee, tapi sepertinya pilihan katanya kurang tepat) udah makin bisa membedakan mana twit berbayar/campaign dan yang twit random. Biasanya jika ada hashtag-hashtag dan tiba-tiba banyak yang ngetwit (apalagi jika yang ngetwit circle selebtwit), makin curigalah audience. Yang pro alasannya karena ya ini profesi dan halal, nggak seperti koruptor atau calo. 

Udah banyak juga sih, saran-saran seperti penggunaan hashtag #ad untuk twit campaign/berbayar. Tapi di Indonesia sendiri, kulihat belum populer ya. Udah ada beberapa yang menggunakan, tapi di timeline-ku masih dikit banget, brand yang mau begitu apalagi. Untuk strategi campaign sendiri, diantara teman-teman dihital juga banyak yang saling mengkoreksi. Singkatnya ketika strategi campaign itu agak-agak kurang etis, biasanya social punishment udah berjalan dengan sendirinya. Eh istilah social punishment untuk konteks ini betul ga ya, hahaha. Abisnya, biasanya banyak yang mencerca di publik gitu.

Terkait buzzer, ini juga topik tersendiri yang cukup seru. 2013 dan masih ada lho, perdebatan tentang hal satu ini. Tapi kulihat, makin kesini orang makin maklum walau sebenarnya dongkol. Pemaklumannya lebih karena gak enak, kebanyakan teman sendiri, dan itu adalah penghidupan orang. Sebelnya mereka karena dinilai twit-twitnya jualan melulu. 

Disini saya keknya perlu menggali lebih jauh sih, ‘jualan melulu’ itu sebenarnya apa. Sebelnya kenapa. Karena toh, setiap hari setiap detik kita dikepung iklan, mulai dari iklan tv/radio/cetak hingga reklame. Nyepam sebagai bentuk jualan memang menyebalkan, tapi apakah ngebuzz seperti nyepam? Ada yang bilang, terlalu hardselling itu menyebalkan dan nggilani. Softselling konon lebih bisa diterima. Tapi saya berpikir, kalau softselling tujuannya adalah supaya ga terlalu kentara jualan, lalu gimana dengan strategi campaign yang awalnya dikira bukan bagian dari campaign brand tapi ternyata bagian dari campaign brand. Softselling apa nggak lebih dari suatu bentuk ‘penipuan’ dalam bahasa paling sopan, karena toh ujung-ujungnya jualan. Kenapa tidak dengan hard-selling yang dari awal emang kentara jualan. Itu suatu bentuk kejujuran tersendiri lho, dari awal orang udah mahfum kalau twit hardselling pasti jualan jadi orang lebih bisa mengambil sikap. Kalau softselling rentan menempatkan orang di posisi ngambang.

Eh pikiran random tadi konteksnya jualan di twitter lho ya, bukan iklan komersial di TV/media. Kalau iklan-iklan TV yang hardselling mah emang norak, macem sozzis-sozzis-an itu. Well, ini sekadar pikiran dan wondering seorang restlessangel. Masih angel kan, belum devil? Hehehehe…

Sepertinya hujan sudah berhenti. Semoga. Yang jelas, restoran ini sudah mau tutup. :mrgreen:

 

Impian Para Miss Universe

Lagi-lagi postingan yang terinspirasi karena memperhatikan timeline twitter. Karang yo selo (semi hoax kalo ini sih) jadilah menarik untuk memperhatikan dinamika pendapat orang di twitter. Kali ini yang terbaru adalah tentang bencana alam di Soreang, Bandung, yang kebetulan berbarengan dengan kencangnya opini tentang Gaza.

