Ungkapkan Rasa Sayang dengan Helm

contoh bonceng ga dipakein helm

Pagi ini sewaktu berangkat ke kantor naik ojek langganan, aku melihat pemandangan yang bikin miris. Sebenarnya udah sering sih lihat pemandangan seperti pagi tadi, di Jogja pun juga sering banget lihat. Walau begitu, tetep aja rasanya miris dan kesel, ga habis pikir.

Jadi yang kulihat pagi tadi adalah seorang ibu naik motor memboncengkan anak perempuannya, kira-kira SD sekitar kelas 3-4 gitu. Si bocah ini ga dipakein helm apapun, padahal si ibu melaju cukup kencang. Udah gitu, jalan yang dilewati termasuk jalan protokol yang ramai dan rata-rata semua kendaraan ngebut kalau lewat jalan situ. Miris dan ngeri membayangkan kalau ada apa-apa.

Sambil melihat ke bocah yang duduk memeluk pinggang ibunya, aku mikir, ini si ibu sayang anaknya ga sih. Aku membayangkan, kalau misal ditanya, “Ibu sayang ga sama putri ibu?” pasti dijawab, “Ya sayanglah, saya kan ibunya.” Tapi kalau ditanya, “Kalau sayang, kenapa Ibu gak makein helm ke putri Ibu sewaktu mboncengin motor? Kepikir ga kalau ada apa-apa, bagaimana nanti putri Ibu?” kira-kira dia jawab apa ya, hmmm.

Seringkali kita hanya sebatas tahu suatu kata tapi tidak paham makna kata tersebut, bentuknya seperti apa. Seperti kata ‘sayang’. Kalau dari contoh di atas, si ibu pasti mengaku sayang sama anaknya. Yang menjadi misteri, mengapa ia tidak berpikir untuk melindungi si anak dari bahaya kecelakaan. Jadi ‘sayang’ menurut si ibu, itu yang gimana sih? Ga mungkin dong, sekadar pernyataan di bibir doang.

Jadi teringat, beberapa waktu lalu pernah ngobrol dengan teman, dia cowo dan bapak dari satu balita. Aku iseng nanya, dia sayang ga sih ama anaknya. Dijawab, “sayang lah,” tapi dia kesulitan menjelaskan sayang yang gimana. Aku curious, secara pekerjaan dia membuatnya jauh dari anaknya dan jarang banget untuk bisa ketemu ama anaknya. Pengin tahu aja sih, bagaimana dia mengartikan sayang dan mewujudkan rasa sayang tersebut. 

Eh menurut kalian, rasa sayang itu harus/perlu diwujudkan ga sih? Kalau iya, memasangkan helm ke anak ternyata bisa menjadi perwujudan rasa sayang ya. Berarti, helm bisa dilihat sebagai wujud kongkrit rasa sayang dong, iya gak?

Btw dari browsing-browsing, ternyata Senin 5 November lalu sempat ada Konferensi Anak Indonesia, tema untuk 2012 ini adalah Keselamatanku di Jalan. Nah, ayo dong ayah, bunda, aak, tante, om, demi keselamatan bersama nih, saling menjaga, dan tentu aja mulai dari diri sendiri.

 

Gambar 

 

Angkutan Umum Kelas VIP untuk Jakarta?

 

Ide postingan ini muncul saat pulang kantor sore ini, hasil dari melamun di metromini. Kebetulan sekarang kantor agak jauh dari kos, walhasil musti naik kendaraan umum, secara ga ada kendaraan pribadi. Sengaja ga bawa dari Jogja, males banget kudu nyetir di kemacetan Jakarta, belum perawatan, bensin, kos juga ga ada garasi sehingga kalau markir di depan kos, dan lain-lain yang bikin ribet.

