Pasif-Agresif dan Kedewasaan Emosi

Postingan ini terilhami –lebih tepatnya reminder untuk diri sendiri– gara-gara insiden di warung lele malam ini.

Entah mengapa malam ini saya mudah kepancing emosinya. Berawal dari mau makan tapi ga ada sendok garpu tersedia. Saya panggil pelayan minta sendok garpu. Perlu dua kali panggilan untuk mendapatkan yang saya mau, pertama seperti gak digubris. Yang kedua, cara menaruh sendok garpu yang saya inginkan pun jauh dari sopan. Disorongkan begitu aja, dan ga ada garpunya. Pas saya nanya, garpunya mana, sambil ngeloyor dijawab, “garpunya gak ada.”
Padahal kalau dia mau usaha dikit aja, pasti ada.

Kedua, minta minum juga harus extra effort untuk mendapatkan perhatian pelayan. Kualitas pelayanan di warung ini bener-bener payah, out of excellence. Biasanya saya sabar sih, tapi malam ini entah kenapa saya terpancing emosi dan hampir saja saya ngamuk, hahaha.

Saya mangkel. Kesal. Kalau sudah begini, saya kepikiran melakukan sesuatu untuk melampiaskan mangkel saya. Saya kepikiran hal-hal ‘jahat’ untuk sekadar pembalasan, karena warung ini udah melakukan hal yang bikin saya kesal.

Tapi untunglah kesadaran saya masih jalan. Alih-alih demikian, selain membuat tabungan emosi saya berkurang, juga ga menyelesaikan masalah. Kenapa ga langsung komplain baik-baik perihal kekecewaan saya.

Pikiran saya melantur lebih jauh lagi. Reaksi ‘balas dendam’ tadi adalah manifestasi sikap pasif-agresif. Dalam situasi lain, sikap pasif-agresif muncul dalam bentuk diam aja tapi di belakang ternyata nyinyir.

Sekarang pertanyaannya begini, menurut pembaca, mana yang lebih baik jika sedang mengalami kekecewaan terhadap seseorang:
– menyampaikan kekecewaan ke orang yang bersangkutan, tentu aja secara baik-baik.
– diam aja tapi di belakang ngomong macem-macem.

Mana dari kedua sikap diatas yang lebih menyelesaikan masalah? Mana yang berpotensi menimbulkan masalah baru?

Jadi berpikir, dalam konteks twitter, no mention yang bukan becanda dan semacam nyindir karena kesal, sama ga dengan sikap pasif-agresif?

Yah saya sih jujur aja. Kadang ngomong di belalang karena memang ga punya cukup keberanian untuk menyampaikan langsung. 😉

Softselling vs Hardselling

Ini postingan pertama saya di Tahun Ular Air, yeeeyy. Apdet blog yang sifatnya rada-rada terpaksa, kalau orang Jawa bilang, kahanan. Ya gimana lagi, pulang kantor, udah deket terminal Blok M, eehhh hujan turun dengan derasnya plus angin kencang. Musti neduh dulu. Thus terdamparlah saya di sebuah tempat makan yang lumayan cozy dan surprise-nya, menunya cukup lezat. Spaghetti aglio olio, fish and chips, dan mix juice wortel-belimbing tanpa gula. Surprise karena saya ga pernah berharap akan dapat makanan enak di tempat seperti Blok M Square.

Eh tapi saya apdet bukan untuk membahas kuliner. Jadi ini adalah upaya dokumentasi pikiran saya, yang satu ini udah berkecamuk beberapa hari ini. Terpikir ketika saya sedang melamun di kamar mandi (ha, selalu deh. Ga heran kamar mandi is my bank of idea).

Mungkin ada kaitannya dengan dunia pekerjaan yang saya tekuni sekarang, juga keseharian saya yang nyaris ga lepas dari social media. Bahkan arena pergaulan saya kebanyakan kongkownya dengan teman-teman dari dunia dihital. Salah satu topik yang selalu seru untuk diperbincangkan yaitu pro-kontra twit berbayar. Sebenarnya pro-kontra ini udah lama sih, sejak dua tahunan lalu kali ya.

