Di Balik Layar PBJogja 2010

Dua minggu yang lalu, saya terlibat dalam satu keriaan ajang offline para warga onliner. Ajang tersebut merupakan bagian dari roadshow pesta blogger 2010, di berbagai kota di Indonesia. Jogja adalah kota kelima yang dilewati dan berkesempatan untuk memberikan yang terbaik dalam roadshow tersebut. Saya sebagai salah satu panitia yang terlibat, ingin sharing proses dibalik layar yang memperkaya pengalaman jiwa saya *cieeehhh, lebay dikit biardramatis*.

Tidak seperti tahun 2009 dimana Pesta Blogger Jogja digawangi oleh Cahandong, maka Pesta Blogger Jogja (selanjutnya disebut pbjogja) dibidani oleh beberapa perwakilan komunitas maupun blogger non komunitas. Sebut saja Jogtug, lalu ada juga mas Ryudeka dan mba Alya, yang dalam keseharian mereka lebih dikenal sebagai penyiar dan blogger independen *tsaah*.

Momon sebagai ketua panitia memang beralasan untuk mengajak sebanyak mungkin komunitas (online terutama, karena  ini pestanya warga onliner). Tujuannya sederhana, ingin menjalin komunikasi dan silaturahmi. Sebuah idealisme yang dibalut dalam ajang hura-hura. Eits tapi ndak sembarang hura-hura, karena walau peserta dan acaranya sendiri (mungkin) isinya haha-hihi, foto sana-sini, makan-makan, jalan-jalan, cari jodoh *eh* tapi sesungguhnya ada misi lain yang tak kalah idealis.

Etapi biar idealis, apakah peserta merasa jemu selama mengikuti rangkaian acara pbjogja? Sila baca kesan pesan mereka disini. Lalu silakan beri penilaian, bagaimana perasaan mereka yg beruntung (
jiaaaah beruntung) telah mengikuti seluruh rangkaian acara pbjogja. Kalau boleh berbangga diri, hampir semua peserta tidak merasakan kejemuan karena rangkaian acara tersebut dikemas dalam hura-hura. ^^

Iyo ora tweeps? Ora bosen to, seneng to? 😀 #maksamodeon

Kembali ke idealisme, memang idealisme apa yang ingin disampaikan panitia pbjogja selain yang terkait dengan tema pesta blogger 2010? Tak jauh-jauh dari Jogja sebagai kota tujuan pariwisata. Jangka pendek adalah untuk memperkenalkan Jogja kepada peserta (rally Panggih Batir terutama). Sedang jangka panjangnya untuk lebih menggaungkan potensi pariwisata kota Jogjakarta yang selama ini belum terekspos. Pertanyaannya, bagaimana caranya?

Semua berkat bocah tua nakal *sungkem* yang sukses membuat kami pada rapat pertama nyaris kejengkang dengan idenya. Yap, beliaulah yang  menggaungkan ide pbjogja beda. Tak cuma gathering mini pesta blogger tapi rally dari sejak kedatangan panitia dari Jakarta hingga hari H. Sebuah ide yang pada awalnya tampak spt hil yang mustahal. Musykil,  mengingat dana yang minim dan waktu yang tak banyak untuk mencari sponsor serta mematangkan konsep.

But I have faith in them. Yup, I have faith in them, seberapa musykilnya. Team, kelompok, dimana saya terlibat terdiri dari orang-orang hebat dengan potensi yang luar biasa. Saya sudah membuktikan pada tahun 2009. Ketika itu saya sempat ragu, waktu teman-teman melontarkan ide-ide ‘gila’ untuk memeriahkan pbjogja 2009. Saya terbayang sulitnya, bagaimana mencari sponsor hanya dalam waktu sekian bulan, beberapa konflik internal yang sempat mewarnai,dll. Dan pada waktu yang ditentukan pbjogja 2009 tergelar cukup sukses.

Dengan bukti dan pengalaman tersebut, saya percaya teman-teman kali ini juga mampu. Kendala bukan masalah, ia adalah tantangan. Waktu yang hanya 6 minggu terpotong libur lebaran ples minimnya dana, entah kenapa tidak menyurutkan kepercayaan saya terhadap teman-teman. Kemrungsung, panik, deg-degan, stress, tentu ada. Tapi selebihnya mengalir saja, termasuk beberapa keajaiban yang kami alami. Bahkan beberapa hari menjelang hari H pun, selalu saja ada perubahan karena beberapa pihak yang sedianya bekerja sama membatalkan atau bagaimana, tapi selalu saja ada blessing in disguise dibalik pembatalan dan perubahan tersebut. Serendipity, demikian yang saya amati dibalik proses kerja teman-teman.

