Komunikasi di era 2.0: Lebih Sulit atau Lebih Mudah? (1)

Postingan ini terilhami setelah mengamati kelakuan para pengguna socmed, khususnya twitter dan plurk, tapi tak menutup medium lain. Dari sini timbul pertanyaan besar:

MENJALIN KOMUNIKASI DI ERA 2.0 DAN SOCMED APAKAH LEBIH RUMIT DAN EMOSIONAL DARIPADA KOMUNIKASI DI REAL LIFE?

Alasannya:

  • Banyak ‘keributan’ di socmed, seperti soal follow-unfollow, flooding timeline,  atau RT abuser, menjadi topik yang sering sekali dibicarakan. Banyak sekali pengguna socmed yang mengeluh, yang merasa ‘sangat’ terganggu sehingga mereka komplain, curcol, nyindir, nggremeng, etc ditimeline mereka sendiri.
  • Keributan tersebut memang tidak sampai yang berdampak sosial yang massive, bisa jadi memang agak lebay/dilebih-lebihkan. Tapi ya gitu, dari pengamatan, selalu saja ada orang-orang yang terganggu.

Sebelum saya teruskan lebih lanjut, saya mendefinisikan dulu apa yang dimaksud dengan era 2.0. Saya merujuk pada Wikipedia, disini yang dimaksud dengan era 2.0 adalah web 2.0. Definisi web 2.0:

Web 2.0 adalah aplikasi web yang memfasilitasi interaksi yang lebih interaktif (dua arah) dari penyedia/pengisi konten dengan penikmatnya. Aplikasi tersebut selain memungkinan terjadinya dialog, juga information sharing dari dua belah pihak. Bisa dikatakan dengan aplikasi tersebut  dapat memunculkan dari diskusi hingga kolaborasi.

Dari pengamatan saya (yang termasuk juga pengguna socmed) muncul beberapa hipotesis/asumsi:

Berkomunikasi di era socmed dan 2.0 seperti sekarang ini membutuhkan skill komunikasi yang lebih daripada komunikasi biasa.

Mengapa? Karena berkomunikasi lewat tulisan, selain harus bisa menuangkan pikiran lewat bahasa tulisan yang bisa dipahami orang, juga harus bisa memahami nonverbal/yang tersirat dari sebuah tulisan. Non verbal itu bisa mencakup nuansa emosi, mengenali karakter seseorang dari tulisan-tulisannya, dll.

Kalau komunikasi ‘standar’, non verbal tersebut bisa kita lihat dengan mudah, seperti gesture, ekspresi wajah, dll. Ingat, bahwa non verbal dalam komunikasi malah justru mengungkap/berbicara jauh lebih banyak daripada yang verbal. Selain itu, berinteraksi dunia maya bisa jadi lebih rumit  karena kita bisa bersembunyi dibalik topeng/alter ego yang sengaja kita ciptakan.

Jadi lazim kita temui orang yang berbeda antara di dunia maya dan di dunia nyata. Apalagi jika menyangkut netiket (yang belum luas diketahui orang seperti halnya etika pergaulan di dunia nyata) dan pengendalian diri.

Dari kultur sendiri, masyarakat kita menurut para pakar lebih terbiasa dengan budaya lisan daripada tulisan. Walau banyak juga yang mengaku, lebih mudah mengungkapkan pikiran lewat tulisan daripada lewat verbal, tetapi hal tersebut tidak menjamin dia mempunyai skill komunikasi (tulisan) yang cukup baik.

Alasan lain yang mendasari asumsi diatas:

Dalam masyarakat online, suatu kabar/buzz lebih cepat menyebar daripada lewat medium komunikasi telepon genggam/sms, literally dari mulut ke mulut, apalagi pos merpati (halah).

Contoh, adanya trending topic di twitter dan viral marketing yang makin sering digunakan akhir-akhir ini.

Dari pengamatan, entah kenapa lebih banyak yang percaya adanya kabar yang belum jelas kebenarannya kalau disampaikan lewat media text (media televisi dan radio juga sih, tapi kita kan sedang membahas komunikasi tertulis) daripada yang sekedar bisik-bisik. Apa karena faktor komunikasi tertulis dapat terdokumentasi dengan baik, sehingga mudah dilacak/meninggalkan jejak daripada lisan yang cenderung lebih mudah dilupakan/sukar dilacak.