Yang kontra alasannya karena banyak twit-twit yang jadi semacam hidden-agenda dan mereka merasa ditipu/dimanfaatkan. Semakin kesini, yang saya amati, audience (jieee, tapi sepertinya pilihan katanya kurang tepat) udah makin bisa membedakan mana twit berbayar/campaign dan yang twit random. Biasanya jika ada hashtag-hashtag dan tiba-tiba banyak yang ngetwit (apalagi jika yang ngetwit circle selebtwit), makin curigalah audience. Yang pro alasannya karena ya ini profesi dan halal, nggak seperti koruptor atau calo. 

Udah banyak juga sih, saran-saran seperti penggunaan hashtag #ad untuk twit campaign/berbayar. Tapi di Indonesia sendiri, kulihat belum populer ya. Udah ada beberapa yang menggunakan, tapi di timeline-ku masih dikit banget, brand yang mau begitu apalagi. Untuk strategi campaign sendiri, diantara teman-teman dihital juga banyak yang saling mengkoreksi. Singkatnya ketika strategi campaign itu agak-agak kurang etis, biasanya social punishment udah berjalan dengan sendirinya. Eh istilah social punishment untuk konteks ini betul ga ya, hahaha. Abisnya, biasanya banyak yang mencerca di publik gitu.

Terkait buzzer, ini juga topik tersendiri yang cukup seru. 2013 dan masih ada lho, perdebatan tentang hal satu ini. Tapi kulihat, makin kesini orang makin maklum walau sebenarnya dongkol. Pemaklumannya lebih karena gak enak, kebanyakan teman sendiri, dan itu adalah penghidupan orang. Sebelnya mereka karena dinilai twit-twitnya jualan melulu. 

Disini saya keknya perlu menggali lebih jauh sih, ‘jualan melulu’ itu sebenarnya apa. Sebelnya kenapa. Karena toh, setiap hari setiap detik kita dikepung iklan, mulai dari iklan tv/radio/cetak hingga reklame. Nyepam sebagai bentuk jualan memang menyebalkan, tapi apakah ngebuzz seperti nyepam? Ada yang bilang, terlalu hardselling itu menyebalkan dan nggilani. Softselling konon lebih bisa diterima. Tapi saya berpikir, kalau softselling tujuannya adalah supaya ga terlalu kentara jualan, lalu gimana dengan strategi campaign yang awalnya dikira bukan bagian dari campaign brand tapi ternyata bagian dari campaign brand. Softselling apa nggak lebih dari suatu bentuk ‘penipuan’ dalam bahasa paling sopan, karena toh ujung-ujungnya jualan. Kenapa tidak dengan hard-selling yang dari awal emang kentara jualan. Itu suatu bentuk kejujuran tersendiri lho, dari awal orang udah mahfum kalau twit hardselling pasti jualan jadi orang lebih bisa mengambil sikap. Kalau softselling rentan menempatkan orang di posisi ngambang.

Eh pikiran random tadi konteksnya jualan di twitter lho ya, bukan iklan komersial di TV/media. Kalau iklan-iklan TV yang hardselling mah emang norak, macem sozzis-sozzis-an itu. Well, ini sekadar pikiran dan wondering seorang restlessangel. Masih angel kan, belum devil? Hehehehe…

Sepertinya hujan sudah berhenti. Semoga. Yang jelas, restoran ini sudah mau tutup. :mrgreen:

 

Who Am I?

Gambar

Sebagai orang yang lebih aktif di twitter daripada social media lainnya, seringkali mendapatkan inspirasi dengan mengamati percakapan atau monolog di timeline. Salah satunya adalah membaca lontaran yang sering terbaca di timeline, kira-kira semacam ini bunyinya: “Jangan menilai orang dari twit-twitnya” dengan berbagai variasinya.

