pecel sayang, pecel cinta

Tanggal 21-23 April lalu, saya berkesempatan mengunjungi Caruban, Madiun, untuk suatu pekerjaan. Kesempatan tersebut tak saya sia-siakan untuk berburu kuliner khas daerah setempat. Ternyata asik sekali lho^^

Kota Caruban, berdasar info yang saya peroleh, sedang berbenah karena menjadi kota administratif Kabupaten Madiun. Sejauh mata memandang, kotanya memang mungil, tapi cukup bersih di sepanjang jalan utamanya. Masih banyak terdapat toko-toko dengan wajah lama, seperti Malioboro era 80an akhir (toko Samijaya, toko Wien, toko roti Djoen, pokoknya toko-toko lama penghuni Malioboro sebelum berubah wajah karena pembangunan mall). Sayang sekali, saya lupa mengabadikan. Tetapi walau kecil, cukup ramai karena merupakan jalan utama menuju kota Surabaya. Selain itu, aktivitas perdagangan juga cukup ramai, melihat kesibukan toko-toko dan kios-kios.

Sebelumnya, saya mendapat info, kalau ke Caruban untuk menikmati bothok tolo. Sayang sekali, saya tidak menemukannya. Yang mudah ditemui adalah pecel. Dari pagi hingga malam, warung pecel banyak yang buka di setiap sisi jalan. Awalnya agak aneh ketika tahu di Caruban, pecel pun untuk makan malam. Apa gak mbedhedheg (apa ya, istilah Indonesianya….seseorang, plis koreksi ??) makan rebusan sayur malam-malam ?? Setelah mencoba sendiri, woooow, ternyata ni’mat (lafal qolqolah :mrgreen: ) tenaaaannnn.

Warung pecel yang direkomendasikan adalah Pecel nDeso. Setelah tanya sana-sini, ternyata yang dimaksud adalah warung pecel Bu No, yang terletak persis di pinggir jalan utama. Kalo ga salah jl. Sudirman. Warung ini buka mulai pukul 15.00 hingga malam. Selain pecelnya yang khas dengan lauk kikil yang dimasak manis seperti bumbu bacem, terdapat beberapa lauk opsional, seperti ayam kampung goreng, lidah sapi masak manis, iso goreng, paru goreng, lapis daging sapi, dan empal.

Pas pertama masuk, saya sudah ngiler demi melihat jejeran lauk pauk plus aroma sambel pecel. Apalagi disapa dengan kenes oleh Mbak No, yang rupanya generasi kedua dari Bu No. Satu lagi yang membuat makan pecel di warung ini begitu istimewa, karena keramahan dan kekenesan penjualnya. Semua tamu tak peduli laki ato perempuan, disapa dengan β€˜ Sayang’ dan β€˜Cintaku’. Hati siapa yang tak berbunga-bunga disapa penuh manja oleh perempuan cantik ?? πŸ˜†

ngileeerrrr…….mengandung banyak kolesterol tapi……. (^0^)

” Halo Sayangku…..Cintaku…..hari ini mo pecel apa, Cintakuuuu ??? “

Saya segera pesan pecel kikil plus lauk lidah sapi. Cara menghidangkan ternyata unik, pakai pincuk. Dan cara makannya, pincukan tersebut diudhari alias dilolosi biting atau tusuk lidinya, dan di ler (di geletakkan) di meja. Saya bener-bener hypersaliva demi melihat kombinai yang begitu cantik, antara nasi putih panas yang masih mengepul, sayur-sayuran lengkap dengan bunga turi dan wangi kemangi, disiram sambel pecel yang pedas-pedas nagih, plus disiram kuah kikil, lauk, dan kondimen berupa kerupuk karak dan peyek kedele.

dibuka…..

ditelentangkan untuk dinikmati….

*no komen*

Wah…..saya langsung merem melek, tiada bersisa. Mau nambah tapi kok malu, hehehe. Ternyata teman-teman merasakan hal yang sama, maksudnya dengan sedhep alias lezatnya cita rasa pecel Bu No ini. Hingga keesokan harinya, sepulang dari acara dan hendak menuju Jogja, kami sempatkan mampir sekaligus beli oleh-oleh sambel pecel. Kedatangan yang kedua ini pun sama, porsi saya habis tak bersisa ^^.