Saya ndak mengikuti berita konflik Gaza. Yang membuat saya tertarik memperhatikan adalah, banyaknya sindiran yang ditujukan untuk aktivis Gaza, supaya mereka lebih baik membantu yang dekat dulu (Soreang) daripada jauh-jauh ke Gaza. Situasi tersebut, sindir-sindiran seperti itu, terus terang mengingatkan dengan apa yang saya dan teman-teman aktivis penyayang binatang. Seriiing gitu, kalau ada himbauan dan ajakan untuk lebih peduli terhadap satwa, adaaa aja yang sinis dan komen, “ngapain merhatiin binatang, tuh yang manusia juga banyak yang butuh bantuan.” Kasarannya gitu lah.

Jujur, capek dan cukup emosi menghadapi komentar-komentar seperti itu. Mengajak untuk A, disindir kok engga B aja, daaan seterusnya. Hingga akhirnya sadar. Ada banyak sekali masalah di dunia ini, bahkan di sekitar kita. Semua seperti menuntut perhatian untuk diselesaikan, minimal kepedulian kita. Tapi dengan segala keterbatasan, apalagi kita bukan superman, bahkan banyak yang menjalani peran ganda (ya orang tua, ya karyawan, ya pacar, ya anak, ya pelajar, dsb), naif banget kalau kita tampil mengambil alih dengan semua persoalan yang ada. Bisa-bisa jadi gila, atau keluarga ga keurus, dipecat jadi karyawan, dan sebagainya.

Sampailah saya pada satu kesimpulan. Masalah di dunia ini banyak. Ya udah lah, masing-masing pilih peran dan kepeduliannya sendiri-sendiri yang sesuai dengan hati nurani, jalankan. Ga usah lihat-lihat pihak lain dan cari-cari celah untuk menyalahkan atau cari kelemahan untuk dikomentari. Toh, sama-sama tujuannya adalah berbuat baik, menolong sekitar, ujung-ujungnya sebenarnya khan untuk membuat tempat yang kita tinggali menjadi lebih baik. Udahlah, masing-masing ambil porsi dan jobdesnya sendiri-sendiri, ga usah ngurusi yang lain. Yang sayang binatang, sudah sewajarnya kemudian lebih banyak terlibat aktivitas yang berkaitan dengan binatang. Nah, yang lain kalau melihat ada yang belum tertangani padahal menurutunya itu urgent, ya udah langsung cekat-ceket cak-cek tanpa bicara, terjun ke permasalahannya. Semua bekerja gitu lho.

So, kembali ke sindir-sindiran Gaza, menurut saya, ya udah lah ya, biarin aja. Kalau mereka emang maunya nolongin yang di sana, monggo. Terimakasih. Yuk, yang sini bantuin hal-hal yang belum tercover. Wes, meneng-meneng ae, rasah kakehan komentar. Niscaya, impian para Miss Universe lebih cepat terwujud: a better world and peace.

Ungkapkan Rasa Sayang dengan Helm

contoh bonceng ga dipakein helm

Pagi ini sewaktu berangkat ke kantor naik ojek langganan, aku melihat pemandangan yang bikin miris. Sebenarnya udah sering sih lihat pemandangan seperti pagi tadi, di Jogja pun juga sering banget lihat. Walau begitu, tetep aja rasanya miris dan kesel, ga habis pikir.

Jadi yang kulihat pagi tadi adalah seorang ibu naik motor memboncengkan anak perempuannya, kira-kira SD sekitar kelas 3-4 gitu. Si bocah ini ga dipakein helm apapun, padahal si ibu melaju cukup kencang. Udah gitu, jalan yang dilewati termasuk jalan protokol yang ramai dan rata-rata semua kendaraan ngebut kalau lewat jalan situ. Miris dan ngeri membayangkan kalau ada apa-apa.

Sambil melihat ke bocah yang duduk memeluk pinggang ibunya, aku mikir, ini si ibu sayang anaknya ga sih. Aku membayangkan, kalau misal ditanya, “Ibu sayang ga sama putri ibu?” pasti dijawab, “Ya sayanglah, saya kan ibunya.” Tapi kalau ditanya, “Kalau sayang, kenapa Ibu gak makein helm ke putri Ibu sewaktu mboncengin motor? Kepikir ga kalau ada apa-apa, bagaimana nanti putri Ibu?” kira-kira dia jawab apa ya, hmmm.