Menurutku penolakan seperti itu adalah bentuk penyangkalan terhadap isi twitnya sendiri. Kalau kita follow seseorang yang sering banget ngetwit isinya mengeluh, misuh-misuh, kasar, marah-marah, artinya apa? Bisa jadi sih, ketika ketemuan, ternyata orangnya pendiam, santun, ga banyak bicara. Tapi ga lantas twit-twitnya jadi ga berarti. Coba tanya kepada mereka yang sering stalking akun orang, bagaimana mereka bisa mendapatkan profiling singkat dari stalking timeline. Misal, dari mengamati timelinenya, kita jadi tahu si A perokok aktif, demen nongkrong di sevel, minuman kesukaannya bir, insomnia, kerja freelance, penyuka ikan cupang sebagai peliharaan, penganut paham sosialis, kritis karena suka bertanya hal-hal yang jarang dipikirkan orang lain, peduli dengan isu-isu sosial karena demen komen tentang berita-berita terkini, dsb dsb dsb. Apalagi ditambah ia demen absen 4sq, makin lengkap data yang kita peroleh.

Proses penilaian ini, sebenarnya tak jauh beda dengan yang dilakukan para psikolog, terutama penilaian kepribadian (kita menyebutnya assesment sih). Kepribadian alias personality, berasal dari kata persona yang berarti topeng. Yep, kepribadian memang topeng (-topeng) yang ditampilkan sesuai dengan lingkungan sekitar kita. Kita cenderung menampilkan diri secara berbeda di setiap peran/situasi. Dan itu wajar-wajar saja, sehat dalam arti fungsi kita tidak terganggu dan tidak mengganggu orang lain.

Sebagai makhluk individual sekaligus makhluk sosial, ada banyak peran yang kita jalankan sekaligus. Misal, sebagai anak buah di kantor, tapi di rumah sebagai kepala keluarga, di tetangga sebagai ketua RT, di organisasi sebagai bendahara. Kita bersikap di depan keluarga dan saudara mungkin berbeda dengan sikap kita di depan kantor, berbeda juga dengan sikap di antara teman-teman online dengan teman-teman SMU. So, tidak usah merasa berkepribadian ganda jika merasa berbeda sikap diantara teman-teman twitter dan diantara saudara. Untuk mendapat penilaian kepribadian ganda, perlu assesment yang lebih dalam dan data yang jauh lebih banyak, ples indikator perilaku lainnya.

Dalam psikologi dengan topik psikologi kepribadian-nya, berbagai tipe kepribadian yang dilansir para psikolog sebenarnya adalah upaya untuk lebih memahami manusia dan perilakunya. Karena itulah ada banyak sekali tes psikologi, karena psikotes adalah upaya ilmiah untuk memahami kepribadian manusia. Ilmiah, karena dalam penyusunan tes-tes tersebut melewati berbagai tahap pengukuran lho, dan rumit.

Dari sisi awam sendiri, dengan mengetahui ia termasuk tipe kepribadian yang mana, adalah salah satu upaya untuk mengenali dirinya sendiri. Tentu aja ada cara lain dalam proses lebih mengenali diri, selain psikotes. Seperti yang dibahas di paragraf selanjutnya. Ini berhubungan dengan pertanyaan “who am i” yang menjadi judul postingan ini.

Ada yang berpendapat bahwa siapa kita tak bisa didefinisikan berdasar pekerjaan kita, jabatan kita, status pernikahan dan jumlah anak, hobi kita, minuman favorit kita, preferensi seksual, dsb. Ada pula hadis (qudsi) yang menyatakan, “barang siapa yang mengenali dirinya maka ia mengenal Tuhannya”. Socrates sendiri bilang, “know thyself”.

Gambar

You think you know yourself? Kalau ada yang menjawab ya, menurut saya, ia sombong dan pongah. Mengenal diri sendiri adalah proses yang terus berjalan seumur hidupnya. Manusia adalah makhluk yang dinamis dengan berbagai pengalamannya. Bagaimana seseorang dapat mengenali dirinya? Well, cara ‘singkat’ memang dengan mengisi berbagai tes kepribadian/psikotes. Tetapi harus diingat, bahwa hasil yang keluar dari tes tersebut hanya salah satu data dan hanya mengungkap kecenderungan/bukan harga mati.

Di psikologi sendiri, ketika melakukan assesment, psikotes hanya salah satu alat untuk mendapatkan data. Ada lagi wawancara dan observasi. Apalagi penilaian kepribadian di psikologi umumnya untuk keperluan seleksi pekerjaan, konsultasi karir dan sekolah, promosi jabatan, konseling pernikahan, dsb. Tentu saja untuk menghemat waktu dan biaya, maka dipilih berbagai metode yang paling cepat.