Sebelumnya antara kos dan kantor cukup ditempuh dengan jalan kaki aja, cuma 10 menit. Dengan jarak kos ke kantor sekarang yang ‘cuma’ 8 km, kalau jalan kaki ya mrongos aja, tapi kalau naksi kok boros banget. Situasi tersebut akhirnya memaksa aku untuk merasakan sendiri naik kendaraan umum metromini, setelah setahun lebih di Jakarta belum pernah naik metromini, kopaja, dkk. Sebelumnya kalau naik kendaraan umum yang sifatnya massal, cuma berani naik Trans Jakarta. Alasannya, serem, ngeri, khawatir dengan keselamatan diri (ancaman copet) kalau naik metromini dkk itu.

 

Alasan naik metromini ditambah dengan fakta, rute busway masaoloh jauhnya, dua kali musti transit, dan bakalan luamaaaa di jalan. Waktu itu tahu ada jalur metromini juga karena diberitahu teman, bahwa jalur kos-kantor sebenarnya enak, karena ada metromini yang sekali jalan udah langsung sampai, ga harus pindah-pindah.

Singkat cerita setelah merasakan sendiri angkutan umum kelas metromini, ada beberapa catatan yang sayang kalau disimpan sendiri. Pengalaman naik beberapa jenis angkutan umum juga menyadarkan bahwa sebenarnya Jakarta ini udah memiliki modal untuk menanggulangi masalah lalu lintas, yaitu sistem transportasi umum. Hanya aja, sistem transportasi umum yang ada sekarang bener-bener kedodoran untuk pelayanan dan maintenance-nya. Parah banget dah pokoknya. Padahal problema utama Jakarta, MACETTT, bisa teratasi dengan modal tersebut. Transportasi umum bisa menjadi jalan keluar, sayangnya potensi ini diabaikan lamaaaa sekali oleh pemerintah, entah sengaja atau gimana.

 

 

Kembali ke soal pengalaman pribadi merasakan berbagai angkutan umum di Jakarta. Semoga catatan ini berguna di belantara jalanan yang macetnya kejam. Saya memberi beberapa rekomendasi berdasar apa yang saya rasakan dan alami:

Taksi, mempunyai kelebihan untuk kenyamanan dan reliabilitas cukup baik. Reliabel dalam arti, mudah ditemui alias banyak. Kelemahannya, jika kena macet, ya sama saja seperti mobil pribadi, cuma bisa pasrah. Dan siap-siap aja argonya melonjak drastis kalau macet. Belum lagi kalau ketemu supir yang ga ngerti jalan, duh itu bikin bete banget.

Ojek, mempunyai kelebihan cepat karena relatif anti macet (karena bisa meliuk-liuk di tengah kepadatan lalu lintas), juga mudah ditemui. Jika sedang keburu-buru untuk janjian sementara lalu lintas sedang padat, ojek sangat disarankan. Yang menyebalkan dari ojek adalah, kadang bisa lebih mahal dari taksi untuk situasi normal, karena kasih tarif seenaknya. Musti pinter nawar deh. Oh ya kelebihan lainnya adalah umumnya mereka lebih ngerti jalan/rute dibanding supir taksi.

Transjakarta. Selama ini adanya busway sangat membantu. Haltenya ada di mana-mana. Bisa lebih nyaman dari yang ada sekarang, jika pemeliharaan diseriusi. Udah lumayan banget ada ACnya, cuma ya gitu deh. Yang paling menyebalkan adalah reliabilitasnya kurang bisa diandalkan. Bisa aja nunggu lebih dari 30 menit menanti busway datang, dan tidak ada pemberitahuan alasan mengapa busway ga datang-datang. Ngantrinya jadi lamaaaa banget, ini sangat menyebalkan. Mustinya tiap 5 menit, ada. Armada kurang juga membuat penumpang menumpuk, sehingga tak beda dengan metromini. Padahal dengan adanya jalur khusus busway, jelas bebas macet.