BERSAMBUNG KE BAGIAN SELANJUTNYA, KARAKTERISTIK KHAS TIAP SOCMED :goodluck:

Budaya Apresiatif : Bahasamu, Harimaumu

PENDAHULUAN

Saat ini, program magister yang sedang saya jalani mengharuskan saya untuk menyusun tesis sebagai syarat meraih gelar Magister Psikolog.

Proses yang tidak mudah, apalagi saya termasuk watak / tipe empat, Si Romantis, yang cenderung ingin tampil beda. Pencarian untuk topik tesis yang berbeda ini membawa saya berkenalan dengan metode baru, Appreciative Inquiry (hehehe, ini curcol, huhuhuhu :mrgreen: ).

APPRECIATIVE INQUIRY

Metode/pendekatan Appreciative Inquiry bisa dikatakan belum banyak dikenal di Indonesia sebagai suatu pendekatan untuk Organizational Development / Organizational Behavior. Ya, metode AI pada awalnya merupakan metode intervensi yang dirancang untuk OD/OB. Pada perkembangan selanjutnya, ternyata metode AI ini bisa digunakan untuk berbagai situasi, misal untuk intervensi dalam keluarga, pendidikan, hingga sosial (community development, contohnya).

Sebenarnya, apa sih, Appreciative Inquiry itu ??

Appreciative Inquiry (AI) secara singkat bisa diartikan Seni Bertanya. Dasar dari AI, in my opinion, memang terletak pada pertanyaan yang provokatif. Tapi tidak sekedar bertanya lho, ada seninya, sehingga pertanyaan tersebut merangsang lahirnya jawaban-jawaban yang membuat kita menyadari potensi-potensi terpendam dan ujung-ujungnya menghasilkan perubahan yang indah, metamorfosa laiknya ulat menjadi kupu-kupu.

Pertanyaan-pertanyaan provokatif tersebut didasari oleh paradigma menghargai atau dalam bahasa awamnya berpikir positif . Dengan kata lain, paradigma apresiatif mendasari kita dalam memandang segala sesuatunya, sehingga pertanyaan yang kita ajukan pun berbeda, dan menghasilkan jawaban yang berbeda pula (positif).

Untuk lebih memahami beda AI, kita bisa membandingkan dengan pendekatan yang umum dipakai, yaitu Problem Solving.

Problem Solving

  • Identify
  • problem/weakness
  • Analyze causes
  • Brainstorm solutions
  • Develop action plans

Appreciative Approach

  • Identify: What’s working now that we want to expand?
  • Imagine: What might be even better?
  • Innovate: How can we move in that direction?
  • Implement: What steps should we take?

*sumber : Accentuate the Positive with Appreciative Coaching by Sara L. Orem*

5

PERTANYAAN SEPERTI APA ?

Pertanyaan yang muncul dari pendekatan yang berbeda tersebut, bisa kita lihat dan rasakan, seperti apa :

Problem solving >> DEFICIT BASED

• What’s wrong with me?

• What’s wrong with them?

• Why can’t I get better at this?

• Why does this always happen to me?

• Why bother?

• How can I avoid this?

Appreciative Approach >> ASSET-BASED

• When have I been successful in the past?

• What are my strengths and talents?

• What do I imagine could happen in this situation?

• What actions can I begin experimenting with (to assure that my imagined

state IS my future state)?

*sumber : Accentuate the Positive with Appreciative Coaching by Sara L. Orem*

Lebih jelas lagi, kita bisa menyimak dari contoh kasus dari Avon Mexico yang sukses menerapkan pendekatan AI ini untuk intervensi organisasi, dan tahun 1997 sukses mendapat penghargaan sebagai perusahaan terbaik dalam memperlakukan karyawan perempuan di Mexico.

Topik adalah sexual harassment atau perlakuan karyawan pria terhadap karyawan perempuan ;

Women feel devalued in this company.They complain about male coworkers’ attitudes towards them, and about limits on the jobs available to them.

Pada pendekatan Problem Solving, akan memakai langkah-langkah sebagaimana berikut :

  • What can we do about male chauvinist attitudes?
  • When are women being harassed and who is doing it?
  • What kind of sexual harassment policies should we have?
  • Why aren’t women able to move up into senior management?
  • What are the barriers and how can we remove them?

Sedangkan pendekatan AI adalah sebagai berikut :

  • What are some examples of the very best work experiences men and women have had working together in this company?
  • What circumstances made these possible?
  • How can we recreate these conditions so that men and women have more “best” experiences working together?

See ?? Can you feel and see the difference ??

