Whatta Coincidence


 

Hari ini energi saya lemah/sedang mengecil. I can feel it.

Terbangun pagi-pagi sekitar jam 7 dengan mata masih berat untuk dibuka, padahal mulai pagi itu agenda lumayan padat. Kepikiran pekerjaan yang sedang diterpa masalah, pekerjaan satunya yang menuntut deadline, meeting, dll ditambah kurang tidur beberapa hari. Ketika berkaca pagi ini tadi, sambil menatap mata sendiri, tiba-tiba saya diserang perasaan kurang percaya diri. I feel I am not perfect and i dont like it. Saya merasa tidak ada yang bisa dibanggakan. Saya kesulitan untuk menerima diri saya apa adanya dan terus melihat kekurangan saya.

 

Di sini saya merasa energi saya sedang melemah, kecil. Terus terang, jika sedang di situasi seperti ini, saya bingung apa yang harus dilakukan. Mengumpulkan percaya diri dari hal-hal eksternal? Bahkan underwear paling sexy dan baju kantor berpotongan sixties dipadu cropped blazer yang saya kenakan hari ini pun kurang berhasil mendongkrak PD.

Sempat berpikir apakah energi yang mengecil ini dikarenakan kurang istirahat dan stress. Entahlah, saya gak ngerti. Bisa jadi. Tapi ya sudahlah, mari jalani saja hari ini, mengalir saja. Terbuka pada segala kemungkinan.

Hingga beberapa kejadian kebetulan menyadarkan saya. Peristiwa kebetulan yang untuk saya sifatnya cukup ajaib. Harusnya malam ini saya bereksperimen dengan pengalaman baru yang cukup gila, dan pengalaman baru tersebut menuntut kenyamanan diri dan kepercayaan diri yang tinggi. Dengan kondisi dari tadi pagi yang diserang bimbang, dilema, rendah diri, kurang bisa menerima diri apa adanya, sulit rasanya bisa melalui pengalaman tersebut dengan baik. Tapi tadi ketika hendak berangkat, saya pasrahkan saja. Terbuka terhadap semesta, ngalir aja. Pasrah.

Dan ya itulah jawaban yang diberikan semesta. Peristiwa kebetulan. Saya betul-betul terkesima.

Terkadang memang yang kita butuhkan adalah kemauan untuk mendengar dan ‘surrender’ (pasrah?) terhadap pesan tersebut. Semesta sudah mempersiapkan jawabannya untuk setiap pertanyaan. Walau logika masih kesulitan untuk mencerna dan memahami, tapi di hati merasa inilah yang benar.

Puncak hari ini mungkin malam ini barusan. Pulang dari meeting terjebak macet di sekitar Kuningan. Sampai daerah Langsat sudah pukul 19.30an dan hujan gerimis lebat. Saya mampir soto kudus untuk menuntaskan ngidam. Selesai makan, rupanya hujan semakin lebat. Gelisah karena masih ada PR yang harus dituntaskan malam ini dan kesulitan untuk dapat bajaj pulang ke kos (kalau pakai taxi nanti didamprat supir karena jarak terlalu dekat). Entah kenapa hati kecil membayangkan angka 9.

Pukul 20an, hujan masih lebat. Es jeruk sudah habis, soto 2 mangkuk sudah tandas. Perut kekenyangan menjurus ‘suduken’. Pasrah memutuskan untuk membayar dan pulang. Lho tepat pukul 21, hujan sudah reda. Jadilah saya pulang tanpa kehujanan. Dalam langkah kaki menuju ‘rumah’, saya merenungkan betapa saya teramat dicintai. Dan perasaan dicintai itu yang mengirimkan energi yang menopang saya untuk menjalani hari ini.

Saya masih bergulat dengan ketidaksempurnaan, belajar untuk menerima apa adanya. Tetapi sungguh saya bersyukur, saya diingatkan selalu dengan perasaan dicintai lewat berbagai peristiwa kebetulan.

