Jadi Turis yang Cerdas Dikit Yuk

 

 

Long weekend kemarin mendapat pengalaman seru, getaway ke sanctuary di ujung pulau yang belum terjamah industri pariwisata. Well, tentang kronologis dan serba-serbi travelnya, nanti diapdet di blog-ku yang khusus memuat tentang jalan-jalan dan makan-makan yah. Semoga dalam waktu dekat bisa segera langsung disusun jadi tulisan yang enak dibaca.  😆

Jalan-jalan keluar kota pas liburan memang seru. Apalagi buat yang demen jalan-jalan ke alam bebas. Selain memang hobi, jalan-jalan di alam bebas sepertinya udah menjadi gaya hidup. Maksudnya, ada gitu yang memang tujuannya untuk mencari eksistensi dari hal tersebut. Kalo ga ikutan melakukan hal serupa, rasanya seperti kurang gaul, merasa ketinggalan, kurang eksis, such things.

Tapi aku bukan mo ngoceh tentang hal tersebut. Jadi tulisan ini diilhami dari pemahaman baru ketika habis ngobrol dan bercerita tentang pengalaman liburan kemarin. Ternyata, masih banyak turis yang jalan-jalan dan travelling di alam bebas terutama, masih memandang alam dan satwa-satwanya sebagai obyek. Memang tujuan liburan adalah untuk seneng-seneng, tetapi ketika senang-senang diterjemahkan menjadi ‘binatang-binatang tersebut harus beratraksi seperti hewan sirkus’, wah itu repot.

Misal, ketika berlibur ke Ujung Genteng untuk melihat penyu bertelur. Saking bernafsunya untuk mendapatkan foto penyu bertelur, maka ketika motret trus pake blitz. Padahal pemakaian blitz tersebut sangat mengganggu si penyu ketika bertelur. Saya orangnya sangat mudah berempati terhadap hewan sih, jadi bisa memahami gimana perasaannya. Bertelur bagi penyu itu proses yang melelahkan lho, dan penyu adalah hewan yang sensitif. Ketika sedang melakukan ritualnya lalu ada gangguan-gangguan, gimana sih perasaannya? Sama seperti ketika kamu lagi pup trus ditontonin banyak orang dan dinilai kali ya.

Jadi begini, aku baru tahu bahwa ternyata ada aturan-aturan dalam berwisata di alam terbuka. Aturan tersebut adalah, kita namakan platinum rule ya, karena aturan intinya cuma satu dan mudah saja. Yaitu, dalam menikmati pemandangan (baik di bawah laut maupun di atas laut), cukup LIHAT SAJA.  Jangan ambil, petik, pegang, bahkan sentuh aja ga boleh. Kenapa? Karena ternyata hal tersebut dapat mengganggu kelangsungan hidup hewan-hewan maupun ekosistem di tempat tersebut.

Misal nih, aku baru tahu, bahwa dalam diving dan snorkling, sebenarnya GA BOLEH untuk megang-megang hewan maupun ekosistem di laut. Pegang manta, ternyata bisa menghilangkan lendir pelindung kulit manta. Terus, contoh kasus yang sangat lazim dilakukan orang padahal itu ga boleh, yaitu mendaki gunung dan memetik edelweiss. Jadi, para pakar lingkungan hidup dan pecinta alam sejati, paling prihatin kalo liat turis yang kalau jalan-jalan, tangannya nggratil alias usil megang-megang dan metik. Ketika dapat cerita ada turis yang dalam liburannya di Kiluan untuk melihat lumba-lumba, trus turis tersebut tahu-tahu nyemplung untuk bisa megang lumba-lumba, sebenarnya sangat dilarang. Bukan saja dari segi keselamatan, oke kalau si turis tersebut jago renang, tapi juga mengganggu si lumba-lumba. Kalau saran Pakde Mbilung yang ahli permanukan dan serba laut, jangan dipegang, diam aja. Nanti kalau lumba-lumbanya emang pengen ngajak main, dia akan datang sendiri mendekat. Tapi kalau gamau, ya jangan dipaksa.

