Beberapa waktu terakhir ini, berada di jalanan, menyetir/bawa kendaraan, sungguh merupakan stressor tingkat tinggi yang berefek instan. Marah, gusar, jengkel, meledak, frustrasi, etc etc segala emosi negatif yang bikin cepat tua. Ga salah sama sekali alias benar, kalau saya bilang jalanan bikin saya cepet tua. Lha gimana nggak, saya marah-marah melulu kalo lagi nyetir. Semua gara-gara kelakuan pengguna jalan lain yang minus etika jalan raya.
Seperti malam ini. Di perempatan Tugu, ada bapak-bapak dengan cerdasnya memarkir mobil tepat di pengkolan sebelum belokan kekiri. Padahal disitu juga merupakan perempatan yang ada lampu lalu lintas. Pas lampu merah masih nyala, pas saya lewat. Sebelah kanan mobil penuh dengan mobil dan luberan motor. Dan dikiri, saya tidak bisa langsung belok (kekiri jalan terus) karena bapak-bapak yang memarkir mobil dengan sangat cerdas itu. Saya berhenti ditengah-tengah, karena jalan sangat sempit dan kalau saya teruskan, sepertinya mobil bapak tersebut akan menggesek body mobil saya.
Saya muntab. Saya turunkan jendela dan berteriak, “Pak, parkirnya pinter banget, sih. Cerdas banget ya, Pak,” sambil saya pelototi si bapak.
Bapak tersebut balik memandangi saya dan menjawab, “Kan masih lebar gitu.”
Woooo….rasanya pengen saya beset pake paku itu body mobilnya. Saya cuma bisa misuh-misuh memuji kecerdasan bapak itu.
Beberapa hari lalu, saya juga harus mencuci mulut saya dengan air tujuh kali plus pasir, gara-gara kelakuan pengendara motor yang sangat-sangat minus. Kejadiannya di Tajem, Maguwoharjo. Jalanan di desa tersebut memang mempunyai tikungan yang sangat tajam, sehingga pas kalau dinamai dusun Tajem. Sudah begitu, aspalnya tidak rata (mungkin karena struktur tanahnya, mungkin juga karena kualitas aspal yang kurang bagus) dan relatif sempit untuk dua jalur mobil. Setiap lewat situ, saya pasti di gigi 2, bahkan 1, karena harus extra pelan dan hati-hati.
Nah dikondisi seperti itu, ada motor lewat dari arah berlawanan. Dari arah saya, jelas terlihat motor yang dinaiki dua pemuda mebo tanpa helm itu nyalip mendahului mobil dan motor lain. Ngebut pula. Pas nyalip itu dia memakai jalur yang berlawanan arah dan jaraknya cukup dekat dengan mobil saya. Saya perlambat kecepatan sambil mengklakson keras. Weeelha, dua kroco tersebut tidak memelankan laju motornya dan dalam jarak yang cukup dekat berada didepan mobil saya. ‘Sayangnya’ mereka masih dilindungi Gusti Allah, sehingga bisa menghindar dan membanting arah masuk jalurnya lagi. Untung, kendaraan-kendaraan dibelakang mereka bisa memperlambat lajunya, walau mungkin sambil misuh-misuh. Wuah, udah. Saya waktu itu muntab banget. Dan ya gitu, sampai musti mensucikan mulut saya.
Dan ada banyak contoh-contoh lain, yang kesemuanya menunjukkan betapa minus dan lemahnya kesadaran pengguna jalan atas etika lalu lintas. Tidak motor, tidak mobil, ndak becak, ndak penyeberang jalan. @$%^$^%&U^T*%E$@
Mengapa, oh, mengapa kesadaran untuk beretika di jalan raya itu sedemikian rendah?
Kuncinya cuma satu kok, saling menjaga dan lebih baik saling mengalah. Urusannya nyawa, bung. Atau paling sedikit, cacat, luka. Jadi pilih mana? Saling menjaga di jalan raya atau menyerahkan nyawa kita kepada orang lain?
Notes. Tahukan Anda, apa saja etika di jalan raya itu? Sudahkan Anda mempraktekannya?