Lalu bagaimana kalau ada orang yang menilai dirinya berbeda dengan yang dirasakan? Jadi alasan gitu untuk marah-marah kepada yang bersangkutan dan menutup kuping terhadap kata-katanya? Yang seperti itu mungkin perlu menyimak Jo-Harry Window.

Gambar

See, dalam diagram tersebut, ada dua unsur yang penting untuk tahu tentang diri kita. Yaitu diri kita sendiri dan orang lain. Yep, kita tidak bisa menafikan unsur orang lain untuk lebih mengenali diri kita. Karena itu ada 4 area yang berkaitan. Ada bagian dari diri kita, yang kita sendiri tahu dan orang lain juga tahu. Ada bagian dari diri kita, yang cuma kita yang tahu dan orang lain tidak tahu. Ada bagian dari diri kita yang bisa jadi kita tidak tahu tetapi orang lain mempunyai penilaian berbeda/tahu. Nah disinilah kedewasaan kita diuji, bagaimana reaksi kita terhadap penilaian orang terhadap kita. Menerima sebagai masukan atau ngamuk-ngamuk dan memutuskan untuk tutup telinga.

Jika kamu pikir kamu benar-benar sudah mengenali dirimu sendiri, maka cobalah kau bertanya pendapat orang lain tentang kamu.

Jadi masih mau marah-marah jika ada orang yang mempunyai pendapat tentang kamu berdasarkan celotehanmu di twitter?

Hunian Sederhana dan Mimpi untuk Karangasem

image

image

image

image

image

Saya tertegun sewaktu berdiri di bibir jurang desa ini. Sulit membayangkan kondisinya sewaktu desa ini masih utuh. Banjir lahar dingin menerjang Desa Karangasem beberapa kali, mengamblaskan separo desa, menyisakan tebing jurang. Mental orang Jawa, walau separo desa hilang, sawah kebun rumah amblas, masih merasa beruntung, “untung gak ada korban jiwa, untung ternak bisa diselamatkan.”

Saya berdiri di bibir jurang. Jarak antara tempat saya berdiri hingga ke bawah dimana Kali Putih mengalir, setinggi 14 meter. Serius saya sulit membayangkan tempat ini dulunya bagaimana. Konon katanya aliran Kali Putih sudah berubah. Kalau diwaktu mendatang lahar dingin menerjang lagi, beberapa kelokan tebing akan runtuh. Beberapa rumah sudah mepet dengan bibir tebing. Tinggal tunggu waktu saja sampai rumah tersebut ikut longsor.
Masih tertegun, saya tersentak ketika diberitahu bahwa banjir lahar dingin yang menerjang Karangasem ini terjadi Oktober 2010. Ohmy, sekarang Juni 2011. Itu kejadian sudah sekian bulan lalu…

Tujuhbelas rumah amblas. Sekarang sudah dibangun, delapan hunian sederhana. Tanpa bantuan pemerintah sama sekali. Tinggal sembilan hunian lagi. Kalau kata mas Karman, ini kampung sosmed, karena rumah yang berdiri atas bantuan warga social media. Rumah sederhana berdinding sebagian anyaman bambu, sebagian batako/batu bata. Kusen, pintu, batu bata/batako, sebisanya memanfaatkan apa yang tersisa dari rumah yang amblas. Rata-rata per-unit menghabiskan 4 juta rupiah. Sebagian dibangun di atas kebun sendiri, sebagian disewakan tanah.

Sore itu angin lembut menyisir kulit. Menjelang magrib di akhir obrolan, Mas Karman sempat mengungkapkan mimpinya.
“Selesai pembangunan hunian sederhana ini, PR saya selanjutnya adalah pendidikan. Ternyata banyak anak warga Karangasem yang bersekolah hanya sampai SMP. Ketiadaan biaya yang membuatnya demikian.”

Saya ndlongop. Karangasem ke Jogja itu hanya beberapa kilometer. Dengan mobil hanya setengah jam. Tak jauh dari situ, ada SMK.
Masih ada gitu, desa yang mayoritas anaknya cuma mengenyam pendidikan sampai SMP?