Seringkali kita hanya sebatas tahu suatu kata tapi tidak paham makna kata tersebut, bentuknya seperti apa. Seperti kata ‘sayang’. Kalau dari contoh di atas, si ibu pasti mengaku sayang sama anaknya. Yang menjadi misteri, mengapa ia tidak berpikir untuk melindungi si anak dari bahaya kecelakaan. Jadi ‘sayang’ menurut si ibu, itu yang gimana sih? Ga mungkin dong, sekadar pernyataan di bibir doang.

Jadi teringat, beberapa waktu lalu pernah ngobrol dengan teman, dia cowo dan bapak dari satu balita. Aku iseng nanya, dia sayang ga sih ama anaknya. Dijawab, “sayang lah,” tapi dia kesulitan menjelaskan sayang yang gimana. Aku curious, secara pekerjaan dia membuatnya jauh dari anaknya dan jarang banget untuk bisa ketemu ama anaknya. Pengin tahu aja sih, bagaimana dia mengartikan sayang dan mewujudkan rasa sayang tersebut. 

Eh menurut kalian, rasa sayang itu harus/perlu diwujudkan ga sih? Kalau iya, memasangkan helm ke anak ternyata bisa menjadi perwujudan rasa sayang ya. Berarti, helm bisa dilihat sebagai wujud kongkrit rasa sayang dong, iya gak?

Btw dari browsing-browsing, ternyata Senin 5 November lalu sempat ada Konferensi Anak Indonesia, tema untuk 2012 ini adalah Keselamatanku di Jalan. Nah, ayo dong ayah, bunda, aak, tante, om, demi keselamatan bersama nih, saling menjaga, dan tentu aja mulai dari diri sendiri.

 

Gambar 

 

Angkutan Umum Kelas VIP untuk Jakarta?

 

Ide postingan ini muncul saat pulang kantor sore ini, hasil dari melamun di metromini. Kebetulan sekarang kantor agak jauh dari kos, walhasil musti naik kendaraan umum, secara ga ada kendaraan pribadi. Sengaja ga bawa dari Jogja, males banget kudu nyetir di kemacetan Jakarta, belum perawatan, bensin, kos juga ga ada garasi sehingga kalau markir di depan kos, dan lain-lain yang bikin ribet.

Sebelumnya antara kos dan kantor cukup ditempuh dengan jalan kaki aja, cuma 10 menit. Dengan jarak kos ke kantor sekarang yang ‘cuma’ 8 km, kalau jalan kaki ya mrongos aja, tapi kalau naksi kok boros banget. Situasi tersebut akhirnya memaksa aku untuk merasakan sendiri naik kendaraan umum metromini, setelah setahun lebih di Jakarta belum pernah naik metromini, kopaja, dkk. Sebelumnya kalau naik kendaraan umum yang sifatnya massal, cuma berani naik Trans Jakarta. Alasannya, serem, ngeri, khawatir dengan keselamatan diri (ancaman copet) kalau naik metromini dkk itu.

 

Alasan naik metromini ditambah dengan fakta, rute busway masaoloh jauhnya, dua kali musti transit, dan bakalan luamaaaa di jalan. Waktu itu tahu ada jalur metromini juga karena diberitahu teman, bahwa jalur kos-kantor sebenarnya enak, karena ada metromini yang sekali jalan udah langsung sampai, ga harus pindah-pindah.

