Budak Hormon

Gambar

 

Siang ini, di tengah HIV (hasrat ingin vivis), pas di toilet kaget. Ternyata hari ini kedatangan tamu. Terkesan ga prepare dan ga siap, karena udah beberapa lama ini ga disiplin mencatat siklus menstruasi. Penting lho, menurutku, untuk rajin mencatat siklus menstruasi kita. Karena kita jadi tahu siklus kita dan langsung tahu kalau ada yang berubah, entah jadi pendek atau lebih panjang. Perubahan siklus bisa jadi merupakan sinyal yang dikirim tubuh kita untuk istirahat atau makan yang bener.

 

Well, ketika istilahnya baru ngeh bahwa hari ini lagi dapet, hal ini menjelaskan kenapa beberapa hari terakhir ini, aku mudah marah, gampang murka, darah panas, dan cepat tersinggung. Juga menjelaskan kenapa mendadak jadi muncul rasa bosan, jenuh, dan  maleeesss. Padahal tidak ada apa-apa, juga lagi ga kepikiran apa-apa. Ternyata beberapa hari kemarin sedang PMS. Lha ga nyadar karena memang lupa sama siklusnya. Perasaan baru aja dapet, ternyata memang sudah waktunya.

 

Selain itu, tentang PMS, walau sendirinya daku perempuan, tapi rada-rada kurang percaya dengan efek PMS yang membuat kita seperti budak hormon. Mikirku gini sih, kok perempuan sepertinya ga cukup mampu untuk mengendalikan tubuhnya sendiri. Memang siklus hormon turun naik begini sudah default tubuh kita, tapi apa lantas kita sama sekali ga punya kendali terhadap emosi dan perilaku kita? Kalau benar, ya maaf saja, tetapi ga bisa disalahkan dong kalau ada yang memandang perempuan itu (stereotype-nya) labil dan lemah.

 

Efek dari stereotype tersebut lumayan lho. Misalnya tentang isu kepemimpinan. Ada banyak yang meragukan kualitas kepemimpinan perempuan, yak arena kelabilan waktu PMS tersebut. Banyak yang meragukan, jangan-jangan ada masa seorang pemimpin perempuan mengambil keputusan gegabah karena pas lagi labil PMS dan mood sedang ancur-ancuran. Lha kalau presiden perempuan ngamuk-ngamuk karena emang lagi dapet, lantas memutuskan untuk perang nuklir, ya repot. Apa karena itu juga ya, presiden perempuan umumnya sepuh-sepuh karena sudah waktunya menopause sehingga secara emosi juga lebih stabil. *ngikik*

 

Kembali ke ‘masalah’ku tadi (halah). Jadi mikir, kalau kita tahu bahwa kita sedang PMS sebenarnya bisa membantu kita untuk lebih aware/sadar/ngeh yang terjadi ama diri kita ga? Kalau di kasusku ini tadi, karena aku ga sadar bahwa sedang PMS, ketika emosi lagi naik, jadi bingung dan bertanya-tanya, kok aku jadi gampang marah. Kalau sudah ngeh/sadar, semestinya bisa lebih mengendalikan perilaku kita. Idealnya.

 

Tetapi di lain pihak, mengamati teman-teman di sekitarku, PMS biasanya malah jadi pembenaran untuk bisa berlaku seenaknya. Yaitu, bisa marah-marah, labil, bête ga jelas tanpa juntrungan. Kalau ada yang protes, tinggal bilang, “lagi PMS (so you don’t have the right to ask me)”. Dan kalau sudah begitu, biasanya para lelaki memilih untuk ngalah, diam, menjauh, daripada kena semprot.

 

Are we happy, puas, ketika mereka memilih untuk diam dan menjauh? Apa ga lantas makin mengukuhkan kita ini budak hormon dan lemah?

 

Dan moral cerita adalah, selalu sedia pembalut untuk berjaga-jaga. 😆

 

 

 

 

Moral a la Selangkangan

Rupanya benar saya terlalu naif. Semenjak rame-rame launching video mirip Ariel awal Juni, ternyata hingga sekarang tanggal 18 Juni masih heboh berita tersebut. Saya waktu itu berpikir dalam hitungan hari (tiga hari lah) publik segera lupa dengan skandal seks tersebut, sebagaimana yang lazim terjadi dengan berita bencana, korupsi, etc. Ternyata dua minggu dan masih heboh, hingga menteri, pemimpin daerah, hingga paranormal angkat bicara.

Saya benar-benar tak habis pikir. Kenapa soal skandal seks saja sampai sebegitunya diributkan. Tadi pagi berita tentang gempa di Sentani Papua, adem ayem saja. Padahal tingkat kerusakannya cukup parah. Gempa Padang, yang beberapa waktu lalu saya kesana ternyata masih belum beres, juga hening tidak ada yang mempermasalahkan.

Apakah benar ini negara yang munafik, negara dimana para pengambil keputusan lebih demen mengurusi masalah moral daripada kesejahteraan masyarakatnya? Sudah begitu, masalah moral pun direduksi ke urusan selangkangan saja. Sedangan yang berurusan dengan hati dan ego, tidak disentuh/dipermasalahkan.

Karena masalah selangkangan juga, apa yang tidak lazim maka dicap/didiagnosa abnormal, thus dihakimi. Apakah kalau bercinta lantas divideokan, maka hal tersebut abnormal? Padahal hal begitu juga bisa sebagai metode untuk penambah gairah, sama halnya seperti ketika bercinta dikamar yang penuh dengan cermin. Tidak lazim? Lantas disebut aneh dan abnormal, gitu?

Lantas, yang lazim seperti korupsi berjamaah, nilep dana rakyat, itu normal karena banyak yang melakukannya? Karena normal, maka tak usah dihakimi, begitu?

Oh, baiklah. Sepertinya negeri ini butuh revolusi moral. Butuh mata ketiga yang lebih bisa melihat apa yang tidak terlihat, seperti hati dan ego. Karena selangkangan bisa dilihat dengan mata telanjang, dan hmmm…bikin jantung berdebar-debar…

Gambar diambil dari sini.