Seperti yang diucapkan oleh Tom White, President of GTE Telops,

WE CAN’T IGNORE PROBLEMS—WE JUST NEED TO APPROACH THEM FROM THE OTHER SIDE.

KESIMPULAN

Semakin saya belajar pendekatan AI, semakin saya merefleksikan tentang diri saya. Apa yang sedikit saya dapat dari pendekatan AI adalah, betapa kurangnya saya menerapkan dan membiasakan paradigma apresiatif dalam memandang segala sesuatunya.

Dari paradigma positif tersebut, seperti getaran yang bervibrasi, akan menghasilkan getaran positif dalam bertutur dan berkata. Kata-kata yang terucap dari mulut akan menghasilkan getaran energi yang lebih besar lagi, dalam bentuk perilaku. Getaran tersebut bervibrasi lagi lebih besar, memantul kepada lingkungan sekitarnya, termasuk kepada orang-orang di sekitar.

Saya mendapatkan benang merah dengan ‘aliran’ Psikologi Transpersonal, the Nu Age of Psychology. Kalau Anda akrab dengan Neuro-Linguistic Program, Psikologi Transpersonal, atau pernah membaca / menyaksikan The Secret, Pieces of Mind, dsb, benang merah tersebut adalah getaran energi positif menghasilkan getaran energi positif.

Dalam kehidupan sehari-hari, paling mudah kita cermati adalah cara kita berkata-kata. Seberapa banyak kita mengeluarkan kata-kata yang mengandung getaran energi positif dibanding kata-kata yang mengandung getaran energi negatif ??

Seberapa sering kita menggunakan kata-kata ‘tidak’, ‘jangan’, ‘mustahil’, dibanding kata-kata ‘mampu’, ‘bisa’ ??

Tak berlebihan kiranya jika dikatakan, Bahasamu Harimaumu (saya mendapatkan kata-kata ini dari mana ya, saya lupa. Maafkan untuk pencetus idiom kata ini, saya tidak mencantumkan sumbernya).

Sara L. Orem memiliki istilahnya sendiri yaitu

WORDS MAKE WORLDS.

Seperti, apa yang Anda rasakan jika membaca koran lampu merah, yang menyajikan suatu informasi dengan bahasa yang vulgar dan provokatif ??

Atau membaca suatu informasi yang sama, tapi disampaikan dengan bahasa yang positif. Emosi apa yang muncul, bahkan dalam getaran yang paling halus ??

Seperti itulah, tularan getaran energi.

Dan, saya sangat menyayangkan sekaligus mencemaskan, jika mencermati yang terjadi di sekitar saya. Mengapa kita lebih tertarik dengan informasi yang ‘berenergi negatif’ dibanding informasi yang ‘berenergi positif’ ??

Apakah ini sudah menjadi naluri dasar manusia atau bagaimana ??

Contohnya, seperti dalam hasil penyusunan peningkatan stasiun televisi favorit atau program televisi favorit berdasarkan rating, ternyata masih didominasi stasiun televisi yang menayangkan sinetron-sinetron tidak mendidik. Apakah ini berarti masyarakat lebih menyukai tayangan-tayangan yang tidak mendidik ?? Apakah masyarakat tidak menyukai program-program yang berisi kesuksesan, kisah inspiratif, berita-berita positif ??

Dunia blogsphere pun setali tiga uang. Mengapa postingan-postingan yang berbau kemarahan, provokasi negatif, dll (tidak usahlah saya jlentrehkan ) malah meraih popularitas sementara ada begitu banyak postingan yang mencerahkan, inspiratif, menularkan energi positif.

Oke, sepertinya saya tidak menerapkan apa yang saya pelajari barusan.

Seharusnya, saya melihat fenomena di atas dari sudut pandang yang berbeda. Coba, dari Anda, apa yang dapat Anda tawarkan, suatu sudut pandang yang baru, yang apresiatif ?? Respon yang bernada menghujat dan sebagainya yang berenergi negatif, nilainya nol !! ^_^

Watch your words, appreciate !! ^_^

Your words, your worlds.

interpersonal conflict management pt.two

-lirik lagu Seventeen : selalu mengalah….-

jelaskan padaku isi hatimu
seberapa besar kau yakin padaku
untuk tetap bisa bertahan denganku
menjaga cinta ini

pertengkaran yang terjadi
seperti semua salahku

reff:
mengapa selalu aku yang mengalah
tak pernah kah kau berpikir
sedikit tentang hatiku

mengapa ku yang harus selalu mengalah
pantaskah hatiku
masih bisa bersamamu


Ada yang mengalami kisah mirip-mirip dengan penggalan lirik lagu dari grup band Seventeen di atas ??