Singkat cerita setelah merasakan sendiri angkutan umum kelas metromini, ada beberapa catatan yang sayang kalau disimpan sendiri. Pengalaman naik beberapa jenis angkutan umum juga menyadarkan bahwa sebenarnya Jakarta ini udah memiliki modal untuk menanggulangi masalah lalu lintas, yaitu sistem transportasi umum. Hanya aja, sistem transportasi umum yang ada sekarang bener-bener kedodoran untuk pelayanan dan maintenance-nya. Parah banget dah pokoknya. Padahal problema utama Jakarta, MACETTT, bisa teratasi dengan modal tersebut. Transportasi umum bisa menjadi jalan keluar, sayangnya potensi ini diabaikan lamaaaa sekali oleh pemerintah, entah sengaja atau gimana.

 

 

Kembali ke soal pengalaman pribadi merasakan berbagai angkutan umum di Jakarta. Semoga catatan ini berguna di belantara jalanan yang macetnya kejam. Saya memberi beberapa rekomendasi berdasar apa yang saya rasakan dan alami:

Taksi, mempunyai kelebihan untuk kenyamanan dan reliabilitas cukup baik. Reliabel dalam arti, mudah ditemui alias banyak. Kelemahannya, jika kena macet, ya sama saja seperti mobil pribadi, cuma bisa pasrah. Dan siap-siap aja argonya melonjak drastis kalau macet. Belum lagi kalau ketemu supir yang ga ngerti jalan, duh itu bikin bete banget.

Ojek, mempunyai kelebihan cepat karena relatif anti macet (karena bisa meliuk-liuk di tengah kepadatan lalu lintas), juga mudah ditemui. Jika sedang keburu-buru untuk janjian sementara lalu lintas sedang padat, ojek sangat disarankan. Yang menyebalkan dari ojek adalah, kadang bisa lebih mahal dari taksi untuk situasi normal, karena kasih tarif seenaknya. Musti pinter nawar deh. Oh ya kelebihan lainnya adalah umumnya mereka lebih ngerti jalan/rute dibanding supir taksi.

Transjakarta. Selama ini adanya busway sangat membantu. Haltenya ada di mana-mana. Bisa lebih nyaman dari yang ada sekarang, jika pemeliharaan diseriusi. Udah lumayan banget ada ACnya, cuma ya gitu deh. Yang paling menyebalkan adalah reliabilitasnya kurang bisa diandalkan. Bisa aja nunggu lebih dari 30 menit menanti busway datang, dan tidak ada pemberitahuan alasan mengapa busway ga datang-datang. Ngantrinya jadi lamaaaa banget, ini sangat menyebalkan. Mustinya tiap 5 menit, ada. Armada kurang juga membuat penumpang menumpuk, sehingga tak beda dengan metromini. Padahal dengan adanya jalur khusus busway, jelas bebas macet.

Metromini dan sebangsanya. Kelebihannya adalah, dia sangat murah, cuma dua ribu, jauh dekat. Untuk rute yang saya tempuh sehari-hari, metromini jauh lebih cepat daripada naik taksi apalagi kalau lagi padat lalu lintasnya. Entah gimana, metromini punya caranya sendiri melawan kemacetan. :facepalm:

Padahal jalur kantor-kos itu lumayan padat dan jam-jam pulang kantor pasti macet. Tapi metromini bisaaa aja mengatasinya dan waktu tempuhnya jadi cukup cepat. Beberapa cara yang dipakai metromini mengatasi kemacetan adalah naik jalur busway dan ‘memaksa’ mobil-mobil lain untuk mengalah jika sang metromini hendak lewat. Ciyus, dipaksa! Si kernet turun dan kemudian menstop-menghalau mobil-mobil untuk berhenti sehingga metromini bisa melenggang. :facepalm:

Kelemahannya adalah, metromini reliabilitasnya rendah. Kemunculannya ga bisa diprediksi, hampir sama seperti TransJakarta. Bisa gitu, setiap 10 menit ada, tapi bisa juga menunggu lebih dari 30-45 menit baru muncul, itupun padaaaat banget. Kelemahan lainnya seperti kita tahu, bejubel persis sarden dan armadanya juga parah abis. Sopirnya cara bawanya juga ngawur ngebutnya.

