Bangga Warga Jogja

image

Ketika tulisan ini dibuat siang tadi pada jam ishoma, ribuan warga Jogja sedang memadati Malioboro. Mereka bukan sedang berwisata atau habis sholat Idul Fitri/Idul Adha, mereka sedang mengadakan aksi massa terkait dengan penetapan status istimewa Yogyakarta.

Dari sisi politik maupun historis, saya tidak menguasai mengapa warga Jogja begitu “menuntut” label istimewa untuk daerahnya.Berkaitan dengan tuntutan bahwa warga menuntut gubernur harus Sri Sultan, jika itu dikaitkan dengan penyebab Jogja istimewa, saya tidak terlalu setuju. Saya sebagai warga Jogja asli, bahkan jika nantinya pemerintahan pusat mencabut label istimewa, saya tetap merasa Jogja sebagai daerah istimewa.

Keistimewaan Jogja bagi saya tak semata terkait dengan sejarahnya atau malah dengan landmarknya. Tugu Jogja bisa saja ambruk seperti tahun 1800an yang sempat hancur digoyang gempa. Kraton jogja (bangunannya) bisa saja berubah muka dan fungsi sebagaimana bangunan-bangunan bersejarah di Jogja yang pelahan mulai berubah menjadi tempat komersial. Penetapan kepala daerah gubernur harus Sultan, saya memilih no comment karena alasan tertentu, yang saya lebih nyaman untuk diobrolkan sambil ngopi sore daripada saya tulis.

Keistimewaan Jogja menurut saya terletak pada karakternya, karakter orang Jogja secara umum. Hingga postingan ini saya tulis, ribuan massa masih memadati kawasan Malioboro. Toko-toko, menurut laporan @dabgenthong dan @KILDDJ mereka tutup dengan sukarela. Malah mereka juga menyediakan air minum cuma-cuma. Saya berharap, keistimewaan Jogja saat ini sedang ditunjukkan dan diwujudkan oleh warga Jogja sendiri. Damai, plural, tanpa kekerasan, guyub.
Setelah (dan masih) berlangsung bencana erupsi Merapi dan banjir lahar dingin, warga Jogja menunjukkan karakternya, sigap membantu dan menolong orang lain. Sekarang aksi massa berlangsung damai, itu sungguh keistimewaan Jogja dibanding daerah-daerah lainnya.

Karakter, serupa dengan value, nilai yang dipegang warga setempat. Mewariskan dan menghidupi nilai-nilai seperti kedamaian, guyub, sigap menolong, plural, dll adalah lebih long lasting daripada membangun landmark. Lebih terasa nyata karena benar-benar dirasakan, dihidupi, bahkan hingga orang Jogja tersebut hijrah kemana saja. Menunjukkan identitas dan keistimewaan Jogja.

Bravo Jogja. Jogja istimewa dengan karakternya.

Di Balik Layar PBJogja 2010

Dua minggu yang lalu, saya terlibat dalam satu keriaan ajang offline para warga onliner. Ajang tersebut merupakan bagian dari roadshow pesta blogger 2010, di berbagai kota di Indonesia. Jogja adalah kota kelima yang dilewati dan berkesempatan untuk memberikan yang terbaik dalam roadshow tersebut. Saya sebagai salah satu panitia yang terlibat, ingin sharing proses dibalik layar yang memperkaya pengalaman jiwa saya *cieeehhh, lebay dikit biardramatis*.

Tidak seperti tahun 2009 dimana Pesta Blogger Jogja digawangi oleh Cahandong, maka Pesta Blogger Jogja (selanjutnya disebut pbjogja) dibidani oleh beberapa perwakilan komunitas maupun blogger non komunitas. Sebut saja Jogtug, lalu ada juga mas Ryudeka dan mba Alya, yang dalam keseharian mereka lebih dikenal sebagai penyiar dan blogger independen *tsaah*.

Momon sebagai ketua panitia memang beralasan untuk mengajak sebanyak mungkin komunitas (online terutama, karena  ini pestanya warga onliner). Tujuannya sederhana, ingin menjalin komunikasi dan silaturahmi. Sebuah idealisme yang dibalut dalam ajang hura-hura. Eits tapi ndak sembarang hura-hura, karena walau peserta dan acaranya sendiri (mungkin) isinya haha-hihi, foto sana-sini, makan-makan, jalan-jalan, cari jodoh *eh* tapi sesungguhnya ada misi lain yang tak kalah idealis.