Metromini dan sebangsanya. Kelebihannya adalah, dia sangat murah, cuma dua ribu, jauh dekat. Untuk rute yang saya tempuh sehari-hari, metromini jauh lebih cepat daripada naik taksi apalagi kalau lagi padat lalu lintasnya. Entah gimana, metromini punya caranya sendiri melawan kemacetan. :facepalm:

Padahal jalur kantor-kos itu lumayan padat dan jam-jam pulang kantor pasti macet. Tapi metromini bisaaa aja mengatasinya dan waktu tempuhnya jadi cukup cepat. Beberapa cara yang dipakai metromini mengatasi kemacetan adalah naik jalur busway dan ‘memaksa’ mobil-mobil lain untuk mengalah jika sang metromini hendak lewat. Ciyus, dipaksa! Si kernet turun dan kemudian menstop-menghalau mobil-mobil untuk berhenti sehingga metromini bisa melenggang. :facepalm:

Kelemahannya adalah, metromini reliabilitasnya rendah. Kemunculannya ga bisa diprediksi, hampir sama seperti TransJakarta. Bisa gitu, setiap 10 menit ada, tapi bisa juga menunggu lebih dari 30-45 menit baru muncul, itupun padaaaat banget. Kelemahan lainnya seperti kita tahu, bejubel persis sarden dan armadanya juga parah abis. Sopirnya cara bawanya juga ngawur ngebutnya.

Dari pengalaman ini jadi mikir, metromini sebenarnya cukup bisa diandalkan juga sebagai angkutan umum di tengah kemacetan. Tapi banyak pengguna kendaraan pribadi yang males naik metromini karena alasan kenyamanan dan keamanan. Andai ada metromini kelasnya super eksekutif gitu, asyik juga kali ya. BerAC, nyaman, cepat, tiap dua menit ada. Trus keamanan juga terjamin karena pengamen dan penjaja ga bisa masuk. Serem je kalau ada peminta-minta naik, trus menyilet-nyilet tangan sendiri, sembari setengah ngancem kalau ga dikasi duit maka silet tersebut bisa melukai.

Jadi dari awal memang angkutan umum masal bis ini diniatkan khusus untuk kelas eksekutif, yang ga keberatan membayar 10-20 ribu, asal nyaman, aman, bisa diandalkan.

Persoalan sekarang kenapa pemilik kendaraan pribadi ogah beralih ke kendaraan umum, kan ya karena faktor kenyamanan itu. Males berdesakan, males keringetan. Ditambah copet, pengamen, dsb. Ga heran, macet masih terus ada walau gubernurnya ganti. Lhawong penyumbang kemacetan ya kita sendiri, lebih memilih pakai kendaraan pribadi daripada beralih ke angkutan umum. Tapi ya gimana berminat naik angkutan umum, kalau kondisinya seperti itu. Bener-bener lingkaran setan.

Cepet Tua di Jalan Raya

Beberapa waktu terakhir ini, berada di jalanan, menyetir/bawa kendaraan, sungguh merupakan stressor tingkat tinggi yang berefek instan. Marah, gusar, jengkel, meledak, frustrasi, etc etc segala emosi negatif yang bikin cepat tua. Ga salah sama sekali alias benar, kalau saya bilang jalanan bikin saya cepet tua. Lha gimana nggak, saya marah-marah melulu kalo lagi nyetir. Semua gara-gara kelakuan pengguna jalan lain yang minus etika jalan raya.

Seperti malam ini. Di perempatan Tugu, ada bapak-bapak dengan cerdasnya memarkir mobil tepat di pengkolan sebelum belokan kekiri. Padahal disitu juga merupakan perempatan yang ada lampu lalu lintas. Pas lampu merah masih nyala, pas saya lewat. Sebelah kanan mobil penuh dengan mobil dan luberan motor. Dan dikiri, saya tidak bisa langsung belok (kekiri jalan terus) karena bapak-bapak yang memarkir mobil dengan sangat cerdas itu. Saya berhenti ditengah-tengah, karena jalan sangat sempit dan kalau saya teruskan, sepertinya mobil bapak tersebut akan menggesek body mobil saya.

Saya muntab. Saya turunkan jendela dan berteriak, “Pak, parkirnya pinter banget, sih. Cerdas banget ya, Pak,” sambil saya pelototi si bapak.

Bapak tersebut balik memandangi saya dan menjawab, “Kan masih lebar gitu.”