Sayang saya terburu-buru pamit karena diburu janji dengan dokter. Ternyata saya sempat dibungkuskan tape singkong mentega oleh Pak Samijo. Pak Samijo ini pembuat tape singkong yang disetor untuk bahan baku pembuatan permen tape.

Di jalan pulang, saya teringat kembali pembicaraan dengan Mas Karman dan Mas Penyu. Betul, Desa Karangasem ini banyak potensinya. Dari desa wisata alam hingga kuliner seperti tape. Tak jauh dari Jembatan Krasak, tak jauh dari Borobudur, dekat ke Kalibawang Kulonprogo.
Tapi warganya masih membutuhkan sedikit bantuan dari kita untuk bergerak lebih mandiri dan berdaya.

Berbagi sedikit dari apa yang kita miliki, untuk kemandirian dan pemberdayaan orang lain. 🙂

CATATAN:
Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang Desa Karangasem, bisa tanyakan langsung kepada Mas Karman lewat twitter di @karmanproject.

Komunikasi di era 2.0: Lebih Sulit atau Lebih Mudah? (2)

Bagian I-nya disini.

Setelah dibagian pertama membincang latar belakang masalah dan hipotesisnya, sekarang kita akan membicarakan karakteristik berbagai social media untuk menemukan solusi atas pertanyaan kita 😀

Ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan sehubungan untuk memahami serba-serbinya berkomunikasi di era socmed ini:

  • Karakter tiap socmed itu berbeda

Misal, twitter itu bersifat lebih terbuka. Maksudnya, suatu diskusi/pembicaraan tidak terlokalisir seperti halnya tret plurk, sehingga dalam timeline lazim terjadi suatu pembicaraan tercampur dengan obrolan lain.

Mereka yang tidak sabaran/konsentrasi, sangat mudah terdistorsi dalam memaknai pembicaraan.

Selain itu interaksi di twitter tidak seintensif diplurk. Maksudnya, kita bisa saja sering sekali update status tanpa harus khawatir membanjiri timeline teman (flooding) karena apdetan kita dalam 10 menit sudah tenggelam ditimpa apdetan orang lain. Tetapi hal ini hanya berlaku bagi timeline mereka yang following lebih dari 200 orang. Kalau hanya 10 orang yang diikuti, ya tentu tidak. :mrgreen:

Tentang batasan sampai seberapa sering kita boleh update status tanpa mengganggu orang lain, memang tidak ada batasan baku. Disini kepekaan & kesadaran diri yang memegang kendali.

Komunikasi di twitter tidak menuntut adanya conversation yang intensif. Kita memang senang kalau twit kita ada yang menanggapi, tetapi ketika tidak ada yang menanggapi pun, tidak begitu masalah. Lain halnya dengan plurk yang memang menuntut adanya interaksi, karena tiap tret ada kolom respon. Jika tret yang kita buat lebih banyak tanpa respon, rasanya sepi sendiri tiada yang menemani… *lebay lagi* :mrgreen:

Jika dimisalkan mungkin seperti hidup berdampingan tapi tidak ada yang mengajak bicara sama sekali.

  • Motivasi yang melatarbelakangi seseorang ketika membuat suatu akun socmed

Pada akhirnya, memang tergantung motivasi seseorang, apa tujuan dia membuat suatu akun. Apakah untuk nyampah/katarsis, untuk ajang eksistensi, untuk interaksi / networking, untuk share, untuk senang-senang, dll. The underlying motives ini yang mewarnai bagaimana dia berperilaku di socmed sehari-harinya. Misal, ada yang getol mencari follower atau bagaimana. Tetapi menurut saya, motivasi ini bisa berubah seiring waktu.

Juga, penting diketahui dan dicamkan baik-baik, untuk terjun ke suatu socmed sama saja terjun/berinteraksi dengan crowd disitu. Ini soal cocok-cocokan saja, tidak usah memaksakan untuk terjun semua. Atau jika ingin terjun kesemua, kenali dulu karakter masing-masing, sehingga bisa berperilaku berkomunikasi sesuai tempatnya.

