Manusia Maha Adil dan Penyayang

Baru hari Sabtu siang ngetwit prediksi reaksi masyarakat terkait peristiwa pemboman Paris dan Beirut, eeehhh beneran aja mulai hari Minggu timeline udah rame dengan reaksi yang udah diprediksi sebelumnya. “Mereka” ini gampang ditebak, perilakunya gampang diduga.

Ini twit yang kuposting Sabtu siang, urutan bacanya dari bawah:

image

Twit itu berangkat dari pemikiran dan pengamatan, setiap kali ada warga yang bergerak atau beropini maka akan ada kontranya. Sebenarnya sangat wajar dan ya begitulah dinamikanya, ga ada yang mengejutkan. Yang membuatku merenung adalah kontra yang tipenya menuntut orang lain untuk menyelesaikan dan mikirin semua masalah di dunia.

Misalnya nih, yang udah lamaaaa terjadi. Ketika pecinta binatang bergerak terhadap isu kesejahteraan hewan dan against animal abuse, maka selalu ada komentar-komentar seperti :
– Ngapain bantu hewan, manusia aja banyak yang masih kesusahan
– Halah duitnya buat kucing kampung, trus gimana tuh nasib orang gila dan gelandangan? Mending duitnya buat mereka.
– Kenapa cuma kucing? Kenapa ga ayam? Tuh banyak ayam dan sapi disembelih tiap hari. Ngomong dong, belain juga.
– Dll.

Zzzzzzzz cape deeee. Niatnya ngetroll doang, ga ada niat baik sedikitpun dari komentator semacam ini. Aku belajar untuk mengabaikan mereka, lebih baik fokus energi ke niatan semula daripada buang-buang energi meladeni mereka.

Kemudian situasi bencana yang menimpa manusia. Komentar kayak gini juga ada lho, jangan salah.

Yang kupikirkan adalah, orang-orang ini menuntut orang lain untuk menyelesaikan semua masalah dan menuntut orang lain bersikap maha adil.  Mereka menuntut kita untuk mikirin semua persoalan di dunia. Buat apa? Buat menyenangkan mereka lah, karena sebenarnya mereka tidak tertarik dengan apa yang sudah kita lakukan dan sedang lakukan. Ga penting buat mereka.

Satu lagi, mereka menuntut kita bisa bersikap maha adil, tapi apakah mereka sendiri udah bersikap adil dan objektif? Ada beberapa golongan yang hanya berempati jika agamanya sama, satu agama pun harus dari aliran yang sama, ideologi politik yang sama, dan jumlah statistik. Korban satu nyawa kurang nendang bagi mereka. Korban beda aliran, sah-sah aja buat mereka karena korban adalah golongan yang berbeda dan karena sebab itu pantas menjadi korban.

Di satu sisi mikir, memang faktanya dunia ini ga adil. Kalau kamu aware, opini kita tu banyak dipengaruhi faktor luar. Kita sebagai individu aja punya bias, apalagi media, mereka punya kepentingan. Tapi kalau kamu aware, maka hati kecilmu akan tahu ada yang sifatnya hakiki dan beyond social media, beyond berita, beyond media, bahkan beyond agama. Namanya kemanusiaan.
Selain itu faktor lain adalah kejujuran. Apakah kamu sudah jujur dengan dirimu sendiri? Apakah kamu sadar, kesinisanmu disetir oleh perasaan kamu lebih baik dari yang lain atau betul-betul kesedihan/kepedulian.

Menyenangkan semua orang itu mustahil. Apalagi mikirin semua masalah di dunia, bisa meledak kepala kita, depresi dan suicidal. Yang penting, be the change you want to see in the world. Kalau kamu merasa kejadian di Paris tidak merepresentasikan Islam yang ramah, ya bersikap baiklah dengan teman-teman Syiah, Ahmadiyah, penganut kepercayaan dsb. Kamu ga sadar, ujaranmu bilang “Syiah bukan Islam” bisa berujung kemana? Simpan aja lah pikiran itu untuk dirimu sendiri, bukan urusanmu. Itu urusan keimanan, urusan sama Tuhan.