Etapi biar idealis, apakah peserta merasa jemu selama mengikuti rangkaian acara pbjogja? Sila baca kesan pesan mereka disini. Lalu silakan beri penilaian, bagaimana perasaan mereka yg beruntung (
jiaaaah beruntung) telah mengikuti seluruh rangkaian acara pbjogja. Kalau boleh berbangga diri, hampir semua peserta tidak merasakan kejemuan karena rangkaian acara tersebut dikemas dalam hura-hura. ^^

Iyo ora tweeps? Ora bosen to, seneng to? 😀 #maksamodeon

Kembali ke idealisme, memang idealisme apa yang ingin disampaikan panitia pbjogja selain yang terkait dengan tema pesta blogger 2010? Tak jauh-jauh dari Jogja sebagai kota tujuan pariwisata. Jangka pendek adalah untuk memperkenalkan Jogja kepada peserta (rally Panggih Batir terutama). Sedang jangka panjangnya untuk lebih menggaungkan potensi pariwisata kota Jogjakarta yang selama ini belum terekspos. Pertanyaannya, bagaimana caranya?

Semua berkat bocah tua nakal *sungkem* yang sukses membuat kami pada rapat pertama nyaris kejengkang dengan idenya. Yap, beliaulah yang  menggaungkan ide pbjogja beda. Tak cuma gathering mini pesta blogger tapi rally dari sejak kedatangan panitia dari Jakarta hingga hari H. Sebuah ide yang pada awalnya tampak spt hil yang mustahal. Musykil,  mengingat dana yang minim dan waktu yang tak banyak untuk mencari sponsor serta mematangkan konsep.

But I have faith in them. Yup, I have faith in them, seberapa musykilnya. Team, kelompok, dimana saya terlibat terdiri dari orang-orang hebat dengan potensi yang luar biasa. Saya sudah membuktikan pada tahun 2009. Ketika itu saya sempat ragu, waktu teman-teman melontarkan ide-ide ‘gila’ untuk memeriahkan pbjogja 2009. Saya terbayang sulitnya, bagaimana mencari sponsor hanya dalam waktu sekian bulan, beberapa konflik internal yang sempat mewarnai,dll. Dan pada waktu yang ditentukan pbjogja 2009 tergelar cukup sukses.

Dengan bukti dan pengalaman tersebut, saya percaya teman-teman kali ini juga mampu. Kendala bukan masalah, ia adalah tantangan. Waktu yang hanya 6 minggu terpotong libur lebaran ples minimnya dana, entah kenapa tidak menyurutkan kepercayaan saya terhadap teman-teman. Kemrungsung, panik, deg-degan, stress, tentu ada. Tapi selebihnya mengalir saja, termasuk beberapa keajaiban yang kami alami. Bahkan beberapa hari menjelang hari H pun, selalu saja ada perubahan karena beberapa pihak yang sedianya bekerja sama membatalkan atau bagaimana, tapi selalu saja ada blessing in disguise dibalik pembatalan dan perubahan tersebut. Serendipity, demikian yang saya amati dibalik proses kerja teman-teman.

Akhirnya hari H tiba. Gelaran pertama dan perdana dalam sejarah pesta blogger (halah), Rally Panggih Batir dilaksanakan.  Sebuah rally yang mempertemukan berbagai komunitas online untuk berkunjung ke komunitas offline. Sekaligus sebuah idealisme yang tadi saya uraikan. Bagaimana susunan acara rally bisa dilihat disini, ini, ini, dan beberapa postingan kesan peserta dapat dibaca kesan mbak dos, kesan mba Alya, dan Mas Jauhari.

Dari saya pribadi, senang ketika panitia rally pbjogja menentukan 3 tempat utk menjadi spot rally. Tiga tempat itu adalah Ndalem Yudhonegaran (kegiatannya belajar menari dan gamelan), Pakualaman mengunjuni  komunitas panahan Jemparing Mataram, dan terakhir Sanggar Anak Alam di Nitiprayan. Tiga tempat tersebut sebenarnya sempat berubah dari rencana awal, karena berbagai hal. Misal, perkampungan Kali Code sempat dinominasikan menjadi salah satu spot rally, tetapi tidak jadi karena hal teknis. Mengapa perkampungan Kali Code, karena ini perkampungan ini adalah ‘hasil karya’ Romo Mangun, dan tak banyak orang Jogja sendiri yang tahu atau pernah mengunjungi Kampung Code ini.