 

Gimana sih, rasanya, ketika kita memendam masalah dengan orang lain, dan orang lain tersebut bersikap dominan terhadap kita ?? Kita seperti di pihak yang harus menelan bulat-bulat rasa kesal, kecewa, marah, dsb, karena kita merasa lebih inferior dibanding dirinya. Pada kasus yang ekstrim, dominasi itu bahkan ditunjukkan oleh aksi kekerasan, misal pukulan, tamparan, bahkan kekerasan verbal seperti mengatai kita kata-kata yang tak pantas.

 

Apa yang pembaca rasakan, ketika kita konflik dengan orang lain dan akibatnya ada rasa tidak enak yang mengganjal di hati, tetapi kita tidak kuasa untuk melepaskan ganjalan tersebut ??

Waaah, rasanya…seperti nelen kulit durian utuh bulet-bulet, betul apa betul ?? Hehehe….

 

Misal, begini. Kamu dan pacar kamu baru saja jadian. Malam itu malam minggu. Udah janjian nih, untuk nonton bareng. Ketika kalian pergi bareng, kamu agak kecewa melihat perilakunya, karena Si Dia terang-terangan mengagumi cewek lain walau ada kamu di sebelahnya. Dan cara Si Dia menunjukkan kekaguman itu, cukup norak. Misal, menatap dengan mata melotot dan mulut setengah terbuka, kemudian berkomentar betapa seksinya cewek itu, betapa besar dadanya, dsb. Padahal ada kamu di sebelahnya.

 

Wuah, kesel dong, diperlakukan seperti itu. Rasanya seperti nggak dianggep aja. Tapi apa yang kamu lakukan ??

Kamu hanya tersenyum kecut dan menelan bulat-bulat rasa gondok itu, tak sepatah kata pun keluar menyinggung kejadian tersebut. Gondok, mangkel, sebal, tapi kamu pendam saja.

 

Atau, kamu langsung meradang, dan berteriak-teriak memaki-maki perilakunya yang menurutmu keterlaluan. Akibatnya, kalian jadi tontonan gratis satu mall.

Bisa juga, kamu diam saja tapi balas dendam, dengan berlaku persis sama, malah kegatelan. Misal, main mata dengan cowo keren, pasang bahasa tubuh yang menggoda dan terang-terangan di depan mata pacar kamu. Diam sih, ga keluar kata-kata keberatan, tapi perilakumu menyatakan sebaliknya.

 

Contoh kedua, misal kamu dan temenmu. Kalian sobatan akrab. Walau begitu, ada beberapa kebiasaan temenmu yang bikin kamu kesal. Seperti, pinjam duit, banyak pula, tapi lewat dari waktu yang dijanjikan, dia diem aja. Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, atau belagak lupa kalau dia pernah pinjam. Dan kamu tahu persis, dia bukan orang fakir. Kebiasaan buruknya yang lain misal, tanpa ijin sama sekali membuka-buka file pribadimu, meminjam tanpa ijin barang-barangmu, malah yang paling keterlaluan, dia flirting dengan pacarmu !! Ketika ditanyain, dia berkilah, dia biasa aja ga ada maksud godain.

Nah lo, apa yang kamu lakukan ?? Dia sahabat baikmu lho. Bagaimana caramu menyatakan keberatan itu ?? Diam saja tapi dongkol setengah mati, atas nama persahabatan dan ogah ribut ?? Atau langsung memutuskan tali persahabatan ??

 

Contoh ketiga, misal kamu lagi bete antre di kasir supermarket. Antrian panjang yang biasa terlihat di bulan Ramadhan, apalagi menjelang berbuka. Tapi kamu lega, karena antrian di depanmu tinggal beberapa orang lagi. Tiba-tiba, nyelonong gadis cantik mempesona di depanmu, enak banget lansung potong antrian, ikutan antri di depanmu. Ketika kamu tanya, alasannya, dia Cuma belanja beberapa barang saja.

Langsung meledak marah atau diam saja walaupun dongkol, dan oke, karena dia cantik. Coba kalo jelek, wuah, jangan-jangan reaksimu beda lagi. :p

 

Lagi-lagi, tak bisa dielakkan, dalam bergaul dan bersosialisasi dengan orang lain, ga bisa lepas dari yang namanya konflik. Dalam postingan sebelumnya, sempat disinggung tentang diagram alternatif respon terhadap konflik. Selain itu juga sempat disinggung mengenai posisi psikologis yang mendasari pemilihan alternatif respon terhadap konflik tersebut.