Dari pengalaman ini jadi mikir, metromini sebenarnya cukup bisa diandalkan juga sebagai angkutan umum di tengah kemacetan. Tapi banyak pengguna kendaraan pribadi yang males naik metromini karena alasan kenyamanan dan keamanan. Andai ada metromini kelasnya super eksekutif gitu, asyik juga kali ya. BerAC, nyaman, cepat, tiap dua menit ada. Trus keamanan juga terjamin karena pengamen dan penjaja ga bisa masuk. Serem je kalau ada peminta-minta naik, trus menyilet-nyilet tangan sendiri, sembari setengah ngancem kalau ga dikasi duit maka silet tersebut bisa melukai.

Jadi dari awal memang angkutan umum masal bis ini diniatkan khusus untuk kelas eksekutif, yang ga keberatan membayar 10-20 ribu, asal nyaman, aman, bisa diandalkan.

Persoalan sekarang kenapa pemilik kendaraan pribadi ogah beralih ke kendaraan umum, kan ya karena faktor kenyamanan itu. Males berdesakan, males keringetan. Ditambah copet, pengamen, dsb. Ga heran, macet masih terus ada walau gubernurnya ganti. Lhawong penyumbang kemacetan ya kita sendiri, lebih memilih pakai kendaraan pribadi daripada beralih ke angkutan umum. Tapi ya gimana berminat naik angkutan umum, kalau kondisinya seperti itu. Bener-bener lingkaran setan.

Gadget untuk Si Kreatif dan Artistik: Galaxy Note 2

Beberapa hari lalu saya mendapat undangan launching produk terbaru Samsung di Ritz Carlton Pacific Place, sebagai blogger. Konon kabarnya, Samsung akan mengeluarkan produk android terbaru mereka. Wuah sebagai pengguna android sejak dari 2,5 tahun lalu, tentu antusias banget dengan undangan tersebut. Apalagi gadget android pertamaku Samsung juga, malah udah lupa tipenya yang apa. Sampai sekarang pun masih menyimpan hape Samsung android lama, G 551, masih aktif dipakai.

Smartphone pertamaku pakai OS android froyo, sejak saat itu kok rasanya masih paling nyaman android. Ketika Samsung mengundang untuk launching produk android terbaru mereka, ada semacam penasaran, fitur-fitur apakah yang akan menjadi keunggulan smartphone terbarunya. Pas mendapat bocoran bahwa yang akan dilaunching adalah Samsung Galaxy Note 2, langsung browsing dulu untuk mendapatkan gambaran. Launching Galaxy Note 2 di Jakarta tanggal 10 Oktober waktu itu, rupanya memang masih sangat gress. Belum banyak hasil review dari browsing-browsing tanggal segitu. Tapi dari website resmi Samsung, mendapat gambaran bahwa akan ada fitur baru yang menjanjikan dari Galaxy Note 2 dibanding generasi sebelumnya.

Ternyata pada saat acara hari H, ada kejutan yang menyenangkan. Selain launching Galaxy Note 2, Samsung juga memperkenalkan 2 produk terbaru mereka, Samsung Galaxy Camera dan Samsung ATIVsmartPC. Benar-benar bikin ngiler, apalagi menyimak pemaparan fitur-fitur apa saja yang terdapat di kedua gadget tersebut.

Galaxy Note 2 ini sendiri dipromosikan mempunyai lebih banyak kelebihan dibanding generasi pertama. Sebagai gadget note (saya menangkapnya, daya beda gadget note terletak pada kemampuan layarnya untuk mengenali coretan ‘tangan’ dari goresan stylus, sementara gadget android lainnya umumnya hanya touchscreen, terkadang dilengkapi keyboard), Galaxy Note 2 ini dilengkapi dengan stylus yang konon lebih presisi dan ‘lentur’, sehingga enak buat yg megang, berasa megang pensil/pena. Disebut S Pen, digambarkan mempunyai pressure sensitivity-nya lebih tinggi.