Woooo….rasanya pengen saya beset pake paku itu body mobilnya. Saya cuma bisa misuh-misuh memuji kecerdasan bapak itu.

Beberapa hari lalu, saya juga harus mencuci mulut saya dengan air tujuh kali plus pasir, gara-gara kelakuan pengendara motor yang sangat-sangat minus. Kejadiannya di Tajem, Maguwoharjo. Jalanan di desa tersebut memang mempunyai tikungan yang sangat tajam, sehingga pas kalau dinamai dusun Tajem. Sudah begitu, aspalnya tidak rata (mungkin karena struktur tanahnya, mungkin juga karena kualitas aspal yang kurang bagus) dan relatif sempit untuk dua jalur mobil. Setiap lewat situ, saya pasti di gigi 2, bahkan 1, karena harus extra pelan dan hati-hati.

Nah dikondisi seperti itu, ada motor lewat dari arah berlawanan. Dari arah saya, jelas terlihat motor yang dinaiki dua pemuda mebo tanpa helm itu nyalip mendahului mobil dan motor lain. Ngebut pula. Pas nyalip itu dia memakai jalur yang berlawanan arah dan jaraknya cukup dekat dengan mobil saya. Saya perlambat kecepatan sambil mengklakson keras. Weeelha, dua kroco tersebut tidak memelankan laju motornya dan dalam jarak yang cukup dekat berada didepan mobil saya. ‘Sayangnya’ mereka masih dilindungi Gusti Allah, sehingga bisa menghindar dan membanting arah masuk jalurnya lagi. Untung, kendaraan-kendaraan dibelakang mereka bisa memperlambat lajunya, walau mungkin sambil misuh-misuh. Wuah, udah. Saya waktu itu muntab banget. Dan ya gitu, sampai musti mensucikan mulut saya.

Dan ada banyak contoh-contoh lain, yang kesemuanya menunjukkan betapa minus dan lemahnya kesadaran pengguna jalan atas etika lalu lintas. Tidak motor, tidak mobil, ndak becak, ndak penyeberang jalan. @$%^$^%&U^T*%E$@

Mengapa, oh, mengapa kesadaran untuk beretika di jalan raya itu sedemikian rendah?

Kuncinya cuma satu kok, saling menjaga dan lebih baik saling mengalah. Urusannya nyawa, bung. Atau paling sedikit, cacat, luka. Jadi pilih mana? Saling menjaga di jalan raya atau menyerahkan nyawa kita kepada orang lain?

Notes. Tahukan Anda, apa saja etika di jalan raya itu? Sudahkan Anda mempraktekannya?

Kecelakaan Lagi? Siapa yang Bertanggung jawab?

kecelakaan

Pictures courtsey of Yulay.

Tanggal 5 Juli 2009 terjadi kecelakaan antara kereta Prameks dan minibus di lintasan kereta api Desa Pokak, Ceper, Klaten. Kecelakaan tersebut merenggut korban jiwa 15 orang (ada media yang menyebut 14 orang) dan beberapa luka-luka. Kronologisnya, menurut harian Radar Jogja, minibus yang membawa rombongan keluarga pengantin yang hendak menghadiri pesta perkawinan tersebut nekat melewati lintasan rel kereta api walau sudah diingatkan oleh pengendara sepeda motor. Nahas, di tengah-tengah lintasan, minibus tersebut mogok sementara jarak kereta api terlalu dekat untuk mengerem. Akibatnya, kecelakaan tak terelakkan.

Postingan ini bisa jadi sudah lewat kalau dilihat dari segi aktualnya. Saya sengaja, untuk mengingatkan kembali kepada pembaca akan peristiwa tersebut. Dari apa yang saya baca, KNKT (Komite Nasional Kecelakaan Transportasi) berjanji akan melakukan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait atas penyelidikan terhadap peristiwa tersebut. Hingga sekarang, saya masih menunggu bagaimana hasilnya dan pengaruhnya terhadap kesadaran pihak-pihak terkait. Seharusnya sih, saran rekomendasi tersebut semakin meningkatkan tingkat keamanan (dan kenyamanan?) para pengguna transportasi umum.