Solusi untuk komunikasi yang lebih sehat:

–          Harus peka, menyimak baik-baik (ini termasuk kemampuan listening), dan kemampuan pengamatan yang baik, untuk bisa menangkap apa yang tak terlihat/tersirat.

–          Pengendalian diri/awareness. Seringkali kita merasa ‘aman’ bahwa kita terlindungi topeng, sehingga jauh lebih bebas dalam menuliskan apa yang kita rasakan.

FYI, ada yang namanya TMI alias Too Much Information. Memang tidak ada aturan bakunya dan kadang-kadang bersifat sangat subjektif. Apalagi mereka yang berkarakter ekstrovert atau ingin nyampah, cenderung lebih terbuka mengungkapkan hal-hal personal.

–          Khusus untuk pengguna twitter, harus paham twitter usability, yaitu memeras apa yang ingin disampaikan dalam maksimal 140 karakter (fanabis, 2010).

Untuk diskusi silakan saya buka di bawah. Lagipula ini hanya asumsi, tidak didasarkan pada riset sama sekali. Jadi sangat terbuka untuk dikoreksi 😀

Notes.

–          Mengenai komunikasi brand, itu beda lagi. Tapi yang perlu digarisbawahi, konsumen senang kalau komplen-nya atau apapun, ditanggapi dengan cepat oleh brand ybs. Brand itu bisa produk atau person loh.

–          Mengenai pencitraan, sekali lagi, tergantung motivasi awal si pemilik akun. Kalau untuk branding, jelas butuh pencitraan. Tetapi, IMO, kejujuran/otentik itu lebih disukai. Jadi, sudah sinkronkah antara di socmed dan real life?

–          Masing-masing socmed, seperti misal plurk dan twitter, punya caranya sendiri untuk mendongkrak ‘ego’ pemilik akun (aduh, lupa namanya). Contohnya sistem karma diplurk dan jumlah follower di twitter. Hal ini disadari/tidak menciptakan ‘kasta’ dalam dunia socmed dan cenderung mengakibatkan kecemburuan sosial.

Komunikasi di era 2.0: Lebih Sulit atau Lebih Mudah? (1)

Postingan ini terilhami setelah mengamati kelakuan para pengguna socmed, khususnya twitter dan plurk, tapi tak menutup medium lain. Dari sini timbul pertanyaan besar:

MENJALIN KOMUNIKASI DI ERA 2.0 DAN SOCMED APAKAH LEBIH RUMIT DAN EMOSIONAL DARIPADA KOMUNIKASI DI REAL LIFE?

Alasannya:

  • Banyak ‘keributan’ di socmed, seperti soal follow-unfollow, flooding timeline,  atau RT abuser, menjadi topik yang sering sekali dibicarakan. Banyak sekali pengguna socmed yang mengeluh, yang merasa ‘sangat’ terganggu sehingga mereka komplain, curcol, nyindir, nggremeng, etc ditimeline mereka sendiri.
  • Keributan tersebut memang tidak sampai yang berdampak sosial yang massive, bisa jadi memang agak lebay/dilebih-lebihkan. Tapi ya gitu, dari pengamatan, selalu saja ada orang-orang yang terganggu.

Sebelum saya teruskan lebih lanjut, saya mendefinisikan dulu apa yang dimaksud dengan era 2.0. Saya merujuk pada Wikipedia, disini yang dimaksud dengan era 2.0 adalah web 2.0. Definisi web 2.0:

Web 2.0 adalah aplikasi web yang memfasilitasi interaksi yang lebih interaktif (dua arah) dari penyedia/pengisi konten dengan penikmatnya. Aplikasi tersebut selain memungkinan terjadinya dialog, juga information sharing dari dua belah pihak. Bisa dikatakan dengan aplikasi tersebut  dapat memunculkan dari diskusi hingga kolaborasi.

Dari pengamatan saya (yang termasuk juga pengguna socmed) muncul beberapa hipotesis/asumsi:

Berkomunikasi di era socmed dan 2.0 seperti sekarang ini membutuhkan skill komunikasi yang lebih daripada komunikasi biasa.

