apa kata gw…..

Hanya sekedar melepas rasa sesak di dada.

1. anarkisme demo mahasiswa.

Kenapa tidak ditimbang untung ruginya. Apa bedanya dengan nge-blog, kl sekedar untuk urun suara. Tapi memang, demo sangat membetot perhatian, tidak seperti nge-blog. Nge-blog itu eksklusif, hanya segelintir masyarakat kita yang bisa mengaksesnya. Bahkan bisa jadi jajaran pembuat kebijakan tidak bisa membedakan nge-blog dan nge-hack. Tapi kan tidak membuat macet, mencemari udara dengan membakar ban, menganiaya binatang dengan membawa-bawa ayam, kambing, merugikan masyarakat umum, dll.

Atau jangan-jangan, mereka berpikir, itulah harga yang harus dibayar untuk perjuangan ???

2. tindakan represif polisi

Agung Laksono bilang, apapun alasan mahasiswa berdemo dengan membawa molotov segala, harusnya polisi bisa mengedepankan cara-cara dialog (KR, 25/05/08). Yeah, gimme a break !! Jadi polisi itu Pak, gaji kecil, anak kurang gizi, kepanasan, kelaparan, kehausan, sementara di depannya mahasiswa berteriak-teriak dengan kata-kata yang bikin merah telinga. Belum ada yang memprovokasi dengan lempar batu segala atau tunjuk jari tengah. Polisi juga manusia, Pak. Bapak-bapak di DPR aja ngamuk-ngamuk ketika Slank nyanyi. Padahal cuman nyanyi.

Tadi sore di RCTI, ada tuh, rekaman video, polisi yang lagi ulang kantor tahu-tahu ditendang pemuda dan nyaris dikeroyok massa.

Apresiasi doms ah !!!

Masyarakat nih, lama-lama juga makin sulit bersikap objektif. Opininya mudah sekali disetir, dan sayangnya berita-berita negatif yang sangat mudah diserap masyarakat sehingga generalisasi salah kaprah.

Gw khawatir aja nih, kasusnya bisa sejenis dengan hukum tak resmi yang berlaku di jalan raya ;  kalo ada kecelakaan, yang salah pasti (kendaraan) yang lebih besar. Seperti gw pernah liat, di depan pintu masuk pasien RS. Panti Rapih. Udah jelas-jelas, yang salah tuh motor. Tuh yang pake meleng, keasiken liat entah kemana, kenceng pulak. Sementara itu mobil posisi diam / jalan pelan, karena mo kluar dari Panti Rapih, dan jalanan rame. Walhasil, tu motor sukses nabrak mobil yang disetiri mbak-mbak, sampe ngglangsar. Langsung aja, tu mbak-mbak dikerumuni tukang becak dan sopir taksi yang marah-marah dan maksa nyalahin si mbak. Gw yang emosi dan liat langsung kejadiannya, bersama teman gw, kita langsung mempelankan mobil kita dan buka jendela sambil tereak : “yang salah yang naek motor pak !!! Dia meleng ga liat itu mobil, mobilnya udah bener !!! ” teriak kita penuh emosi.

Ato juga, kejadian temen gw. Dia musti nanggung biaya pengobatan pengendara motor yang jelas-jelas salah, krn nabrak pick up temen gw sampe dekok-dekok ga karuan. Kejadiannya, motor itu melaju kenceng dari tikungan yang cukup tajam. Temen gw ini udah melihat kl si motor ini membahayakan, jadi dia minggir banget, mepet sawah. Eh bener, si motor ga bisa mengendalikan diri dan nabrak pick up dengan sukses. Hasilnya, pintu supir, kegores dalem dan penyok cukup berat. Motornya sih juga cukup rusak. Tapi tetep si motor ga mau ngaku dan tetep minta ditanggung biaya perbaikan plus pengobatan. Karena ga mau ribut, temen gw ini yang ngalah. Gw yang denger yang ngamuk-ngamuk dengan ketidakadilan ini.

Ato seperti kecelakaan dimana motor menerabas pintu lintasan KA dan walhasil meninggal dengan sukses. Lha iya, KA kok dilawan, konyol. Dan tetep, PJKA yang disalahkan.

Jadi, di jalan itu, ga peduli kejadiannya kayak apa, yang salah udah pasti yang lebih gede.

 

Oke, saya bukannya mo memperkeruh suasana dengan menandingkan motor dan mobil atau gimana. Kisah di atas sekedar illustrasi, betapa ketidakadilan bisa berjalan karena logika yang entah dari mana. Jadi, sangat mungkin, kebenaran versi masing-masing bagaimanapun ga akan ketemu, masing-masing ngotot dengan versinya. Yang mengkhawatirkan, opini masyarakat sudaj disetir, sehingga hilang daya kritisnya, dan membela yang (tampak) lemah. Apalagi, karakter masyarakat kita yang cenderung mudah bersimpati kepada golongan yang (tampak) lemah.