Karena ketidaktahuanku, selama di Kiluan kemarin, aku melakukan hal-hal yang sebenarnya dilarang. Jadi, kemarin aku memungut dan membawa pulang beberapa rumah kerang dan koral mati. Ternyata kata Pakde Mbilung, kalau di pantai sekalipun, tak usah membawa pulang termasuk koral mati. Kenapa, ternyata rumah kerang tersebut masih dipakai kelomang, untuk rumah mereka juga. Kebetulan, pas di Kiluan tersebut, aku banyak menemukan kelomang-kelomang mungil yang sedang mencari-cari kerang-kerang bekas. Mungkin seperti kita kalau lagi survey kos/kontrakan kali ya. Aduuuhh dan karena ketidaktahuanku, aku merampas kerang yang sebenarnya bisa jadi rumah mereka.  😥

 

 

Jadi pren, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Dan jauh lebih baik lagi, ketika kita sudah tahu, dan melakukannya. Kalau kita sedang berlibur terutama di alam bebas, cara terbaik menikmati pemandangan adalah melihat saja. Kalau mo ambil sesuatu untuk kenang-kenangan (iye sih, mental turis kita itu masih souvenir-minded, jadi sebisa mungkin bawa apa gitu untuk token/kenangan), cukup foto saja. Tapi kalau motret pun, ingat seperti kasus penyu di Ujung Genteng, jangan juga sampe gangguin si satwa. Dan yang paling penting adalah mengubah mindset/paradigma kita, bahwa alam termasuk satwa-satwanya BUKAN obyek wisata tapi justru mereka adalah SUBYEK wisata. So, kita jadi turis, yang cerdas dikit lah, turut menjaga kelestariannya, ga semata-mata menuruti kesenangan kita yang sebenarnya cuma gatel/impulsif semata. Okek, sip?  :mrgreen:

20 pemikiran pada “Jadi Turis yang Cerdas Dikit Yuk

  1. Waktu kami ke pantai Citirem di Sukabumi selatan dengan tujuan membikin film dokumenter ttg penyu laut, semalaman menunggu penyu naik dan bertelur di pantai, harus diam total, tak boleh gerak dan bersuara. Ketika penyu-nya bertelur, kita harus mengambil gambar dan harus pakai lampu yg lebih cukup sorotannya. Waktu itu aku juga sempat bertanya ke teman yg jagawana disitu, dia bilang nggak apa-apa pakai lampu dari pada nggak dapet gambar. Piye jal?

    • ga semua penjaga hutan tahu juga tentang hal ini mungkin ya mba. tapi, kl tujuannya utk dokumenter kan beda dg turis. sama seperti riset juga, kali. jadi, sebagai penulis, aku memaafkanmu, mba :mrgreen:

  2. Di sini hal-hal seperti ‘souvenir minded’ begitu sangat diuji. Awal-awalnya dulu aku susah untuk tak usil tapi lama-kelamaan mulai terasah lah.. bahkan motret pun jarang karena mikirnya di Google toh pasti ada 🙂

    • wooooghhh bahkan utk sekelas sampeyan, jarang motret? 😯
      apa ga merasa sayang/eman-eman kl ga motret? lagian sebagai fotografer, pasti pengen motret2 to.
      btw usilnya sampeyan itu spt gimana to? 😆

  3. Haha gw kayak suprie. Gak pernah bawa apa2 pulang, kecuali foto dan cerita. Itu sudah cukup. Barang toh hanya akan bikin penuh lemari (lama2 malah terbuang juga). Kalau foto akan bertahan lama (kecuali hard disknya rusak). Yang penting itu cerita. Habis jalan2 langsung ditulis. Karena saat nanti kita lupa apa yang pernah kita lakukan, membaca cerita kita sendiri akan langsung mengembalikan kenangan kita akan perjalanan itu. Beneran 🙂

    • wow, pit, aku kagum e dengan kerajinanmu untuk mendokumentasikan termasuk dalam bentuk tulisan. karena, penghalang terbesar untuk mendokumentasikan, bukan sulit merangkai kata, tapi males 😆

  4. nambahin dikit ya , hehe ..
    jangankan metik bunga edelweis (bunga abadi) pada saat mendaki , mandi di sungai juga ga boleh loh (ga boleh menggunakan sabun , shampo , pasta gigi ,dll) ..

  5. Kata orang bijak sih “Take nothing but pictures, leave nothing but footstep!”
    Tapi kadang kita lakukan karna kita memang ga tahu juga sih.

  6. iya nih hampir semua turis nggratil bin usil alias sompil , btw emang kelomang-kelomang gak bisa bikin rumah sendiri pa? itu kerang bekas dulunya buatan siapa?

  7. Budaya piknik di Indonesia masih baru soale mbak Meth. Kalo piknik tuh ya rame-rame sekaligus sakgeleme dewe. Kalau nginep di hotel pasti bakalan renang pakai baju lengkap (contoh keci). Yang jelas juga kalau pulang musti bawa oleh-oleh. Nah, buat yang piknik ketempat susah kadang keterusan, sampe bawa satwa langka. Perlu sabar diajari terus. Tulisan ini salah satunya…mantap mbak

Tinggalkan Balasan ke mizan Batalkan balasan