Need to Slow Down

 

Ini postingan refleksi, bukan curhat. Lebih ke kesimpulan yang didapat dari hasil perenungan, paling banyak didapat sewaktu nongkrong di WC menunaikan kewajiban alam. Perenungan mengendapkan pengalaman atas berbagai situasi yang dialami beberapa waktu terakhir ini.

Kalau di milis, saya pernah mengatakan ingin berbagi mengenai manajemen stress terkait adaptasi ketika tinggal di tempat baru (Jakarta), tak lama kemudian saya diberi kesempatan naik level untuk belajar manajemen stress level yang lebih advance. Pemahaman saya terhadap manajemen stress, diuji lagi. Terus terang agak keteteran dan sempat mengalami gejala depresi. Tapi dari situasi tersebut, saya mendapatkan pengalaman dan pembelajaran baru.

We need to slow down, apalagi di kota seperti Jakarta ini. Kota yang menuntut semua serba cepat, kita dituntut untuk multitasking, hyperspeed kalau bisa, dihajar deadline sana-sini, memuaskan berbagai pihak. Begitu bangun, otak sudah langsung diajak untuk kondisi alert/beta. Kondisi stress.

Untunglah, yah saya masih beruntung. Saya masih diberi kemampuan untuk mengamati, baik situasi sekitar maupun mengamati diri sendiri. Dari sini saya menyadari, we need to slow down. To really feel and having conversation/dialog dengan hati kita sendiri. To find peace of mind. Adalah pada saat-saat hening, baru bisa mendengar diri sendiri.

Hidup adalah proses belajar yang terus berlangsung. Bersyukurlah yang diberi kesempatan untuk mencobai berbagai pengalaman, itu artinya kita punya kesempatan untuk belajar. Naik level?

Tiba-tiba terbersit pertanyaan. Gentarkah kamu jika diberi kesempatan untuk naik level, yang berarti bisa saja kamu dicobai pengalaman yang lebih sulit daripada yang sudah-sudah.

 

 

Universitas Kehidupan

Hidup adalah untuk belajar. Setiap kejadian/peristiwa yang dialami merupakan proses belajar. Maka itu sering disebut-sebut universitas kehidupan karena hidup itu sendiri adalah proses belajar seumur hidup yang berlangsung terus menerus. Jika bicara dalam tingkatan “soul”, setiap pengalaman hidup adalah data untuk memperkaya jiwa/roh. Saya percaya, bahwa dalam proses belajar tidak ada salah-benar. Setiap pengalaman berharga, yang salah sekalipun. Tidak ada yang perlu disesali.

Saya melihat, setiap orang belajar lewat caranya dan jalannya sendiri. Saya tidak mengatakan bahwa hasil belajar saya lebih bagus daripada yang lainnya, karena tujuan setiap orang berbeda-beda. Tujuan yang penting dalam hidup saya adalah pemahaman. Saya ingin memahami – penting bagi saya untuk menjadi paham dan mengerti. Jika saya bisa memahami, maka mudah bagi saya untuk mengerti. Karena itu saya sedari dulu selalu tertarik untuk mendalami, utamanya tentang manusia, dalam rangka mendapat pemahaman.

Tidak ada benar salah karena semua akan memperkaya. Proses belajar antara satu orang juga tidak lebih baik dengan orang lainnya. Tetapi itu dalam tingkatan roh/jiwa. Jujur saja, saya masih “terjebak” dalam bungkus bahasa (?) manusia, yang mendikotomikan salah benar, baik buruk, etc etc. Dan perasaan kecewa ketika melihat orang yang saya peduli, tidak menunjukkan progress/kemajuan dalam proses belajarnya. Apalagi jika orang tersebut adalah orang yang saya kenal, katakanlah saya peduli.

Bentuk kepedulian itu, saya ada harapan bahwa individu tersebut (misal) tidak terjebak melarutkan diri pada masalahnya, alih-alih mencari jalan keluar. Berbagai saran sudah terlontar, tetapi yang bersangkutan masih tetap merasa nyaman berada dalam keadaannya sekarang. Saya tentu saja tidak bisa memaksanya, dan bisa jadi itu adalah proses belajarnya dia.

Tetapi rasa geregetan itu tetap muncul jika dalam perjalanannya melihat teman tersebut ada tanda-tanda salah jalan, salah mengambil kesimpulan dalam proses belajarnya. Catat, ini dalam konteks bahasa manusia, karena sekali lagi sebenarnya tidak ada salah benar dalam proses belajar.

Kalau sudah begini, jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab dalam proses belajar seseorang? Misal saya tahu, tapi saya tidak ada kuasa untuk memaksakan hasil pengalaman saya kepadanya. Yah…saya tahu sih, yang paling bertanggung jawab atas proses belajar ya kita sendiri. Tetapi rasa kecewa, geregetan, gemes, dll itu tak kuasa saya cegah, tetap saja muncul.

Dan tantangannya justru ada pada saya sendiri. Tetapkah saya akan mencintainya, menerimanya dengan terbuka, walau ia telah mengecewakan saya? Meski ia dalam prosesnya tidak menunjukkan hasil seperti yang saya harapkan (apalagi kalau dia ada potensi), masihkah saya mencintainya, tidak meninggalkannya?

Ternyata oh ternyata….

Hidup itu Belajar dan Bercinta

Hidup itu belajar dan bercinta. Saya yakin betul dengan kata-kata ini. Tugas kita di dunia ini adalah belajar, bercinta, dan jika ‘sudah’ (kata-kata sudah sebenarnya kurang tepat, karena mengesankan suatu akhir, padahal sama sekali tidak, tak kan pernah berakhir), maka tugas kita lainnya adalah membantu sekeliling kita untuk mereka belajar juga.

Kali ini saya belajar dari makhluk yang katanya merupakan kesayangan Baginda Nabi. Hari Jumat kemarin, secara mendadak, kucing pasangan saya meninggal. Sebelumnya tidak ada gejala yang berarti, hanya muntah-muntah, tapi Siti (nama kucingnya) masih terlihat cukup baik walau agak lemas.

Sebelumnya, sekitar seminggu-sepuluh hari yang lalu, Siti mengalami operasi sterilisasi. Hari Rabu, sempat dibawa ke klinik karena luka bekas operasinya terbuka. Nah, setelah dari rumah sakit itu yang tiba-tiba Siti muntah-muntah dan hanya dalam sehari, Siti berpulang.

Sedih dan kehilangan. Itu perasaan kami berdua. Bukan soal biaya yang telah dikeluarkan, tapi lebih kepada rasa kehilangan seorang teman.

Singkat, masa hidupnya menemani pasangan saya di hari-harinya. Muncul tiba-tiba dari sawah belakang rumah, kelaparan, dipiara hingga akhirnya menjadi teman baik. Singkat, hanya dua bulan. Tapi ternyata rasa kehilangan itu cukup dalam.

Siti, walau dia hanya seekor kucing, keberadaannya di dunia pun ternyata untuk memberi pelajaran bagi saya.

Masa hidup yang singkat, tetapi tidak sia-sia. Siti memberi kebahagiaan terhadap sekelilingnya. Dia mengajarkan tentang ‘memberi’ bagi sekeliling. Siti bisa saja ketemu dengan orang yang tidak peduli dengan dirinya, bisa saja ia bertemu dengan orang yang berniat jahat. Tapi itu tidak menyurutkan Siti untuk terus memberi.

May your soul sleep and meet your maker….

Thank you Siti…