Parenting / pengasuhan tak ubahnya leadership. Bagi sebagian orang, mungkin parenting adalah proses yang alami, given. Begitu mereka dikaruniai anak, otomatis mereka menjadi orang tua dan otomatis pula mereka mempunyai wewenang menjalankan pengasuhan.
Mungkin seperti seseorang yang menjadi seorang kepala daerah, karena dia dijamin oleh legalitas dan undang-undang yang berlaku. Tetapi apakah hal tersebut menjamin dia adalah pemimpin yang baik ??
Begitu pula halnya dengan parenting. Disadari atau tidak, tanggung jawab menjadi orang tua sangat berat, dan jika nyerempet sedikit dengan agama, hal tersebut berkait dengan amanah yang diberikan. Mau diapakan amanah ini, mau dibentuk semau kita āproyeksi orang tuanya- atau dibentuk menjadi sebaik-baiknya manusia ??
Parenting yang hendak saya bicarakan kali ini, memang berlatar belakang leadership, sehingga bingkai untuk mengemasnya pun saya menggunakan jargon-jargon yang lazim digunakan dalam studi kepemimpinan. Mengapa ?? Karena, bagi saya menjadi orang tua sama halnya dengan menjadi pemimpin. Dan, ada begitu banyak studi dan riset mengenai kepemimpinan di psikologi dan manajemen, mengapa tidak kita pinjam saja, guna mencetak effective parenting.
Tolok ukur kesuksesan seorang pemimpin, ada banyak parameter. Jim Collins lewat riset yang cukup panjang, merangkumnya dalam buku Good to Great. Menurutnya ada lima level pemimpin dan pemimpin level 5 adalah pemimpin yang dinilai paling tinggi dan paling sukses, karena seorang pemimpin yang sukses adalah jika ia berhasil mencetak pemimpin baru. Jika pemimpin level 5 lengser meninggalkan organisasi / perusahaan, kondisi perusahaan/organisasi tidak lantas limbung bagai anak ayam kehilangan induk, tapi tetap survive dan lebih maju di bawah kepemimpinan baru yang berhasil dicetak pemimpin sebelumnya.
Dengan kata lain, ia tidak menyembunyikan berkat yang dimilikinya hanya demi dirinya sendiri dan membuat orang lain tergantung. Tetapi ia membagikan berkat tersebut dengan memberdayakan sekitarnya sehingga menjadi lebih mandiri dan berdaya.
Sama saja dengan orang tua. Orang tua yang sukses jika ia berhasil membentuk anak menjadi individu dengan karakter, kepribadian, dan kompetensi yang berkontribusi positif bagi lingkungannya. Alih-alih menjadi parasit masyarakat, si anak tumbuh menjadi agent of change yang memberikan perubahan positif bagi lingkungannya, ke arah yang lebih baik.
Nah, pertanyaannya, kompetensi apa saja yang harus dimiliki oleh orang tua untuk menjalankan effective parenting ??
Menurut Bennis dan Thomas dalam publikasinya Geeks dan Geezers : How Era, Values, adn Defining Moments Shape Leaders, ada beberapa kompetensi umum yang harus dimiliki oleh leader. Boleh dong, kita pinjam untuk menentukan kompetensi umum yang harus dimiliki oleh orang tua.
Yeah, benar sekali, dalam situasi seperti sekarang ini hanya satu yang orang tua tidak bisa kendalikan yaitu perubahan itu sendiri. Jangan selalu membandingkan situasi jaman orang tua dengan situasi yang dialami oleh anak-anak.
Tugas orang tua adalah bagaimana merespon setiap perubahan dan krisis yang mungkin terjadi dengan reaksi yang konstruksif, saling menguatkan, dan yang paling penting adalah menciptakan makna positif dari perubahan tersebut. Di sini orang tua harus kreatif, kalau tidak ia akan selalu ketinggalan dan diglembuki oleh anak-anaknya.
- The Ability to engage others in shared meaning and character and distinctive voice
Pemimpin yang kharismatik seperti Soekarno, Gandhi, Nelson Mandela, adalah pemimpin-pemimpin yang berbagi harapan, visi, dan nilai-nilai serta menularkannya kepada pengikutnya, serta sukses mengarahkan mereka untuk mencapai visi tersebut.
Bagaimana dengan orang tua ?? Effective Parenting jika anak tumbuh menjadi anak yang berkarakter, dengan berpegang terhadap nilai-nilai positif sebagai prinsip hidupnya. Karena itu character building sangat penting dalam pengasuhan anak.
- Integrity and strong values
Poin ketiga ini sangat berperan dalam pembentukan karakter terhadap anak-anak. Orang tua yang tidak mempunyai integritas dan nilai-nilai seperti keadilan, cinta, kejujuran, dsb, bagaimana ia dapat memberi contoh kepada anak-anaknya ??