Selain pecel, saya juga sempat menjumpai kejutan yang menyenangkan ketika sarapan. Pagi itu, sebelum menuju RSD Kabupaten Madiun, kami mencari-cari warung makan yang buka pada pagi itu. Setelah muter-muter sebentar, kami memutuskan untuk singgah di warung makan yang menu utama juga pecel. Sayang saya lupa nama warungnya dan lokasinya. Tapi tidak terlalu jauh dari hotel Asri tempat kami menginap.

Kejutannya adalah, saya menjumpai menu garang asem di warung ini. Ketika saya buka bungkus daun pisangnya, wala, ternyata beda dengan garang asem gaya Jogja yang berkuah bening. Di Caruban, garang asemnya berkuah santan. Setelah saya cicipi, biarpun bersantan tapi sama sekali enggak eneg. Karena paduan belimbing wuluh dan cabe rawit yang cukup murah hati.

Jadilah pagi itu saya merem melek lagi menikmati sarapan yang bercita rasa gurih asam segar plus pedas. Waduh buneeee…..pengen maning^^

Sudah begitu, warung tersebut jadi satu dengan rumah tinggal, yang bernuansa tempo doeloe. Aduh…berasa nostalgia masa kecil, ketika diajak ke tempat budhe/bulik. Ada pajangan wayang kulit segala di dinding^^

Terus, ketika saya pesan air putih, aromanya sangat khas. Yaitu air rebusan dandang. Yang begini ini mengingatkan saya ketika dijamu di desa atau di Pesantren Lempuyangan Jogja.

Ketika lagi asyik masyuk menikmati sarapan tersebut, tak sengaja menatap papan reklame yang cukup mencolok di seberang jalan.

” Bothok tawon ”

Waduh !!!! Harus nyoba nih !!!

Sayang seribu sayang, karena pagi itu warungnya belum buka, juga didesak waktu, kami belum berjodoh untuk icip bothok (larva) tawon yang konon gurih. Ga jadi happy end, deh… 😦

*ngiler mbayangin pecel, garang asem, sambel tumpang, soto lenthuk, soto kudus….*

*loh, kok malah nyidam begini banyak ???*

” mbak, mbak, ilernya dilap dulu, mbak….netes-netes tuh…”

serba sambal

Siang tadi, saya mendapatkan pengalaman yang menarik sewaktu makan siang nyaris sore.

Jadi ceritanya, sehabis diskusi materi untuk proyek mendatang di Caruban Madiun, perut yang sudah berkeruyuk minta diisi membuat saya terpaksa muter-muter cari makan. Dasar rewel, makan siang yang sudah telat (jam 15) saja pake banyak pertimbangan. Salah satunya adalah, ingin mencoba tempat makan baru, mumpung lagi sendirian dan ga banyak diprotes.

Dari Pandega Marta – Jakal – Kampus UGM – Deresan, akhirnya saya terdampar di Deresan. Sebuah tempat makan baru yang menjual menu aneka sambal. Bukan hal yang baru sih, tapi tempatnya cukup catchy, etnik banget dan naturalis(bata ekspose dan bentuk joglo). Disitu saya pesen pepes bandeng bakar dan sambel iris plus es beras kencur (waduh, lupa ku foto).

Sambel iris ini mirip sambel matah Bali, jadi cabe, bawang merah, serai, tomat hijau diiris-iris dan dicampur dengan minyak jelantah. Segar, gurih, dan PEDAAAAASSSSSS !!!! Saya benar-benar tobat. Untung, perut ga rewel, setelah seharian belum diisi.

Gara-gara ini saya jadi mikir, sepertinya stereotype kuliner Jogja adalah serba manis, akan tergeser menjadi serba pedas. Betapa tidak, dalam beberapa tahun terakhir ini, warung-warung makan yang menjual sensasi mulut megap-megap kepedasan, makin menjamur saja. IMO, pelopornya adalah warung SS itu. Ownernya saya akui, sangat kreatif dan inovatif, ciri enterpreneur sejati. Dia mampu melihat peluang, digabung dengan kesukaannya dan diolah sedemikian rupa, sehingga hal yang biasa (sambal) menjadi luar biasa.

Dalam beberapa tahun, jejak warung SS diikuti oleh produk me too alias ikut-ikutan jualan sensasi sambal. Yang mengherankan, warung-warung tersebut laris manis tanjung kimpul. Seperti juga warung penyetan Banyuwangi, yang pepesnya naudzubillah pedasnya, laris manis juga. Wah,wah,wah, rupanya ada pergeseran lidah orang Jogja, yang manis-manis doyan pedas. Padahal, dulu waktu ikutan kursus tentang Food and Beverage, kata pemateri yang chef Hotel Quality bilang, kl di Indonesia ini, makin ke timur citarasa masakannya pedas asin. Makin ke barat, pedas berempah dan bersantan.