Surgamu Surgaku, Catatan Refleksi Lebaran 1430 H

Semalam saya baca-baca situs berita untuk sekedar apdet, sempet terkejut dan prihatin dengan berita ini. Di berita tersebut disebutkan ada sekelompok orang yang merayakan idul fitri lebih cepat. Ketika jamaah tersebut  sedang sholat id, ada serombongan massa yang membubarkan mereka.

Terus terang, membaca berita tersebut sungguh tak masuk akal bagi saya, apalagi masuk di hati. Bagaimana mungkin ada sekelompok orang yang memaksa orang lain menghentikan ibadahnya. Dengan cara-cara seperti itu pula. Pemaksaan dalam agama saja saya tidak setuju, apalagi dengan cara-cara yang menjurus kekerasan.

Ketika saya plurk-kan keprihatinan saya, ada yang bertanya. Memangnya kenapa kalau merayakan idul fitri lebih cepat, toh seharusnya itu bukan urusan mereka. Bagi saya pribadi, tidak ada masalah ada yang mau merayakan lebih cepat atau lebih lambat, biar saja itu menjadi urusan mereka dengan Gusti Allah. Orang saya saja, kalau bisa memilih, maunya ga ada lebaran, huehehehe.

Saya sendiri menjawab pertanyaan tersebut, opini saya pribadi melihat bahwa hal tersebut sudah berlangsung lama. Yaitu ada gejala, adanya orang-orang atau golongan yang merasa ‘surganya’ orang lain menjadi tanggung jawab mereka. Kalau orang lain tidak masuk surga, maka itu adalah tanggung jawab mereka, jangan sampai orang lain masuk neraka. Karena itu mereka-mereka ini berusaha sedemikian rupa supaya orang lain masuk surga dan terbebas dari api neraka. Surga versi mereka, tentu saja.

Seperti berita tersebut, massa menilai bahwa perbuatan jamaah tersebut beresiko menyebabkan masuk neraka, maka massa berusaha sekuat tenaga (bahkan  kalau bisa dengan cara kekerasan) supaya hal tersebut tidak terjadi (sholat id). Di mata saya, itu perbuatan konyol. Konyolnya adalah, bagaimana mungkin seseorang bertanggung jawab atas masuk tidaknya seseorang ke surga. Bukannya itu hak prerogatif Tuhan?

Selain itu ada hal konyol lainnya. Jika ada yang merasa bertanggung jawab atas surga seseorang dengan mengurusi ritual beribadahnya, kenapa untuk hal-hal sosial malah tidak. Maksudnya begini. Seseorang melakukan sholat id lebih cepat, dan rasa tanggung jawab menyebabkan orang lain menjadikan itu sebagai urusannya. Tetapi ketika ada sekumpulan orang susah yg kelaparan, anak-anak yang tidak bisa sekolah, mereka yang dimiskinkan oleh sistem, tidak bisa berobat karena biaya, dll kok sedikit gitu yang menjadikan itu sebagai urusannya dan merasa bertanggung jawab juga? Absurd saja bagi saya.

Tanggal 1 Syawal lebaran. Entah tanggal berapa penanggalan matahari, saya tidak terlalu peduli. Sudah lama saya merasakan bahwa lebaran hanya sekedar formalitas perayaan adat daripada perayaan spiritual. Selesai shalat id, sungkeman, makan-makan opor dan lain-lain. Itu-itu saja. Kering bagi saya.

Tetapi hal tersebut tidak menghalangi saya untuk mengucapkan Selamat Idul Fitri. Segala doa terucap untuk kita semua. Semoga kita semua menjadi makin baik dalam kemanusiaan kita. Tuhan tidak membutuhkan kita, kitalah yang membutuhkanNya. Dan untuk itu kita semestinya saling bahu-membahu memperjuangkan pengembangan jiwa kita menjadi lebih baik.

Mohon maaf lahir batin.