Saya ingin masyarakat bersikap objektif dan menyaring dengan kritis berita yang masuk.

3. Bantuan Langsung Tunai

KR 25/5/08 menyebutkan, bahwa pencairan BLT di Jogja udah berlangsung, utamanya di kantor pos besar Jogjakarta. Tigaratus rebu untuk tiga bulan. Kagak naek dari tahun 2005-2006. astaga, tigaratus rebu. Buat gw, itu bisa untuk sehelai blazer. Ato dua helai kemeja. Atau sepatu dan traktir pizza. Langsung habis dalam lima menit atau setengah jam (makan pizza kan ga mungkin lima menit habis).

Untuk mbah Wasiyah, uang segitu langsung habis untuk bayar utang. Sedangkan Karto Sudarmo, untuk membeli makan (dan ga mungkin untuk dijajakan makan di Starbucks Amplaz yang sekali minum bisa habis minimal 30rebu ato sekedar ngafe di Djendelo Kofie yang minimal 9rebu). Lain lagi dengan Ningsih yang mo membelanjakan 300rebu untuk beli pakaian dan peralatan rumah tangga, karena buat modal ga cukup, gitu alasannya.

Hmmm….well, gw jadi inget tayangan reality show di tipi beberapa waktu lalu, yang kasih duit jutaan ke orang miskin. Dan apa yang mereka lakukan ?? Kebanyakan mereka beli tipi, dipidi player, kulkas, baju, dan barang-barang konsumtip lainnya. Padahal ga ada yang melarang mereka untuk ditabung ato untuk bayar sekolah ato dibeliin emas untuk investasi ato buat modal usaha kan ???

Yah, gimana yah, tp mnrt gw, sebagian dari mereka emang cenderung berpikir pendek. Mana otak mereka udah dicuci sama germo Punjabi cs dengan metode brain-wash yang sangat efektif : sinetron !!!

Eh, oke ga Cuma Punjabi deh, tp juga produser-produser di balik siaran relaity show idol-idol yang ga jelas itu, yang makin melambungkan mimpi mereka untuk jadi ‘kaya’ dengan cara instant. Udah gitu, bacaan mereka sebangsa koran lampu merah yang isinya berita kriminal macam penggorokan leher tukang ojek oleh selingkuhan istrinya, cerita syur tentang malam pertama, klenik di seputaran Mayangsari, ato iklan-iklan pembesaran alat vital dan ilmu pengasihan oleh Jeng siapa gitu.

Ga ada yang berminat untuk membaca Kompas, buku Financial Revolutionnya Tung Desem, atau novel inspiratifnya Andrea Hirata.

Jadi, ya ga bisa disalahkan toh, kalo mereka ga sekritis bloger-bloger ini ??

Saya Cuma membayangkan, andai ada yang mendampingi masyarakat untuk lebih melek media. Juga memberi pelatihan manajemen diri sederhana, dimana mereka diajak untuk berubah paradigma, dari sekedar berpikir sehari ke depan tapi hingga berpuluh-puluh tahun ke depan. Pelatihan kemandirian, dimana diajarkan untuk lebih cerdik dan kreatif dalam mensikapi keuangan yang terbatas. Pemberdayaan masyarakat, dimana masyarakat diajak untuk mengenali modal-modal sosialnya / kekuatan lokal yang menjadi kelebihan bersama, untuk kemudian hal tersebut lebih difokuskan, dikuatkan, dibantu dengan sistem, sehingga benar-benar menjadi warga yang mandiri.

Seperti yang dilakukan Anita Roddick-nya The Body Shop, yang memberdayakan mitra kerjanya. Atau CSR yang dilakukan oleh PT. Unilever dengan memberikan berbagai macam pelatihan kepada UKM dan ibu-ibu RT.

Sehingga masyarakat dalam menerima 300rebu ini ga lagi berpikiran untuk membeli baju, nambahi uang jajan untuk si Thole, beli rokok udad-udud buat suaminya. Tapi bagaimana dengan 300rebu ini, bisa menjadi modal.

MasyaAllah…..gelisah dan sesak rasanya.

Mana tesis masih saja stuck, sama sekali ga mood. Belum lagi persoalan pribadi lainnya.