Bagi saya, berbagai berita tentang kecelakaan moda transportasi umum yang terjadi kemarin-kemarin ini sudah terlalu banyak. Tetapi mengapa sepertinya tidak ada yang belajar dari pengalaman, masih saja terjadi kecelakaan. Sebagai warga Negara, saya merasa berhak untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan keselamatan penumpang kendaraan umum (dan tentu saja hak mendapatkan keamanan dan kenyamanan sebagai konsumen).

Mencermati berita di surat kabar lokal Kedaulatan Rakyat, diceritakan bahwa sebelum kecelakaan terjadi, beberapa penumpang sudah menangkap keanehan dengan kendaraan yang mereka tumpangi. Beberapa kali mesin mogok dan dua kali mengalami pecah ban dalam. Tetapi oleh penumpang yang selamat tersebut, kejadian tersebut dianggap sebagai firasat. Saya berpendapat lain. Kesaksian penumpang tersebut bisa menjadi indikasi adanya ketidakberesan penyelanggara Negara (instansi) yang terkait dengan transportasi umum.

Pendapat saya ini berdasar atas logika sederhana saya. Jika bis yang saya tumpangi dalam perjalanan mengalami mogok dan pecah ban dalam, tetapi nekat untuk terus laju jalan, bagaimana keselamatan dan keamanan penumpang? Apakah sopir dan pemilik kendaraan memikirkan hal tersebut? Kalau saya jadi penumpang, kondisi mesin yang sampai mogok dan pecah ban tersebut pasti membuat saya deg-degan. Lhawong kalau saya nyetir kendaraan pribadi dan merasakan keanehan dengan kendaraan, saya langsung khawatir kalau ada apa-apa di jalan. Apalagi sampai mesin mogok dan ban dalam pecah, ini menyangkut keselamatan, jelas.

Selain itu, menyangkut pemeliharaan kendaraan, bagaimana bisa sampai mesin mogok dan ban dalam pecah tetap ‘dipaksa’ jalan? Apalagi ini transportasi umum, dalam hal ini PO Hadi Mulya adalah perusahaan jasa. Mereka menawarkan jasa angkutan ke konsumen. Konsumen berhak mendapatkan apa yang menjadi haknya, termasuk keselamatan (kalau soal kenyamanan, untuk angkutan umum kelas ekonomi sepertinya masih jauh deh).

Setahu saya, untuk kendaraan umum begini, diberlakukan semacam uji kir untuk menguji kelayakan kendaraan. Uji kir ini merupakan tanggung jawab DLLAJR (Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya). Uji kir ini diperlukan untuk memenuhi pengawasan keselamatan pada pelayanan angkutan umum, di samping memberi jaminan berusaha dan kesempatan bersaing yang adil bagi pengusaha.

Berdasar dari bincang-bincang dengan seorang teman yang mempunyai pick up, dia mempunyai kewajiban untuk menyertakan kendaraannya tersebut untuk di uji kir (keur) setiap tahunnya. Uji kir tersebut dilakukan di kantor DLLAJR di wilayah masing-masing. Uji kir meliputi mesin, rem gas, spion, ban, lampu, wiper, hingga uji emisi kendaraan. Tak heran jika uji kir satu kendaraan cukup lama karena jika dilakukan sesuai ‘SOP’ ada banyak hal yang mesti diperiksa. Hasil uji kir yaitu semacam stiker yang dilekatkan di badan kendaraan yang menandakan bahwa kendaraan tersebut layak jalan.

Kembali ke angkutan umum, saya jadi heran dan bertanya-tanya. Dengan kondisi minibus nahas tersebut (yang menurut saya kondisinya termasuk mengkhawatirkan) bagaimana mungkin minibus tersebut bisa lolos uji kelayakan? Saya buta tentang perbengkelan, tetapi tidakkah terdeteksi jika ada yang tidak beres dalam mesin sewaktu pemeriksaan? Jika sudah begini, siapa yang paling bertanggung jawab, sehingga angkutan umum yang seharusnya tidak layak jalan masih bisa berkeliaran di jalan-jalan?