Omong-omong tentang sambal, ternyata tiap daerah punya ciri khasnya masing-masing. Saya paling suka dengan cita rasa sambal yang segar, seperti sambal dabu-dabu atau sambal matah. saya sangat terkesan sewaktu pertama kali ke Ambon dan disuguhi menu serba ikan plus sambal dabu-dabu. Sambalnya bikin merem melek. Hanya irisan cabe dan bawang merah, dicampur peresan jeruk lemon (kalo gak salah). Justru kesederhanaannya itu yang bikin nikmat luar biasa. Sensasi pedas kecut, sungguh segaaaaarrrrr, bikin mabuk dan ketagihan (mungkin karena saya juga penyuka cita rasa asam). Sayang, saya belum pernah nyoba sambal dabu-dabu Manado yang melegenda itu.

Nah sambel segar lainnya adalah sambal matah, seperti yang saya deskripsikan di atas. Pernah nyoba sambal matah bikinan orang Bali asli. Pertama waktu gempa Jogja, teman-teman sukarelawan dari Bali masak-masakan seperti semacam urap (aduh lupa namanya) dan menthog, yang aduhai lezat sekaliiii pus tak lupa sambelnya. Kedua, sewaktu menghadiri pernikahan sahabat di Tabanan Bali. Wah, saya bener-bener merem melek nyaris orgasme, hehehe.

Sambal matah Bali ini, IMO, mirip dengan sambal beberuq Lombok. Maksudnya, serba segar dan diiris-iris. Belum pernah ?? Wah kudu nyoba !!! Dengan ayam taliwang, wahhhhhh….tak terkatakan….

Sambel-sambel lain yang bercita rasa manis seperti sambal bajak, sambel kecap, yah suka juga. Paling enak dengan menu serba gorengan ato bakaran. Sambal yang bercita rasa kencur, wah itu unik dan sedap banget. Apalagi sambel yang dicampur dengan irisan mangga ato kweni. Btw, tadi sempet liat warung yang sedia sambel kweni di sekitar jakal, wah harus dicoba tuh. Mungkin perlu eksperimen, sambal stroberi, sambal belimbing, wah kayak apa ya ??

Hmmmm…jadi terobsesi untuk mengumpulkan bermacam aneka resep sambal dari seluruh nusantara^^

oleh-oleh dari bandung (pt. two) : kopdar, kuliner, sampah

Menyambung postingan gw kemaren, yang melulu negatif (sedih dan muak), tentu saja selalu ada sisi positif. Seperti yin dan yang, seperti siang dan malam. Puh, kok jadi sok puitis begini ??

Jadi, perjalanan ke Bandung ini, bisa dikatakan adalah kebetulan a la The Alchemist, Celestine Prophecy, atau The Secret, yah aliran-aliran nu age itulah. Karena, sejak beberapa kali ikutan event kopdar raya yang diselenggarakan Cah Andong dan dihadiri oleh bloger tamu termasuk dari Bandung, timbul hasrat untuk ganti silaturahmi. Hanya saja, selalu terbentur masalah waktu dan perijinan (plus dana, hahaha). Nah, momen ini seperti….seperti apa ya, wah pokoknya kebetulan banget deh. Jadinya momen ini nggak gw sia-siakan untuk ber-kopdar ria dengan batagor-batagor Bandung^^.

Sayang, seribu sayang, karena suatu sebab, momen kopdar yang saya bayangkan bisa berlangsung dua malam berturut-turut (malam sabtu dan malam minggu), ternyata Cuma bisa malam sabtunya aja. Mengapa ?? Karena sabtu siang, kami sudah meninggalkan Bandung. Hik….rasanya sama sekali belum puas deh, menjelajah Bandung, hikz….

Tapi, tak mengapa. Jumat malam itu, akhirnya bisa kopdar dengan batagor Bandung, walo belum semuanya. Hanya ada Kang Agah, Catur, Mas Koen, Debe, dan tentu saja Kang Harry. Lagi-lagi kaum tomat menjadi minoritas, walhasil, adek gw, Dewo terpaksa pupus harapan, demi harapannya yang tak kesampaian untuk berjumpa dengan mojang Priangan yang terkenal geulis….

Baca lebih lanjut