Setelah dibagian pertama membincang latar belakang masalah dan hipotesisnya, sekarang kita akan membicarakan karakteristik berbagai social media untuk menemukan solusi atas pertanyaan kita 😀
Ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan sehubungan untuk memahami serba-serbinya berkomunikasi di era socmed ini:
- Karakter tiap socmed itu berbeda
Misal, twitter itu bersifat lebih terbuka. Maksudnya, suatu diskusi/pembicaraan tidak terlokalisir seperti halnya tret plurk, sehingga dalam timeline lazim terjadi suatu pembicaraan tercampur dengan obrolan lain.
Mereka yang tidak sabaran/konsentrasi, sangat mudah terdistorsi dalam memaknai pembicaraan.
Selain itu interaksi di twitter tidak seintensif diplurk. Maksudnya, kita bisa saja sering sekali update status tanpa harus khawatir membanjiri timeline teman (flooding) karena apdetan kita dalam 10 menit sudah tenggelam ditimpa apdetan orang lain. Tetapi hal ini hanya berlaku bagi timeline mereka yang following lebih dari 200 orang. Kalau hanya 10 orang yang diikuti, ya tentu tidak.
Tentang batasan sampai seberapa sering kita boleh update status tanpa mengganggu orang lain, memang tidak ada batasan baku. Disini kepekaan & kesadaran diri yang memegang kendali.
Komunikasi di twitter tidak menuntut adanya conversation yang intensif. Kita memang senang kalau twit kita ada yang menanggapi, tetapi ketika tidak ada yang menanggapi pun, tidak begitu masalah. Lain halnya dengan plurk yang memang menuntut adanya interaksi, karena tiap tret ada kolom respon. Jika tret yang kita buat lebih banyak tanpa respon, rasanya sepi sendiri tiada yang menemani… *lebay lagi*
Jika dimisalkan mungkin seperti hidup berdampingan tapi tidak ada yang mengajak bicara sama sekali.
- Motivasi yang melatarbelakangi seseorang ketika membuat suatu akun socmed
Pada akhirnya, memang tergantung motivasi seseorang, apa tujuan dia membuat suatu akun. Apakah untuk nyampah/katarsis, untuk ajang eksistensi, untuk interaksi / networking, untuk share, untuk senang-senang, dll. The underlying motives ini yang mewarnai bagaimana dia berperilaku di socmed sehari-harinya. Misal, ada yang getol mencari follower atau bagaimana. Tetapi menurut saya, motivasi ini bisa berubah seiring waktu.
Juga, penting diketahui dan dicamkan baik-baik, untuk terjun ke suatu socmed sama saja terjun/berinteraksi dengan crowd disitu. Ini soal cocok-cocokan saja, tidak usah memaksakan untuk terjun semua. Atau jika ingin terjun kesemua, kenali dulu karakter masing-masing, sehingga bisa berperilaku berkomunikasi sesuai tempatnya.
Solusi untuk komunikasi yang lebih sehat:
–Â Â Â Â Â Â Â Â Â Harus peka, menyimak baik-baik (ini termasuk kemampuan listening), dan kemampuan pengamatan yang baik, untuk bisa menangkap apa yang tak terlihat/tersirat.
–         Pengendalian diri/awareness. Seringkali kita merasa ‘aman’ bahwa kita terlindungi topeng, sehingga jauh lebih bebas dalam menuliskan apa yang kita rasakan.
FYI, ada yang namanya TMI alias Too Much Information. Memang tidak ada aturan bakunya dan kadang-kadang bersifat sangat subjektif. Apalagi mereka yang berkarakter ekstrovert atau ingin nyampah, cenderung lebih terbuka mengungkapkan hal-hal personal.
–Â Â Â Â Â Â Â Â Â Khusus untuk pengguna twitter, harus paham twitter usability, yaitu memeras apa yang ingin disampaikan dalam maksimal 140 karakter (fanabis, 2010).
Untuk diskusi silakan saya buka di bawah. Lagipula ini hanya asumsi, tidak didasarkan pada riset sama sekali. Jadi sangat terbuka untuk dikoreksi 😀
Notes.
–Â Â Â Â Â Â Â Â Â Mengenai komunikasi brand, itu beda lagi. Tapi yang perlu digarisbawahi, konsumen senang kalau komplen-nya atau apapun, ditanggapi dengan cepat oleh brand ybs. Brand itu bisa produk atau person loh.
–Â Â Â Â Â Â Â Â Â Mengenai pencitraan, sekali lagi, tergantung motivasi awal si pemilik akun. Kalau untuk branding, jelas butuh pencitraan. Tetapi, IMO, kejujuran/otentik itu lebih disukai. Jadi, sudah sinkronkah antara di socmed dan real life?
–         Masing-masing socmed, seperti misal plurk dan twitter, punya caranya sendiri untuk mendongkrak ‘ego’ pemilik akun (aduh, lupa namanya). Contohnya sistem karma diplurk dan jumlah follower di twitter. Hal ini disadari/tidak menciptakan ‘kasta’ dalam dunia socmed dan cenderung mengakibatkan kecemburuan sosial.