Kalau selo, bisa juga baca-baca kegelisahanku di tumblr:

Masih sah gak menyandang nama ‘Restlessangel’? 😁😁😁

Softselling vs Hardselling

Ini postingan pertama saya di Tahun Ular Air, yeeeyy. Apdet blog yang sifatnya rada-rada terpaksa, kalau orang Jawa bilang, kahanan. Ya gimana lagi, pulang kantor, udah deket terminal Blok M, eehhh hujan turun dengan derasnya plus angin kencang. Musti neduh dulu. Thus terdamparlah saya di sebuah tempat makan yang lumayan cozy dan surprise-nya, menunya cukup lezat. Spaghetti aglio olio, fish and chips, dan mix juice wortel-belimbing tanpa gula. Surprise karena saya ga pernah berharap akan dapat makanan enak di tempat seperti Blok M Square.

Eh tapi saya apdet bukan untuk membahas kuliner. Jadi ini adalah upaya dokumentasi pikiran saya, yang satu ini udah berkecamuk beberapa hari ini. Terpikir ketika saya sedang melamun di kamar mandi (ha, selalu deh. Ga heran kamar mandi is my bank of idea).

Mungkin ada kaitannya dengan dunia pekerjaan yang saya tekuni sekarang, juga keseharian saya yang nyaris ga lepas dari social media. Bahkan arena pergaulan saya kebanyakan kongkownya dengan teman-teman dari dunia dihital. Salah satu topik yang selalu seru untuk diperbincangkan yaitu pro-kontra twit berbayar. Sebenarnya pro-kontra ini udah lama sih, sejak dua tahunan lalu kali ya.

Yang kontra alasannya karena banyak twit-twit yang jadi semacam hidden-agenda dan mereka merasa ditipu/dimanfaatkan. Semakin kesini, yang saya amati, audience (jieee, tapi sepertinya pilihan katanya kurang tepat) udah makin bisa membedakan mana twit berbayar/campaign dan yang twit random. Biasanya jika ada hashtag-hashtag dan tiba-tiba banyak yang ngetwit (apalagi jika yang ngetwit circle selebtwit), makin curigalah audience. Yang pro alasannya karena ya ini profesi dan halal, nggak seperti koruptor atau calo. 

Udah banyak juga sih, saran-saran seperti penggunaan hashtag #ad untuk twit campaign/berbayar. Tapi di Indonesia sendiri, kulihat belum populer ya. Udah ada beberapa yang menggunakan, tapi di timeline-ku masih dikit banget, brand yang mau begitu apalagi. Untuk strategi campaign sendiri, diantara teman-teman dihital juga banyak yang saling mengkoreksi. Singkatnya ketika strategi campaign itu agak-agak kurang etis, biasanya social punishment udah berjalan dengan sendirinya. Eh istilah social punishment untuk konteks ini betul ga ya, hahaha. Abisnya, biasanya banyak yang mencerca di publik gitu.

Terkait buzzer, ini juga topik tersendiri yang cukup seru. 2013 dan masih ada lho, perdebatan tentang hal satu ini. Tapi kulihat, makin kesini orang makin maklum walau sebenarnya dongkol. Pemaklumannya lebih karena gak enak, kebanyakan teman sendiri, dan itu adalah penghidupan orang. Sebelnya mereka karena dinilai twit-twitnya jualan melulu. 

Disini saya keknya perlu menggali lebih jauh sih, ‘jualan melulu’ itu sebenarnya apa. Sebelnya kenapa. Karena toh, setiap hari setiap detik kita dikepung iklan, mulai dari iklan tv/radio/cetak hingga reklame. Nyepam sebagai bentuk jualan memang menyebalkan, tapi apakah ngebuzz seperti nyepam? Ada yang bilang, terlalu hardselling itu menyebalkan dan nggilani. Softselling konon lebih bisa diterima. Tapi saya berpikir, kalau softselling tujuannya adalah supaya ga terlalu kentara jualan, lalu gimana dengan strategi campaign yang awalnya dikira bukan bagian dari campaign brand tapi ternyata bagian dari campaign brand. Softselling apa nggak lebih dari suatu bentuk ‘penipuan’ dalam bahasa paling sopan, karena toh ujung-ujungnya jualan. Kenapa tidak dengan hard-selling yang dari awal emang kentara jualan. Itu suatu bentuk kejujuran tersendiri lho, dari awal orang udah mahfum kalau twit hardselling pasti jualan jadi orang lebih bisa mengambil sikap. Kalau softselling rentan menempatkan orang di posisi ngambang.