Mengutip dari situs ini, disebutkan bahwa kehadiran anggota DLLAJR di jalan-jalan bertanggung jawab untuk melindungi kepentingan masyakat akan angkutan yang legal dan lebih terjamin keselamatannya, sesuai UU No 14/92 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Selain itu, pihak pemilik kendaraan, seharusnya juga ada tanggung jawab moral dan etika bisnis, di mana tidak hanya memikirkan keuntungan materi tapi juga hak-hak konsumen.

Jika ada yang menuding pihak PT. KAI bertanggungjawab dalam hal ini, lebih baik kita melihat kembali UU No 23/2007 tentang Perkeretaapian, Bab X Pasal 124. Di situ disebutkan bahwa:

pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api.

Postingan ini tidak bermaksud untuk menyalahkan siapa-siapa. Saya hanya ingin mengingatkan (kecenderungan kita untuk mudah lupa) bahwa di balik kecelakaan yang merenggut nyawa ini, masih ada persoalan dasar yang belum terselesaikan. Mudah-mudahan dengan kesadaran kita sebagai warga Negara (termasuk sebagai konsumen) maka dapat mendorong terwujudnya pelayanan angkutan umum yang lebih baik terhadap penumpangnya. Bentuk kongkretnya adalah angka kecelakaan semakin mengecil dan kalau bisa zero accident. Amiin!!

Foto-foto berkaitan dengan kecelakaan bisa dilihat pada flickr milik Yulay.

Psikologi Jalanan

Lagi, saya membicarakan tentang lalu lintas. Jogja, sebagai kota yang terkenal dengan ungkapan ‘Berhati Nyaman’, karena keadaan lalu lintasnya semakin terasa tidak nyaman lagi beberapa tahun terakhir ini. Banyak faktor urun rembug menyumbang ketidaknyamanan ini, mulai dari perilaku pengguna jalan, kepadatan lalu lintas, hingga ulah oknum-oknum dari institusi terkait.

Saya ingin Jogja menjadi kota yang ramah terhadap keluarga, khususnya terhadap ibu dan anak-anak (weits, sebentar, ini bisa jadi tema kampanye yang bagus lho. Visioner bukan? :mrgreen: ). Salah satunya mengenai lalu lintasnya. Saya tidak ingin Jogja yang semakin berkembang, perkembangannya menuju ke arah seperti megapolitan Jakarta. Hell no!! Bila Jogja berubah menjadi Jakarta, akan berapa banyak kerugian material dan immaterial yang terbuang sia-sia di jalanan, dan berimbas pada family well-being.

Belum ‘separah’ Jakarta saja, saya sudah merasakan betapa sering saya mengalami stress di jalanan. Menjadi cepat marah lah, deg-degan lah, tegang, dll. Emosi-emosi negatif tersebut cukup menguras energi positif. Jika saya tidak bisa mengendalikan diri, orang lain atau sekitar saya juga yang kena.

Selain itu, sering saya membaca / mendengar keluhan mengenai keadaan lalu lintas. Dari yang sekedar mengeluh curhat hingga yang memaki-maki dengan ucapan setajam sembilu. Banyak dari pihak yang mengeluh tersebut, menyalahkan pihak lain. Polisi misalnya. Yang mata duitan lah, yang males lah, dll. Sangat sedikit (atau malah belum pernah denger ya?) yang merujuk pada kelakuan diri di jalanan. Berkaca, sampai di mana etika saya berlalu lintas. Pakde bilang kepada saya di postingan tersebut, it takes two to tango.

