Komunikasi di era 2.0: Lebih Sulit atau Lebih Mudah? (2)

Bagian I-nya disini.

Setelah dibagian pertama membincang latar belakang masalah dan hipotesisnya, sekarang kita akan membicarakan karakteristik berbagai social media untuk menemukan solusi atas pertanyaan kita 😀

Ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan sehubungan untuk memahami serba-serbinya berkomunikasi di era socmed ini:

  • Karakter tiap socmed itu berbeda

Misal, twitter itu bersifat lebih terbuka. Maksudnya, suatu diskusi/pembicaraan tidak terlokalisir seperti halnya tret plurk, sehingga dalam timeline lazim terjadi suatu pembicaraan tercampur dengan obrolan lain.

Mereka yang tidak sabaran/konsentrasi, sangat mudah terdistorsi dalam memaknai pembicaraan.

Selain itu interaksi di twitter tidak seintensif diplurk. Maksudnya, kita bisa saja sering sekali update status tanpa harus khawatir membanjiri timeline teman (flooding) karena apdetan kita dalam 10 menit sudah tenggelam ditimpa apdetan orang lain. Tetapi hal ini hanya berlaku bagi timeline mereka yang following lebih dari 200 orang. Kalau hanya 10 orang yang diikuti, ya tentu tidak. :mrgreen:

Tentang batasan sampai seberapa sering kita boleh update status tanpa mengganggu orang lain, memang tidak ada batasan baku. Disini kepekaan & kesadaran diri yang memegang kendali.

Komunikasi di twitter tidak menuntut adanya conversation yang intensif. Kita memang senang kalau twit kita ada yang menanggapi, tetapi ketika tidak ada yang menanggapi pun, tidak begitu masalah. Lain halnya dengan plurk yang memang menuntut adanya interaksi, karena tiap tret ada kolom respon. Jika tret yang kita buat lebih banyak tanpa respon, rasanya sepi sendiri tiada yang menemani… *lebay lagi* :mrgreen:

Jika dimisalkan mungkin seperti hidup berdampingan tapi tidak ada yang mengajak bicara sama sekali.

  • Motivasi yang melatarbelakangi seseorang ketika membuat suatu akun socmed

Pada akhirnya, memang tergantung motivasi seseorang, apa tujuan dia membuat suatu akun. Apakah untuk nyampah/katarsis, untuk ajang eksistensi, untuk interaksi / networking, untuk share, untuk senang-senang, dll. The underlying motives ini yang mewarnai bagaimana dia berperilaku di socmed sehari-harinya. Misal, ada yang getol mencari follower atau bagaimana. Tetapi menurut saya, motivasi ini bisa berubah seiring waktu.

Juga, penting diketahui dan dicamkan baik-baik, untuk terjun ke suatu socmed sama saja terjun/berinteraksi dengan crowd disitu. Ini soal cocok-cocokan saja, tidak usah memaksakan untuk terjun semua. Atau jika ingin terjun kesemua, kenali dulu karakter masing-masing, sehingga bisa berperilaku berkomunikasi sesuai tempatnya.

Solusi untuk komunikasi yang lebih sehat:

–          Harus peka, menyimak baik-baik (ini termasuk kemampuan listening), dan kemampuan pengamatan yang baik, untuk bisa menangkap apa yang tak terlihat/tersirat.

–          Pengendalian diri/awareness. Seringkali kita merasa ‘aman’ bahwa kita terlindungi topeng, sehingga jauh lebih bebas dalam menuliskan apa yang kita rasakan.

FYI, ada yang namanya TMI alias Too Much Information. Memang tidak ada aturan bakunya dan kadang-kadang bersifat sangat subjektif. Apalagi mereka yang berkarakter ekstrovert atau ingin nyampah, cenderung lebih terbuka mengungkapkan hal-hal personal.

–          Khusus untuk pengguna twitter, harus paham twitter usability, yaitu memeras apa yang ingin disampaikan dalam maksimal 140 karakter (fanabis, 2010).

Untuk diskusi silakan saya buka di bawah. Lagipula ini hanya asumsi, tidak didasarkan pada riset sama sekali. Jadi sangat terbuka untuk dikoreksi 😀

Notes.

–          Mengenai komunikasi brand, itu beda lagi. Tapi yang perlu digarisbawahi, konsumen senang kalau komplen-nya atau apapun, ditanggapi dengan cepat oleh brand ybs. Brand itu bisa produk atau person loh.