Eh pikiran random tadi konteksnya jualan di twitter lho ya, bukan iklan komersial di TV/media. Kalau iklan-iklan TV yang hardselling mah emang norak, macem sozzis-sozzis-an itu. Well, ini sekadar pikiran dan wondering seorang restlessangel. Masih angel kan, belum devil? Hehehehe…

Sepertinya hujan sudah berhenti. Semoga. Yang jelas, restoran ini sudah mau tutup. :mrgreen:

 

Hunian Sederhana dan Mimpi untuk Karangasem

image

image

image

image

image

Saya tertegun sewaktu berdiri di bibir jurang desa ini. Sulit membayangkan kondisinya sewaktu desa ini masih utuh. Banjir lahar dingin menerjang Desa Karangasem beberapa kali, mengamblaskan separo desa, menyisakan tebing jurang. Mental orang Jawa, walau separo desa hilang, sawah kebun rumah amblas, masih merasa beruntung, “untung gak ada korban jiwa, untung ternak bisa diselamatkan.”

Saya berdiri di bibir jurang. Jarak antara tempat saya berdiri hingga ke bawah dimana Kali Putih mengalir, setinggi 14 meter. Serius saya sulit membayangkan tempat ini dulunya bagaimana. Konon katanya aliran Kali Putih sudah berubah. Kalau diwaktu mendatang lahar dingin menerjang lagi, beberapa kelokan tebing akan runtuh. Beberapa rumah sudah mepet dengan bibir tebing. Tinggal tunggu waktu saja sampai rumah tersebut ikut longsor.
Masih tertegun, saya tersentak ketika diberitahu bahwa banjir lahar dingin yang menerjang Karangasem ini terjadi Oktober 2010. Ohmy, sekarang Juni 2011. Itu kejadian sudah sekian bulan lalu…

Tujuhbelas rumah amblas. Sekarang sudah dibangun, delapan hunian sederhana. Tanpa bantuan pemerintah sama sekali. Tinggal sembilan hunian lagi. Kalau kata mas Karman, ini kampung sosmed, karena rumah yang berdiri atas bantuan warga social media. Rumah sederhana berdinding sebagian anyaman bambu, sebagian batako/batu bata. Kusen, pintu, batu bata/batako, sebisanya memanfaatkan apa yang tersisa dari rumah yang amblas. Rata-rata per-unit menghabiskan 4 juta rupiah. Sebagian dibangun di atas kebun sendiri, sebagian disewakan tanah.

Sore itu angin lembut menyisir kulit. Menjelang magrib di akhir obrolan, Mas Karman sempat mengungkapkan mimpinya.
“Selesai pembangunan hunian sederhana ini, PR saya selanjutnya adalah pendidikan. Ternyata banyak anak warga Karangasem yang bersekolah hanya sampai SMP. Ketiadaan biaya yang membuatnya demikian.”

Saya ndlongop. Karangasem ke Jogja itu hanya beberapa kilometer. Dengan mobil hanya setengah jam. Tak jauh dari situ, ada SMK.
Masih ada gitu, desa yang mayoritas anaknya cuma mengenyam pendidikan sampai SMP?

Sayang saya terburu-buru pamit karena diburu janji dengan dokter. Ternyata saya sempat dibungkuskan tape singkong mentega oleh Pak Samijo. Pak Samijo ini pembuat tape singkong yang disetor untuk bahan baku pembuatan permen tape.