Akhirnya hari H tiba. Gelaran pertama dan perdana dalam sejarah pesta blogger (halah), Rally Panggih Batir dilaksanakan.  Sebuah rally yang mempertemukan berbagai komunitas online untuk berkunjung ke komunitas offline. Sekaligus sebuah idealisme yang tadi saya uraikan. Bagaimana susunan acara rally bisa dilihat disini, ini, ini, dan beberapa postingan kesan peserta dapat dibaca kesan mbak dos, kesan mba Alya, dan Mas Jauhari.

Dari saya pribadi, senang ketika panitia rally pbjogja menentukan 3 tempat utk menjadi spot rally. Tiga tempat itu adalah Ndalem Yudhonegaran (kegiatannya belajar menari dan gamelan), Pakualaman mengunjuni  komunitas panahan Jemparing Mataram, dan terakhir Sanggar Anak Alam di Nitiprayan. Tiga tempat tersebut sebenarnya sempat berubah dari rencana awal, karena berbagai hal. Misal, perkampungan Kali Code sempat dinominasikan menjadi salah satu spot rally, tetapi tidak jadi karena hal teknis. Mengapa perkampungan Kali Code, karena ini perkampungan ini adalah ‘hasil karya’ Romo Mangun, dan tak banyak orang Jogja sendiri yang tahu atau pernah mengunjungi Kampung Code ini.

Kurang lebih alasan yang sama ketika memilih spot-spot lain untuk menjadi titik perhentian rally. Tempat  yang sebenarnya menyimpan potensi  persinggahan pariwisata Jogja, selain tempat standar seperti Malioboro dan Kraton.

Saya sendiri yang lahir dan besar di Jogja, ketika ikut rally ternyata banyak tempat-tempat yang baru saya tahu. Saya  baru pertama masuk Ndalem Yudhonegaran ya pas rally itu. Padahal itu adalah ndalem/kediaman adiknya Sri Sultan HB X.  Baru tahu ada komunitas panahan tradisional yang keren banget ya pas rally. Dan kalo gak ikut rally, ga sempet ngerasain jadi Srikandi alias belajar memanah pakai busur asli.

 

 

Lebih jauh lagi waktu membaca postingan kesan-kesan peserta pbjogja. Saya berkesimpulan, bahkan warga Jogja sendiri ternyata tak terlalu mengenal kotanya. Banyak yang tidak tahu bahwa Nitiprayan adalah kampung seniman. Banyak juga yang baru pertama masuk ke Ndalem Yudhonegaran padahal disitu ada sekolah menengah farmasi yang cukup favorit.

Pada waktu gathering, ternyata juga banyak yang belum ngeh kalau sajian nasi merah adalah kuliner khas dari Gunung Kidul. Coba mas-mas dan mbak-mbaknya jalan-jalan ke daerah Semanu, Gunung Kidul, mampir ke warung sego abang Mbok Jirak. Itu warung khas banget kuliner tradisional, menyajikan sego abang dan ubo rampe lauk pauk khas ndeso. Jadi  gobang mbokjo alias sego abang lombok ijo (sayurnya dimasak dengan banyak cabai hijau) itu menu khas dari jogja, sodara-sodaraaaaa… jogja ga hanya gudeg dan serba manis, wuuu, ketinggalan apdet. Eh jangan-jangan ada yang ga tahu kalau Gunung Kidul itu bagian dari Jogja 😛

Jadi teringat waktu pbjogja 2009, pengunjung juga masih banyak yang belum ngeh kalau brongkos adalah kuliner khas Jogja. Tahunya kipo, jajan pasar dari Kotagede, dan aneka jajan pasar disebut juga sajian khas Jogja. Padahal asal tahu saja, aneka jajan pasar yang disajikan ditampah itu tidak semua jajanan tradisional. Yang membuat geli sekaligus prihatin adalah banyak yang mengira bahwa brongkos itu gudeg. Hmmm…banyak-banyak menjelajah jogja yaaa…

Jadiiii… Jangan menunggu pihak lain untuk lebih mengenal Jogja. Cari sendiri. Seperti Mas yang satu ini ^^ (setelah dipancing kuis twitter @pbjogja).

Special thanks to teman-teman  Cahandong, Jogtug, Kojak, dan berbagai pihak yang belum disebut satu persatu. Jangan kapok yaaaaaa^^

one night with mike

Rabu 19 November semalam, telah terjadi affair yang sangat menggairahkan antara blogger-blogger Jogja dan blogger luar negeri. Affair tersebut dalam rangka road trip lanjutan dari Bali, sebagai rangkaian dari Pesta Blogger 2008 yang puncaknya diadakan di Jakarta.

Bertempat di Gajah Wong, restoran fine dining, affair tersebut berlangsung intim dan personal diiringi makan malam yang lezat, suasana yang cozy di joglo, temaram lampu, sungguh sangat romantis. Obrolan berlangsung lancar, mengalir, di meja masing-masing.