Kurang lebih alasan yang sama ketika memilih spot-spot lain untuk menjadi titik perhentian rally. Tempat  yang sebenarnya menyimpan potensi  persinggahan pariwisata Jogja, selain tempat standar seperti Malioboro dan Kraton.

Saya sendiri yang lahir dan besar di Jogja, ketika ikut rally ternyata banyak tempat-tempat yang baru saya tahu. Saya  baru pertama masuk Ndalem Yudhonegaran ya pas rally itu. Padahal itu adalah ndalem/kediaman adiknya Sri Sultan HB X.  Baru tahu ada komunitas panahan tradisional yang keren banget ya pas rally. Dan kalo gak ikut rally, ga sempet ngerasain jadi Srikandi alias belajar memanah pakai busur asli.

 

 

Lebih jauh lagi waktu membaca postingan kesan-kesan peserta pbjogja. Saya berkesimpulan, bahkan warga Jogja sendiri ternyata tak terlalu mengenal kotanya. Banyak yang tidak tahu bahwa Nitiprayan adalah kampung seniman. Banyak juga yang baru pertama masuk ke Ndalem Yudhonegaran padahal disitu ada sekolah menengah farmasi yang cukup favorit.

Pada waktu gathering, ternyata juga banyak yang belum ngeh kalau sajian nasi merah adalah kuliner khas dari Gunung Kidul. Coba mas-mas dan mbak-mbaknya jalan-jalan ke daerah Semanu, Gunung Kidul, mampir ke warung sego abang Mbok Jirak. Itu warung khas banget kuliner tradisional, menyajikan sego abang dan ubo rampe lauk pauk khas ndeso. Jadi  gobang mbokjo alias sego abang lombok ijo (sayurnya dimasak dengan banyak cabai hijau) itu menu khas dari jogja, sodara-sodaraaaaa… jogja ga hanya gudeg dan serba manis, wuuu, ketinggalan apdet. Eh jangan-jangan ada yang ga tahu kalau Gunung Kidul itu bagian dari Jogja 😛

Jadi teringat waktu pbjogja 2009, pengunjung juga masih banyak yang belum ngeh kalau brongkos adalah kuliner khas Jogja. Tahunya kipo, jajan pasar dari Kotagede, dan aneka jajan pasar disebut juga sajian khas Jogja. Padahal asal tahu saja, aneka jajan pasar yang disajikan ditampah itu tidak semua jajanan tradisional. Yang membuat geli sekaligus prihatin adalah banyak yang mengira bahwa brongkos itu gudeg. Hmmm…banyak-banyak menjelajah jogja yaaa…

Jadiiii… Jangan menunggu pihak lain untuk lebih mengenal Jogja. Cari sendiri. Seperti Mas yang satu ini ^^ (setelah dipancing kuis twitter @pbjogja).

Special thanks to teman-teman  Cahandong, Jogtug, Kojak, dan berbagai pihak yang belum disebut satu persatu. Jangan kapok yaaaaaa^^

Amnesia, Gempa, Bencana

Petang tadi, sembari mengecek kamar saya yang sedang di-dudah alias dibongkar dindingnya, mendadak timbul perasaan aneh ketika memperhatikan konstruksi dinding yang setengah jadi. Perasaan, entah, ngeri atau apa, undefined. Perasaan itu timbul berbarengan dengan imajinasi yang mucul seketika dipicu oleh pemandangan tumpuka batu bata dan semen cor. Imajinasi bahwa semua material ini bisa runtuh dan kalau runtuh bagaimana.

Imajinasi itu membawa ke memori tiga tahun silam. Kebetulan sekali, kok ya pas banget, pas ‘perayaan’ ulang tahun yang ketiga. Dua puluh tujuh Mei 2006, gempa meluluhlantakkan sebagian wilayah Jogja. Masih ingat betul saya, situasinya. Ketika gempa berlangsung, saya yang masih tertidur langsung terjaga karena goyangan keras.  Saya masih bego dengan masih terduduk di tepi tempat tidur, mencermati goyangan yang makin lama makin keras. Ini bukan lindu, pikir saya. Begitu mendengar suara gemuruh, saya langsung membuka pintu kamar dan lari tunggang langgang keluar rumah

Ternyata semua penghuni rumah sudah kabur keluar rumah juga. Ketika lari keluar kamar itu, bongkahan batu bata sebesar dua kali kepala saya terlempar dari dapur yang berjarak sekitar 15 meter dari kamar, ke depan pintu kamar. Pada saat yang sangat tepat,  tepat sesaat sebelum saya menginjakkan kaki saya di titik di mana bongkahan tersebut berhenti.