Gw sebenarnya sebisa mungkin menghindari untuk jadi komplainer alias jadi tukang keluh. Gw jadi inget pas dulu di Caruban untuk pelatihan Service Excellent bagi jajaran perawat di RSD Madiun. Salah satu yang disampaikan adalah; jangan jadi komplainer. Untuk jajaran perawat yang merupakan garda depan RS, karena berhadapan langsung dengan pasien, tentu saja hal tersebut penting. Bagaimana perasaan kamu, sebagai pasien, yang melayani dengan wajah cemberut, merasa tidak bahagia, melayani dengan tidak ikhlas karena selalu merasa gajinya kecil. Apalagi jika yang dilayani adalah pasien dengan keuangan pas-pasan, tambah cemberut deh. Nah, gimana perasaan sampeyan ??

Memang jadi perawat itu ga gampang, tingkat stress sangat tinggi dan rentan dengan burn-out. Sudah begitu gaji relatif kecil, berhadapan dengan pasien yang rewel dan protes melulu. Minta dicebokin, lagi. Nah, jika yang selalu dirasakan adalah pengalaman-pengalaman negatif seperti itu, tentu saja yang keluar dari mulut adalah keluhan, keluham keluhan. Hidup menjadi suram dan buram.

Akan lain halnya dengan mereka yang selalu berpikiran untuk mencari solusi. Alih-alih sibuk cari kambing hitam dan membuat bete orang di sekitarnya dengan cerita-cerita yang melulu negatif, dia akan berusaha mencari cara agar situasi menjadi lebih baik.

Oke, jadi ngelantur yak ?? Jadi, memang gw rasanya empet dan sesek banget. Dan gw butuh katarsis untuk melepaskan beban itu. Kalo gw pendem sendiri ato pengalihannya dengan cara yang gak sehat, bukannya ga mungkin gw akan cari pita satin dan kursi, dan tiang untuk gantung diri.

Tapi gw yakin, sebenarnya masih ada jalan keluar. Saya masih meyakini itu.

Yakin, masih ada harapan.

** Hmmm….ini untuk masalah pribadi kamu ato kamunya sok sosial mikir jalan keluar bagi masyarakat sih ??

* MENURUTMUUUUUUUUU ???? -tersinggung berat-

surat terbuka dari salah satu rakyat kepada pemimpin/penguasa negeri

 Yogyakarta, pasca kenaikan BBM dan menjelang pencairan BLT 

Yth. Penguasa / Pemimpin

Di negeri kami,

 

 Assalamualaikum wr. Wb.,

 Salam sejahtera. Semoga keadaan dan kesehatan Bpk / Ibu Penguasa/Pemimpin kami, baik adanya, sehat tak kurang suatu apa.

Semalam ini saya tiba-tiba sakit kepala yang cukup berat. Saya coba untuk berbaring, ternyata tidak berkurang, dan mata saya malah dalam kondisi alert. Saya mencoba mengundang kantuk dengan menyetel televisi. Olala, ternyata tidak lebih baik. Kepala makin pusing mendengar harga BBM resmi dinaikkan. Seketika terbayang beban sehari-hari, terutama alokasi bensin untuk mobilitas. Terbayang pula pengencangan ikat pinggang, mengerem nafsu konsumsi dan hedonis.

Tapi, melihat demo dari jelatakarta, bukan demo mahasiswa, membuat saya malu. Apalah arti pusing saya, terpaksa mengurangi jatah ke kafe, belanja pakaian dan sepatu, dibanding beban kehidupan para nelayan miskin di daerah pesisiran atau petani gurem di pinggiran ?? Bagi mereka, seratus ribu pun bisa memperpanjang nafas mereka dalam sebulan, sedangkan bagi saya, seratus ribu bisa melayang dalam sekejap bahkan mungkin lebih dari itu.

Wahai, Bapak/Ibu Penguasa/Pemimpin negeri kami yang terhormat. Terenyuh hati saya membayangkan skenario lama tahun 2006 terulang ketika BLT dibagikan. Massa menyerbu kantor desa karena marah dan emosi dengan pembagian BLT yang dinilai tidak memuaskan, nenek-nenek renta meninggal karena antre BLT berjam-jam, dan Ketua RT ditusuk bahkan dipacul warganya sendiri yang marah hanya karena selembar seratus ribu itu.

Tak heran, di beberapa daerah, beberapa aparat pemerintahan menolak pembagian BLT di wilayah mereka. Tak hanya takut dengan kemarahan warga, apalagi takut dengan beban amanah berupa uang dan kepercayaan, tetapi mereka takut nyawa melayang !!!

Wahai Bapak/Ibu Pemimpin/Penguasa yang kami hormati dan sayangi. Tak ingatkah kalian dengan berita-berita menyedihkan, tragedi yang bermula dari selembar seratus ribu bernama BLT ?? Tidakkah kalian berempati dengan kesedihan keluarga yang terpaksa kehilangan kepala keluarga yang meregang nyawa di tangan warganya sendiri ??? Kami hanya meminta sedikit empati saja, tolonglah menjadi kami, rakyatmu, untuk beberapa hari saja.