Di jalan pulang, saya teringat kembali pembicaraan dengan Mas Karman dan Mas Penyu. Betul, Desa Karangasem ini banyak potensinya. Dari desa wisata alam hingga kuliner seperti tape. Tak jauh dari Jembatan Krasak, tak jauh dari Borobudur, dekat ke Kalibawang Kulonprogo.
Tapi warganya masih membutuhkan sedikit bantuan dari kita untuk bergerak lebih mandiri dan berdaya.

Berbagi sedikit dari apa yang kita miliki, untuk kemandirian dan pemberdayaan orang lain. 🙂

CATATAN:
Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang Desa Karangasem, bisa tanyakan langsung kepada Mas Karman lewat twitter di @karmanproject.

Komunikasi di era 2.0: Lebih Sulit atau Lebih Mudah? (2)

Bagian I-nya disini.

Setelah dibagian pertama membincang latar belakang masalah dan hipotesisnya, sekarang kita akan membicarakan karakteristik berbagai social media untuk menemukan solusi atas pertanyaan kita 😀

Ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan sehubungan untuk memahami serba-serbinya berkomunikasi di era socmed ini:

  • Karakter tiap socmed itu berbeda

Misal, twitter itu bersifat lebih terbuka. Maksudnya, suatu diskusi/pembicaraan tidak terlokalisir seperti halnya tret plurk, sehingga dalam timeline lazim terjadi suatu pembicaraan tercampur dengan obrolan lain.

Mereka yang tidak sabaran/konsentrasi, sangat mudah terdistorsi dalam memaknai pembicaraan.

Selain itu interaksi di twitter tidak seintensif diplurk. Maksudnya, kita bisa saja sering sekali update status tanpa harus khawatir membanjiri timeline teman (flooding) karena apdetan kita dalam 10 menit sudah tenggelam ditimpa apdetan orang lain. Tetapi hal ini hanya berlaku bagi timeline mereka yang following lebih dari 200 orang. Kalau hanya 10 orang yang diikuti, ya tentu tidak. :mrgreen:

Tentang batasan sampai seberapa sering kita boleh update status tanpa mengganggu orang lain, memang tidak ada batasan baku. Disini kepekaan & kesadaran diri yang memegang kendali.

Komunikasi di twitter tidak menuntut adanya conversation yang intensif. Kita memang senang kalau twit kita ada yang menanggapi, tetapi ketika tidak ada yang menanggapi pun, tidak begitu masalah. Lain halnya dengan plurk yang memang menuntut adanya interaksi, karena tiap tret ada kolom respon. Jika tret yang kita buat lebih banyak tanpa respon, rasanya sepi sendiri tiada yang menemani… *lebay lagi* :mrgreen:

Jika dimisalkan mungkin seperti hidup berdampingan tapi tidak ada yang mengajak bicara sama sekali.

  • Motivasi yang melatarbelakangi seseorang ketika membuat suatu akun socmed

Pada akhirnya, memang tergantung motivasi seseorang, apa tujuan dia membuat suatu akun. Apakah untuk nyampah/katarsis, untuk ajang eksistensi, untuk interaksi / networking, untuk share, untuk senang-senang, dll. The underlying motives ini yang mewarnai bagaimana dia berperilaku di socmed sehari-harinya. Misal, ada yang getol mencari follower atau bagaimana. Tetapi menurut saya, motivasi ini bisa berubah seiring waktu.

Juga, penting diketahui dan dicamkan baik-baik, untuk terjun ke suatu socmed sama saja terjun/berinteraksi dengan crowd disitu. Ini soal cocok-cocokan saja, tidak usah memaksakan untuk terjun semua. Atau jika ingin terjun kesemua, kenali dulu karakter masing-masing, sehingga bisa berperilaku berkomunikasi sesuai tempatnya.

Solusi untuk komunikasi yang lebih sehat:

–          Harus peka, menyimak baik-baik (ini termasuk kemampuan listening), dan kemampuan pengamatan yang baik, untuk bisa menangkap apa yang tak terlihat/tersirat.

–          Pengendalian diri/awareness. Seringkali kita merasa ‘aman’ bahwa kita terlindungi topeng, sehingga jauh lebih bebas dalam menuliskan apa yang kita rasakan.