Sekarang yang saya bayangkan, andai bongkahan batu tersebut terlempar dan mengenai saya, errrr….. Cuma bisa bersyukur saja, hanya apa ya bentuk nyata dari rasa syukur tersebut? 😛

Selain itu juga keajaiban, bahwa keponakan saya yang kembar dan pembantu saya diselamatkan secara ajaib. Karena hanya sekitar beberapa menit sebelum dapur hancur, mereka sedang di situ untuk sarapan.  Dapur yang benar-benar hancur lebur, duh Gusti…andai mereka telat sedetik aja, gimana… Ajaib sekali pertolonganMu… *peluk-peluk Tuhan* :mrgreen:

Gempa itu membawa kesadaran baru dalam diri saya. Kesadaran bahwa, dalam sekejap, apapun dari diri kita, yang kita anggap milik kita, bisa sekejap hilang. Kekayaan, anggota tubuh, bahkan nyawa. Lantas, kesadaran ini membawa saya kemana?

Ada semacam ketakutan, bahwa apa yang saya miliki dan saya anggap paling berharga, sewaktu-waktu pun bisa hilang. Entah itu kecerdasan yang tak seberapa ini, keadaan fisik yang yah, biar ga se-perfect model-model itu tapi bangga lah, apapun itu. Sewaktu-waktu bisa hilang. Jika hilang, akankah saya masih bisa membanggakan diri saya, masihkah saya diterima oleh sekitar saya. Ya, ternyata saya masih menyimpan ketakutan.

Sayangnya, amnesia masih akrab dengan diri saya. Tiga tahun berselang dari gempa. Perasaan-perasaan yang timbul sewaktu masih beberapa jam, beberapa hari, beberapa minggu setelah gempa, sekarang seperti terlupakan. Tidak 100% sih, yang tertinggal umumnya lebih ke perasaan deg-degan ketika ada goyangan yang cukup keras (mengira goncangan gempa, teringat  goyangan gempa), perasaan khawatir cemas ketika parkir di basement mall, khawatir kalau gempa dan masih berada di basement, etc etc hal-hal semacam itu.

** Dyem, rupanya aku ada sedikit trauma, padahal aku kira aku bebas trauma. 😦

Amnesia itu adalah, perasaan bersyukur sekaligus merasa kecil. Perasaan yang timbul ketika menyaksikan orang-orang yang sebelumnya tidak saling mengenal, datang berduyun-duyun untuk membantu yang lain. Perasaan yang timbul menyaksikan reruntuhan bangunan dan mendengar kisah-kisah mereka yang kehilangan sekaligus mereka yang terselamatkan. Dulu perasaan itu kuat sekali, sekarang kok…yah…begitulah…

Tiga tahun yang lalu. Apa yang saya dapat yang itu membuat saya menjadi lebih baik. Apakah saya sudah menjadi lebih baik?

😦

PS.

Ingatan itu membanjir lagi gara-gara notes Romo Zen di sini.

Pagi itu, wajah-wajah panik tetangga. Aku sendiri juga masih tidak ada kejelasan sama sekali tentang penyebab gempa. Rumor menyebutkan Gunung Merapi meletus. Listrik mati. Hingga sepekan kemudian, listrik masih saja mati. Mencari makan begitu sulit. Cemas dengan keberadaan pacar dan ibu sang pacar. Mengirim sms begitu sulit, semakin menambah cemas.

Gosip-gosip yang bersliweran menambah panik. Adek sudah bersiap-siap mengungsi dengan memasukkan berbagai ransum dan pakaian ke mobil. Untung Bapak masih tenang, malah marah-marah kepada mereka yang panik. Menyuruh semua tenang. Menelpon ke Godegan dan memastikan, sama sekali tak ada issue tsunami.

Sorenya, mengitari kota Jogja mencari kejelasan. Ternganga dengan jumlah korban tewas. Mencari makan begitu sulit. Bahkan satu kardus indomie dihargai seratusanribu. Untung di daerah Baciro, masih ada warung sate buka. Sepertinya pemiliknya tidak begitu menyadari gentingnya situasi. Harga yang ditawarkan pun masih wajar. Dan malam itu pulang membawa dua bungkus sate untuk rumah.