Mengapa, tidak kau berdayakan saja kami, sehingga kami benar-benar berdaya dan mampu memutuskan sendiri nasib kami. Selayaknya Bapak-Ibu kami, asuhlah kami selayaknya orang tua yang ingin melihat anak-anaknya mandiri, berdaya, dan berguna bagi sekitar kami, bukannya terus disuapi sehingga tergantung kepada orang/pihak lain selama-lamanya.

Mengapa tidak kau subsidi saja, pendidikan dan biaya kesehatan bagi kami, dengan memberi asuransi kaum tak berpunya. Buatlah sistem sehingga kesehatan dan pendidikan lebih bersahabat dengan kami-kami yang tak berpunya ini. Bantulah juga, sehingga koperasi benar-benar menjadi sendi utama perekonomian, tidak melulu membela mereka yang bermodal raksasa sehingga mampu mengkredit milyaran rupiah dari Bank untuk ekspansi usahanya dan membeli lisensi franchise.

Wahai Bapak/Ibu Pemimpin/Penguasa yang terhormat,

Sesungguhnya, apakah hakikat dari kekuasaan yang kami mandatkan kepada kalian ??? Apakah parameter puncaknya adalah, sejauhmana partai berhasil menggolkan balonnya menjadi penguasa/pemimpin baru ??

Jika partai tak berhasil menggolkan kandidat yang diusungnya dan kalah dalam pilkada atau pemilu, maka berarti buruk sudah kinerja partai selama ini.

Wahai Bapak/Ibu Penguasa Pemimpin kami,

Sudahkah kalian menonton Lord Of The Ring ?? Belum ?? jangan-jangan, kalian lebih tertarik menonton Ayat-ayat Cinta dan menangis bersama-sama menyaksikan Fakhri dan Aisyah. Okelah, demi alasan nasionalisme.

Tapi Bapak/Ibu, Lord of The Ring itu bagus sekali, mengandung metafora yang teramat dekat dengan kehidupan kalian. Metafora itu berbentuk cincin dari Sauron, yang menjadi beban yang harus dipanggul oleh Frodo di kala yang lain tak sanggup untuk memikulnya. Ya, selain Frodo, bahkan kstaria-ksatria perkasa pun, akan mudah terjatuh dalam sihir gelapnya dan sekejap dibutakan nuraninya. Frodo bukannya tidak tergoda, tetapi ia mempunyai sahabat sejati yang terus mendampingi dan mengingatkannnya. Alangkah berat godaan yang ditimbukan oleh sebuah cincin, bahkan bisa merubah seseorang menjadi makhluk yang begitu menjijikkan seperti Smeagol.

Bapak/Ibu yang terhormat, pesona cincin itu hampir mirip dengan pesona kekuasaan bukan ???

Betapa kekuasaan, mampu merubah wakil rakyat yang terhormat, menjabat di bidang keagamaan, menjadi suami selingkuh dengan biduan tak laku dan video mesumnya tersebar ke khalayak. Betapa kekuasaan, mampu merubah aktivis vokal semasa kuliah menjadi penjilat pantat atasan paling loyal. Betapa kekuasaan, mampu merubah jutaan hektar hutan nan subur menjadi gundul dalam sekejap dan mengakibatkan bencana banjir dll. Betapa kekuasaan mampu merubah seorang yang dalam keseharian dikenal santun, menjadi mesin pembunuh yang meredam laju lawan-lawannya. Dan lain-lain.

Hanya mereka yang berhati bersih dan jujur, seperti Frodo yang mampu mengemban tugas tersebut. Beberapa yang tahu diri dan kapasitasnya, tidak dengan serta merta gegabah bersuka cita dan besar kepala diserahi kekuasaan. Mereka memilih mundur dan menyerahkan kepada orang yang tepat. Seperti penyihir putih, Gandalf, yang memilih mendampingi Frodo memikul tanggung jawab tersebut, meskipun dia adalah penyihir besar dan hebat.

Bapak/ibu Penguasa/Pemimpin yang kami cintai,

Apakah hakikat politik itu ?? Apakah sebagai jalan untuk mempermulus dan memperlancar jalan menuju kekuasaan ???

Tidakkah hakikat politik itu untuk kebaikan rakyat juga, untuk kemaslahatan umat ??

Masih banyak tanya di dalam otak saya yang kecil ini. Walau begitu, saya tak mengharapkan kalian semua untuk memberikan semua jawabannya. Mohon dipikirkan kembali, itu saja cukup membuat kami senang, syukur-syukur mau berempati dengan kami.

Semoga kesehatan dan kebahagiaan selalu mendampingi Bapak/Ibu sekalian.

Wassalamualaikum, wr. wb

 

 Yogyakarta,

 

Salah satu rakyatmu