Kelebihan Galaxy Note 2 yang lain adalah kemampuannya untuk bisa multi tasking dan multi window. Secara singkat, dari presentasi apa yang bisa dilakukan Galaxy Note 2, menurut saya, gadget ini cocok banget untuk mereka yang mempunyai bakat/skill artistik tinggi. Mengapa, karena kan sering tuh, kalau lagi ngalamun, ide-ide berdatangan berupa visual, bukan teks. Nah dengan gadget biasanya, susah dong untuk menterjemahkan atau sekadar ‘menangkap’ ide tersebut karena ga bisa coret-coret di layar hape. Dengan Galaxy Note 2, hal tersebut tak masalah. Selain itu, biasanya mereka yang punya kemampuan artistik, mereka menyampaikan ide dan menangkap informasi, dengan bahasa visual. Kaum artistik adalah orang yang sangat visual dan grafis, jadi dengan adanya S Pen ini, membantu sekali untuk memetik ide-ide yang didapat selama mobile.

Kalau untuk saya sendiri, S Pen dan multi windownya sangat menarik perhatian. Kebetulan saya ini termasuk tipe yang lebih mengalir ide-idenya kalau pegang pensil/pena terlebih dahulu dan membuat oret-oretan. Kadang di tengah ngalamun dan iseng coret-coret lalu muncul ide. Pikiran yang suka random juga membuat ide-ide muncul mendadak kapan saja, sehingga butuh untuk segera didokumentasikan. Kehadiran gadget semacam Galaxy Note tentu saja sangat menarik karena memfasilitasi gaya old skool saya dan randomnya pikiran. Bayangkan, karena gadget adalah yang paling sering dipegang, lalu ketika tiba-tiba ide bermunculan atau ingin coret-coret, tinggal gores saja layar Galaxy Note 2 dengan S Pen. Ditambah Galaxy Note 2 bisa cut, copy, paste, drag, secara ide itu bisa datang dari mana saja. Bener-bener bikin ngiler dah.

Selain itu masih ada fitur-fitur Galaxy Note 2 lainnya, yaitu Air View, simply amazing expression tools, dan Near Field Communication. Untuk yang terakhir belum ngeh, kegunaannya untuk pengguna seperti saya, apa. Sedangkan untuk 2 fitur lainnya, tentu saja sangat berguna untuk kaum kreatif dan tipikal artistik. Bisa mengedit video/film pendek di Galaxy Note, bisa iseng bikin sketch dengan simpy amazing expression tools, siapa yang ga ngebet punya gadget yang memfasilitasi hasrat kreatif kita?

Seandainya ada kelemahan, tapi ini baru berupa pertanyaan sih. Galaxy Note selain sudah disupport oleh OS android terbaru Jelly Bean, juga dilengkapi dengan baterai 3100 mAh. Untuk heavy user seperti saya, yang internet seharian, aplikasi kerjaan, email, dan entertainment jalan semua, bisa tahan berapa lama tuh.

Selebihnya, Galaxy Note 2 ini bener-bener gadget idaman yang istilahnya ‘gue banget’. Masukkin wishlist ah, semoga ada yang berkenan men-sponsori. :mrgreen:

Sementara, skrinsyut gagdet-gadget terbaru Samsung yang baru resmi ada di pasar November 2012. Selamat ngiler! :mrgreen:

September

 

September selalu mempunyai kesan khusus untukku. Tidak saja karena bulan itu aku ulang tahun, tapi lebih karena memory yang melekat menyebabkan muncul kesan tersendiri. September yang buatku berarti Virgo, dengan lambangnya yang begitu feminin, mempunyai kesan karena dua peristiwa yang mengerikan. Pertama, peristiwa gestapu. Maklum, sebagian besar masa kecilnya dihabiskan di jaman orba, jadi untuk bertahun-tahun didoktrin tiap tanggal 30 September dengan pemutaran gestapu.