Bisa saja orang tua secara lisan mengajarkan si anak untuk jujur dsb, tapi di luar ia bebas korupsi, menyuap, bahkan lebih parah berbohong terhadap anaknya. Jangan dikira hal tersebut bebas dari pengamatan anak, dan ketidakkonsistensian antara apa yang diajarkan orang tua dan perilaku orang tua adalah salah satu faktor yang menyumbang perilaku sulit pada anak.
Salah satu teori pembelajaran, social learning theory, menguatkan bahwa anak belajar dari lingkungannya dan terutama dari orang tuanya sebagai lingkungan terdekatnya.
Selain itu, saya paling tidak setuju dengan metode āmenakut-takutiā atau dengan kata lain āleading with fearā terhadap anak-anak.
Saya tidak bisa membayangkan jika sedari dini, anak-anak dicekoki berbagai hal yang membuatnya takut dalam rangka membuat si anak patuh dan menurut terhadap orang tua.
Salah satu studi yang populer di psikologi, yaitu bahwa rasa takut itu merupakan hasil dari belajar. Eksperimennya adalah sebagai berikut, yaitu bayi Albert diberi boneka kelinci (yang sebenarnya netral). Tetapi oleh eksperimenter, boneka itu diasosiasikan dengan sesuatu yang membuat bayi Albert kaget. Walhasil, setiap ia melihat boneka kelinci, bayi Albert selalu menangis ketakutan.
Banyak studi di kepemimpinan yang mengungkapkan, perbedaan antara leading with love dan leading with fear, terhadap produktivitas pegawai dan efektivitas organisasi. Intinya adalah, pemimpin yang memimpin dengan cinta, berpengaruh sangat signifikan terhadap bawahannya. Followers lebih merespon positif terhadap cinta daripada rasa takut yag tercipta.
Implikasinya terhadap effective parenting, saya tidak bisa membayangkan, apa yang dipelajari oleh anak-anak jika sedari dini mereka diajari untuk takut, takut, dan takut. Sedari dini mereka dicekoki dengan ancaman, hukuman, dosa, bahkan Tuhan pun dibawa-bawa dengan ditampilkan sebagai sosok yang menakutkan. Kadang itupun tidak cukup, jadi membawa serta sosok seperti eyang, tante, guru, polisi, anjing, ular, tanah basah, hujan, rumput, dsb sebagai sosok yang menakutkan, mengancam keberadaan dan kenyamanan si anak di lingkungannya.
Tidak heran jika kelak ia tumbuh menjadi pribadi yang peragu, sulit mengambil keputusan, inisiatif rendah, dan ekstrimnya ia tumbuh menjadi pribadi yang paranoia. Bagaimana ia akan mengeksplor potensi terpendam dalam dirinya, jika ia pribadi yang peragu, selalu khawatir, dan tidak percaya diri ??
Maka jangan heran, jika anak-anak Indonesia kelak juga semakin jauh dari alam. Mereka takut dengan hujan, bermain di tanah, takut dengan ular, anjing, kucing, dan lain-lain. Jika sudah demikian, bagaimana mereka akan menghargai alam, hutan, sungai jernih, proses alam, dan semesta ?? Mereka akan melihat semua itu sebagai inang pembawa kuman, berbagai penyakit, dan berbagai persepsi negatif lainnya, alih-alih sebagai sahabat manusia yang harus diakrabi dan disayangi.
Akibat nyatanya sudah dirasakan sekarang. Bahkan di desa. Ketika tikus sawah mengganas, konon hal tersebut juga disumbang oleh perilaku manusia yang membunuhi ular sawah. Ular sawah dianggap sebagai ancaman, karena itu harus dibunuh dan dimusnahkan. Akibatnya ?? Lihat saja sekarang. Tikus mengganas tanpa ada predatornya yang alami di alam.
Berbeda jika leading with love. Dalam dunia kepemimpinan, leading with love diterjemahkan menjadi love-based motivation, yaitu motivation based on feeling valued in the job. Dengan kata lain, dari versi bawahan, ia mengatakan kepada pemimpin yang memimpin dengan cinta :
if the job and the leader make me feel valued as a person and provide sense of meaning and contribution to the community at large (fullfilling higher needs of heart, mind, and body) then i will give you all I have to offer.
Mendidik dengan cinta berbeda dengan memberi rasa takut. Ia memahami potensi dan keunikan tiap anak, tidak memproyeksikan diri kepada si anak. Ia akan membebaskan si anak, menumbuhkannya sesuai bakat dan keunikannya. Karena cinta itu membebaskan.
Selamat menjadi orang tua, karena menjadi orang tua yang berhasil itu tidak mudah.