Saya lupa kapan hujan deras turun malamnya. Apakah malam itu juga atau keesokannya. Situasi begitu mencekam. Semua tidur di halaman rumah. Keesokannya, saya bersama Asep dan VJ, pergi ke Pundong menengok sahabat kami, Pras. Alhamdulillah, dia baik-baik saja beserta keluarganya. Tetapi melihat keadaan Ibunya, tampak terpukul dan syok. Lebih banyak bengong, nangis, dan sambat. Pras yang bercerita tanpa emosi yang berarti, ketika ia ‘memunguti’ jenazah-jenazah tetangga-tetangganya. Pada akhirnya, mereka hanyalah angka, menjadi biasa, dan emosi menjadi datar.

Lusa dan beberapa minggu kemudian adalah luar biasa. Menyaksikan orang-orang tak saling kenal saling bahu-membahu, saling menolong. Menyaksikan karakter dasar manusia. Mendengar berbagai kisah keajaiban. Kepada teman-teman dari Bali yang luar biasa. Dua bulan kemudian, perpisahan menjadi begitu menyesakkan, karena kami sudah seperti saudara.

Kini, 2009. Amnesia menyebabkan kenangan itu tak lagi sekuat dulu. Menyaksikan Jogja menggeliat seperti tak pernah ada bencana hebat yang menelan ribuan nyawa dan memaksa untuk hidup susah, prihatin, dan sederhana. Pusat perbelanjaan penuh sesak oleh pengunjung. Padahal hingga beberapa pekan setelah gempa, Ambarukmo Plaza, mall terbesar di Jogja begitu sepi. Kisruh pembagian dana bantuan gempa pun tak lagi terdengar. Drama lain dari cerita gempa : ketamakan manusia. 😛

Menyaksikan geliat pembangunan. Menyaksikan dinding bata yang tampak rapuh. Entah apakah mereka sudah membangun sesuai kaidah yang berlaku, seperti yang dulu sempat disosialisasikan begitu gencar. Toh, jika susunan bata itu sudah diaci semen dan dicat, di mata menjelma menjadi bangunan yang kukuh.

Jangan-jangan, seperti yang saya katakan di bawah, kita manusia membutuhkan bencana. Untuk menyembuhkan amnesia. Karena lupa itu begitu manusiawi…


pictures tells thousand words….

gotongroyong_resize

rame2banttu

survei

daribaliutksodarakudijawa_resize

lintasagama_resize

dapurumum

peduli

penuhharapan

relawan bali

ini temen-temen dari Bali 🙂

Setahun yang lalu mendapat berita duka, salah seorang teman meninggal karen kecelakaan di Denpasar…

Psikologi Jalanan

Lagi, saya membicarakan tentang lalu lintas. Jogja, sebagai kota yang terkenal dengan ungkapan ‘Berhati Nyaman’, karena keadaan lalu lintasnya semakin terasa tidak nyaman lagi beberapa tahun terakhir ini. Banyak faktor urun rembug menyumbang ketidaknyamanan ini, mulai dari perilaku pengguna jalan, kepadatan lalu lintas, hingga ulah oknum-oknum dari institusi terkait.

Saya ingin Jogja menjadi kota yang ramah terhadap keluarga, khususnya terhadap ibu dan anak-anak (weits, sebentar, ini bisa jadi tema kampanye yang bagus lho. Visioner bukan? :mrgreen: ). Salah satunya mengenai lalu lintasnya. Saya tidak ingin Jogja yang semakin berkembang, perkembangannya menuju ke arah seperti megapolitan Jakarta. Hell no!! Bila Jogja berubah menjadi Jakarta, akan berapa banyak kerugian material dan immaterial yang terbuang sia-sia di jalanan, dan berimbas pada family well-being.

Belum ‘separah’ Jakarta saja, saya sudah merasakan betapa sering saya mengalami stress di jalanan. Menjadi cepat marah lah, deg-degan lah, tegang, dll. Emosi-emosi negatif tersebut cukup menguras energi positif. Jika saya tidak bisa mengendalikan diri, orang lain atau sekitar saya juga yang kena.

Selain itu, sering saya membaca / mendengar keluhan mengenai keadaan lalu lintas. Dari yang sekedar mengeluh curhat hingga yang memaki-maki dengan ucapan setajam sembilu. Banyak dari pihak yang mengeluh tersebut, menyalahkan pihak lain. Polisi misalnya. Yang mata duitan lah, yang males lah, dll. Sangat sedikit (atau malah belum pernah denger ya?) yang merujuk pada kelakuan diri di jalanan. Berkaca, sampai di mana etika saya berlalu lintas. Pakde bilang kepada saya di postingan tersebut, it takes two to tango.