 

ANALISIS TRANSAKSIONAL

 

Posisi psikologis merupakan istilah yang lazim dalam metode Analisis Transaksional yang dikembangkan oleh Eric Berne. Latar belakangnya adalah Eric Berne memandang bahwa komunikasi yang terjadi antara dua orang, galibnya adalah sama dengan proses transaksi.

 

Ketika seseorang berkomunikasi dengan pihak lain, yang terjadi adalah si A bermaksud menyampaikan keinginannya dan kebutuhannya, serta mencoba mempengaruhi orang lain (si B) supaya si B mau mendengarkan, memperhatikan, memahami, dan mau berbuat seperti yang diinginkan si A. sebaliknya, si B dalam berkomunikasi dengan si A juga bersikap sama dengan si A.

Karena tiap individu mempunyai harapan dan keinginan yang seringkali berbeda, untuk mempertemukannya biasanya terjadi semacam proses tawar menawar. Kondisi seperti inilah yang disebut Eric Berne sebagai transaksi. Proses transaksi ini tak semua bisa berjalan mulus, seringkali malah saling melukai dan menyakiti, seperti contoh konflik dalam uraian di atas atau postingan sebelumnya.

 

Analisis Transaksional (AT), menurut Eric Berne merupakan metode untuk menganalisis atau menemukan pola mana saja yang berperan dalam sulit atau mudahnya proses transaksi/komunikasi. AT ditawarkan oleh Eric mengikuti teori psikoanalisis Sigmund Freud dan penemuan kerja otak dari Broca dan W. Penfield antara aktivitas otak dan perilaku manusia.

 

Menurut Penfield, otak manusia sejak bayi sudah mampu merekam berjuta-juta pengalaman tentang perasaan, pandangan, sikap, perilaku, dll. Pengalaman yang tertanam sejak bayi hingga dewasa ini untuk selanjutnya disebut sebagai egostate.

Berne mengelompokkan rekaman pengalaman tersebut menjadi kelompok pesan-pesan norma Orang Tua (egostate Orang Tua) dan kelompok reaksi perasaan Anak (egostate Anak). Kedua egostate tersebut dalam keseharian berebut untuk tampil dalam proses komunikasi. Sulit untuk melepaskan diri sepenuhnya dari kedua egostate tersebut, apalagi egostate tersebut sebenarnya adalah rekaman perbendaharaan mengenai berbagai cara yang individu lakukan dalam menghadapi / menyelesaikan masalah, entah itu berhasil atau tidak.

Berne menawarkan alternatif cara untuk menyadari egostate tersebut dan mengontrol dan mengendalikannya sepenuhnya. Egostate tersebut adalah egostate Dewasa. Individu yang sehat adalah mereka yang mampu menggunakan egostate-nya sesuai dengan situasi dan kondisi, yaitu ketika egostate Dewasa dalam posisi dominan sehingga mampu memilih egostate mana yang sesuai dengan situasi tertentu.

 

Misal, ketika lagi bermanja-manja dengan pacar, boleh lah kita memakai egostate Anak, tapi kalau terus-menerus memakai egostate Anak, pacar bisa kabur karena merasa tidak pacaran dengan kita tapi seperti sedang menjadi baby sitter anak kecil.

Atau misal, ketika dalam suatu meeting penting, rapat komite khusus untuk menentukan sikap terhadap suatu kebijakan. Eh, karena opini kita ditolak, kita ngotot untuk memaksakan opini yang kita anggap benar tersebut dan kita jadi berang, marah-marah, bahkan naik ke meja dan meninju pimpinan rapat, hehehe.

 

Dalam kehidupan sehari-hari, ketiga egostate sering bertentangan satu dengan yang lain. Umumnya, cara yang paling ideal adalah memakai egostate Dewasa, yang mampu menerima dan menyalurkan keinginan Anak dan Orang Tua secara proporsional. Karena itu, menurut psikolog dan terapis Dr. Salim A Sungkar menyatakan :

 

USE YOUR ADULT, PLEASE

 

Bukan, be adult. Mengapa ?? Karena sering kita saksikan, mereka yang berusia lebih dari 20 tahun, yang di Indonesia termasuk kategori dewasa (ingat pengkategorian film, hehehe), ternyata usia mentalnya belum dewasa. Dr. Salim A Sungkar menyatakan, mental tak akan menjadi dewasa hingga egostate Dewasa menjadi dominan dibanding egostate Anak dan Orang Tua.