Mengapa? Karena berkomunikasi lewat tulisan, selain harus bisa menuangkan pikiran lewat bahasa tulisan yang bisa dipahami orang, juga harus bisa memahami nonverbal/yang tersirat dari sebuah tulisan. Non verbal itu bisa mencakup nuansa emosi, mengenali karakter seseorang dari tulisan-tulisannya, dll.

Kalau komunikasi ‘standar’, non verbal tersebut bisa kita lihat dengan mudah, seperti gesture, ekspresi wajah, dll. Ingat, bahwa non verbal dalam komunikasi malah justru mengungkap/berbicara jauh lebih banyak daripada yang verbal. Selain itu, berinteraksi dunia maya bisa jadi lebih rumit  karena kita bisa bersembunyi dibalik topeng/alter ego yang sengaja kita ciptakan.

Jadi lazim kita temui orang yang berbeda antara di dunia maya dan di dunia nyata. Apalagi jika menyangkut netiket (yang belum luas diketahui orang seperti halnya etika pergaulan di dunia nyata) dan pengendalian diri.

Dari kultur sendiri, masyarakat kita menurut para pakar lebih terbiasa dengan budaya lisan daripada tulisan. Walau banyak juga yang mengaku, lebih mudah mengungkapkan pikiran lewat tulisan daripada lewat verbal, tetapi hal tersebut tidak menjamin dia mempunyai skill komunikasi (tulisan) yang cukup baik.

Alasan lain yang mendasari asumsi diatas:

Dalam masyarakat online, suatu kabar/buzz lebih cepat menyebar daripada lewat medium komunikasi telepon genggam/sms, literally dari mulut ke mulut, apalagi pos merpati (halah).

Contoh, adanya trending topic di twitter dan viral marketing yang makin sering digunakan akhir-akhir ini.

Dari pengamatan, entah kenapa lebih banyak yang percaya adanya kabar yang belum jelas kebenarannya kalau disampaikan lewat media text (media televisi dan radio juga sih, tapi kita kan sedang membahas komunikasi tertulis) daripada yang sekedar bisik-bisik. Apa karena faktor komunikasi tertulis dapat terdokumentasi dengan baik, sehingga mudah dilacak/meninggalkan jejak daripada lisan yang cenderung lebih mudah dilupakan/sukar dilacak.


BERSAMBUNG KE BAGIAN SELANJUTNYA, KARAKTERISTIK KHAS TIAP SOCMED :goodluck:

Standar Ganda = Munafik?

Saya lagi kesel dan gak habis mengerti. Saya memang tidak suka dengan alay. Tapi saya juga ga bisa terima, kalo ada alay yang dicacimaki habis-habisan bahkan dibully karena ke-alay-annya. Tidak suka berbeda dengan benci, bukan? Atau sama? Entahlah, tapi ketika saya melihat seseorang/sesuatu yang tidak saya suka mendapat ketidakadilan perilaku, saya kok ndak bisa terima alih-alih senang.

Kita semua sepakat  (dalam teori)  bahwa bully, mengejek, kekerasan verbal, etc itu ndak bagus. Tapi dalam praktek, saya masih sering nemu, orang-orang yang melakukan hal-hal demikian simply because they dont like the person. Bukan karena orang tersebut berbuat jahat, bukan. Hanya karena tidak suka saja.

Dan parahnya, orang-orang yang melakukan hal tersebut justru orang-orang yang berpotensi bisa melakukan hal yang lebih baik daripada sekedar mengejek, nggencet, mengucilkan. Ya, mereka orang-orang yang cerdas, banyak teman, etc. Mereka punya power untuk berbuat baik, melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat. Misalnya, alih-alih nggencet, kenapa ndak memberitahu, mengajarkan, membimbing yang bersangkutan?

Apalagi jika yang digencet, dikucilkan, disindir, etc itu memang dia tidak tahu, atau memang masih belum dewasa, etc. Mengapa tidak bisa memahami latar belakang dia terlebih dahulu? Jika memang terganggu, kenapa tidak disampaikan dengan baik-baik dan secara asertif daripada dengan pendekatan agresif?