FYI, ada yang namanya TMI alias Too Much Information. Memang tidak ada aturan bakunya dan kadang-kadang bersifat sangat subjektif. Apalagi mereka yang berkarakter ekstrovert atau ingin nyampah, cenderung lebih terbuka mengungkapkan hal-hal personal.

–          Khusus untuk pengguna twitter, harus paham twitter usability, yaitu memeras apa yang ingin disampaikan dalam maksimal 140 karakter (fanabis, 2010).

Untuk diskusi silakan saya buka di bawah. Lagipula ini hanya asumsi, tidak didasarkan pada riset sama sekali. Jadi sangat terbuka untuk dikoreksi 😀

Notes.

–          Mengenai komunikasi brand, itu beda lagi. Tapi yang perlu digarisbawahi, konsumen senang kalau komplen-nya atau apapun, ditanggapi dengan cepat oleh brand ybs. Brand itu bisa produk atau person loh.

–          Mengenai pencitraan, sekali lagi, tergantung motivasi awal si pemilik akun. Kalau untuk branding, jelas butuh pencitraan. Tetapi, IMO, kejujuran/otentik itu lebih disukai. Jadi, sudah sinkronkah antara di socmed dan real life?

–          Masing-masing socmed, seperti misal plurk dan twitter, punya caranya sendiri untuk mendongkrak ‘ego’ pemilik akun (aduh, lupa namanya). Contohnya sistem karma diplurk dan jumlah follower di twitter. Hal ini disadari/tidak menciptakan ‘kasta’ dalam dunia socmed dan cenderung mengakibatkan kecemburuan sosial.

Komunikasi di era 2.0: Lebih Sulit atau Lebih Mudah? (1)

Postingan ini terilhami setelah mengamati kelakuan para pengguna socmed, khususnya twitter dan plurk, tapi tak menutup medium lain. Dari sini timbul pertanyaan besar:

MENJALIN KOMUNIKASI DI ERA 2.0 DAN SOCMED APAKAH LEBIH RUMIT DAN EMOSIONAL DARIPADA KOMUNIKASI DI REAL LIFE?

Alasannya:

  • Banyak ‘keributan’ di socmed, seperti soal follow-unfollow, flooding timeline,  atau RT abuser, menjadi topik yang sering sekali dibicarakan. Banyak sekali pengguna socmed yang mengeluh, yang merasa ‘sangat’ terganggu sehingga mereka komplain, curcol, nyindir, nggremeng, etc ditimeline mereka sendiri.
  • Keributan tersebut memang tidak sampai yang berdampak sosial yang massive, bisa jadi memang agak lebay/dilebih-lebihkan. Tapi ya gitu, dari pengamatan, selalu saja ada orang-orang yang terganggu.

Sebelum saya teruskan lebih lanjut, saya mendefinisikan dulu apa yang dimaksud dengan era 2.0. Saya merujuk pada Wikipedia, disini yang dimaksud dengan era 2.0 adalah web 2.0. Definisi web 2.0:

Web 2.0 adalah aplikasi web yang memfasilitasi interaksi yang lebih interaktif (dua arah) dari penyedia/pengisi konten dengan penikmatnya. Aplikasi tersebut selain memungkinan terjadinya dialog, juga information sharing dari dua belah pihak. Bisa dikatakan dengan aplikasi tersebut  dapat memunculkan dari diskusi hingga kolaborasi.

Dari pengamatan saya (yang termasuk juga pengguna socmed) muncul beberapa hipotesis/asumsi:

Berkomunikasi di era socmed dan 2.0 seperti sekarang ini membutuhkan skill komunikasi yang lebih daripada komunikasi biasa.

Mengapa? Karena berkomunikasi lewat tulisan, selain harus bisa menuangkan pikiran lewat bahasa tulisan yang bisa dipahami orang, juga harus bisa memahami nonverbal/yang tersirat dari sebuah tulisan. Non verbal itu bisa mencakup nuansa emosi, mengenali karakter seseorang dari tulisan-tulisannya, dll.

