Petang tadi, sembari mengecek kamar saya yang sedang di-dudah alias dibongkar dindingnya, mendadak timbul perasaan aneh ketika memperhatikan konstruksi dinding yang setengah jadi. Perasaan, entah, ngeri atau apa, undefined. Perasaan itu timbul berbarengan dengan imajinasi yang mucul seketika dipicu oleh pemandangan tumpuka batu bata dan semen cor. Imajinasi bahwa semua material ini bisa runtuh dan kalau runtuh bagaimana.
Imajinasi itu membawa ke memori tiga tahun silam. Kebetulan sekali, kok ya pas banget, pas ‘perayaan’ ulang tahun yang ketiga. Dua puluh tujuh Mei 2006, gempa meluluhlantakkan sebagian wilayah Jogja. Masih ingat betul saya, situasinya. Ketika gempa berlangsung, saya yang masih tertidur langsung terjaga karena goyangan keras. Saya masih bego dengan masih terduduk di tepi tempat tidur, mencermati goyangan yang makin lama makin keras. Ini bukan lindu, pikir saya. Begitu mendengar suara gemuruh, saya langsung membuka pintu kamar dan lari tunggang langgang keluar rumah
Ternyata semua penghuni rumah sudah kabur keluar rumah juga. Ketika lari keluar kamar itu, bongkahan batu bata sebesar dua kali kepala saya terlempar dari dapur yang berjarak sekitar 15 meter dari kamar, ke depan pintu kamar. Pada saat yang sangat tepat, tepat sesaat sebelum saya menginjakkan kaki saya di titik di mana bongkahan tersebut berhenti.
Sekarang yang saya bayangkan, andai bongkahan batu tersebut terlempar dan mengenai saya, errrr….. Cuma bisa bersyukur saja, hanya apa ya bentuk nyata dari rasa syukur tersebut? 😛
Selain itu juga keajaiban, bahwa keponakan saya yang kembar dan pembantu saya diselamatkan secara ajaib. Karena hanya sekitar beberapa menit sebelum dapur hancur, mereka sedang di situ untuk sarapan. Dapur yang benar-benar hancur lebur, duh Gusti…andai mereka telat sedetik aja, gimana… Ajaib sekali pertolonganMu… *peluk-peluk Tuhan* 
Gempa itu membawa kesadaran baru dalam diri saya. Kesadaran bahwa, dalam sekejap, apapun dari diri kita, yang kita anggap milik kita, bisa sekejap hilang. Kekayaan, anggota tubuh, bahkan nyawa. Lantas, kesadaran ini membawa saya kemana?
Ada semacam ketakutan, bahwa apa yang saya miliki dan saya anggap paling berharga, sewaktu-waktu pun bisa hilang. Entah itu kecerdasan yang tak seberapa ini, keadaan fisik yang yah, biar ga se-perfect model-model itu tapi bangga lah, apapun itu. Sewaktu-waktu bisa hilang. Jika hilang, akankah saya masih bisa membanggakan diri saya, masihkah saya diterima oleh sekitar saya. Ya, ternyata saya masih menyimpan ketakutan.
Sayangnya, amnesia masih akrab dengan diri saya. Tiga tahun berselang dari gempa. Perasaan-perasaan yang timbul sewaktu masih beberapa jam, beberapa hari, beberapa minggu setelah gempa, sekarang seperti terlupakan. Tidak 100% sih, yang tertinggal umumnya lebih ke perasaan deg-degan ketika ada goyangan yang cukup keras (mengira goncangan gempa, teringat goyangan gempa), perasaan khawatir cemas ketika parkir di basement mall, khawatir kalau gempa dan masih berada di basement, etc etc hal-hal semacam itu.
** Dyem, rupanya aku ada sedikit trauma, padahal aku kira aku bebas trauma. 😦
Amnesia itu adalah, perasaan bersyukur sekaligus merasa kecil. Perasaan yang timbul ketika menyaksikan orang-orang yang sebelumnya tidak saling mengenal, datang berduyun-duyun untuk membantu yang lain. Perasaan yang timbul menyaksikan reruntuhan bangunan dan mendengar kisah-kisah mereka yang kehilangan sekaligus mereka yang terselamatkan. Dulu perasaan itu kuat sekali, sekarang kok…yah…begitulah…
Tiga tahun yang lalu. Apa yang saya dapat yang itu membuat saya menjadi lebih baik. Apakah saya sudah menjadi lebih baik?