–          Mengenai pencitraan, sekali lagi, tergantung motivasi awal si pemilik akun. Kalau untuk branding, jelas butuh pencitraan. Tetapi, IMO, kejujuran/otentik itu lebih disukai. Jadi, sudah sinkronkah antara di socmed dan real life?

–          Masing-masing socmed, seperti misal plurk dan twitter, punya caranya sendiri untuk mendongkrak ‘ego’ pemilik akun (aduh, lupa namanya). Contohnya sistem karma diplurk dan jumlah follower di twitter. Hal ini disadari/tidak menciptakan ‘kasta’ dalam dunia socmed dan cenderung mengakibatkan kecemburuan sosial.

(N)Etiket di Plurk (dan Social Media Lainnya)

Kalau selama ini banyak postingan blog yang menulis aturan dan tata krama ‘bermain’ di twitter terkait dengan banyaknya ‘pelanggaran’, di plurk ternyata juga butuh aturan lho.

Oke, bisa jadi plurk sudah beberapa lama ini kehilangan pamornya, kalah oleh twitter yang gegap gempita oleh kehadiran seleb dunia maya maupun dunia nyata. Jangan salah, plurk masih bertahan. Kalau dalam lingkaran pertemanan saya, yang masih aktif di plurk biasanya adalah para loyalis plurk yang sudah kadung cinta dengan akrabnya interaksi di plurk. Mereka sudah menjalin persahabatan (ceileh) yang cukup lama yang berawal dari ngobrol di plurk. Teman memang bertambah, tapi biasanya karena sudah terjalin interaksi di tret orang atau sudah sering melihat/membaca respon ybs diberbagai tret, lalu tertarik untuk meng-add dan –wala- akhirnya berteman di plurk.

Meski dua hal demikian adalah faktor yang membuat plurk ‘eksklusif’ tak berarti tak ada wajah-wajah baru di plurk. Sehubungan dengan wajah-wajah baru di plurk, ternyata fenomena ngalay juga ditemukan di plurk. Begitu juga dengan efek sampingnya, penyalahgunaan plurk sebagaimana halnya dengan twitter. Tetapi plurk-abusing agak berbeda dengan twitter. Jadi di plurk, yang mengganggu adalah respon plurker-plurker ABG itu. Biasanya mereka minta direspon balik dengan kata-kata: “resback”“respon balik eaaa”“r e s p o n” dengan ditulis satu-satu perhuruf. Mereka dalam menge-plurk isi tretnya kebanyakan berisi, “respon dong” dsb yang mirip-mirip seperti itu.

Nah tret plurk Mas Yahya mengingatkan kembali fenomena ngalay tersebut. Sebelumnya harap dicatat, penggunaan kata ngalay disini tidak bermaksud mendiskreditkan/melecehkan kelompok tertentu. Pemilihan kata tersebut sengaja karena bisa menggambarkan fenomena tertentu yang lazim disebut alay dimasa sekarang.

Jadi Mas Yahya pagi tadi ngeplurk, bahwa ia merasa ga pede latihan bareng orang lain yang cukup talented, setelah sekian lama tidak pegang gitar. Disini jelas, isi plurk Mas Yahya itu adalah mengungkapkan kegalauannya. Plurker yang peka, tentu saja akan memberikan respon/jawaban yang sesuai dengan stimulus, yaitu bersimpati/memberi dukungan. Tetapi ada satu plurker yang merespon dengan emot ceria (tidak nyambung dengan isi tret) dan “respon”. Dan tidak cuma satu kata tapi banyaaaak. Setelah ditelisik, ternyata ia memberi respon sejenis ditret-tret lainnya, betul-betul nggak ada yang nyambung dengan tret. Isi plurknya pun setali tiga uang, kalau nggak “respon dong” ya plurk tentang karma. Bahkan yang berisi curcolan pun jarang, jadi jangan harap menemukan plurk yang inspiratif.