Kebetulan, saya semeja dengan blogger dari Filipina, Mike Aquino. Berbekal bahasa inggris yang berlepotan, Mike tetap melayani obrolan dengan ramah. Untungnya, ada rekan-rekan seperti Didut yang mampu menjadi teman ngobrol yang menyenangkan untuk Mike. Saya mah kebagian pendengar saja dan kadang-kadang mengiyakan, “he’eh, yes…yes..eh no ding, no.” :mrgreen:

Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan meja-meja yang lain, tapi saya menikmati mendengarkan obrolan antara Mike dan Didut, yang membicarakan dari kuliner hingga masalah agama. Terdapat beberapa catatan menggelitik bagi saya, seputar obrolan yang berlangsung hangat dan intim tersebut.

saya, mike, didut

Mike sempat berkomentar, bahwa dia cukup heran dengan banyaknya perokok ang dia jumpai sepanjang dia di Indonesia. Dia membandingkan dengan di negerinya sendiri, bahwa, ya memang cukup banyak yang merokok, tapi juga banyak tempat untuk non smoker (dengan kata lain bisa diartikan, merokok di tempat umum di Filipina merupakan hal yang jarang). Di sini (Indonesia), perokok bisa bebas merokok di tempat umum, bahkan di ruang ber-AC.

Saya jadi teringat, sewaktu beberapa tahun yang lalu, mengantar tamu dari Turki, dan dia sangat heran dengan kebiasaan pengendara motor yang membonceng anaknya, tanpa pengamanan memadai, bahkan helm pun tidak. Saya dan Didut, waktu itu, cuma tertawa dan malah ngobrolin betapa lemahnya penegakan peraturan tentang rokok di Indonesia.

Pembicaraan pun sempat membahas tentang agama. Kebetulan di Filipina, Katolik adalah agama mayoritas. Ternyata, menurut Mike, institusi keagamaan di Filipina (dalam hal ini gereja) telah bercampur dengan politik sehingga pada akhirnya, menjadi alat politik. Hal tersebut menurut saya, kok ndak beda jauh dengan apa yang terjadi di Indonesia. Kata orang (saya lupa, siapa yang omong ini) POWER TENDS TO CORRUPT, AND ABSOLUTE POWER CORRUPTS ABSOLUTELY. Hal tersebut berpengaruh buruk sebenarnya, karena membuat beberapa kalangan pemeluk agama menjadi hilang kepercayaan.

Mike sendiri adalah penikmat travelling. Selama ini dia banyak bepergian ke Asia Tenggara, dan menurutnya, satu hal yang menarik dengan bepergian ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara adalah, kau bisa menemukan betapa banyak perbedaan-perbedaan sekaligus persamaan-persamaan di antara kebudayaan-kebudayaan yang berbeda tersebut. Contoh, mengenai kuliner. Ternyata, di Filipina sendiri, mereka juga mengenal lumpia. Mereka juga makan nasi sebagai makanan pokok mereka. Bahan dasar bumbu masakan di Filipina juga tak berbeda jauh dengan di Indonesia (khususnya Jawa, karena semalam kita banyak membincang masakan Jawa).

Semalam, Mike terkesan dengan menu ‘kering tempe’, yang jadi pelengkap nasi kuning. Dia telah mengenal tempe, hanya menurutnya olahan tempe yang satu ini agak lebih spicy. Tapi yang jadi favorit Mike rupanya adalah nasi uduk alias coconut rice, satu hal yag menurut Mike adalah resep yang luar biasa, dia tidak pernah berpikiran sebelumnya untuk mencampur kelapa (santan) dengan nasi.

Semalam dengan Mike, adalah semalam yang luar biasa. Dia belum tahu dan belum pernah melihat salak. Seharusnya, road trip hari ini, selain Borobudur, juga ke kawasan agroindustri salak pondoh, sekaligus mengunjungi desa-desa wisata yang banyak di sana. Tapi entahlah, waktunya sangat singkat dan semua telah diatur tersendiri. Semoga, mudah-mudahan, ada waktu lain untuk berkunjung ke Jogja dan blusukan ke tempat-tempat uniknya. Semoga juga, mudah-mudahan, saya berkesempatan mengunjungi Filipina dan negara-negara lain di Asia Selatan.

mike

Muchas Gracias, Mike, terimakasih juga untuk Didut.

Terimakasih untuk semua panitia Pesta Blogger, Chika, Dimas, Herman, dan lain-lain yang belum saya sebut satu persatu, juga teman-teman dari Cah Andong ples komunitas dunia maya lainnya (yang saya tahu semalam,baru komunitas multiply, belum sempat kenalan dengan yang lain).

foto-keluarga

*Foto semua oleh Bang Gage, Yang jadi tukang potonya semalam*