😦
PS.
Ingatan itu membanjir lagi gara-gara notes Romo Zen di sini.
Pagi itu, wajah-wajah panik tetangga. Aku sendiri juga masih tidak ada kejelasan sama sekali tentang penyebab gempa. Rumor menyebutkan Gunung Merapi meletus. Listrik mati. Hingga sepekan kemudian, listrik masih saja mati. Mencari makan begitu sulit. Cemas dengan keberadaan pacar dan ibu sang pacar. Mengirim sms begitu sulit, semakin menambah cemas.
Gosip-gosip yang bersliweran menambah panik. Adek sudah bersiap-siap mengungsi dengan memasukkan berbagai ransum dan pakaian ke mobil. Untung Bapak masih tenang, malah marah-marah kepada mereka yang panik. Menyuruh semua tenang. Menelpon ke Godegan dan memastikan, sama sekali tak ada issue tsunami.
Sorenya, mengitari kota Jogja mencari kejelasan. Ternganga dengan jumlah korban tewas. Mencari makan begitu sulit. Bahkan satu kardus indomie dihargai seratusanribu. Untung di daerah Baciro, masih ada warung sate buka. Sepertinya pemiliknya tidak begitu menyadari gentingnya situasi. Harga yang ditawarkan pun masih wajar. Dan malam itu pulang membawa dua bungkus sate untuk rumah.
Saya lupa kapan hujan deras turun malamnya. Apakah malam itu juga atau keesokannya. Situasi begitu mencekam. Semua tidur di halaman rumah. Keesokannya, saya bersama Asep dan VJ, pergi ke Pundong menengok sahabat kami, Pras. Alhamdulillah, dia baik-baik saja beserta keluarganya. Tetapi melihat keadaan Ibunya, tampak terpukul dan syok. Lebih banyak bengong, nangis, dan sambat. Pras yang bercerita tanpa emosi yang berarti, ketika ia ‘memunguti’ jenazah-jenazah tetangga-tetangganya. Pada akhirnya, mereka hanyalah angka, menjadi biasa, dan emosi menjadi datar.
Lusa dan beberapa minggu kemudian adalah luar biasa. Menyaksikan orang-orang tak saling kenal saling bahu-membahu, saling menolong. Menyaksikan karakter dasar manusia. Mendengar berbagai kisah keajaiban. Kepada teman-teman dari Bali yang luar biasa. Dua bulan kemudian, perpisahan menjadi begitu menyesakkan, karena kami sudah seperti saudara.
Kini, 2009. Amnesia menyebabkan kenangan itu tak lagi sekuat dulu. Menyaksikan Jogja menggeliat seperti tak pernah ada bencana hebat yang menelan ribuan nyawa dan memaksa untuk hidup susah, prihatin, dan sederhana. Pusat perbelanjaan penuh sesak oleh pengunjung. Padahal hingga beberapa pekan setelah gempa, Ambarukmo Plaza, mall terbesar di Jogja begitu sepi. Kisruh pembagian dana bantuan gempa pun tak lagi terdengar. Drama lain dari cerita gempa : ketamakan manusia. 😛
Menyaksikan geliat pembangunan. Menyaksikan dinding bata yang tampak rapuh. Entah apakah mereka sudah membangun sesuai kaidah yang berlaku, seperti yang dulu sempat disosialisasikan begitu gencar. Toh, jika susunan bata itu sudah diaci semen dan dicat, di mata menjelma menjadi bangunan yang kukuh.
Jangan-jangan, seperti yang saya katakan di bawah, kita manusia membutuhkan bencana. Untuk menyembuhkan amnesia. Karena lupa itu begitu manusiawi…
pictures tells thousand words….









ini temen-temen dari Bali 🙂
Setahun yang lalu mendapat berita duka, salah seorang teman meninggal karen kecelakaan di Denpasar…