Tentu saja ini menggelitik saya. Maksudnya begini, saya sebagai plurker yang aktif semenjak tahun 2008 (lupa), saya merasa bahwa kegunaan plurk adalah untuk menjalin interaksi/komunikasi, seperti halnya media sosial lain. Kegunaan lain dari plurk yang sangat saya suka adalah, interaksi/percakapan yang terjadi bisa mengarah ke diskusi. Walau begitu, tidak semua interaksi di plurk bersifat serius, banyak pula terjadi percakapan yang bisa menjurus ke silaturahmi atau bahkan curhat/minta pendapat. Nah dengan adanya fenomena ngalay begini, membuat saya heran, apa ya yang ada dalam benak mereka ketika join plurk. Apalagi ketika mereka bersinggungan dengan komunitas plurk yang tidak meng-alay, tapi mereka dalam berinteraksi masih bertahan dengan gaya alay-nya.

Ada satu catatan, beberapa waktu lalu diberi link oleh Hera. Link tersebut adalah tret plurk seseorang, yang isinya biasa saja sih, curhatan katarsis dia. Nah ada plurker yang merespon ngalay, lalu ditegur oleh yang lain, memberitahu bahwa model berinteraksi seperti itu tidak sepantasnya di plurk. Plurk adalah untuk menjalin interaksi, silaturahmi, diskusi, insight, bukan sekedar mengejar karma. Lhadalah, plurker yang ditegur tersebut tidak terima dan bersikap defensif. Yang terjadi, respon ditret tersebut berlanjut hingga 1000an respon. Malah si plurker tersebut seperti disudutkan beramai-ramai oleh komunitas plurker yang tidak setuju dengan gayanya si plurker.

Dalam hal ini sebenarnya ada issu lain yang lebih serius, daripada sekedar bagaimana merespon yang baik dan benar di plurk. Yaitu tentang bagaimana mengasah kepekaan terhadap orang lain, kemauan untuk ‘mendengarkan’ orang lain, dan respect/penghormatan kepada orang lain. Saya jadi agak prihatin dengan kelakuan plurker (maupun tweeple juga sih) yang tidak menghiraukan netiket, dan ketika diberitahu masih juga bertahan dengan sikapnya. Dari ngobrol-ngobrol dengan beberapa plurker, ternyata ada issu lain yang lebih besar. Masalahnya tidak sesederhana yang saya kira.

Dibalik fenomena ngalay tersebut ada issu tentang minimnya pendidikan karakter yang diterima remaja Indonesia sekarang, kurikulum sekolah di Indonesia yang terlalu berat tapi hanya terfokus untuk mengasah aspek kognitif saja, aspek afektif dan konatif diabaikan, juga interaksi antara anak, orang tua, lingkungan sekolah, hingga masyarakat. Dari obrolan tersebut, terungkap juga, bahwa menjadi orang tua sekarang tantangannya sungguh berat. Setiap pilihan yang harus mereka ambil semua mengandung resiko yang cukup berat.

Katakanlah kita menuduh anak-anak yang kepekaan sosialnya rendah dikarenakan orang tua yang tidak becus mendidik, terlalu sibuk bekerja. Lha, ternyata orang tua bekerja juga demi pendidikan (formal) si anak, demi supaya bisa sekolah di tempat yang baik dll. Konsekuensi pendidikan yang bagus di era sekarang adalah biaya yang mahal. Untuk itu orang tua harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan yang satu itu. Belum ternyata kurikulum di sekolah tidak mendukung si anak mengembangkan EQ, SQ , dan AQ.  Ternyata tidak sesederhana seperti yang  dilihat semula, bukan?

Lantas bagaimana kita harus bersikap terhadap pengguna socmed yang bersikap ngalay? Melihat reaksi tret plurk yang sampai seribuan hanya untuk memberitahu seorang remaja belasan tahun, mungkin yang bisa kita lakukan adalah mendengarkan mereka lebih dulu, menyelami dunia mereka, untuk mendapatkan pemahaman. Namanya juga beranjak remaja, lhawong anak TK saja sudah pandai membantah je, apalagi remaja, dikasih tahu apa yang baik untuk dirinya. Ego yang sedang besar-besarnya tentu menolak nasehat-nasehat dari orang tak dikenal tersebut.

Saya juga ndak suci sih, saya sering kok emosi ples geregetan kalau menghadapi yang model seperti itu. Tetapi senyampang ingat, tidak apa bukan kalau mengingatkan, hihihi. Nanti saya juga boleh kok, diingatkan.

Jadi siapa bilang plurk udah ketinggalan jaman? Plurk asik tauk, untuk diskusi dan mendapatkan insight. *kabur*

PS. thank you berat untuk jazzaddict yang udah berbaik hati mencarikan tret gila-gilaan tersebut  😆