Saya jadi teringat pengalaman beberapa tahun lalu ketika di Perth. Waktu itu saya mendapat kepercayaan untuk mengemudikan sedan. Wah, belum fasih di tanah air, sudah harus menyetir di luar negeri lagi. Agak jiper tentu saja. Tapi yang menarik, pihak yang memberi saya kepercayaan (Mas Arief? Where are you?), dia tidak menceramahi saya teknik-teknik mengemudi, tetapi malah sibuk memberi pengarahan cara / etika berlalu lintas. Misal, jika hendak melewati persimpangan, mobil harus melambat. Harus mendahulukan penyeberang jalan. Menyalakan sein jika belok (hello, ini kan sudah basic alias dasar banget, kenapa saya harus dikasih tahu?). Dan beberapa etika lain yang saya lupa. 😛

Kata Mas Arief yang sudah jadi permanent residen di Perth, biasanya pengendara di Perth tertib sekali. Jika ada yang agak ugal-ugalan itu biasanya malah turis. Dan turis Indonesia terkenal dengan perilakunya yang tidak sabaran dan suka nyalip-nyalip. Benar saja, baru pegang stir, saudara saya dengan jahil mengajarkan untuk cuek saja. Nanti jika distop polisi dan ditanya-tanya, tinggal jawab, “Me no english, tourist, tourist. No english, dont understand.”   😆

Kalau dengar cerita-cerita mereka-mereka yang sering berkendara di luar negeri, biasanya perilaku tertib yang tidak begitu mereka terapkan di tanah air, otomatis mengikuti perilaku berkendaraan negara setempat. Begitu kembali ke selera asal, balik deh serampangan.    😆

Ada apa ya, mengapa begitu, locus of control-nya external sekali.

Saya juga bukannya suci dari perilaku macam ini. Apalagi jika saya terburu-buru (padahal keburu-burunya ya salah saya juga sih). Hingga suatu ketika saya tersadar. Sampai kapan menyalahkan orang lain terus sementara diri ini tidak melakukan kontribusi perubahan. Seringkali, atas nama ‘kemudahan’, ‘ga mau repot’, dll memberikan kontribusi yang cukup besar atas keruwetan jalan raya.

Beberapa hari yang lalu, saya teledor dalam berlalu lintas. Karena melamun dan hati lagi dongkol, saya lupa masuk ke jalan yang seharusnya satu arah. Apes banget, pas ada polisi patroli. Kena tegur lah, saya. STNK disita dan bapak polisi yang ramah tersebut mengatakan, untuk mengambilnya di pos polisi tempat dia berada. Tidak jauh dari tempat saya teledor.

Selesai menyelesaikan urusan saya, saya segera ke pos polisi yang terletak di perempatan Tugu tersebut. Ngobrol-ngobrol, polisi tersebut memberikan dua pilihan, untuk sidang atau diselesaikan di tempat. Sejenak hati saya ingin protes dan melakukan pembelaan, ‘Pak, saya melamun Pak, masak langsung sidang, bla-bla-bla.’

Tapi menurut saya ini momentum. Datar, saya iyakan saja untuk bersidang. Memang saya yang salah, ngalamun. Heiiiii, nyetir itu kompleks banget, menyangkut keselamatan orang lain dan diri sendiri kok ngalamun. Ya sudahlah, saya yang salah. Bapak polisi yang baik itu sepertinya heran (atau kecewa?) dan menanyakan domisili saya. Ternyata karena saya warga dekat-dekat situ juga, Pak Polisi yang ramah itu membebaskan saya dan katanya, oke kali ini sebagai peringatan saja. Lain kali agar saya lebih berhati-hati.

Wah, tentu saja saya surprise dan setelah itu dari mulut saya malah meluncur alasan-alasan ga penting, yang ngalamun lah, yang apa lah. :mrgreen:

Pak Polisinya mah senyum-senyum saja mendengar cerita saya. Keluar dari pos polisi, saya tersenyum sendiri. Ada pelajaran berharga yang saya dapat hari itu.


Yang jelas, etika berlalu lintas itu sangat penting. Bagaimana dengan kamu, tahukah kamu apa saja etika berlalu lintas itu ? Tahukah kamu apa saja fungsi lampu-lampu yang ada pada kendaraanmu ? Tahukah kamu gunanya spion ? Jika belum, ummm…..    *pentung-pentung*

*kampanye berlalulintas yang baik dan benar itu dimulai dari diri sendiri. Yess….*