Saya jadi teringat pengalaman beberapa tahun lalu ketika di Perth. Waktu itu saya mendapat kepercayaan untuk mengemudikan sedan. Wah, belum fasih di tanah air, sudah harus menyetir di luar negeri lagi. Agak jiper tentu saja. Tapi yang menarik, pihak yang memberi saya kepercayaan (Mas Arief? Where are you?), dia tidak menceramahi saya teknik-teknik mengemudi, tetapi malah sibuk memberi pengarahan cara / etika berlalu lintas. Misal, jika hendak melewati persimpangan, mobil harus melambat. Harus mendahulukan penyeberang jalan. Menyalakan sein jika belok (hello, ini kan sudah basic alias dasar banget, kenapa saya harus dikasih tahu?). Dan beberapa etika lain yang saya lupa. 😛

Kata Mas Arief yang sudah jadi permanent residen di Perth, biasanya pengendara di Perth tertib sekali. Jika ada yang agak ugal-ugalan itu biasanya malah turis. Dan turis Indonesia terkenal dengan perilakunya yang tidak sabaran dan suka nyalip-nyalip. Benar saja, baru pegang stir, saudara saya dengan jahil mengajarkan untuk cuek saja. Nanti jika distop polisi dan ditanya-tanya, tinggal jawab, “Me no english, tourist, tourist. No english, dont understand.”   😆

Kalau dengar cerita-cerita mereka-mereka yang sering berkendara di luar negeri, biasanya perilaku tertib yang tidak begitu mereka terapkan di tanah air, otomatis mengikuti perilaku berkendaraan negara setempat. Begitu kembali ke selera asal, balik deh serampangan.    😆

Ada apa ya, mengapa begitu, locus of control-nya external sekali.

Saya juga bukannya suci dari perilaku macam ini. Apalagi jika saya terburu-buru (padahal keburu-burunya ya salah saya juga sih). Hingga suatu ketika saya tersadar. Sampai kapan menyalahkan orang lain terus sementara diri ini tidak melakukan kontribusi perubahan. Seringkali, atas nama ‘kemudahan’, ‘ga mau repot’, dll memberikan kontribusi yang cukup besar atas keruwetan jalan raya.

Beberapa hari yang lalu, saya teledor dalam berlalu lintas. Karena melamun dan hati lagi dongkol, saya lupa masuk ke jalan yang seharusnya satu arah. Apes banget, pas ada polisi patroli. Kena tegur lah, saya. STNK disita dan bapak polisi yang ramah tersebut mengatakan, untuk mengambilnya di pos polisi tempat dia berada. Tidak jauh dari tempat saya teledor.

Selesai menyelesaikan urusan saya, saya segera ke pos polisi yang terletak di perempatan Tugu tersebut. Ngobrol-ngobrol, polisi tersebut memberikan dua pilihan, untuk sidang atau diselesaikan di tempat. Sejenak hati saya ingin protes dan melakukan pembelaan, ‘Pak, saya melamun Pak, masak langsung sidang, bla-bla-bla.’

Tapi menurut saya ini momentum. Datar, saya iyakan saja untuk bersidang. Memang saya yang salah, ngalamun. Heiiiii, nyetir itu kompleks banget, menyangkut keselamatan orang lain dan diri sendiri kok ngalamun. Ya sudahlah, saya yang salah. Bapak polisi yang baik itu sepertinya heran (atau kecewa?) dan menanyakan domisili saya. Ternyata karena saya warga dekat-dekat situ juga, Pak Polisi yang ramah itu membebaskan saya dan katanya, oke kali ini sebagai peringatan saja. Lain kali agar saya lebih berhati-hati.

Wah, tentu saja saya surprise dan setelah itu dari mulut saya malah meluncur alasan-alasan ga penting, yang ngalamun lah, yang apa lah. :mrgreen:

Pak Polisinya mah senyum-senyum saja mendengar cerita saya. Keluar dari pos polisi, saya tersenyum sendiri. Ada pelajaran berharga yang saya dapat hari itu.


Yang jelas, etika berlalu lintas itu sangat penting. Bagaimana dengan kamu, tahukah kamu apa saja etika berlalu lintas itu ? Tahukah kamu apa saja fungsi lampu-lampu yang ada pada kendaraanmu ? Tahukah kamu gunanya spion ? Jika belum, ummm…..    *pentung-pentung*

*kampanye berlalulintas yang baik dan benar itu dimulai dari diri sendiri. Yess….*