Saya sendiri mungkin juga pernah melakukan hal serupa. Standar ganda. Jadi antara apa yang saya omongkan berbeda dengan perilaku saya. Berbeda perlakuan antara teman-teman dekat saya dan orang lain. Jika itu memang terjadi pada saya dan kebetulan Anda tahu, tolong, tegurlah saya. Terimakasih.

Yakin, Pengen Punya Suami Seperti Habibie?

Semua gara-gara twitter. Eh maksudnya begini. Semalam, berbarengan dengan acara Mata Najwa yang memutar ulang kisah cinta Habibie-Ainun Habibie, timeline lumayan rame dengan komentar mereka-mereka (umumnya perempuan) yang terharu. Para komentator ini komennya mirip-mirip, pada intinya mereka ingin mempunyai kisah cinta yang abadi sampai kakek nenek, dicintai hingga masa tua tiba, bahkan ketika maut memisahkan rasa cinta itu tak pudar. Bahkan tak sedikit perempuan yang berkhayal (?) ingin punya suami seperti Habibie.

Saya yang tidak menonton tapi cukup membaca timeline, jadi bertanya-tanya. Satu, ingin punya suami seperti Habibie itu yang gimana? Wajah/fisiknya mirip, pinternya yang seperti Habibie, kekayaan seperti Habibie, atau dicintai seperti Habibie mencintai istrinya Ainun? Kedua, tak habis pikir dengan mereka-mereka yang sepertinya terbuai oleh kisah cinta itu. Tidakkah terpikirkan prosesnya sehingga pernikahan itu bisa awet hingga kakek nenek? It takes two to tango, Ladies!! Anda, perempuan, tidak bisa mengharapkan suatu hubungan akan awet sampai 50 tahun kedepan, dan hanya pihak pria saja yang bekerja keras untuk mencintai Anda. Non sense!!!

Jadi geli saja sih, kalau yang dipikirkan untuk membentuk mahligai kisah cinta yang abadi seperti yang dilihat adalah suami yang mau mencintai hingga 60 tahun kedepan. Lha diri sendiri ngapain dong? Again, it takes two to tango!!! Apalagi, belum tentu dibalik layar kisahnya seperti apa yang terlihat. Mata itu menipu, Ladies. Mata itu menipu karena dia tidak melihat yang tidak bisa dilihat.

Jadi maunya suami seperti Habibie yang mencintai sampai maut tiba? Jadi maunya dicintai tanpa putus? Oh, gimme a break, Ladies.

Biarkan saya berbagi pengalaman saja. Saya pernah berada dalam kondisi dicintai tetapi tidak mencintai. Apakah saya senang? Sepertinya ya, karena saya mendapatkan -katakanlah- pengawal pribadi, psikolog, supir, etc etc. Tetapi apakah saya bahagia? Ternyata tidak. Lama-lama saya merasa hampa, tidak merasakan apa-apa dari hubungan yang dijalani. Hanya sebatas kesenangan semu.

Tentu saja saya pernah mencintai. Dan benar adanya, ungkapan yang pernah saya baca di buku tentang sufisme, bahwa kebahagiaan itu ada pada mereka yang mencintai. Biarpun Gibran berkata, bahwa cinta seperti sayap dan dibaliknya terdapat pedang-pedang tajam yang siap melukaimu ketika sayap tersebut merengkuhmu, tetapi darah yang mengalir sangat berharga. Itu darah kebahagiaan, Jendral. Call me lebay. But thats true.

Ketika saya mencintai seseorang, saya cenderung akan berusaha membuat dia bahagia. Dan my ultimate happiness is, i’m happy when he’s happy. Although he doesnt love me. I’ve been there, i’ve been done that. Hancur mengetahui cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan. Tetapi jika diingat-ingat lagi bagaimana saya mau melakukan apa saja untuk membuat dia bahagia, nyaman, tercukupi kebutuhannya, saya bahagia. Perasaan yang lebih dari sekedar emosi, perasaan yang sangat dalam.

Dicintai itu hanya memberikan rasa aman. Mencintai, akan membuatmu menjadi manusia seutuhnya.

Dan untuk sebuah kisah cinta yang langgeng, dibutuhkan kerja keras dari semua pihak yang mencintai. Give and give. Termasuk mencintai segala kekurangannya dan tidak banyak menuntut. Can i? Can you?