Kalau komunikasi ‘standar’, non verbal tersebut bisa kita lihat dengan mudah, seperti gesture, ekspresi wajah, dll. Ingat, bahwa non verbal dalam komunikasi malah justru mengungkap/berbicara jauh lebih banyak daripada yang verbal. Selain itu, berinteraksi dunia maya bisa jadi lebih rumit  karena kita bisa bersembunyi dibalik topeng/alter ego yang sengaja kita ciptakan.

Jadi lazim kita temui orang yang berbeda antara di dunia maya dan di dunia nyata. Apalagi jika menyangkut netiket (yang belum luas diketahui orang seperti halnya etika pergaulan di dunia nyata) dan pengendalian diri.

Dari kultur sendiri, masyarakat kita menurut para pakar lebih terbiasa dengan budaya lisan daripada tulisan. Walau banyak juga yang mengaku, lebih mudah mengungkapkan pikiran lewat tulisan daripada lewat verbal, tetapi hal tersebut tidak menjamin dia mempunyai skill komunikasi (tulisan) yang cukup baik.

Alasan lain yang mendasari asumsi diatas:

Dalam masyarakat online, suatu kabar/buzz lebih cepat menyebar daripada lewat medium komunikasi telepon genggam/sms, literally dari mulut ke mulut, apalagi pos merpati (halah).

Contoh, adanya trending topic di twitter dan viral marketing yang makin sering digunakan akhir-akhir ini.

Dari pengamatan, entah kenapa lebih banyak yang percaya adanya kabar yang belum jelas kebenarannya kalau disampaikan lewat media text (media televisi dan radio juga sih, tapi kita kan sedang membahas komunikasi tertulis) daripada yang sekedar bisik-bisik. Apa karena faktor komunikasi tertulis dapat terdokumentasi dengan baik, sehingga mudah dilacak/meninggalkan jejak daripada lisan yang cenderung lebih mudah dilupakan/sukar dilacak.


BERSAMBUNG KE BAGIAN SELANJUTNYA, KARAKTERISTIK KHAS TIAP SOCMED :goodluck:

Standar Ganda = Munafik?

Saya lagi kesel dan gak habis mengerti. Saya memang tidak suka dengan alay. Tapi saya juga ga bisa terima, kalo ada alay yang dicacimaki habis-habisan bahkan dibully karena ke-alay-annya. Tidak suka berbeda dengan benci, bukan? Atau sama? Entahlah, tapi ketika saya melihat seseorang/sesuatu yang tidak saya suka mendapat ketidakadilan perilaku, saya kok ndak bisa terima alih-alih senang.

Kita semua sepakat  (dalam teori)  bahwa bully, mengejek, kekerasan verbal, etc itu ndak bagus. Tapi dalam praktek, saya masih sering nemu, orang-orang yang melakukan hal-hal demikian simply because they dont like the person. Bukan karena orang tersebut berbuat jahat, bukan. Hanya karena tidak suka saja.

Dan parahnya, orang-orang yang melakukan hal tersebut justru orang-orang yang berpotensi bisa melakukan hal yang lebih baik daripada sekedar mengejek, nggencet, mengucilkan. Ya, mereka orang-orang yang cerdas, banyak teman, etc. Mereka punya power untuk berbuat baik, melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat. Misalnya, alih-alih nggencet, kenapa ndak memberitahu, mengajarkan, membimbing yang bersangkutan?

Apalagi jika yang digencet, dikucilkan, disindir, etc itu memang dia tidak tahu, atau memang masih belum dewasa, etc. Mengapa tidak bisa memahami latar belakang dia terlebih dahulu? Jika memang terganggu, kenapa tidak disampaikan dengan baik-baik dan secara asertif daripada dengan pendekatan agresif?

Saya sendiri mungkin juga pernah melakukan hal serupa. Standar ganda. Jadi antara apa yang saya omongkan berbeda dengan perilaku saya. Berbeda perlakuan antara teman-teman dekat saya dan orang lain. Jika itu memang terjadi pada saya dan kebetulan Anda tahu, tolong, tegurlah saya. Terimakasih.