Sejarah memang memihak kepada yang berkuasa. Ketika sekarang kekuasaan berganti dan sejarah pelahan berganti sisi, kesan yang ditinggalkan dari suara musik film gestapu tersebut susah untuk dihilangkan. Kini aku tahu bahwa gestapu sesungguhnya adalah periode pembantaian terhadap sesama anak bangsa. Lebih mirip perang saudara. Setelah mengetahui sebagian faktanya malah semakin menambah kesan kelam September—bulanku, yang harusnya ceria.

Kedua, 7 september adalah tanggal di mana Munir meninggal. Penyebab kematiannya adalah karena racun arsenik. Yang membuat pedih adalah karena ada kemungkinan Munir dibunuh untuk membungkam dan menghentikan perjuangannya. Pas tanggal 7, pas September, pas ulang tahunku. Jadi seperti diingatkan terus.

Tentang kematian Munir ini, kebetulan waktu itu masih lumayan mengikuti berita. Masih inget reaksi Bapak Ibu tiap nonton berita tentang Munir, mereka pun mengagumi Munir. Kalau ga salah ingat, mereka kagum, karena Munir ini warga keturunan (Arab) tapi idealis dan mau berjuang untuk orang lain.

Kebetulan, September 2012 ini di twitter sedang ada gerakan 2 juta avatar Munir untuk mengenang Munir. Sejak saat itu banyak twit-twit yang bercerita tentang Munir. Salah satunya dari mba Dhyta @puplerebel, yang menceritakan sosok Munir dari sisi personal, interaksinya yang terbatas dengan Munir. Aku terkesan sekali dengan sisi kesederhanaan dan pengorbanan Munir untuk orang lain.

Jadi berpikir, nilai-nilai kesederhanaan terutama dari orang-orang besar selalu membuat kita kagum dan tersentuh. Apalagi jika orang tersebut sebenarnya bisa mendapatkan materi lebih dari yang dipunyai, tapi ia rela untuk tidak mendapatkannya, karena selalu dipakai untuk kepentingan orang lain. Di era yang makin materialistis, ketika tolok ukur sukses diukur dari kepemilikan benda dan popularitas, maka menghidupi nilai-nilai kesederhanaan rasanya makin jauh.

Semalam di perjalanan menuju Jakarta, tiba-tiba melamun tentang Gadjah Mada dengan sumpah amukti palapanya. Yang aku tahu dari sumpah tersebut adalah, Gadjah Mada tidak akan bersenang-senang sebelum cita-citanya (Majapahit Raya) terwujud. Kok sepertinya tidak menemukan orang-orang pemerintahan atau politikus yang seperti itu ya. Menjalani laku prihatin demi Indonesia yang lebih baik. Rela ga makan wagyu dan naik jaguar, selama masih ada warga yang makan nasi aking dan ga bisa mengubur jenasah karena ga punya duit.

Tapiii…sebagai anak bangsa yang lebih suka hidup nyaman, ya mengerti sih sulitnya menjalani hidup sederhana. Bukan sulit karena tidak mampu, lhawong hidup sederhana itu malah spend less. Tapi ga mau. Maunya yang senang-senang, gampang penginan-nya terpenuhi. Hidup sederhana itu harus menekan keinginan pribadi, dan untuk itu musti engga iri. Karena iri berpangkal dari keinginan yang tak tercapai tapi orang lain dapat mencapainya. Percayalah, iri itu tidak enak.

Oke, ini sudah melantur kemana-mana. Soal Munir yang kematiannya kebetulan di 7 September. Akhir-akhir ini berpikir banyak tentang pengorbanan. Sudahkah saya melakukan pengorbanan?

Tentang gestapu, tentang sejarah. Menyitir tagline dari novel Cloud Atlas: Death, life, birth. Past, present, future. Love, hope, courage. Everything’s connected. From death until rebirth.

Happy birthday, me, in my present life.