 

Selain itu, selama proses interaksi dengan orang lain yang terus terjadi dari masa bayi, membuat individu merekam semacam kesimpulan tentang diri sendiri dan orang lain, yang menjadi dasar keputusan sikap hidupnya. Secara singkat bisa dirangkum dalam empat macam kemungkinan, yang juga disebut sebagai Posisi Psikologis, yaitu :

 

  • Saya Tidak Oke – Kamu Oke
  • Saya Tidak Oke – Kamu Tidak Oke
  • Saya Oke – Kamu Tidak Oke
  • Saya Oke – Kamu Oke

 

Dalam berkomunikasi antara tiga egostate tersebut, ada tiga kemungkinan transaksi yang terjadi, yaitu :

 

  • Transaksi komplementer : jika kedua belah pihak mampu memberikan respon yang saling diharapkan.

Misal, A : sedang dimana, Sayang ?

         B : masih di kantor nih, Mah, rapat. –> egostate yang sama

Atau, X : mengapa semester ini penjualanmu menurun ?

         Z : maaf, Pak, saya kesulitan dengan ketatnya persaingan pasar. –> egostate yang berbeda

 

  • Transaksi silang : jika kedua belah pihak tidak memberikan respon yang masing-masing harapkan.

Misal, C : Kok kamu ga pernah posting lagi, sih, Sayang ?

         D : Eh, suka-suka gw dong, mo posting kek, mo enggak kek, bodo !!

 

Transaksi ini yang paling rentan konflik, seperti yang sudah diungkap di postingan sebelumnya.  Ketika pihak lawan memberikan respon silang atau jawaban yang tak diharapkan, maka sebenarnya terbuka peluang bagi pihak pertama untuk memberi jawaban silang juga atau memberi jawaban yang komplementer untuk memperbaiki keadaan tidak enak.

Bagi pihak pertama yang cepat menyadari (transaksi) apa yang terjadi dan memiliki kemampuan untuk memahami (fleksibel, empati, easy going), maka dia mampu untuk memberikan jawaban yang komplementer.

 

Misal, bagaimana dengan situasi berikut :

C : Kok kamu ga pernah posting lagi, sih, Sayang ?

D : Eh, suka-suka gw dong, mo posting kek, mo enggak kek, bodo !!

C : Eh, ditanya baik-baik kok nyolot sih, mau kamu apa, heh ?? Nantang ??

 

Atau situasi seperti ini :

C : Kok kamu ga pernah posting lagi, sih, Sayang ?

D : Eh, suka-suka gw dong, mo posting kek, mo enggak kek, bodo !!

C : Sayang, aku kaget nih, denger jawaban kamu. Ada apa, Sayang ?? Lagi bad mood ??

 

Hmmm…what do you think ???

 

  • Transaksi terselubung : maksudnya adalah, apabila ada maksud yang tidak tersirat dibalik ungkapan.

Misal, ketika hendak menyindir seseorang, kita sering memakai transaski seperti ini. Ketika flirting pun, tanpa sadar, kita memakai transaksi seperti ini juga.

 

Contoh yang romantis, yaitu antara pasangan yang baru menikah, ketika suasana sedang hangat-hangatnya bulan madu. Ketika sang suami mendapati istrinya yang sama sekali tidak bisa memasak, mencoba memasak untuk makan malam bersama, ia akan tersenyum dan memuji usaha istrinya dan mengajak untuk makan malam di luar.

 

Oke, sampai disini dulu kuliah Interpersonal Conflict Management, hehehe.

Dengan Analisis Transaksional, seyogyanya (karena penulis adalah orang Yogya, mungkin kalau orang Surabaya akan menulis sesurabayanya :mrgreen: ) kita mampu mengenali egostate yang kita pakai dalam berkomunikasi dan mengenali jenis transaksi apa yang kita gunakan.

Harapannya adalah, mampu meminimalisir atau meredam konflik yang timbul karena gesekan-gesekan yang tak selaras dari hubungan antar individu.

Penulis sih, bersemboyan, tidak ada masalah yang tidak bisa dibicarakan, atau dengan kata lain, SEMUA BISA DIBICARAKAN, GITU AJA KOK REPOT :mrgreen: .